Kamis, 06 September 2018

Inilah Kolaborasi Menarik Dalam Distribusi Seafood Ramah Lingkungan

Pernahkan Anda bertanya pada pedagang dari mana ikan yang mau dibeli ditangkap? Pertanyaan seperti ini dinilai salah satu kunci penggugah kesadaran.

Jika ingin memastikan hasil laut di piring makan aman, bisa dicoba model ini. Ada kelompok nelayan laut dan bakau yang didampingi LSM agar menangkap hasil laut yang baik dan ramah lingkungan. Kemudian hasil laut ini dipasarkan penyedia dan pengecer ke konsumen. Mereka menjalin rantai distribusi sekaligus mengedukasi konsumen untuk memastikan mereka makan hasil laut yang ditangkap secara aman.
Inilah yang terlihat dalam Festival Bukan Pasar Ikan Biasa, salah satu rangkaian dari Kampanye Seafood yang Bertanggung Jawab (Sustainaible Seafood) dengan tagar #BeliyangBaik oleh WWF Indonesia. Kampanye ini untuk perubahan perilaku penikmat seafood agar mengurangi tekanan terhadap perikanan yang sudah atau hampir mencapai status tangkap lebih. Lembaga pangan dunia menyebut kondisi kelautan sudah 53% atau tertangkap penuh sementara populasi penduduk terus meningkat.
Di Pantai Kuta yang terik akhir pekan kemarin, ada kolaborasi kampanye sustainable seafood yang diperlihatkan para nelayan yang tergabung dalam Jaring Nusantara, Fish n Blues, dan industri perhotelan. Pengunjung memilih bahan baku menu makan siangnya di Jaring Nusantara. Ada kerapu merah dan hitam, kerang, dan udang windu. Lalu memilih cara pengolahan dan membayar biaya masaknya di Fish n Blues. Ada berbagai varian olahan seperti steak, rebus, goreng, dan lainnya.
Para pembeli atau konsumen yang menikmati hasil olahan laut ini juga mendapat pengetahuan untuk menelusuri asal usul santapannya. Apakah ditangkap dengan cara yang baik, siapa nelayan atau pembudidayanya, dari daerah laut manakah, dan lainnya.
Salah satunya ada Taulani, salah satu pengurus kelompok nelayan Kepiting Lestari di Pemalang, Jawa Tengah. Ia membudidayakan kepiting bakau di perairan pantai utara Jawa ini. Selama beberapa tahun kelompoknya didampingi sebuah LSM mitra WWF untuk menerapkan cara budidaya yang baik, tanpa eksploitasi.
Ia tak menyangka sekira 7 tahun setelah upaya rehabilitasi bakau dilakukan, banyak hewan muncul, salah satunya kepiting (mud crab). Para nelayan akhirnya mendapat anugerah dari merawat dan memperbaiki tapak bakau yang rusak. Kepiting ini kemudian ditangkar untuk penggemukan. “Ternyata digemukkan sekitar 20 hari saja harga jualnya bisa berkali lipat,” cerita Taulani. Para nelayan dan pembudidaya ini lah menyuburkan warung-warung makan kepiting di kawasan Pantura.
Selain mendapat pasar yang relatif stabil, Taulani juga memasok ke Fish n Blues, sebuah usaha retailer dan supplier seafood. Usaha ini menyerap hasil laut dari nelayan binaan Jaring Nusantara yang mempraktikkan perikanan berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Aturannya ketat sekali, minimal berat kepiting 300 gram tidak bisa kurang. Harganya oke,” tambah Taulani tentang Fish n Blues.
Untuk kebutuhan kampanye di Bukan Pasar Ikan Biasa di Bali ini, Fish n Blues mendapat pasokan dari kelompok nelayan Kabupaten Buleleng yang juga mempraktikkan penangkapan yang aman. Misalnya tidak menggunakan bom, potas, atau sianida yang meracuni dan merusak ekosistem sekitar. Tidak menangkap anakan (juvenile), dan jika budidaya bibitnya hasil pembibitan bukan diambil dari alam.
Pengelola Fish n Blues adalah dua anak muda mantan aktivis WWF Indonesi yakni Annisa Ruzuar dan Ranggi Fajar Muharam. Keduanya tampak melayani pembeli yang memilih ikan, cara mengolahnya, dan memperkenalkan prinsip bisnis yang baru sejak tahun lalu berbadan hukum ini. Tim ini mengenakan kaos seragam bertuliskan “I Know where my seafood come from.”
Anissa mengatakan fokus mendistribusikan hasil nelayan lokal untuk pasar domestik. “Ini kan hasil laut kita, yang bagus jangan hanya dibawa ke luar negeri (ekspor),” sergah perempuan yang fokus mengurus komunikasi usaha sosial ini. Baru dua daerah yang bisa dilayani yakni Jakarta dan Bali secara terbatas. Pasokan diutamakan dari nelayan kecil karena biasanya mereka yang menerapkan penangkapan yang ramah lingkungan dibanding pengusaha perikanan besar yang menggunakan pukat/trawl.
“Ini kan produk segar tak tahan lama, kami harus memastikan pengemasan dan pengirimannya. Konsumen bisa pesan online,” jelasnya. Misalnya di website fishnblues.com atau media sosialnya. Ranggi, CEO Fish n Blues menyebut jumlah distribusi per bulannya baru 100-300 kg ke tangan konsumen. Sejumlah hasil laut dan budidaya yang bisa dipesan di antaranya ikan katamba/lencam, tuna, kepiting bakau, ikan kuwe, nila, udang windu, kerang, dan bakso tuna.
Keduanya yakin dengan masa depan bisnis ini karena tren konsumsi dan anak muda yang makin sadar tentang keamanan pangan dan pelestarian lingkungan. Tantangannya penetrasi pasar retail besar dan peningkatan kapasitas distribusi.
WWF juga membagikan panduan memilik hasil laut yang lestari melalui Seafood Guide. Berisi puluhan daftar spesies yang hidup di perairan Indonesia dan dikonsumsi.
Hasil laut itu dibagi tiga kategori sesuai dengan kondisi penangkapan dan populasinya saat ini. Pertama warna hijau sebagai kode pilihan terbaik, artinya aman dikonsumsi seperti tenggiri, teri jengki, dan tongkol, cakalang, cumi, dan lainnya. Berhati-hatilah dan pertimbangkan mengonsumsi produk (kuning), misalnya ikan gindara, gurita, sotong, gurita, kepiting bakau, dan lainnya. Produk-produk ini seringkali dihasilkan dari cara penangkapan yang tidak lestari atau tidak ramah lingkungan, dan secara umum populasi ikan dalam kategori ini mulai menurun.
Hindarilah memesanseafooddari daftar hindari (merah). Seafood dalam daftar ini mengalami penurunan populasi yang serius di alam dan dalam proses penangkapannya sangat merusak dan memungkinkan terjadinyapenangkapan satwa langka atau dilindungi. Misalnya bawal hitam, putih, hiu, kakap putih, kuda laut, telur ikan, tuna sirip biru, dan lainnya. Daftar ini belum lengkap dan bisa berubah kategori.
Imam Musthofa, Sunda Banda Seascapes and Fisheries Leader WWF Indonesia mengatakan pihaknya 5 tahun terakhir ini mengampanyekan soal penangkapan dan konsumsi yang lestari. Salah satunya melalui sistem ekolabel. Pengusaha besar perikanan Indonesia belum ada yang mendapat sertifikat dari MSC (Marine Stewardship Council)untuk perikanan tangkap. “Sudah ada yang menuju ke sana karena pasar mulai memperhatikan hal ini,” katanya. Mereka berkumpul dalam jaringan Seafood Savers.
Ada juga ASC (Aquaculture Stewardship Council). Keduanya adalah organisasi non profit internasional yang mengembangkan skema sertifikasi pihak ketiga untuk perikanan tangkap dan budidaya yang berkelanjutan.

Ini Upaya Mewujudkan Perikanan Berkelanjutan


Dengan sekuat tenaga, Hamdani melemparkan pakan ikan ke dalam keramba pada Kamis (10/5/2018) petang. Begitu pelet-pelet jatuh ke air, ikan-ikan pun langsung naik ke permukaan. Air berkecipak ketika ikan-ikan kakap yang siap dipanen itu saling berebut makanan.
Dibantu karyawan lain, Kepala Bagian Pembesaran di PT Bali Barramundi, itu kembali mengambil pelet dari karung, memindahkan ke ember, lalu melempar pelet-pelet itu lagi ke dalam keramba. Ikan-ikan kembali berebutan.
Keramba tempat Hamdani dan temannya memberi pakan petang itu adalah salah satu dari 29 keramba milik PT Bali Barramundi, perusahaan budi daya ikan di Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Lokasinya di pantai utara Bali berjarak sekitar 40 km di utara Singaraja, ibu kota kabupaten di bagian utara Bali ini.
Selain bertugas memberi pakan, Hamdani juga mengawasi kesehatan ikan. Tiap hari, dia dan karyawan lain memeriksa ikan-ikan tersebut dengan cara menyelam. “Jika ada yang mati, ikan yang mati langsung diambil agar tidak menular ke ikan lainnya,” katanya.
Hamdani menambahkan, saat ini perusahaan tempat bekerjanya itu semakin memperhatikan aspek kesehatan ikan-ikan yang mereka budidayakan.
PT Bali Barramundi memulai usahanya sejak 2012 dengan empat keramba. Namun, dalam enam tahun mereka sudah berkembang menjadi 29 keramba, dengan 18 keramba perawatan (nursery) dan 11 keramba untuk pembesaran (grow up). Mereka juga memiliki tempat pembenihan (hatchery) tak jauh dari lokasi tersebut.
Mereka memasok ikan kakap dan kerapu ke pasar domestik, seperti restoran dan hotel di Bali, maupun ekspor terutama ke Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Proporsinya kurang lebih sama: masing-masing 50 persen.
Tak semata bisnis, selama setahun terakhir, perusahaan itu juga mulai memperhatikan aspek lain yaitu sosial dan lingkungan. Perubahan yang mereka lakukan, misalnya, dengan membuat tempat pengelolaan sisa ikan rucah di pantai. “Sebelumnya, kami membuang sisa ikan rucah begitu saja ke laut karena sebenarnya memang tidak berbahaya juga untuk lingkungan laut,” kata Dharma Manggala, Manajer PT Bali Barramundi.
Ikan rucah adalah ikan jenis kecil-kecil yang biasanya jadi makan ikan yang dibudidayakan. Dari sebelumnya dibuang begitu saja ke laut, kini sisa ikan rucah itu dikelola ke semacam tangki pembuangan (septic tank) agar tidak langsung ke laut. “Karena standarnya memang mengatur demikian,” Dharma menambahkan.
Standar FAO
Standar yang dimaksud Dharma merupakan standar sesuai prinsip Seafood Savers, landasan antar-pelaku usaha (business-to-business) perikanan agar berkelanjutan. Acuan Seafood Savers adalah pada standar Kode Perilaku Perikanan yang Bertanggungjawab (CCRC) dari Badan PBB untuk Pertanian dan pangan (FAO) 1995 yang diturunkan menjadi dua sertifikasi ekolabel. Marine Stewardship Council (MSC) untuk perikanan tangkap dan Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk perikanan budi daya.
WWF Indonesia menginisiasi program Seafood Savers sejak sembilan tahun lalu. Organisasi lingkungan ini bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan perikanan tangkap maupun budi daya agar mereka menerapkan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan sesuai standar FAO tadi. WWF Indonesia mendampingi agar mereka bisa mendapatkan sertifikat ASC maupun MSC.
Menurut Imam Musthofa, Pemimpin Program Bentang Sunda dan Perikanan WWF Indonesia, pada dasarnya standar MSC dan ASC itu menekankan pada pentingnya bisnis perikanan memerhatikan aspek lingkungan dan sosial. Untuk standar MSC, misalnya, ikan yang ditangkap haruslah memperhatikan ketercukupan di area penangkapan. “Ikan yang masih kecil harus dibiarkan hidup,” jelasnya.
Contoh lain, lanjutnya, cara penangkapan tidak boleh berdampak buruk pada ekosistem, misalnya terumbu karang dan padang lamun. “Selain itu, harus ada tata kelola yang baik (good governance) dalam bisnis mereka, baik itu lewat masyarakat, pemerintah, ataupun komunitas,” ujar Imam.
Saat ini ada 17 perusahaan perikanan di Indonesia menjadi anggota Seafood Savers, terdiri dari sembilan perusahaan perikanan tangkap, enam perikanan budi daya dan dua pembeli (grosir dan ritel).
Pada 2017 – 2018, dua anggota Seafood Savers dari perikanan budi daya berhasil mendapatkan sertifikasi ekolabel perikanan berkelanjutan ASC. Mereka adalah tambak windu binaan PT Mustika Minanusa Aurora seluas 115 hektar di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara dan 18 tambak udang vaname seluas 9 hektar binaan PT Tiwandi Sempana di Probolinggo, Jawa Timur.
Bagi perusahaan yang bergabung, program Seafood Savers membantu mereka untuk lebih mematuhi standar yang telah ditentukan. Begitu pula PT Bali Barramundi yang baru bergabung sejak tahun lalu.
Menurut Dharma, mereka pun segera melakukan beberapa perbaikan. Selain lebih memerhatikan kesehatan ikan dan pengelolaan sisa ikan runcah untuk pakan, mereka kini juga membuat toilet terapung sebagaimana disyaratkan. “Biayanya lumayan, sampai Rp200-an juta, karena terbuat dari fiber agar bisa mengapung,” kata Dharma.
Dari sisi sosial, PT Bali Barramundi kini juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di desa tempat mereka berada. Mereka membuat balai untuk kelompok nelayan, memperbaiki jalan desa, bahkan menyumbang untuk masjid di desa dengan jumlah penduduk muslim cukup banyak itu.
Menurut Dharma, kesediaan perusahaannya terlibat dalam program Seafood Savers pada awalnya memang karena permintaan konsumen. Namun, seiring waktu, dia mengaku makin menyadari bahwa bisnis memang seharusnya tak semata mencari untung tetapi juga memperhatikan lingkungan dan sosial.
“Kalau laut tercemar, kita juga yang salah dan rugi karena ikan bisa mati. Laut ini bukan warisan nenek moyang yang bisa kita apakan saja, tetapi alam yang harus kita wariskan pada anak cucu kita nanti,” katanya.