Kamis, 06 September 2018

Inilah Kolaborasi Menarik Dalam Distribusi Seafood Ramah Lingkungan

Pernahkan Anda bertanya pada pedagang dari mana ikan yang mau dibeli ditangkap? Pertanyaan seperti ini dinilai salah satu kunci penggugah kesadaran.

Jika ingin memastikan hasil laut di piring makan aman, bisa dicoba model ini. Ada kelompok nelayan laut dan bakau yang didampingi LSM agar menangkap hasil laut yang baik dan ramah lingkungan. Kemudian hasil laut ini dipasarkan penyedia dan pengecer ke konsumen. Mereka menjalin rantai distribusi sekaligus mengedukasi konsumen untuk memastikan mereka makan hasil laut yang ditangkap secara aman.
Inilah yang terlihat dalam Festival Bukan Pasar Ikan Biasa, salah satu rangkaian dari Kampanye Seafood yang Bertanggung Jawab (Sustainaible Seafood) dengan tagar #BeliyangBaik oleh WWF Indonesia. Kampanye ini untuk perubahan perilaku penikmat seafood agar mengurangi tekanan terhadap perikanan yang sudah atau hampir mencapai status tangkap lebih. Lembaga pangan dunia menyebut kondisi kelautan sudah 53% atau tertangkap penuh sementara populasi penduduk terus meningkat.
Di Pantai Kuta yang terik akhir pekan kemarin, ada kolaborasi kampanye sustainable seafood yang diperlihatkan para nelayan yang tergabung dalam Jaring Nusantara, Fish n Blues, dan industri perhotelan. Pengunjung memilih bahan baku menu makan siangnya di Jaring Nusantara. Ada kerapu merah dan hitam, kerang, dan udang windu. Lalu memilih cara pengolahan dan membayar biaya masaknya di Fish n Blues. Ada berbagai varian olahan seperti steak, rebus, goreng, dan lainnya.
Para pembeli atau konsumen yang menikmati hasil olahan laut ini juga mendapat pengetahuan untuk menelusuri asal usul santapannya. Apakah ditangkap dengan cara yang baik, siapa nelayan atau pembudidayanya, dari daerah laut manakah, dan lainnya.
Salah satunya ada Taulani, salah satu pengurus kelompok nelayan Kepiting Lestari di Pemalang, Jawa Tengah. Ia membudidayakan kepiting bakau di perairan pantai utara Jawa ini. Selama beberapa tahun kelompoknya didampingi sebuah LSM mitra WWF untuk menerapkan cara budidaya yang baik, tanpa eksploitasi.
Ia tak menyangka sekira 7 tahun setelah upaya rehabilitasi bakau dilakukan, banyak hewan muncul, salah satunya kepiting (mud crab). Para nelayan akhirnya mendapat anugerah dari merawat dan memperbaiki tapak bakau yang rusak. Kepiting ini kemudian ditangkar untuk penggemukan. “Ternyata digemukkan sekitar 20 hari saja harga jualnya bisa berkali lipat,” cerita Taulani. Para nelayan dan pembudidaya ini lah menyuburkan warung-warung makan kepiting di kawasan Pantura.
Selain mendapat pasar yang relatif stabil, Taulani juga memasok ke Fish n Blues, sebuah usaha retailer dan supplier seafood. Usaha ini menyerap hasil laut dari nelayan binaan Jaring Nusantara yang mempraktikkan perikanan berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Aturannya ketat sekali, minimal berat kepiting 300 gram tidak bisa kurang. Harganya oke,” tambah Taulani tentang Fish n Blues.
Untuk kebutuhan kampanye di Bukan Pasar Ikan Biasa di Bali ini, Fish n Blues mendapat pasokan dari kelompok nelayan Kabupaten Buleleng yang juga mempraktikkan penangkapan yang aman. Misalnya tidak menggunakan bom, potas, atau sianida yang meracuni dan merusak ekosistem sekitar. Tidak menangkap anakan (juvenile), dan jika budidaya bibitnya hasil pembibitan bukan diambil dari alam.
Pengelola Fish n Blues adalah dua anak muda mantan aktivis WWF Indonesi yakni Annisa Ruzuar dan Ranggi Fajar Muharam. Keduanya tampak melayani pembeli yang memilih ikan, cara mengolahnya, dan memperkenalkan prinsip bisnis yang baru sejak tahun lalu berbadan hukum ini. Tim ini mengenakan kaos seragam bertuliskan “I Know where my seafood come from.”
Anissa mengatakan fokus mendistribusikan hasil nelayan lokal untuk pasar domestik. “Ini kan hasil laut kita, yang bagus jangan hanya dibawa ke luar negeri (ekspor),” sergah perempuan yang fokus mengurus komunikasi usaha sosial ini. Baru dua daerah yang bisa dilayani yakni Jakarta dan Bali secara terbatas. Pasokan diutamakan dari nelayan kecil karena biasanya mereka yang menerapkan penangkapan yang ramah lingkungan dibanding pengusaha perikanan besar yang menggunakan pukat/trawl.
“Ini kan produk segar tak tahan lama, kami harus memastikan pengemasan dan pengirimannya. Konsumen bisa pesan online,” jelasnya. Misalnya di website fishnblues.com atau media sosialnya. Ranggi, CEO Fish n Blues menyebut jumlah distribusi per bulannya baru 100-300 kg ke tangan konsumen. Sejumlah hasil laut dan budidaya yang bisa dipesan di antaranya ikan katamba/lencam, tuna, kepiting bakau, ikan kuwe, nila, udang windu, kerang, dan bakso tuna.
Keduanya yakin dengan masa depan bisnis ini karena tren konsumsi dan anak muda yang makin sadar tentang keamanan pangan dan pelestarian lingkungan. Tantangannya penetrasi pasar retail besar dan peningkatan kapasitas distribusi.
WWF juga membagikan panduan memilik hasil laut yang lestari melalui Seafood Guide. Berisi puluhan daftar spesies yang hidup di perairan Indonesia dan dikonsumsi.
Hasil laut itu dibagi tiga kategori sesuai dengan kondisi penangkapan dan populasinya saat ini. Pertama warna hijau sebagai kode pilihan terbaik, artinya aman dikonsumsi seperti tenggiri, teri jengki, dan tongkol, cakalang, cumi, dan lainnya. Berhati-hatilah dan pertimbangkan mengonsumsi produk (kuning), misalnya ikan gindara, gurita, sotong, gurita, kepiting bakau, dan lainnya. Produk-produk ini seringkali dihasilkan dari cara penangkapan yang tidak lestari atau tidak ramah lingkungan, dan secara umum populasi ikan dalam kategori ini mulai menurun.
Hindarilah memesanseafooddari daftar hindari (merah). Seafood dalam daftar ini mengalami penurunan populasi yang serius di alam dan dalam proses penangkapannya sangat merusak dan memungkinkan terjadinyapenangkapan satwa langka atau dilindungi. Misalnya bawal hitam, putih, hiu, kakap putih, kuda laut, telur ikan, tuna sirip biru, dan lainnya. Daftar ini belum lengkap dan bisa berubah kategori.
Imam Musthofa, Sunda Banda Seascapes and Fisheries Leader WWF Indonesia mengatakan pihaknya 5 tahun terakhir ini mengampanyekan soal penangkapan dan konsumsi yang lestari. Salah satunya melalui sistem ekolabel. Pengusaha besar perikanan Indonesia belum ada yang mendapat sertifikat dari MSC (Marine Stewardship Council)untuk perikanan tangkap. “Sudah ada yang menuju ke sana karena pasar mulai memperhatikan hal ini,” katanya. Mereka berkumpul dalam jaringan Seafood Savers.
Ada juga ASC (Aquaculture Stewardship Council). Keduanya adalah organisasi non profit internasional yang mengembangkan skema sertifikasi pihak ketiga untuk perikanan tangkap dan budidaya yang berkelanjutan.

Ini Upaya Mewujudkan Perikanan Berkelanjutan


Dengan sekuat tenaga, Hamdani melemparkan pakan ikan ke dalam keramba pada Kamis (10/5/2018) petang. Begitu pelet-pelet jatuh ke air, ikan-ikan pun langsung naik ke permukaan. Air berkecipak ketika ikan-ikan kakap yang siap dipanen itu saling berebut makanan.
Dibantu karyawan lain, Kepala Bagian Pembesaran di PT Bali Barramundi, itu kembali mengambil pelet dari karung, memindahkan ke ember, lalu melempar pelet-pelet itu lagi ke dalam keramba. Ikan-ikan kembali berebutan.
Keramba tempat Hamdani dan temannya memberi pakan petang itu adalah salah satu dari 29 keramba milik PT Bali Barramundi, perusahaan budi daya ikan di Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Lokasinya di pantai utara Bali berjarak sekitar 40 km di utara Singaraja, ibu kota kabupaten di bagian utara Bali ini.
Selain bertugas memberi pakan, Hamdani juga mengawasi kesehatan ikan. Tiap hari, dia dan karyawan lain memeriksa ikan-ikan tersebut dengan cara menyelam. “Jika ada yang mati, ikan yang mati langsung diambil agar tidak menular ke ikan lainnya,” katanya.
Hamdani menambahkan, saat ini perusahaan tempat bekerjanya itu semakin memperhatikan aspek kesehatan ikan-ikan yang mereka budidayakan.
PT Bali Barramundi memulai usahanya sejak 2012 dengan empat keramba. Namun, dalam enam tahun mereka sudah berkembang menjadi 29 keramba, dengan 18 keramba perawatan (nursery) dan 11 keramba untuk pembesaran (grow up). Mereka juga memiliki tempat pembenihan (hatchery) tak jauh dari lokasi tersebut.
Mereka memasok ikan kakap dan kerapu ke pasar domestik, seperti restoran dan hotel di Bali, maupun ekspor terutama ke Jepang, Australia, dan Amerika Serikat. Proporsinya kurang lebih sama: masing-masing 50 persen.
Tak semata bisnis, selama setahun terakhir, perusahaan itu juga mulai memperhatikan aspek lain yaitu sosial dan lingkungan. Perubahan yang mereka lakukan, misalnya, dengan membuat tempat pengelolaan sisa ikan rucah di pantai. “Sebelumnya, kami membuang sisa ikan rucah begitu saja ke laut karena sebenarnya memang tidak berbahaya juga untuk lingkungan laut,” kata Dharma Manggala, Manajer PT Bali Barramundi.
Ikan rucah adalah ikan jenis kecil-kecil yang biasanya jadi makan ikan yang dibudidayakan. Dari sebelumnya dibuang begitu saja ke laut, kini sisa ikan rucah itu dikelola ke semacam tangki pembuangan (septic tank) agar tidak langsung ke laut. “Karena standarnya memang mengatur demikian,” Dharma menambahkan.
Standar FAO
Standar yang dimaksud Dharma merupakan standar sesuai prinsip Seafood Savers, landasan antar-pelaku usaha (business-to-business) perikanan agar berkelanjutan. Acuan Seafood Savers adalah pada standar Kode Perilaku Perikanan yang Bertanggungjawab (CCRC) dari Badan PBB untuk Pertanian dan pangan (FAO) 1995 yang diturunkan menjadi dua sertifikasi ekolabel. Marine Stewardship Council (MSC) untuk perikanan tangkap dan Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk perikanan budi daya.
WWF Indonesia menginisiasi program Seafood Savers sejak sembilan tahun lalu. Organisasi lingkungan ini bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan perikanan tangkap maupun budi daya agar mereka menerapkan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan sesuai standar FAO tadi. WWF Indonesia mendampingi agar mereka bisa mendapatkan sertifikat ASC maupun MSC.
Menurut Imam Musthofa, Pemimpin Program Bentang Sunda dan Perikanan WWF Indonesia, pada dasarnya standar MSC dan ASC itu menekankan pada pentingnya bisnis perikanan memerhatikan aspek lingkungan dan sosial. Untuk standar MSC, misalnya, ikan yang ditangkap haruslah memperhatikan ketercukupan di area penangkapan. “Ikan yang masih kecil harus dibiarkan hidup,” jelasnya.
Contoh lain, lanjutnya, cara penangkapan tidak boleh berdampak buruk pada ekosistem, misalnya terumbu karang dan padang lamun. “Selain itu, harus ada tata kelola yang baik (good governance) dalam bisnis mereka, baik itu lewat masyarakat, pemerintah, ataupun komunitas,” ujar Imam.
Saat ini ada 17 perusahaan perikanan di Indonesia menjadi anggota Seafood Savers, terdiri dari sembilan perusahaan perikanan tangkap, enam perikanan budi daya dan dua pembeli (grosir dan ritel).
Pada 2017 – 2018, dua anggota Seafood Savers dari perikanan budi daya berhasil mendapatkan sertifikasi ekolabel perikanan berkelanjutan ASC. Mereka adalah tambak windu binaan PT Mustika Minanusa Aurora seluas 115 hektar di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara dan 18 tambak udang vaname seluas 9 hektar binaan PT Tiwandi Sempana di Probolinggo, Jawa Timur.
Bagi perusahaan yang bergabung, program Seafood Savers membantu mereka untuk lebih mematuhi standar yang telah ditentukan. Begitu pula PT Bali Barramundi yang baru bergabung sejak tahun lalu.
Menurut Dharma, mereka pun segera melakukan beberapa perbaikan. Selain lebih memerhatikan kesehatan ikan dan pengelolaan sisa ikan runcah untuk pakan, mereka kini juga membuat toilet terapung sebagaimana disyaratkan. “Biayanya lumayan, sampai Rp200-an juta, karena terbuat dari fiber agar bisa mengapung,” kata Dharma.
Dari sisi sosial, PT Bali Barramundi kini juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di desa tempat mereka berada. Mereka membuat balai untuk kelompok nelayan, memperbaiki jalan desa, bahkan menyumbang untuk masjid di desa dengan jumlah penduduk muslim cukup banyak itu.
Menurut Dharma, kesediaan perusahaannya terlibat dalam program Seafood Savers pada awalnya memang karena permintaan konsumen. Namun, seiring waktu, dia mengaku makin menyadari bahwa bisnis memang seharusnya tak semata mencari untung tetapi juga memperhatikan lingkungan dan sosial.
“Kalau laut tercemar, kita juga yang salah dan rugi karena ikan bisa mati. Laut ini bukan warisan nenek moyang yang bisa kita apakan saja, tetapi alam yang harus kita wariskan pada anak cucu kita nanti,” katanya.

Kamis, 30 Agustus 2018

Begini Menelusuri Ikan Hasil Budidaya di Meja Makanmu

Kalau tidak makan ikan, saya tenggelamkan. Kalimat ini menjadi sihir Menteri Susi Pudjiastuti. Tapi, sebaiknya tak sekadar makan, juga perlu mengetahui sumber ikan yang dimakan, bagaimana sampai ke warung atau meja makan. Apakah hasil tangkapan atau dibudidayakan.
Jika dibudidayakan, apakah tidak merusak ekosistem sekitarnya? Apakah membuat sumber cemaran baru di danau, sungai, dan sumber air lainnya?

Tambak-tambak di pinggir danau Toba dan Batur terlihat indah dari kejauhan. Aktivitas peternak ikan juga menenangkan, mereka mengayuh sampan di danau indah. Ikan-ikan dalam keramba ini jika dipanen pasti enak dan gurih sekali. Digoreng atau dipepes dengan bumbu yang melimpah. Namun, ikan-ikan gemuk hasil budidaya di tambak danau atau pinggir-pinggir jalan ini punya cerita di baliknya.
Nur Ahyani, Responsible Aquaculture Programme WWF Indonesia di Denpasar, Bali, membagi pengetahuannya terkait perikanan budidaya. Apa bedanya dengan perikanan tangkap di alam? Ia menyimpulkan, perikanan budidaya ada campur tangan manusia, membesarkan sumber pangan, tujuannya lebih ke bisnis.
Jadi bisa diprediksi kapan ditangkap, dan ukurannya. Sementara perikanan tangkap lebih ke berburu, banyak unsur ketidakpastian karena di laut lepas.
Prediksi perikanan global (Sofia, 2016) oleh FAO, kontribusi perikanan tangkap lebih besar dibanding budidaya. Dari 167,2 juta ton hampir 90% untuk konsumsi manusia. Namun produksi perikanan tangkap stagnan sejak 1990, sebaliknya aquakultur meningkat tiap tahun.
Khususnya di Asia, perikanan budidaya terus meningkat. Akuakultur produksinya jauh melampaui perikanan tangkap. Sejumlah top produser budidaya adalah Cina dan Indonesia.
Perikanan budidaya menyumbang pangan dalam jumlah besar tapi ada perubahan muncul. Dampak ekosistem misal ada konversi habitat mangrove menjadi tambak-tambak. Untuk mengubah salinitas air petambak perlu campur air asin dan tawar air tanah. Jika air asin meresap, salinitas meningkat.
Dampak lainnya yang perlu dicegah adalah pencemaran air dari bahan organik seperti urea, fosfor dari sisa pakan. “Kalau pakan buatan atau pelet menggunakan sumber tepung dan minyak ikan biasanya dari hasil bycatch (tangkapan sampingan),” ingat Nur. Ini juga berpengaruh pada perikanan tangkap di lautan. Misalnya udang karnivora perlu protein, makin tinggi kebutuhan pakan berpengaruh pada perikanan tangkap.
Dampak buruk lainnya yang kemungkinan muncul adalah introduksi atau invasi spesies asing. Tiap perairan punya spesies asli, jika didatangkan benih dari luar negeri bisa jadi kemungkinan ini terjadi. Misal udang windu diganti vaname karena serangan penyakit. “Jika terbebas ke laut, dia lebih tahan dan berkembang lebih cepat, sementara spesies asli bisa punah,” cerita Nur. Pengambilan benih dari alam juga ada sisi baik dan buruknya.
Dampak lain yang perlu diwaspadai adalah konflik pemanfaatan ruang, terutama jika dilakukan di sumber air untuk publik. Misalnya di danau, kalau banyak tertutup keramba, nelayan sulit lewat dan aktivitas warga lainnya terganggu.
Namun perikanan budidaya tentu banyak memberi manfaat. Misal secara sosial ekonomi pembukaan lapangan kerja.
Sebagai edukasi publik, pendidikan ketelusuran sumber protein penting ini disajikan dalam Seafood Savers untuk industri dan Seafood Adviser bagi penikmat seafood yang ingin lebih bertanggungjawab. Selain itu ada Jaring Nusantara untuk jejaring NGO dan komunitas.
Bayu, seorang mahasiswa dalam diskusi soal budidaya ini gelisah, jika ada keramba jaring apung (KJA) dekat terumbu-terumbu karang di pesisir Pemuteran, Buleleng apakah tidak merusak? Nur menjawab lugas, Idealnya KJA harus sesuai zona pemanfaatan ruang dan tak merusak ekosistem. Misalnya ada kebijakan melakukan pemulihan mangrove 50% setelah 1999.

Budidaya KJA
Sebuah laporan penelitian dari Universitas Udayana pada akhir 2017 menyebutkan Danau Batur merupakan salah satu dari 15 danau prioritas nasional di Indonesia bersama beberapa danau lainnya yaitu Danau Toba, Maninjau, Danau Singkarak, Kerinci, Tondano, Limboto, Poso, Tempe, Matano, Semayang Melintang Jempang, Sentarum, Sentani, Rawadanau, dan Rawapening (KLH, 2011). Hal ini ditetapkan pada saat Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) I pada 13 Agustus 2009 di Denpasar.
Kontaminasi bahan pencemar yang berasal dari aktivitas, pertanian, perikanan, maupun kegiatan rumah tangga disebutkan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang signifikan pada danau. Terdapat 7 jenis ikan di Danau Batur yakni Mujair, Nila, Louhan, Gabus, Wader, Lele, dan Tawes. Namun berdasar survei hasil tangkapan pada 22 nelayan di Danau Batur hanya ditemukan 4 jenis ikan hasil tangkapan, yakni Nila, Nila Kuning, Mujair, dan Tawes.
Sejumlah rekomendasi peneliti diketuai Prof I Wayan Arthana menyebutkan untuk budidaya yang lebih aman, kedalaman jaring keramba jaring apung (KJA) sebaiknya dibuat lebih pendek dari 5 meter yaitu 3,5 meter untuk menghindarkan ikan kekurangan oksigen. Selain itu dilengkapi jaring halus bagian bawahnya untuk menampung sisa pakan, feses ikan maupun ikan mati sehingga bisa meminimalisir tambahan materi organik pada dasar perairan danau.
Selanjutnya untuk mengurangi polutan, pada masing-masing unit KJA dirancang dengan tanaman menggunakan sistem akuaponik. Tanaman yang ditumbuhkan bisa berupa jenis sayuran ataupun tanaman air lainnya yang berbunga. Tanaman diharapkan memanfaatkan nitrat sebagai nutrien, sehingga keadaan tanpa oksigen bisa diperkecil dan pertumbuhan ikan lebih maksimal.
Setiap pemilik KJA diharap melakukan pengukuran rutin suhu permukaan air di KJA terutama pada bulan Februari, Juni, Juli, dan Agustus. Untuk mendapatkan peringatan dini kemungkinan terjadinya pembalikan masa air danau (overturn) terutama ketika suhu permukaan danau sudah mendekati suhu 23 derajat celcius.
Selain itu perlu pengaturan jadwal penebaran ikan antar kelompok untuk menghindari panen bersama dan kebutuhan benih dalam jumlah banyak dan waktu yang bersamaan. Jenis-jenis spesies ikan yang populasinya sudah sedikit tetapi sangat berperan menjaga ekosistem Danau Batur yaitu jenis wader (Rasbora sp.) dan gabus (Channa sp.) sebaiknya tidak ditangkap karena jumlahnya sedikit dan sulit restocking.

Teknologi Bioflok Ternyata Menguntungkan Budidaya Ikan Nila

Pemerintah terus meningkatkan ketahanan pangan dari sektor perikanan. Terkini, Pemerintah mengembangkan budidaya ikan nila dengan teknologi sistem bioflok. Teknologi tersebut telah sukses diterapkan untuk budidaya ikan lele yang dimassalkan di berbagai pesantren di Indonesia.
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi Supriyadi mengatakan, ikan nila dipilih untuk sebagai komoditas lanjutan sistem bioflok, karena nila termasuk kelompok herbivora. Sehingga proses pembesarannya lebih cepat.
Selain itu, ikan nila juga mampu mencerna flok yang tersusun atas berbagai mikroorganisme, yaitu bakteri, algae, zooplankton, fitoplankton, dan bahan organik sebagai bagian sumber pakannya. Itu menguntungkan dalam budidaya di kolam.

Budidaya ikan nila sistem bioflok memiliki sejumlah keunggulan, seperti meningkatkan kelangsungan hidup (survival rate/SR) hingga lebih dari 90 persen dan tanpa pergantian air. Air bekas budidaya juga tidak berbau, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar dan dapat disinergikan dengan budidaya tanaman misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan.
“Hal ini dikarenakan adanya mikroorganisme yang mampu mengurai limbah budidaya menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman,” ungkap Supriyadi pekan ini di Sukabumi, Jawa Barat.
Keunggulan lainnya adalah Feed Conversion Ratio (FCR) atau perbandingan antara berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode budidaya mencapai 1,03. Artinya 1,03 kg pakan menghasilkan 1 kilogram ikan Nila.
“(Itu lebih efisien) jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa FCR-nya mencapai angka 1,5,” tuturnya.
Masih ada empat keunggulan lainnya, yaitu padat tebar ikan mencapai volume 100-150 ekor/m3 atau 10-15 kali lipat dibanding dengan pemeliharaan di kolam biasa yang hanya 10 ekor/m3.
Sistem bioflok juga mampu meningkatkan produktivitas hingga 25-30 kg/m3 atau 12-15 kali lipat jika dibandingkan dengan di kolam biasa yaitu sebanyak 2 kg/m3. Keempat, waktu pemeliharaan lebih singkat, dengan benih awal yang ditebar berukuran 8-10 cm, selama 3 bulan pemeliharaan.
“Benih tersebut mampu tumbuh hingga ukuran 250-300 gram per ekor, sedangkan untuk mencapai ukuran yang sama di kolam biasa membutuhkan waktu 4-6 bulan,” tambahnya.
Terakhir, Supriyadi menyebutkan, ikan nila sistem bioflok lebih gemuk karena hasil pencernaan makanan yang optimal. Dan komposisi daging atau karkasnya lebih banyak, serta kandungan air dalam dagingnya lebih sedikit. Secara bisnis, budidaya ikan nila juga sangat menguntungkan karena harganya cukup baik dan stabil di pasaran yaitu Rp22 ribu/kg.
Supriyadi mengingatkan, dalam pemeliharaan ikan Nila sistem bioflok, yang perlu dijaga adalah kandungan oksigen yang larut di dalam air. Hal itu, karena oksigen disamping diperlukan ikan untuk pertumbuhan juga diperlukan oleh bakteri untuk menguraikan kotoran atau sisa metabolisme di dalam air. Pada ikan nila, kadar oksigen terlarut (DO) di dalam media sebaiknya dipertahankan minimal 3 mg/L.
“Saya mengingatkan agar teknologi bioflok di masyarakat bisa dikawal oleh UPT-UPT (unit pelaksana teknis) dan para penyuluh agar tidak keliru menerapkannya, juga harus diterapkan secara benar sesuai kaidah-kaidah cara budidaya ikan yang baik seperti benihnya harus unggul, pakannya harus sesuai standar SNI, parameter kualitas air seperti oksigen juga harus tercukupi,” pungkasnya.
Ramah Lingkungan
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, pengembangan teknologi sistem bioflok untuk ikan nila dilakukan melalui kerja sama dengan peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Teknologi tersebut dipilih, karena diakui sebagai teknologi yang ramah lingkungan.
Keberhasilan teknologi sistem bioflok untuk ikan nila, menunjukkan Pemerintah terus berinovasi mencari teknologi yang efektif dan efisien, dalam penggunaan air, lahan dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Walau sudah menemukan teknologi tepat guna untuk ikan nila, Slamet menyebut Pemerintah tak akan berhenti untuk melakukan inovasi. Terlebih, fenomena perubahan iklim, penurunan kualitas lingkungan global, dan pertambahan penduduk terus menjadi tantangan bersama yang tidak bisa dihindari.
“Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan sehingga mau tidak mau harus diantisipasi, karena secara langsung akan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan bagi masyarakat,” tuturnya.
Oleh karena itu, Slamet meminta semua pelaku perikanan budidaya terus mengedepankan penggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dalam pengelolaan usaha budidaya ikan yang berkelanjutan.
Penerapan budidaya nila sistam bioflok ini didorong dikembangkan di daerah-daerah terpencil, perbatasan dan potensial, guna membangun ketahanan pangan. Pengembangan juga akan dilaksanakan di pesantren-pesantren dan kelompok masyarakat lainnya.
“Teknologi bioflok ini akan terus didorong agar diterapkan terhadap berbagai komoditas dan berbagai daerah, sehingga menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Apalagi, saat ini produk Nila di beberapa daerah menjadi sumber gizi yang digemari, bahkan seperti di Papua dan Lombok pada umumnya,” jelanya.
Seiring dengan penertiban keramba jaring apung (KJA) di perairan umum seperti danau, waduk dan lainnya, dia optimis bahwa teknologi ini dapat menjadi solusi bagi pembudidaya ikan di sana yang tidak bisa lagi melaksanakan produksi. Dengan bioflok, para pembudidaya diharapkan bisa pindah ke daratan dan melakukan budidaya ikan nila seperti di danau atau waduk.
Untuk Pesantren
Untuk memasyarakatkan teknologi bioflok, Pemerintah Indonesia menjadikan pesantren di berbagai daerah sebagai lokasi pengembangan untuk budidaya perikanan tersebut. Dengan cara tersebut, ke depan diharapkan produksi ikan, khususnya lele bisa meningkat secara nasional dan akan membantu suplai bahan pangan ikan nasional.
“Kita punya tanggung jawab moral untuk membangun pesantren, bukan hanya secara ekonomi saja, namun juga bagaimana turut serta dalam meningkatkan kualitas SDM yang ada. Dengan mulai memperkenalkan ikan sebagai sumber pangan bagi mereka, kita ingin generasi muda di lingkungan pondok pesantren lebih cerdas dengan mulai membiasakan mengkonsumsi ikan,” ungkap dia.
Untuk itu, KKP pada tahun ini menyalurkan bantuan kepada 7 pesantren, 12 kelompok pembudidaya dan 2 lembaga pendidikan di 16 provinsi yang mencakup wilayah perbatasan RI seperti Belu (Nusa Tenggara Timur), Sarmi dan Wamena (Papua), Nunukan (Kalimantan Utara).
Khusus untuk ikan lele di pesantren, Slamet memperkirakan akan ada 78.500 santri yang terlibat, yang diharapkan menggerakan perekonomian di pondok pesantren dan yayasan.
Dukungan ini diharapkan mampu memproduksi ikan nila sebanyak 370,8 ton/siklus atau 1.452 ton, dengan keekonomian sebesar Rp21,78 miliar/tahun, dengan prediksi tenaga kerja mencapai 1.030 orang.

Budidaya Ikan Nila Salin Terapkan Prinsip Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia terus bekerja keras menghalau semua kesimpulan yang menyebutkan kalau aktivitas perikanan budidaya menjadi penyebab utama kerusakan ekosistem di kawasan pesisir. Untuk menghilangkan pandangan buruk yang keluar dari para pakar perikanan dan kelautan itu, Pemerintah gencar melaksanakan konsep perikanan berkelanjutan untuk sektor perikanan budidaya.
Salah satu daerah yang mendapat amanah untuk menerapkan prinsip berkelanjutan, adalah Kabupaten Pati di Jawa Tengah. Pati, oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) didorong menjadi kabupaten yang menerapkan prinsip berkelanjutan pada sektor perikanan budidaya. untuk mempercepat proses itu, kawasan seluas 600 hektare dijadikan percontohan di daerah tersebut.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mengatakan, kawasan yang dijadikan percontohan berada di Kecamatan Tayu dan total keseluruhan luasnya mencapai 835 ha. Di atas lahan yang dijadikan percontohan itu, saat ini pembudidaya lokal biasa melaksanakan budidaya ikan nila salin dan sudah berlangsung sejak 2014.
Slamet menjelaskan, dengan penetapan kawasan tersebut menjadi percontohan budidaya berkelanjutan, diharapkan ke depannya akan terwujud pola pengelolaan sistem produksi dan usaha yang terintegrasi dari hulu ke hilir untuk ikan nila salin. Dengan cara seperti itu, prinsip berkelanjutan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari cara kerja budidaya di kawasan tersebut.
“Pada akhirnya, diharapkan itu mampu pergerakan ekonomi masyarakat,” ungkapnya di Jakarta, pekan lalu.
DIjelaskan dia, pemilihan Kabupaten Pati sebagai kawasan nila salin berkelanjutan nasional, dilakukan karena Pati merupakan sentral terbesar budidaya nila salin dan baru yang pertama ada di Indonesia. Klasterisasi berbasis komoditas unggulan seperti nila salin, dinilai akan lebih efektif dalam mempercepat pergerakan ekonomi lokal dan daerah.
“Apalagi Kawasan ini pada awalnya tumbuh atas inisiatif swadaya dari masyarakat secara mandiri. Nanti kami akan buat keputusan untuk menetapkan kawasan ini sebagai sentral budidaya nila salin berkelanjutan nasional dan bisa jadi rujukan nasional,” tuturnya.
Slamet menambahkan, sebagai produsen ikan nila dunia, Indonesia harus terus berbenah. Dari sisi daya saing, komoditas ikan nila memang diakui sudah memiliki daya saing lebih tinggi dibandingkan dengan udang atau bahkan rumput laut. Tetapi, agar potensi besar itu bisa dimanfaatkan dengan baik, butuh perencanaan sangat matang dalam pelaksanan produksinya.
Untuk itu, Slamet menilai, pencanangan klasterisasi kawasan ikan nila dengan prinsip berkelanjutan di Pati, menjadi langkah yang sangat strategis. Mengingat, dari sisi teknis dan ekonomis, nila salin memang diketahui sudah memiliki sejumlah keunggulan.
“Sebagai gambaran, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat tahun 2017 ekspor ikan nila Indonesia mencapai 9.179 ton dengan nilai mencapai 57,43 juta dolar Amerika Serikat,” sebutnya.
Kemudian, dari aspek bisnis, Slamet melanjutkan, ikan nila salin juga terbuka lebar untuk dipasarkan di lingkup domestik ataupun dijadikan komoditas ekspor ke berbagai negara tujuan. Peluang itu sangat terbuka, karena tekstur daging nila salin disukai lidah masyarakat dalam dan luar negeri. Fakta itu kemudian ditegaskan oleh badan pangan PBB (FAO) yang menyebutkan nila salin sebagai chicken of the water, karena punya keunggulan yang tak dimiliki ikan lain.
“Antara lain, warna daging yang putih, sehingga sangat disukai dikalangan masyarakat dunia. Kemudian, dapat dengan mudah dibudidayakan secara massal oleh masyarakat, dan sebagai komoditas yang potensial untuk menopang ketahanan pangan nasional,” sambungnya.
Selain tekstur yang berbeda dari ikan lain, Slamet menambahkan, ikan nila salin juga memiliki keunggulan, yaitu sisiknya mampu mengeluarkan lendir yang mengandung bakteri dan sangat bermanfaat bagi sterilisasi air di lingkungan budidaya. Keunggulan itu, menjadi alasan kuat untuk menjadikan nila salin sebagai percontohan untuk penerapan prinsip berkelanjutan.
Untuk meningkatkan nilai tambah dan menjangkau pasar ekspor, Slamet mengatakan, ke depan ukuran panen akan diatur minimal 500 gram per ekor. Tujuan pengaturan itu, tiada lain agar produksi ikan nila salin bisa dijual dalam bentuk fillet. Agar lebih mudah lagi, pihaknya akan menggandeng perusahaan pengolah dan eksportir untuk masuk ke Pati.
Untuk penataan tambak, Slamet menyebutkan, pihaknya telah memberikan dukungan alat berat eskavator, dan juga rencana program irigasi tambak partisipatif (PITAP) berbasis padat karya di kawasan tersebut. Dengan cara seperti itu, masalah pendangkalan saluran, penataan tata letak tambak, dan penataan irigasi, diharapkan bisa teratasi.
“Kita juga akan memfasilitasi akses benih unggul dan pendampingan teknologinya melalui BBPBAP (Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau) Jepara dan dari Balitbang yang mengembangkan ikan nila salin ini,” tandasnya.
Ancaman Produksi
Akan tetapi, lepas dari segala potensi yang ada, Slamet mengingatkan bahwa ada ancaman serius yang dihadapi perikanan budidaya di manapun berada. Permasalahan itu, berkaitan dengan virus dan atau kondisi alam seperti yang terjadi di Danau Toba (Sumatera Utara), Waduk Jatiluhur dan Cirata (Jawa Barat).
Dengan permasalahan yang ada sekarang, Slamet menyebut, harus ada rasionalisasi kapasitas keramba jaring apung (KJA) seperti di lokasi-lokasi yang disebutkan di atas. Kondisi itu, memaksa akan terjadi penurunan produksi secara nasional untuk ikan nila.
“Ke depan, untuk memenuhi kebutuhan produksi, kita akan bergantung pada pengembangan budidaya seperti di tambak yang ada di Kabupaten Pati,” ucapnya.
Ketua Kelompok Mina Barokah Safi’i yang ikut terlibat dalam pengembangan ikan nila salin berkelanjutan mengakui, pelaksanaan budidaya ikan tersebut selama ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan komoditas yang lain. Dia merasa, keunggulan budidaya nila salin adalah terletak pada waktu pemeliharaan yang lebih singkat dan harganya yang lebih baik.
Dengan padat tebar 30 ribu ekor/ha, Safi’i menjelaskan, rata-rata kelompoknya bisa menghasilkan produksi hingga mencapai 4 ton/ha. Jika harga rata rata saat ini Rp24.000/kilogram, dia menyebut, maka keuntungan yang dapat ada di kisaran Rp15 juta hingga Rp16 juta per siklus atau setiap 3,5 bulan sekali.
Mengingat potensi yang besar, Safi’i sangat berharap di masa mendatang ada pasokan benih nila salin secara mandiri di Pati. Harapan itu diucapkan, karena kelompoknya tidak ingin terus melakukan adaptasi salinitas setiap kali benih baru datang. Dengan melakukan adaptasi secara sendiri dari benih yang dibeli, biasanya survival rate (SR) atau harapan hidup hanya mencapai 30 persen saja.
“Tetapi, jika benih didatangkan langsung dari BBPBAP Jepara, harapan hidupnya bisa mencapai 90 persen dari semua benih yang dikembangkan,” tuturnya.

Jumat, 24 Agustus 2018

metode Resirculating Aquaculture System pada Budidaya Lele

Budidaya ikan lele dengan metode Resirculating Aquaculture System mampu mengkan konversi pakan dan menghasilkan lele yang lebih higienis


Kota Bekasi menjadi destinasi liputan tim TROBOS Aqua kali ini. Tepatnya Kecamatan Jatiasih, di belakang komplek Sakura Regency terdapat lokasi budidaya ikan lele dengan metode Resirculating Aquaculture System (RAS) atau budidaya sistem resirkulasi milik Muhammad Iqbal.

Menurut Iqbal, penerapan budidaya lele dengan RAS ini bertujuan agar masyarakat berbagai kalangan lebih menyukai lele untuk dikonsumsi bahkan menjadi salah satu protein pengganti dari daging. “Karena masih ada image-nya (pencitraannya) bahwa lele dipelihara dari kolam yang jorok dan bau,” ungkap Iqbal saat di temui di lokasi budidaya lelenya.

Hanya menggunakan lahan budidaya sekitar 70 meter persegi (m2), Iqbal mampu menghasilkan 2,5 ton lele dengan metode RAS ini sekali siklus pembesaran. Lanjutnya, Mengingat Kota bekasi merupakan salah satu kota padat penududuk budidaya dengan metode RAS ini hemat air dan mungkin hampir bisa dikatakan zero waste (tanpa limbah). Namun dalam perjalanan proses budidaya tetap harus ada maintenance (pemeliharaan) yang harus dilakukan sehingga proses budidaya sesuai yang diharapkan.

Lele yang dihasilkan dengan metode RAS ini berbeda dengan lele pada umumnya, kata Iqbal. Hal ini terlihat dari tekstur dan uji lab dari daging lelenya. Secara warna daging lele yang dibudidayakan dengan metode RAS akan berwarna putih dan empedu ikan terlihat bening. “Menurut konsumen lele yang biasa membeli lele di sini, rasanya lebih gurih dan tekstur dagingnya lebih padat,” ujar Iqbal yang juga memiliki rumah makan khusus olahan lele modern.


Pengelolaan Air
Seperti yang diungkapkan sebelumnya, hampir bisa dikatakan zero waste bila menggunakan metode ini, karena memang sedikit sekali air yang dibuang dalam metode ini. Lebih detail Iqbal menjelaskan, proses pengelolaan dalam metode ini dari  10 hari setelah awal penebaran ikan, air dibuang 1 %, dengan komposisi yang dibuang dari filter mekanis 0.5 % filter biologis 0.5 %. Masuk bulan kedua ikan sudah lebih besar dan porsi pakan meningkat. Tetap dilakukan 1 minggu sekali atau 5 hari sekali pergeseran atau pembuangan air tadi.

Sebenarnya situasional dalam melakukan maintenance RAS, kata Iqal. Lanjutnya, jika terjadi penumpukan sedimentasi (hasil kotoran ikan) dengan melambatnya air yang mengalir ke filter biologis dan filter mekanis baru dilakukan pembuangan atau pergeseran sedimen yang berada di vortex (tabung pemisah kotoran dengan air dengan pusaran arus air) biologis ke tabung mineralisasi (sedimantasi yang paling kental hasil pemisahan dari vortex) atau silahkan dibuang. Namun, di sini jarang dibuang endapan tersebut.

Dalam filter biologis sedimentasi bisa dibuang atau digeser ke tabung mineralisasi. Dalam tabung  mineralisasi itu  diberikan aerasi minimal 24 jam.  Setelah 24 jam atau lebih juga lebih bagus, saluran  tabung mineralisasi yang menuju ke kolam budidaya bisa dibuka lagi saluranya terjadi bejana berhubungan dan bergeser lagi ke sump tank yang berisi pompa akan melanjutkan distribusi ke kolam-kolam budidaya.

“Sebenarnya metode ini mengadopsi biofloc namun pembuatan flock nya di luar sistem kolam. Dimana erjadi pada proses mineralisasi yang diberikan probiotik tertentu sehingga amoniak dan kotoran ikan diolah menjadi flock lalu distribusikan ke kolam pemeliharaan lele dan ini merupakan zero waste,” terang Iqbal.


Probiotik
Dalam metode ini, semua pasti menggunakan bantuan probiotik, ungkap Iqbal. Lanjutnya, probotik untuk di media persiapan air sebelum tebar diberikan, dan pada saat maintanenace air di dalam tabung mineralisasi, dosis yang diberikan per meter kubik (m3) sebanyak 10 ml. “Kembali lagi penggunaan probiotik secara situasional, karna banyak faktor bisa terjadi di lapangan seperti perubahan cuaca mendadak, penyakit, dan lain-lain,” ujarnya.

Mudah Mengukur Kualitas Nitrit Air

Selain relatif lebih murah, kit nitrit juga cukup praktis digunakan oleh pembudidaya untuk mengamati kualitas airnya secara rutin


Kualitas air merupakan satu dari tiga kunci sukses budidaya ikan dan udang setelah nutrisi dan kualitas genetik. Semakin bagus kualitas air, semakin besar peluang kesuksesan budidaya. Namun, ada parameter-parameter yang dapat mengganggu kualitas perairan dan membahayakan kelangsungan komoditas yang dibudidayakan. "Nitrit adalah salah satunya, yang merupakan senyawa beracun," jelas. Silvian Rusminar, Analisis Kualitas Air dari Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan Serang-Banten.

Nitrit merupakan senyawa kimia dengan rumus NO2. “Jadi nitrogen yang mengikat oksigen,” sambung analis yang akrab disapa Silvi ini. Senyawa beracun ini merupakan hasil penguraian dari amonia. Jika konsentrasi di dalam air cukup tinggi, nitrit akan menggeser oksigen dalam darah ikan, sehingga ikan atau udang menjadi kekurangan oksigen. Efek fatalnya bisa menyebabkan kematian pada ikan peliharaan.

Sehingga, imbuh Silvi, penting bagi pembudidaya untuk selalu menjaga kualitas airnya dengan pengukuran yang rutin dan penanganan yang tepat. Sayangnya, belum semua pembudidaya melakukan hal itu. Penyebabnya, selain karena  kerumitan pengukuran, juga bisa disebabkan tidak adanya alokasi dana untuk hal tersebut.


Kit Nitrit 
Loka Kesehatan Ikan Serang yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, mencoba membuat suatu kit (seperangkat alat) untuk mengukur kualitas air dengan lebih praktis. Kit yang saat ini sudah berhasil dikembangkan dibuat untuk pengukuran nitrit. “Kami membuat kit untuk nitrit, karena parameter ini yang paling penting. Yakni bisa menjadi penentu kondisi kesehatan ikan,” jelas Silvi.

Sebetulnya, urai Silvi, pengukuran nitrit yang lebih lengkap secara kuantitaif dan kualitatif dapat dilakukan di laboratorium dengan menggunakan alat dan bahan yang lengkap. Silvi mencontohkan, Spektrofotometer juga bisa mengukur nitrit secara kuantitatif. Alat ini juga sebetulnya cukup praktis dan akurat digunakan di lapangan. "Meski dapat mengukur nitrit secara akurat, alat impor ini relatif lebih mahal jika digunakan oleh pembudidaya skala kecil. Padahal permasalahan  kualitas air tidak mengenal skala budidaya," beber Silvi.

Untuk memudahkan pengukuran sekaligus mengefisienkan biaya pembudidaya, Loka Kesehatan Ikan Serang membuat alat yang lebih praktis berupa kit. Kit ini terdiri dari 2 jenis reagen bervolume 15 milimeter (ml), 2 botol sampel, kertas parameter, siring, dan kertas petunjuk penggunaan. Menurut Silvi, dengan volume tersebut, kit ini bisa digunakan hingga 140 kali pengukuran. “Satu botol ini bisa untuk 140 kali tes,” terang Silvi saat dijumpai di sela-sela pameran perikanan Indofisheries di Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Lebih rinci Silvi menjelaskan, kit tersebut dihasilkan dari riset yang cukup panjang oleh tim Loka. Bahan utama pada penelitian ini adalah reagen yang mampu mengukur nitrit secara kualitatif. Pada kit tersebut terdapat 2 reagen yang mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI), yang dinamai dengan reagen A dan reagen B. “Di SNI untuk parameter nitrit kita menambahkan sulfanilamide. Kemudian yang kedua, naftiletilendiamin,” jelas Silvi.

Bahan–bahan tersebut akan bereaksi terhadap air yang mengandung nitrit. Reaksi tersebut berupa perubahan warna. “Kalo seandainya air tersebut mengandung nitrit, akan menampakan wana pink (merah muda),” kata Silvi. Kekentalan warna pink menjadi parameter konsentrasi nitrit yang diukur. Semakin kental, semakin tinggi konsentrasinya dan semakin menjadi warning  bagi pembudidaya untuk melakukan treatment (perlakuan) terhadap media budidaya.

Menurut Silvi, kit ini hanya bisa mengukur secara kualitatif berdasarkan warna. Tetapi hal tersebut lebih dari cukup untuk mengetahui rentang konsentrasi nitrit. “Jadi kita menghasilkan datanya itu melalui warna,” terangnya. Setelah di-launching dengan pemberian gratis kepada para pembudidaya, kit ini, kata Silvi bisa didapatkan langsung di Loka Serang. Bisa langsung datang atau dengan memesannya melalui email dan telpon. Kit ini dibanderol dengan harga Rp 150 ribu per dusnya.