Kalau tidak makan ikan, saya tenggelamkan. Kalimat ini menjadi sihir Menteri Susi Pudjiastuti. Tapi, sebaiknya tak sekadar makan, juga perlu mengetahui sumber ikan yang dimakan, bagaimana sampai ke warung atau meja makan. Apakah hasil tangkapan atau dibudidayakan.
Jika dibudidayakan, apakah tidak merusak ekosistem sekitarnya? Apakah membuat sumber cemaran baru di danau, sungai, dan sumber air lainnya?
Tambak-tambak di pinggir danau Toba dan Batur terlihat indah dari kejauhan. Aktivitas peternak ikan juga menenangkan, mereka mengayuh sampan di danau indah. Ikan-ikan dalam keramba ini jika dipanen pasti enak dan gurih sekali. Digoreng atau dipepes dengan bumbu yang melimpah. Namun, ikan-ikan gemuk hasil budidaya di tambak danau atau pinggir-pinggir jalan ini punya cerita di baliknya.
Nur Ahyani, Responsible Aquaculture Programme WWF Indonesia di Denpasar, Bali, membagi pengetahuannya terkait perikanan budidaya. Apa bedanya dengan perikanan tangkap di alam? Ia menyimpulkan, perikanan budidaya ada campur tangan manusia, membesarkan sumber pangan, tujuannya lebih ke bisnis.
Jadi bisa diprediksi kapan ditangkap, dan ukurannya. Sementara perikanan tangkap lebih ke berburu, banyak unsur ketidakpastian karena di laut lepas.
Prediksi perikanan global (Sofia, 2016) oleh FAO, kontribusi perikanan tangkap lebih besar dibanding budidaya. Dari 167,2 juta ton hampir 90% untuk konsumsi manusia. Namun produksi perikanan tangkap stagnan sejak 1990, sebaliknya aquakultur meningkat tiap tahun.
Khususnya di Asia, perikanan budidaya terus meningkat. Akuakultur produksinya jauh melampaui perikanan tangkap. Sejumlah top produser budidaya adalah Cina dan Indonesia.
Perikanan budidaya menyumbang pangan dalam jumlah besar tapi ada perubahan muncul. Dampak ekosistem misal ada konversi habitat mangrove menjadi tambak-tambak. Untuk mengubah salinitas air petambak perlu campur air asin dan tawar air tanah. Jika air asin meresap, salinitas meningkat.
Dampak lainnya yang perlu dicegah adalah pencemaran air dari bahan organik seperti urea, fosfor dari sisa pakan. “Kalau pakan buatan atau pelet menggunakan sumber tepung dan minyak ikan biasanya dari hasil bycatch (tangkapan sampingan),” ingat Nur. Ini juga berpengaruh pada perikanan tangkap di lautan. Misalnya udang karnivora perlu protein, makin tinggi kebutuhan pakan berpengaruh pada perikanan tangkap.
Dampak buruk lainnya yang kemungkinan muncul adalah introduksi atau invasi spesies asing. Tiap perairan punya spesies asli, jika didatangkan benih dari luar negeri bisa jadi kemungkinan ini terjadi. Misal udang windu diganti vaname karena serangan penyakit. “Jika terbebas ke laut, dia lebih tahan dan berkembang lebih cepat, sementara spesies asli bisa punah,” cerita Nur. Pengambilan benih dari alam juga ada sisi baik dan buruknya.
Dampak lain yang perlu diwaspadai adalah konflik pemanfaatan ruang, terutama jika dilakukan di sumber air untuk publik. Misalnya di danau, kalau banyak tertutup keramba, nelayan sulit lewat dan aktivitas warga lainnya terganggu.
Namun perikanan budidaya tentu banyak memberi manfaat. Misal secara sosial ekonomi pembukaan lapangan kerja.
Sebagai edukasi publik, pendidikan ketelusuran sumber protein penting ini disajikan dalam Seafood Savers untuk industri dan Seafood Adviser bagi penikmat seafood yang ingin lebih bertanggungjawab. Selain itu ada Jaring Nusantara untuk jejaring NGO dan komunitas.
Bayu, seorang mahasiswa dalam diskusi soal budidaya ini gelisah, jika ada keramba jaring apung (KJA) dekat terumbu-terumbu karang di pesisir Pemuteran, Buleleng apakah tidak merusak? Nur menjawab lugas, Idealnya KJA harus sesuai zona pemanfaatan ruang dan tak merusak ekosistem. Misalnya ada kebijakan melakukan pemulihan mangrove 50% setelah 1999.
Budidaya KJA
Sebuah laporan penelitian dari Universitas Udayana pada akhir 2017 menyebutkan Danau Batur merupakan salah satu dari 15 danau prioritas nasional di Indonesia bersama beberapa danau lainnya yaitu Danau Toba, Maninjau, Danau Singkarak, Kerinci, Tondano, Limboto, Poso, Tempe, Matano, Semayang Melintang Jempang, Sentarum, Sentani, Rawadanau, dan Rawapening (KLH, 2011). Hal ini ditetapkan pada saat Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) I pada 13 Agustus 2009 di Denpasar.
Kontaminasi bahan pencemar yang berasal dari aktivitas, pertanian, perikanan, maupun kegiatan rumah tangga disebutkan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang signifikan pada danau. Terdapat 7 jenis ikan di Danau Batur yakni Mujair, Nila, Louhan, Gabus, Wader, Lele, dan Tawes. Namun berdasar survei hasil tangkapan pada 22 nelayan di Danau Batur hanya ditemukan 4 jenis ikan hasil tangkapan, yakni Nila, Nila Kuning, Mujair, dan Tawes.
Sejumlah rekomendasi peneliti diketuai Prof I Wayan Arthana menyebutkan untuk budidaya yang lebih aman, kedalaman jaring keramba jaring apung (KJA) sebaiknya dibuat lebih pendek dari 5 meter yaitu 3,5 meter untuk menghindarkan ikan kekurangan oksigen. Selain itu dilengkapi jaring halus bagian bawahnya untuk menampung sisa pakan, feses ikan maupun ikan mati sehingga bisa meminimalisir tambahan materi organik pada dasar perairan danau.
Selanjutnya untuk mengurangi polutan, pada masing-masing unit KJA dirancang dengan tanaman menggunakan sistem akuaponik. Tanaman yang ditumbuhkan bisa berupa jenis sayuran ataupun tanaman air lainnya yang berbunga. Tanaman diharapkan memanfaatkan nitrat sebagai nutrien, sehingga keadaan tanpa oksigen bisa diperkecil dan pertumbuhan ikan lebih maksimal.
Setiap pemilik KJA diharap melakukan pengukuran rutin suhu permukaan air di KJA terutama pada bulan Februari, Juni, Juli, dan Agustus. Untuk mendapatkan peringatan dini kemungkinan terjadinya pembalikan masa air danau (overturn) terutama ketika suhu permukaan danau sudah mendekati suhu 23 derajat celcius.
Selain itu perlu pengaturan jadwal penebaran ikan antar kelompok untuk menghindari panen bersama dan kebutuhan benih dalam jumlah banyak dan waktu yang bersamaan. Jenis-jenis spesies ikan yang populasinya sudah sedikit tetapi sangat berperan menjaga ekosistem Danau Batur yaitu jenis wader (Rasbora sp.) dan gabus (Channa sp.) sebaiknya tidak ditangkap karena jumlahnya sedikit dan sulit restocking.