Perlu percepatan penerapan teknologi pembenihan lele guna mendongkrak kualitas, bukan sekadar mengejar kuantitas
Kondisi suplai dan permintaan yang tidak berimbang terjadi dalam budidaya lele antara segmen pembenihan dan pembesaran. Seiring bertambahnya permintaan pasar akan komoditas ini maka sektor hulu dituntut untuk memproduksi benih lele secara besar-besaran.
Sahban I. Setioko merupakan salah satu pembudidaya lele segmen pembenihan di Bogor menyampaikan kondisi tersebut. “Daerah Sawangan, Parung, Bogor merupan salah satu sentra budidaya lele segmen pembesaran dalam skala besar, dan permintaan akan benih sangat tinggi. Terdapat beberapa pembudidaya berskala besar dan mereka kebutuhanya sekitar 11 juta ekor per bulan. Namun sampai saat ini kami hanya mampu mensuplai sekitar 10 – 15 % nya saja atau sekitar 1,2 – 1,6 jutaan ekor dari kebutuhan tersebut, selebihnya benih didatangkan dari luar daerah seperti Jawa Tengah dan Indramayu,” ungkap sahban saat ditemui Trobos Aqua di lokasi usahanya.
Penerapan Teknologi
Guna memenuhi tingginya permintaan benih lele, perlu ada sentuhan teknologi budidaya. Seperti yang diterapkan Sahban dengan konsep budidaya Catfish Fabrication. Ia menjelaskan, konsep ini harus diterapkan oleh Unit Pembenihan Rakyat (UPR) di berbagai daerah baik mereka yang menjalankan skala besar maupun kecil.
Catfish Fabrication maksudnya, kata Sahban, adalah dalam pembenihan tidak hanya menghasilkan produk dari UPR, akan tetapi harus ada value (nilai) lebih daripada hanya sekedar memproduksi benih yang dihasilkan UPR. Value akan dirasakan pembeli produk (benih lele) jika UPR mengaplikasikan teknologi seperti penerapan pemijahan buatan secara striping, pemberian pakan larva berkualitas berupa artemia, serta penambahan obat-obatan herbal berupa bawang putih serta kunyit pada benih lele. “Jadi bukan hanya UPR yang mendapatkan untung dengan menjual produknya, namun pembeli dari produk UPR juga akan mendapatkan hasil atau keuntungan dikarenakan benihnya berkualitas,” tutur Sahban.
Ini merupakan dampak positif dalam penerapan teknologi, Jelas Sahban. Diharapkan UPR menerapkan pembenihan dengan intensif agar hasil maksimal dan terukur. Sayangnya, model budidaya ini belum merata di UPR di berbagai daerah.
Senada dengan Sahban, Azzam Bachur Zaidy selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) juga angkat bicara mengenai perlunya penerapan sistem intensif dalam pembenihan lele. Lanjutnya, bicara mengenai benih lele, masih banyak UPR yang sifatnya masih tradisional.
Azzam menggambarkan, saat ini posisi pembenihan dan pembesaran sudah berubah, segmen pembesaran sudah mulai bergerak dan banyak yang mengadopsi budidaya sistem intensif dan fokus. Segmen pembenihan pergerakkannya masih cenderung lambat dalam menerapkan teknologi dan inovasi budidaya lele. Diharapkan UPR baik beskala kecil sampai besar menerapkan teknologi dan inovasi agar pencapaian hasil maksimal.
“Di Bogor ada yang menerapkan juga pembenihan lele secara intensif dan dilihat dari hasil prosuksinya juga cukup besar, sekitar produksi 500 – 700 ribu ekor benih per siklus produksinya, dan lokasinya indoor semua. Ini merupakan aplikasi dari penerapan teknologi demi mendukung pencapaian benih baik secara kualitas dan kuantitas,” ungkap Azzam.
Benih Berkualitas
Lalu bagaimana menghasilkan benih berkualitas? Tanya Sahban. Lebih rinci ia jelaskan, pembenihan dimulai dari indukan lele yang unggul, dan tidak sampai di situ saja, manajemen induk penting diterapkan. Di UPR Pasir Gaok - Bogor pihaknya melakukan tagging (penanaman microchip pada ikan), jadi pada saat pemijahan akan didata kode induk sehingga benih yang dihasilkan akan mempunyai rekam data pemijahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar