Abstrak
Fillet ikan
termasuk salah satu produk perikanan yang mudah mengalami kemunduran mutu
sehingga dibutuhkan teknik penanganan untuk mempertahankan kesegarannya.
Gelombang ultrasonik telah banyak diaplikasikan pada beberapa jenis produk
pangan untuk mempertahankan kesegaran melalui inaktivasi mikroba, namun
aplikasinya untuk produk perikanan belum banyak dilakukan. Penelitian bertujuan
menganalisis pengaruh gelombang ultrasonik terhadap parameter kesegaran ikan.
Tahapan penelitian meliputi preparasi sampel, sonikasi, pengujian parameter
kesegaran ikan dan pengamatan histologi. Gelombang ultrasonik tidak berpengaruh
terhadap nilai organoleptik dan TVB, namun berpengaruh terhadap nilai pH dan
TPC. Sampel dengan nilai TPC yang berbeda nyata diuji TPC kembali pada
penyimpanan ke-48 jam dan 96 jam. Hasil pengujian nilai TPC menunjukkan bahwa
sampel dengan durasi sonikasi selama 9 menit (5,2x104 koloni/g) memiliki jumlah
mikroba lebih rendah dibandingkan sampel tanpa sonikasi (9,2x104 koloni/g).
Hasil analisis histologi menunjukkan bahwa sonikasi menyebabkan
struktur
serabut otot terlihat kurang kompak dan pecahnya miomer.
Kata kunci:
Fillet,
gelombang ultrasonik, histologi, ikan nila, kesegaran, sonikasi
PENDAHULUAN
Teknologi pangan saat ini telah
berkembang pesat. Beberapa inovasi yang dilakukan bertujuan untuk
mempertahankan kualitas produk yang akan dipasarkan untuk memenuhi permintaan
konsumen. Industri pangan salah satunya perikanan, membutuhkan teknologi yang
mudah dan efisien untuk diaplikasikan dalam penggunaannya pada jenis-jenis
produkunggulan, misalnya fillet ikan. Sifat dari fillet ikan yang mudah
mengalami kemunduran mutu, membutuhkan teknologi alternatif yang dapat membantu
mempertahankan kesegaran fillet ikan. Teknologi alternatif yang mudah dan
efisien untuk mempertahankan kesegaran ikan adalah menggunakan gelombang
ultrasonik.
Gelombang
ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal yang tidak dapat didengar
oleh telinga manusia karena memiliki frekuensi tinggi, dapat merambat dalam medium
padat, cair, dan gas (Zhou et al.2009). Penelitian dengan aplikasi gelombang
ultrasonik dalam bidang pangan khususnya pengawetan melalui inaktivasi
mikroorganisme telah banyak dilakukan, diantaranya treatment bakteri pada
produk daging (Brown et al.2010), treatment bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli (Herceg et al.2012) dan Enterobacteriae pada susu (Juraga et
al. 2011), untuk inaktivasi fungi Aspergillus flavus dan Penicillium digitatum
(Malo-Lopez et al. 2005), dan mengontrol mikroba dalam sistem pengolahan air
(Broekman et al. 2010). Cui et al. (2010) melaporkan selain dapat mengawetkan
produk, pemberian gelombang ultrasonik pun dapat menjaga kandungan gizi pada
produk.
Aplikasi
gelombang ultrasonik pada produk daging juga telah dilaporkan. Gambuteanu dan
Alexe (2013) membandingkan perubahan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi
antara daging babi yang diproses thawing secara normal dan thawing menggunakan
ultrasonik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan.
Chang et al.(2012) meneliti pengaruh sonikasi terhadap perubahan karakteristik
kolagen dari daging sapi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sonikasi
dengan frekuensi rendah memiliki efek perubahan signifikan pada karakteristik
kolagen. Kordowska-Wiater dan Stasiak (2011) meneliti pengaruh ultrasonik
terhadap bakteri gram negatif pada kulit ayam. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan Pseudomonas sangat sensitif terhadap gelombang ultrasonik dengan
daya reduksi hingga 4,0 log CFU/cm2.
Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut diduga gelombang ultrasonik dapat diaplikasikan
pada industri perikanan, khususnya dalam mempertahankan kesegaran fillet ikan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gelombang ultrasonik
terhadap parameter kesegaran fillet ikan.
BAHAN DAN
METODE
Bahan dan
Alat
Bahan utama
yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila (Oreochromis niloticus)
dengan ukuran 200-250 g per ekor. Bahan-bahan lain merupakan bahan yang
digunakan untuk analisis pH (larutan buffer standar pH 7 dan 4, akuades),
analisis Total Plate Count (larutan KH2PO41,7% steril, PCA), analisis Total
Volatile Base (H3BO3, K2CO3, TCA 7%, HCl 0,02 N). Bahan yang digunakan untuk uji histologi yaitu
larutan Buffer Normal formalin 10% (Merck p.a.), alkohol p.a. 50-100% (Merck),
xylol p.a. (Merck), paraffin p.a. (Merck), hematoksilin p.a. (Merck), eosin
p.a. (Merck), dan mounting agentp.a. (Merck).
Alat-alat
utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain osiloskop (Model
GOS-622G, 20MHz) dan Function Generator (Model BK Precision 4011A, 5MHz) untuk
sonikasi sampel. Pengujian TVB menggunakan timbangan analitik, homogenizer
(Model Nissei Am), cawan conway dan inkubator. Uji pH menggunakan pH meter
(Eutech Instrument). Uji TPC menggunakan oven, inkubator dan autoklaf. Analisis
organoleptik menggunakan score sheet fillet ikan berdasarkan SNI 01-2346-2006.
Uji histologi menggunakan oven (Yamato DV 40), mikrotom putar (Yamato Kohki
LR-85), dan mikroskop cahaya (Model Olympus CX41) beserta kamera DP21.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini dibagi menjadi beberapa tahapan, antara lain pembuatan fillet ikan,
sonikasi fillet ikan dengan durasi yang berbeda, pengujian parameter kesegaran
ikan (Organoleptik, pH, TVB, TPC), analisis mikroba selama penyimpanan, dan uji
histologi. Ikan nila segar dimatikan secara langsung dengan cara ditusuk pada
bagian medulla oblongata. Pengambilan fillet tanpa kulit dilakukan untuk
pengujian organoleptik, pH, TVB, dan TPC. Daging juga diambil dalam bentuk
fillet yang berkulit untuk pengujian histologi dan disimpan dalam coolbox yang
berisi es. Sebelum dilakukan pemaparan dengan gelombang ultrasonik, wadah
khusus untuk pengujian dipersiapkan terlebih dahulu. Setelah wadah disiapkan,
selanjutnya fillet ikan dimasukkan ke dalam wadah yang digunakan sebagai ruang
sonikasi untuk meletakkan sampel, kemudian alat pemancar gelombang ultrasonik
dinyalakan untuk memberikan paparan gelombang pada sampel. Frekuensi sonikasi
yang digunakan adalah 20 kHz dan durasi sonikasi adalah 6, 9, dan 12 menit
(mengacu pada Herceg et al. 2012). Setelah proses sonikasi, selanjutnya fillet
ikan diambil dan dilakukan uji organoleptik (BSNa 2006), uji nilai pH
(Apriyantono et al. 1989), uji nilai Total Volatile Base (Apriyantono et al.
1989), uji nilai Total Plate Count (BSNb 2006).
Analisis TPC
(BSNb2006)
Prinsip
kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel
(daging ikan) dengan pengenceran sesuai kebutuhan dan dilakukan secara duplo.
Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 gram sampel yang
telah dihancurkan yang diambil dari bagian punggung ikan, lalu dimasukkan ke
dalam botol yang berisi 5 mL larutan KH2PO41,7% steril, kemudian ditambah
aquades 500 mL, dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh
tersebut diambil 1 mL dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 mL larutan garam
sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Pengenceran dilakukan sesuai dengan
keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung
pengenceran sebanyak 1 mL larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri
steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam
cawan petri sebanyak 10 mL dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode
tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga
dingin dan
mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke
dalam inkubator pada suhu 35°C ± 1°C selama 48 jam ± 1 jam dengan posisi cawan
petri yang dibalik. Pengamatan selanjutnya dilakukan dengan menghitung jumlah
koloni yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang
dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 25-250 koloni.
Analisis ini dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Uji
Organoleptik
Kenampakan
Hasil
pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh
sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan karena semua perlakuan
menunjukkan nilai 7 (spesifikasi: daging berwarna putih, kurang cemerlang,
bersih, rapi, menarik, dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun
linea lateralis berwarna merah, redup dan tidak terbelah). Nilai organoleptik
kenampakan menurun pada jam ke-4 dengan nilai 5 (spesifikasi: daging putih agak
kehijauan, kurang cemerlang, kurang menarik, dan garis yang terbentuk dari
tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah).
Berdasarkan nilai organoleptik kenampakan yang dihasilkan, fillet ikan masih
memiliki spesifikasi kenampakan ikan yang segar walaupun terjadi penurunan pada
setiap jam. Penurunan nilai kenampakan ini diduga adanya proses kemunduran mutu
akibat aktivitas mikroba dan enzim proteolitik yang mendegradasi protein pada
daging ikan. Perubahan nilai organoleptik pada parameter kenampakan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Nilai organoleptik kenampakan fillet ikan nila
Perlakuan sonikasi
|
Waktu (jam ke-)
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Tanpa sonikasi
|
7a
|
6a
|
6a
|
5a
|
4a
|
Sonikasi 6 menit
|
7a
|
6a
|
6a
|
5a
|
4a
|
Sonikasi 9 menit
|
7a
|
6a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Sonikasi 12 menit
|
7a
|
7a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Keterangan:
Huruf superscript pada kolom menunjukkan tidak beda nyata (p<0,05).
Menurut
Weeber et al.(2008), proses perubahan pada Fillet ikan tersebut terjadi karena aktivitas enzim dan mikroorganisme.
Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Berdasarkan
hasil statistik nilai organoleptik kenampakan yang dihasilkan tidak berbeda
nyata. Durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik kenampakan.
Bau
Fillet ikan
yang tanpa dan dengan perlakuan sonikasi (6, 9, 12 menit) diuji secara
organoleptik pada jam ke-1 hingga ke-5 untuk menentukan nilai baunya. Hasil
pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh
sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan karena semua perlakuan
menunjukkan nilai 7 (spesifikasi: bau segar, spesifik jenis). Nilai
organoleptik bau menurun pada jam ke-5 dengan nilai 5 (spesifikasi: Bau kurang
segar, sedikit bau amoniak dan ada bau tambahan). Berdasarkan nilai organoleptik
bau yang dihasilkan, fillet ikan memiliki spesifikasi bau ikan segar walaupun
terjadi penurunan pada setiap jam. Perubahan nilai organoleptik pada parameter
bau dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai organoleptik bau fillet ikan nila
Perlakuan sonikasi
|
Waktu (jam ke-)
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Tanpa sonikasi
|
7a
|
6a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Sonikasi 6 menit
|
7a
|
6a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Sonikasi 9 menit
|
7a
|
6a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Sonikasi 12 menit
|
7a
|
6a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Keterangan:
Huruf superscript pada kolom menunjukkan tidak beda nyata (p<0,05).
Penurunan
nilai organoleptik ini diduga akibat terbentuknya basa volatil hasil dari
degradasi protein oleh enzim proteolitik maupun aktivitas mikroba. Karungi et
al. (2003), pembentukan basa volatil terjadi akibat degradasi protein dan
derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap yaitu amoniak,
histamin, dan H2S yang berbau busuk. Menurut Jaffres et al.(2011), penyusun
komponen volatil dari produk perikanan meliputi 3-metil-1-butanal,
2,3-butanedione, 2-metil-1-butanal, 2,3-heptanedione, dan trimetilamin. Seluruh
sampel memiliki nilai organoleptik bau yang seragam setiap jamnya. Berdasarkan
hasil statistik nilai organoleptik bau yang dihasilkan tidak berbeda nyata.
Durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik bau.
Tekstur
Fillet ikan
yang segar akan menunjukkan tekstur daging ikan yang elastis, sementara tekstur
ikan yang tidak elastis menunjukkan bahwa Fillet ikan sudah mengalami
kemunduran mutu atau busuk. Perubahan nilai organoleptik pada parameter tekstur
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai organoleptik tekstur fillet ikan nila
Perlakuan sonikasi
|
Waktu (jam ke-)
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Tanpa sonikasi
|
8a
|
7a
|
5a
|
5a
|
4a
|
Sonikasi 6 menit
|
8a
|
7a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Sonikasi 9 menit
|
8a
|
7a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Sonikasi 12 menit
|
8a
|
7a
|
6a
|
5a
|
5a
|
Keterangan:
Huruf superscript pada kolom menunjukkan tidak beda nyata (p<0,05).
Fillet ikan
yang tanpa dan dengan perlakuan sonikasi (6, 9, 12 menit) diuji secara
organoleptik pada jam ke-1 hingga ke-5 untuk menentukan nilai teksturnya. Hasil
pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh
sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan karena semua perlakuan
menunjukkan nilai 8 (spesifikasi: elastis, padat dan kompak). Nilai
organoleptik bau menurun pada jam ke-5 dengan nilai 5 (spesifikasi: kurang elastis,
lunak dan kompak). Nilai organoleptik tekstur fillet ikan masih memiliki
spesifikasi tekstur ikan yang segar walaupun terjadi penurunan pada setiap jam.
Penurunan nilai organoleptik ini diduga akibat aktivitas enzim katepsin yang
merusak struktur daging ikan menjadi lunak dan kurang elastis.
Aktivitas
katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin
dapat
menurunkan fleksibelitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak
elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek) (Haard dan Simpson 2000).
Hasil statistik nilai organoleptik tekstur yang dihasilkan tidak berbeda nyata.
Durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik tekstur.
Derajat
Keasaman (pH)
Indikator
pengukuran tingkat kesegaran ikan salah satunya dapat ditentukan melalui uji
penentuan nilai derajat keasaman (pH) (Gambar 1).
Hasil yang
tersaji pada Gambar 1 dapat
Keterangan:
Huruf ‘a’ dan ‘b’ adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai pH yang
menunjukan beda nyata
(p<0,05).
Gambar 1
Histogram nilai derajat keasaman (pH) fillet ikan nila
Hasil
yang tersaji pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi berbeda nyata
dengan sampel yang disonikasi selama 6 menit, 9 menit, dan 12 menit. Durasi
sonikasi pada fillet ikan mempengaruhi nilai pH. Perubahan nilai pH yang
terjadi pada sampel kontrol dan sampel yang disonikasi diduga karena pengaruh
gelombang ultrasonik yang mampu menjaga fillet ikan tetap segar. Khairanita et
al.(2013), perubahan pH daging ikan sangat dipengaruhi proses autolisi dan
serangan bakteri. Berdasarkan nilai pH yang dihasilkan, Fillet ikan masih
dikategorikan sebagai ikan segar walaupun terdapat perbedaan pada setiap
sampelnya, dimana nilai pH ikan segar berkisar 6,2-7,0 (Eskin 1990).
Total
Volatile Base
Berdasarkan
uji statistik, nilai TVB semua sampel hasil penelitian tidak berbeda nyata.
Gelombang ultrasonik tidak mempengaruhi nilai TVB. Menurut Jonsdottir
et
al.(2008), perubahan nilai TVB pada ikan lebih dipengaruhi oleh aktivitas
proteolisis dari enzim dan mikroba yang menghasilkan basa volatil. Menurut
Jayasooria et al.(2007), gelombang ultrasonik memiliki kemampuan dalam
menghambat aktivitas enzim melalui proses denaturasi protein. Ercan dan Soysal
(2013) menyatakan bahwa gelombang ultrasonik menciptakan getaran terus menerus
dan menyebabkan modifikasi struktur sekunder dan tersier protein akibat
pemecahan ikatan hidrogen atau interaksi Van der Walls dalam rantai
polipeptida. Perubahan ini menyebabkan banyak hilangnya aktivitas enzim. Nilai
TVB yang dihasilkan fillet ikan masih dikategorikan sebagai ikan segar dan
layak konsumsi walaupun terdapat perbedaan pada setiap sampelnya, dimana
standar nilai TVB ikan segar berkisar pada nilai 10-20 mg N/100 g daging (Sen
2005). Nilai TVB fillet ikan nila dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Histogram nilai Total Volatile Base (TVB) fillet ikan nila
Total Plate
Count
Berdasarkan
hasil pengujian TPC dapat dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi tidak berbeda
nyata dengan sampel yang disonikasi selama 6 menit, namun kedua sampel tersebut
berbeda nyata dengan sampel yang disonikasi selama 9 menit dan sampel yang
disonikasi selama 12 menit. Durasi sonikasi pada filletikan mempengaruhi nilai
TPC. Nilai TPC yang digunakan sebagai data yang berbeda nyata adalah sampel
tanpa sonikasi dan sampel yang diberi sonikasi selama 9 menit. Nilai TPC pada
sampel tanpa sonikasi lebih besar dibandingkan dengan sampel yang disonikasi
selama 9 menit. Nilai tersebut menandakan adanya perbedaan jumlah mikroba pada
kedua sampel. Nilai TPC fillet ikan nila dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3
Histogram nilai Total Plate Count (TPC) fillet ikan nila
Pembandingan
jumlah koloni mikroba dengan perlakuan sonikasi dan perlakuan lainnya dalam
menghambat pertumbuhan mikroba perlu dilakukan. Sampel yang disonikasi selama 9
menit memiliki nilai TPC sebesar 7,7x103koloni/g. Penelitian lain,
Suptijah et al.(2008) melaporkan bahwa penggunaan chitosan pada fillet ikan
patin memiliki nilai TPC sebesar 1,3x104 koloni/g. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
jumlah koloni mikroba yang diberi perlakuan gelombang ultrasonik memiliki nilai
TPC lebih rendah dibandingkan dengan nilai TPC fillet ikan yang diberi
perlakuan chitosan. Gelombang ultrasonik cukup efektif dalam menghambat
pertumbuhan mikroba, hal ini diduga karena gelombang ultrasonik mampu
menghambat aktivitas mikroba maupun membunuh mikroba. Menurut Joyce et
al.(2003), gelombang ultrasonik dapat menjaga produk pangan dari mikroba
melalui perusakan membran sel akibat getaran yang ditimbulkan oleh gelombang
ultrasonik. Ketika membran sel mikroba rusak, maka cairan akan keluar sehingga
fisiologi dari mikroba akan terhambat dan memungkinkan mikroba mati.
Nilai TPC
Fillet Selama Penyimpanan
Sampel yang
digunakan untuk pengujian TPC dari Fillet ikan dengan tambahan penyimpanan
adalah sampel tanpa sonikasi dan sampel yang disonikasi selama 9 menit.
Penyimpanan dilakukan selama 96 jam dengan pengamatan setiap 48 jam pada suhu
beku (freezing). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sonikasi
terhadap laju pertumbuhan mikroba pada fillet ikan selama penyimpanan. Hasil
pengujian TPC fillet ikan selama penyimpanan disajikan pada Gambar 4.
Hasil yang
tersaji pada Gambar 4, jumlah mikroba semakin tinggi seiring lamanya penyimpanan.
Adanya pertumbuhan mikroba yang lebih cepat pada rentang waktu tersebut yang
disebabkan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroba, sehingga
mikroba aktif berkembang biak dengan cara membelah diri selama penyimpanan.
Faktor yang berperan dalam pertumbuhan mikroba ditentukan oleh keadaan
lingkungan serta temperatur yang cocok. Umumnya mikroba yang hidup pada kondisi
lingkungan yang sesuai mampu membelah diri setiap 20-30 menit. Jenis bakteri
lain dapat membelah diri kurang dari 10 menit pada kondisi lingkungan yang
optimum (Couturier dan Rocha 2006).
Sampel yang
disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TPC penyimpanan yang relatif lebih
rendah dibandingkan sampel tanpa sonikasi. Perbedaan nilai yang diperoleh pada tiap
sampel menunjukkan bahwa mikroba awal yang hidup tetap memiliki kemampuan untuk
tumbuh walaupun pertumbuhan berjalan lambat karena proses sonikasi yang
dilakukan pada sampel yang disonikasi selama 9 menit, sehingga diperoleh nilai
TPC yang lebih rendah selama penyimpanan. Munandar et al.(2009), jumlah bakteri
semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Lingkungan yang optimal
untuk pertumbuhan bakteri yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh secara
maksimal.
Daging ikan
dinyatakan tidak layak konsumsi menurut SNI 7338: 2009 bila nilai TPC lebih
dari 5x105koloni/g (BSN 2009). Hasil yang
disajikan pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa fillet ikan nila pada jam ke-4 dari
sampel tanpa sonikasi dan sampel yang disonikasi selama 9 menit dikatakan masih
layak untuk dikonsumsi karena memiliki jumlah mikroba sebesar 9,2x104 koloni/g dan 5,2x104 koloni/g (< 5x105 koloni/g).
Analisis
Histologi
Analisis histologi
dilakukan untuk mengetahui struktur jaringan daging secara mikroskopis. Sampel
yang diamati antara lain sampel tanpa perlakuan dan sampel yang disonikasi 9
menit dimana masing-masing sampel dianalisis pada kondisi segar dan busuk.
Hasil analisis histologi pada sampel kondisi segar disajikan pada Gambar 5a.
Gambar 5,
sampel kontrol tanpa sonikasi memiliki struktur daging yang terlihat lebih
kompak dan teratur dibandingkan sampel dengan sonikasi. Sonikasi dapat mempengaruhi
perubahan struktur daging yaitu daging menjadi tidak kompak dan tidak menyatu.
Sonikasi dapat membuat daging ikan lebih berair akibat keluarnya sarkoplasma dari
dalam miomer. Dolatowski et al.(2007), gelombang ultrasonik menyebabkan
gangguan sel membran yang dapat meningkatkan keempukan daging baik secara
langsung, melalui melemahnya fisik struktur otot, atau secara tidak langsung
oleh aktivasi enzim proteolitik baik dengan pelepasan enzim katepsin dari
lisosom dan atau dari Ca2+ion dari intraseluler sehingga dapat
mengaktifkan enzim kalpain.
Analisis
histologi juga dilakukan pada sampel dalam kondisi busuk. Proses sonikasi dilakukan
pada sampel pada kondisi segar. Setelah proses sonikasi selesai, sampel yang telah
disonikasi dibiarkan hingga mencapai kondisi busuk. Hasil analisis histologi pada
sampel kondisi busuk disajikan pada Gambar 5b.
Gambar 5a Jaringan ikan nila segar (400 kali)
a) tanpa sonikasi b) dengan sonikasi
Gambar 5b Jaringan ikan nila busuk (400 kali)
a) tanpa sonikasi b) dengan sonikasi
Hasil
analisis histologi pada Gambar 5b, dapat dilihat adanya tingkat kerusakan
daging pada sampel yang disonikasi selama 9 menit (Gambar 5b). Sonikasi dan
hasil degradasi daging berpengaruh secara enzimatis serta mikrobiologis selama
proses pembusukan berlangsung. Kim et al.(2002), selama proses pembusukan enzim
proteolitik berperan dalam degradasi protein. Enzim proteolitik seperti
katepsin berada dalam organel lisosom dimana lisosom ini berada dalam serabut
otot dan membrane sel (Hu dan Leung 2006). Aktifnya enzim katepsin mampu
merusak serabut otot pada daging ikan sehingga secara histologi daging ikan
terlihat sangat rusak dan tidak kompak. Chereta et al.(2007) yang menyebutkan
bahwa pengaruh enzim proteolitik (katepsin dan kalpain) dapat merusak miofibril
daging ikan dan menyebabkan penurunan tingkat kekenyalan daging.
KESIMPULAN
Sampel
dengan durasi sonikasi 0 menit dan 9 menit menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap nilai pH dan TPC dengan nilai masing-masing berturut-turut 6,60 ± 0,08
dan 6,74 ± 0,01; serta 3,8x104koloni/g dan 7,7x103koloni/g.
Durasi sonikasi tidak memberikan pengaruh terhadap nilai organoleptik dan TVB.
Hasil pengujian seluruh parameter kesegaran menunjukkan bahwa filletikan nila berada
dalam kondisi segar. Selama 96 jam penyimpanan, sampel fillet ikan nila tanpa sonikasi
dan sonikasi 9 menit memiliki nilai TPC 9,2x104 koloni/g dan 5,2x104 koloni/g. Perlakuan sonikasi pada Fillet mengakibatkan
pecahnya miomer.
Sumber :
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/77507/JPHPI_2015_Vol.18No.1_50-60.pdf?sequence=1&isAllowed=y
di download pada tanggal 24-01-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar