Senin, 23 Januari 2017

APLIKASI GELOMBANG ULTRASONIK SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK MEMPERTAHANKAN KESEGARAN FILLET IKAN NILA

Abstrak
Fillet ikan termasuk salah satu produk perikanan yang mudah mengalami kemunduran mutu sehingga dibutuhkan teknik penanganan untuk mempertahankan kesegarannya. Gelombang ultrasonik telah banyak diaplikasikan pada beberapa jenis produk pangan untuk mempertahankan kesegaran melalui inaktivasi mikroba, namun aplikasinya untuk produk perikanan belum banyak dilakukan. Penelitian bertujuan menganalisis pengaruh gelombang ultrasonik terhadap parameter kesegaran ikan. Tahapan penelitian meliputi preparasi sampel, sonikasi, pengujian parameter kesegaran ikan dan pengamatan histologi. Gelombang ultrasonik tidak berpengaruh terhadap nilai organoleptik dan TVB, namun berpengaruh terhadap nilai pH dan TPC. Sampel dengan nilai TPC yang berbeda nyata diuji TPC kembali pada penyimpanan ke-48 jam dan 96 jam. Hasil pengujian nilai TPC menunjukkan bahwa sampel dengan durasi sonikasi selama 9 menit (5,2x104 koloni/g) memiliki jumlah mikroba lebih rendah dibandingkan sampel tanpa sonikasi (9,2x104 koloni/g). Hasil analisis histologi menunjukkan bahwa sonikasi menyebabkan
struktur serabut otot terlihat kurang kompak dan pecahnya miomer.

Kata kunci:
Fillet, gelombang ultrasonik, histologi, ikan nila, kesegaran, sonikasi

PENDAHULUAN
Teknologi pangan saat ini telah berkembang pesat. Beberapa inovasi yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan kualitas produk yang akan dipasarkan untuk memenuhi permintaan konsumen. Industri pangan salah satunya perikanan, membutuhkan teknologi yang mudah dan efisien untuk diaplikasikan dalam penggunaannya pada jenis-jenis produkunggulan, misalnya fillet ikan. Sifat dari fillet ikan yang mudah mengalami kemunduran mutu, membutuhkan teknologi alternatif yang dapat membantu mempertahankan kesegaran fillet ikan. Teknologi alternatif yang mudah dan efisien untuk mempertahankan kesegaran ikan adalah menggunakan gelombang ultrasonik.
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal yang tidak dapat didengar oleh telinga manusia karena memiliki frekuensi tinggi, dapat merambat dalam medium padat, cair, dan gas (Zhou et al.2009). Penelitian dengan aplikasi gelombang ultrasonik dalam bidang pangan khususnya pengawetan melalui inaktivasi mikroorganisme telah banyak dilakukan, diantaranya treatment bakteri pada produk daging (Brown et al.2010), treatment bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Herceg et al.2012) dan Enterobacteriae pada susu (Juraga et al. 2011), untuk inaktivasi fungi Aspergillus flavus dan Penicillium digitatum (Malo-Lopez et al. 2005), dan mengontrol mikroba dalam sistem pengolahan air (Broekman et al. 2010). Cui et al. (2010) melaporkan selain dapat mengawetkan produk, pemberian gelombang ultrasonik pun dapat menjaga kandungan gizi pada produk.

Aplikasi gelombang ultrasonik pada produk daging juga telah dilaporkan. Gambuteanu dan Alexe (2013) membandingkan perubahan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi antara daging babi yang diproses thawing secara normal dan thawing menggunakan ultrasonik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan. Chang et al.(2012) meneliti pengaruh sonikasi terhadap perubahan karakteristik kolagen dari daging sapi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sonikasi dengan frekuensi rendah memiliki efek perubahan signifikan pada karakteristik kolagen. Kordowska-Wiater dan Stasiak (2011) meneliti pengaruh ultrasonik terhadap bakteri gram negatif pada kulit ayam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan Pseudomonas sangat sensitif terhadap gelombang ultrasonik dengan daya reduksi hingga 4,0 log CFU/cm2.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut diduga gelombang ultrasonik dapat diaplikasikan pada industri perikanan, khususnya dalam mempertahankan kesegaran fillet ikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gelombang ultrasonik terhadap parameter kesegaran fillet ikan.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan ukuran 200-250 g per ekor. Bahan-bahan lain merupakan bahan yang digunakan untuk analisis pH (larutan buffer standar pH 7 dan 4, akuades), analisis Total Plate Count (larutan KH2PO41,7% steril, PCA), analisis Total Volatile Base (H3BO3, K2CO3, TCA 7%, HCl 0,02 N). Bahan yang digunakan untuk uji histologi yaitu larutan Buffer Normal formalin 10% (Merck p.a.), alkohol p.a. 50-100% (Merck), xylol p.a. (Merck), paraffin p.a. (Merck), hematoksilin p.a. (Merck), eosin p.a. (Merck), dan mounting agentp.a. (Merck).

Alat-alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain osiloskop (Model GOS-622G, 20MHz) dan Function Generator (Model BK Precision 4011A, 5MHz) untuk sonikasi sampel. Pengujian TVB menggunakan timbangan analitik, homogenizer (Model Nissei Am), cawan conway dan inkubator. Uji pH menggunakan pH meter (Eutech Instrument). Uji TPC menggunakan oven, inkubator dan autoklaf. Analisis organoleptik menggunakan score sheet fillet ikan berdasarkan SNI 01-2346-2006. Uji histologi menggunakan oven (Yamato DV 40), mikrotom putar (Yamato Kohki LR-85), dan mikroskop cahaya (Model Olympus CX41) beserta kamera DP21.

Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan, antara lain pembuatan fillet ikan, sonikasi fillet ikan dengan durasi yang berbeda, pengujian parameter kesegaran ikan (Organoleptik, pH, TVB, TPC), analisis mikroba selama penyimpanan, dan uji histologi. Ikan nila segar dimatikan secara langsung dengan cara ditusuk pada bagian medulla oblongata. Pengambilan fillet tanpa kulit dilakukan untuk pengujian organoleptik, pH, TVB, dan TPC. Daging juga diambil dalam bentuk fillet yang berkulit untuk pengujian histologi dan disimpan dalam coolbox yang berisi es. Sebelum dilakukan pemaparan dengan gelombang ultrasonik, wadah khusus untuk pengujian dipersiapkan terlebih dahulu. Setelah wadah disiapkan, selanjutnya fillet ikan dimasukkan ke dalam wadah yang digunakan sebagai ruang sonikasi untuk meletakkan sampel, kemudian alat pemancar gelombang ultrasonik dinyalakan untuk memberikan paparan gelombang pada sampel. Frekuensi sonikasi yang digunakan adalah 20 kHz dan durasi sonikasi adalah 6, 9, dan 12 menit (mengacu pada Herceg et al. 2012). Setelah proses sonikasi, selanjutnya fillet ikan diambil dan dilakukan uji organoleptik (BSNa 2006), uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989), uji nilai Total Volatile Base (Apriyantono et al. 1989), uji nilai Total Plate Count (BSNb 2006).

Analisis TPC (BSNb2006)
Prinsip kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai kebutuhan dan dilakukan secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 gram sampel yang telah dihancurkan yang diambil dari bagian punggung ikan, lalu dimasukkan ke dalam botol yang berisi 5 mL larutan KH2PO41,7% steril, kemudian ditambah aquades 500 mL, dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut diambil 1 mL dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 mL larutan garam sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 mL larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 mL dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga
dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 35°C ± 1°C selama 48 jam ± 1 jam dengan posisi cawan petri yang dibalik. Pengamatan selanjutnya dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 25-250 koloni. Analisis ini dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Organoleptik
Kenampakan

Hasil pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan karena semua perlakuan menunjukkan nilai 7 (spesifikasi: daging berwarna putih, kurang cemerlang, bersih, rapi, menarik, dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah, redup dan tidak terbelah). Nilai organoleptik kenampakan menurun pada jam ke-4 dengan nilai 5 (spesifikasi: daging putih agak kehijauan, kurang cemerlang, kurang menarik, dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis merah kecoklatan dan sedikit terbelah). Berdasarkan nilai organoleptik kenampakan yang dihasilkan, fillet ikan masih memiliki spesifikasi kenampakan ikan yang segar walaupun terjadi penurunan pada setiap jam. Penurunan nilai kenampakan ini diduga adanya proses kemunduran mutu akibat aktivitas mikroba dan enzim proteolitik yang mendegradasi protein pada daging ikan. Perubahan nilai organoleptik pada parameter kenampakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai organoleptik kenampakan fillet ikan nila
Perlakuan sonikasi
Waktu (jam ke-)
1
2
3
4
5
Tanpa sonikasi
7a
6a
6a
5a
4a
Sonikasi 6 menit
7a
6a
6a
5a
4a
Sonikasi 9 menit
7a
6a
6a
5a
5a
Sonikasi 12 menit
7a
7a
6a
5a
5a
Keterangan: Huruf superscript pada kolom menunjukkan tidak beda nyata (p<0,05).

Menurut Weeber et al.(2008), proses perubahan pada Fillet ikan tersebut terjadi  karena aktivitas enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Berdasarkan hasil statistik nilai organoleptik kenampakan yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik kenampakan.

Bau
Fillet ikan yang tanpa dan dengan perlakuan sonikasi (6, 9, 12 menit) diuji secara organoleptik pada jam ke-1 hingga ke-5 untuk menentukan nilai baunya. Hasil pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan karena semua perlakuan menunjukkan nilai 7 (spesifikasi: bau segar, spesifik jenis). Nilai organoleptik bau menurun pada jam ke-5 dengan nilai 5 (spesifikasi: Bau kurang segar, sedikit bau amoniak dan ada bau tambahan). Berdasarkan nilai organoleptik bau yang dihasilkan, fillet ikan memiliki spesifikasi bau ikan segar walaupun terjadi penurunan pada setiap jam. Perubahan nilai organoleptik pada parameter bau dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai organoleptik bau fillet ikan nila
Perlakuan sonikasi
Waktu (jam ke-)
1
2
3
4
5
Tanpa sonikasi
7a
6a
6a
5a
5a
Sonikasi 6 menit
7a
6a
6a
5a
5a
Sonikasi 9 menit
7a
6a
6a
5a
5a
Sonikasi 12 menit
7a
6a
6a
5a
5a
Keterangan: Huruf superscript pada kolom menunjukkan tidak beda nyata (p<0,05).

Penurunan nilai organoleptik ini diduga akibat terbentuknya basa volatil hasil dari degradasi protein oleh enzim proteolitik maupun aktivitas mikroba. Karungi et al. (2003), pembentukan basa volatil terjadi akibat degradasi protein dan derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap yaitu amoniak, histamin, dan H2S yang berbau busuk. Menurut Jaffres et al.(2011), penyusun komponen volatil dari produk perikanan meliputi 3-metil-1-butanal, 2,3-butanedione, 2-metil-1-butanal, 2,3-heptanedione, dan trimetilamin. Seluruh sampel memiliki nilai organoleptik bau yang seragam setiap jamnya. Berdasarkan hasil statistik nilai organoleptik bau yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik bau.

Tekstur
Fillet ikan yang segar akan menunjukkan tekstur daging ikan yang elastis, sementara tekstur ikan yang tidak elastis menunjukkan bahwa Fillet ikan sudah mengalami kemunduran mutu atau busuk. Perubahan nilai organoleptik pada parameter tekstur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai organoleptik tekstur fillet ikan nila
Perlakuan sonikasi
Waktu (jam ke-)
1
2
3
4
5
Tanpa sonikasi
8a
7a
5a
5a
4a
Sonikasi 6 menit
8a
7a
6a
5a
5a
Sonikasi 9 menit
8a
7a
6a
5a
5a
Sonikasi 12 menit
8a
7a
6a
5a
5a
Keterangan: Huruf superscript pada kolom menunjukkan tidak beda nyata (p<0,05).
Fillet ikan yang tanpa dan dengan perlakuan sonikasi (6, 9, 12 menit) diuji secara organoleptik pada jam ke-1 hingga ke-5 untuk menentukan nilai teksturnya. Hasil pengujian menunjukkan adanya perubahan, yaitu diawali pada jam ke-1 seluruh sampel yang diberi perlakuan tidak mengalami perubahan karena semua perlakuan menunjukkan nilai 8 (spesifikasi: elastis, padat dan kompak). Nilai organoleptik bau menurun pada jam ke-5 dengan nilai 5 (spesifikasi: kurang elastis, lunak dan kompak). Nilai organoleptik tekstur fillet ikan masih memiliki spesifikasi tekstur ikan yang segar walaupun terjadi penurunan pada setiap jam. Penurunan nilai organoleptik ini diduga akibat aktivitas enzim katepsin yang merusak struktur daging ikan menjadi lunak dan kurang elastis.
Aktivitas katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin
dapat menurunkan fleksibelitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek) (Haard dan Simpson 2000). Hasil statistik nilai organoleptik tekstur yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Durasi sonikasi tidak mempengaruhi nilai organoleptik tekstur.
Derajat Keasaman (pH)
Indikator pengukuran tingkat kesegaran ikan salah satunya dapat ditentukan melalui uji penentuan nilai derajat keasaman (pH) (Gambar 1).
Hasil yang tersaji pada Gambar 1 dapat


Keterangan: Huruf ‘a’ dan ‘b’ adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap nilai pH yang
                   menunjukan beda nyata (p<0,05).
Gambar 1 Histogram nilai derajat keasaman (pH) fillet ikan nila

Hasil yang tersaji pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi berbeda nyata dengan sampel yang disonikasi selama 6 menit, 9 menit, dan 12 menit. Durasi sonikasi pada fillet ikan mempengaruhi nilai pH. Perubahan nilai pH yang terjadi pada sampel kontrol dan sampel yang disonikasi diduga karena pengaruh gelombang ultrasonik yang mampu menjaga fillet ikan tetap segar. Khairanita et al.(2013), perubahan pH daging ikan sangat dipengaruhi proses autolisi dan serangan bakteri. Berdasarkan nilai pH yang dihasilkan, Fillet ikan masih dikategorikan sebagai ikan segar walaupun terdapat perbedaan pada setiap sampelnya, dimana nilai pH ikan segar berkisar 6,2-7,0 (Eskin 1990).

Total Volatile Base

Berdasarkan uji statistik, nilai TVB semua sampel hasil penelitian tidak berbeda nyata. Gelombang ultrasonik tidak mempengaruhi nilai TVB. Menurut Jonsdottir
et al.(2008), perubahan nilai TVB pada ikan lebih dipengaruhi oleh aktivitas proteolisis dari enzim dan mikroba yang menghasilkan basa volatil. Menurut Jayasooria et al.(2007), gelombang ultrasonik memiliki kemampuan dalam menghambat aktivitas enzim melalui proses denaturasi protein. Ercan dan Soysal (2013) menyatakan bahwa gelombang ultrasonik menciptakan getaran terus menerus dan menyebabkan modifikasi struktur sekunder dan tersier protein akibat pemecahan ikatan hidrogen atau interaksi Van der Walls dalam rantai polipeptida. Perubahan ini menyebabkan banyak hilangnya aktivitas enzim. Nilai TVB yang dihasilkan fillet ikan masih dikategorikan sebagai ikan segar dan layak konsumsi walaupun terdapat perbedaan pada setiap sampelnya, dimana standar nilai TVB ikan segar berkisar pada nilai 10-20 mg N/100 g daging (Sen 2005). Nilai TVB fillet ikan nila dapat dilihat pada Gambar 2.


Gambar 2 Histogram nilai Total Volatile Base (TVB) fillet ikan nila

Total Plate Count
Berdasarkan hasil pengujian TPC dapat dilihat bahwa sampel tanpa sonikasi tidak berbeda nyata dengan sampel yang disonikasi selama 6 menit, namun kedua sampel tersebut berbeda nyata dengan sampel yang disonikasi selama 9 menit dan sampel yang disonikasi selama 12 menit. Durasi sonikasi pada filletikan mempengaruhi nilai TPC. Nilai TPC yang digunakan sebagai data yang berbeda nyata adalah sampel tanpa sonikasi dan sampel yang diberi sonikasi selama 9 menit. Nilai TPC pada sampel tanpa sonikasi lebih besar dibandingkan dengan sampel yang disonikasi selama 9 menit. Nilai tersebut menandakan adanya perbedaan jumlah mikroba pada kedua sampel. Nilai TPC fillet ikan nila dapat dilihat pada Gambar 3.


Gambar 3 Histogram nilai Total Plate Count (TPC) fillet ikan nila
Pembandingan jumlah koloni mikroba dengan perlakuan sonikasi dan perlakuan lainnya dalam menghambat pertumbuhan mikroba perlu dilakukan. Sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TPC sebesar 7,7x103koloni/g. Penelitian lain, Suptijah et al.(2008) melaporkan bahwa penggunaan chitosan pada fillet ikan patin memiliki nilai TPC sebesar 1,3x104 koloni/g. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah koloni mikroba yang diberi perlakuan gelombang ultrasonik memiliki nilai TPC lebih rendah dibandingkan dengan nilai TPC fillet ikan yang diberi perlakuan chitosan. Gelombang ultrasonik cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba, hal ini diduga karena gelombang ultrasonik mampu menghambat aktivitas mikroba maupun membunuh mikroba. Menurut Joyce et al.(2003), gelombang ultrasonik dapat menjaga produk pangan dari mikroba melalui perusakan membran sel akibat getaran yang ditimbulkan oleh gelombang ultrasonik. Ketika membran sel mikroba rusak, maka cairan akan keluar sehingga fisiologi dari mikroba akan terhambat dan memungkinkan mikroba mati.

Nilai TPC Fillet Selama Penyimpanan
Sampel yang digunakan untuk pengujian TPC dari Fillet ikan dengan tambahan penyimpanan adalah sampel tanpa sonikasi dan sampel yang disonikasi selama 9 menit. Penyimpanan dilakukan selama 96 jam dengan pengamatan setiap 48 jam pada suhu beku (freezing). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sonikasi terhadap laju pertumbuhan mikroba pada fillet ikan selama penyimpanan. Hasil pengujian TPC fillet ikan selama penyimpanan disajikan pada Gambar 4.

Hasil yang tersaji pada Gambar 4, jumlah mikroba semakin tinggi seiring lamanya penyimpanan. Adanya pertumbuhan mikroba yang lebih cepat pada rentang waktu tersebut yang disebabkan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba aktif berkembang biak dengan cara membelah diri selama penyimpanan. Faktor yang berperan dalam pertumbuhan mikroba ditentukan oleh keadaan lingkungan serta temperatur yang cocok. Umumnya mikroba yang hidup pada kondisi lingkungan yang sesuai mampu membelah diri setiap 20-30 menit. Jenis bakteri lain dapat membelah diri kurang dari 10 menit pada kondisi lingkungan yang optimum (Couturier dan Rocha 2006).

Sampel yang disonikasi selama 9 menit memiliki nilai TPC penyimpanan yang relatif lebih rendah dibandingkan sampel tanpa sonikasi. Perbedaan nilai yang diperoleh pada tiap sampel menunjukkan bahwa mikroba awal yang hidup tetap memiliki kemampuan untuk tumbuh walaupun pertumbuhan berjalan lambat karena proses sonikasi yang dilakukan pada sampel yang disonikasi selama 9 menit, sehingga diperoleh nilai TPC yang lebih rendah selama penyimpanan. Munandar et al.(2009), jumlah bakteri semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan bakteri yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh secara maksimal.

Daging ikan dinyatakan tidak layak konsumsi menurut SNI 7338: 2009 bila nilai TPC lebih dari 5x105koloni/g (BSN 2009). Hasil yang disajikan pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa fillet ikan nila pada jam ke-4 dari sampel tanpa sonikasi dan sampel yang disonikasi selama 9 menit dikatakan masih layak untuk dikonsumsi karena memiliki jumlah mikroba sebesar 9,2x104 koloni/g dan 5,2x104 koloni/g (< 5x105 koloni/g).

Analisis Histologi
Analisis histologi dilakukan untuk mengetahui struktur jaringan daging secara mikroskopis. Sampel yang diamati antara lain sampel tanpa perlakuan dan sampel yang disonikasi 9 menit dimana masing-masing sampel dianalisis pada kondisi segar dan busuk. Hasil analisis histologi pada sampel kondisi segar disajikan pada Gambar 5a.

Gambar 5, sampel kontrol tanpa sonikasi memiliki struktur daging yang terlihat lebih kompak dan teratur dibandingkan sampel dengan sonikasi. Sonikasi dapat mempengaruhi perubahan struktur daging yaitu daging menjadi tidak kompak dan tidak menyatu. Sonikasi dapat membuat daging ikan lebih berair akibat keluarnya sarkoplasma dari dalam miomer. Dolatowski et al.(2007), gelombang ultrasonik menyebabkan gangguan sel membran yang dapat meningkatkan keempukan daging baik secara langsung, melalui melemahnya fisik struktur otot, atau secara tidak langsung oleh aktivasi enzim proteolitik baik dengan pelepasan enzim katepsin dari lisosom dan atau dari Ca2+ion dari intraseluler sehingga dapat mengaktifkan enzim kalpain.

Analisis histologi juga dilakukan pada sampel dalam kondisi busuk. Proses sonikasi dilakukan pada sampel pada kondisi segar. Setelah proses sonikasi selesai, sampel yang telah disonikasi dibiarkan hingga mencapai kondisi busuk. Hasil analisis histologi pada sampel kondisi busuk disajikan pada Gambar 5b.

Gambar 5a Jaringan ikan nila segar (400 kali)
a) tanpa sonikasi b) dengan sonikasi
Gambar 5b Jaringan ikan nila busuk (400 kali)
a) tanpa sonikasi b) dengan sonikasi

Hasil analisis histologi pada Gambar 5b, dapat dilihat adanya tingkat kerusakan daging pada sampel yang disonikasi selama 9 menit (Gambar 5b). Sonikasi dan hasil degradasi daging berpengaruh secara enzimatis serta mikrobiologis selama proses pembusukan berlangsung. Kim et al.(2002), selama proses pembusukan enzim proteolitik berperan dalam degradasi protein. Enzim proteolitik seperti katepsin berada dalam organel lisosom dimana lisosom ini berada dalam serabut otot dan membrane sel (Hu dan Leung 2006). Aktifnya enzim katepsin mampu merusak serabut otot pada daging ikan sehingga secara histologi daging ikan terlihat sangat rusak dan tidak kompak. Chereta et al.(2007) yang menyebutkan bahwa pengaruh enzim proteolitik (katepsin dan kalpain) dapat merusak miofibril daging ikan dan menyebabkan penurunan tingkat kekenyalan daging.

KESIMPULAN
Sampel dengan durasi sonikasi 0 menit dan 9 menit menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH dan TPC dengan nilai masing-masing berturut-turut 6,60 ± 0,08 dan 6,74 ± 0,01; serta 3,8x104koloni/g dan 7,7x103koloni/g. Durasi sonikasi tidak memberikan pengaruh terhadap nilai organoleptik dan TVB. Hasil pengujian seluruh parameter kesegaran menunjukkan bahwa filletikan nila berada dalam kondisi segar. Selama 96 jam penyimpanan, sampel fillet ikan nila tanpa sonikasi dan sonikasi 9 menit memiliki nilai TPC 9,2x104 koloni/g dan 5,2x104 koloni/g. Perlakuan sonikasi pada Fillet mengakibatkan pecahnya miomer.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar