Selasa, 20 Juni 2017

Inti Plasma Nila Merah

Permintaan pasar yang besar dan harga yang relatif stabil membuat nila merah digandrungi untuk dibudidayakan di Subang
 
 
Menempuh perjalanan sekitar 4 jam dari Jakarta, akhirnya Tim Trobos Aqua tiba di Desa Cijambe Subang Jawa Barat. Disambut suara gemericik air, tampak membentang deretan kolam–kolam air deras yang diisi nila merah. Siang itu, Trobos Aqua bertemu dengan beberapa pembudidaya nila merah asal Subang.
 
Salah satu pembudidaya nila yang kami temui yakni Dwi Djoko Utomo, lelaki asal Bandung ini memilih beralih dari budidaya ikan mas ke nila merah. ”Kalau ikan mas fluktuasi harganya cukup tajam, kalau nila merah relatif lebih stabil, jadi kita pembudidaya bisa lebih tenang,” ujar Dwi Djoko Utomo yang akrab disapa Djoko.
 
 
Harga Stabil
Ia menginformasikan, harga nila merah di Subang relatif stabil berkisar di Rp 22.000 – Rp 24.000 per kg di tingkat pembudidaya, dengan harga di pasar untuk end user (konsumen)sekitar Rp 28.000 per kg. Dengan harga di kisaran Rp 22.000 per kg, pembudidaya sudah menikmati keuntungan karena rata-rata biaya produksi nila merah di Subang bervariasi sekitar Rp 19.000 – 20.000 per kg nya.
 
Sekalipun terbilang stabil namun nila merah yang diproduksi pembudidaya kolam air deras di Subang juga terkadang mengalami penurunan harga, terutama di waktu–waktu panen nila di Jatiluhur dan Cirata sekitar Oktober – November. Hal ini karena harga ikan nilamerah yang di suplai dari Jatiluhur dan Cirata lebih murah, yakni sekitar Rp 18.500 – 20.000 per kg.
 
”Biasanya nila merah dari Jatilihur dan Cirata lebih murah Rp 3.000 per kg, kalau lagi musim panen di sana, permintaan nila merah dari Subang rada berkurang, walaupun dari segi harga tidak turun terlalu jauh paling dikisaran Rp 21.000 – Rp 22.000 per kg,” kata Djoko menceritakan.  Selain dari sisi harga relatif stabil, permintaan nila merah untuk pasar Jabodetabek jumlahnya juga cenderung meningkat kecuali di waktu–waktu panen nila di Cirata dan Jatiluhur.
 
Ia memperkirakan permintaan nila merah rata-rata setiap harinya yang dikirim ke Jabodetabek saja sekitar 3 – 5 ton. Itu belum termasuk untuk pasar lokal di Subang, Bandung, dan sekitarnya. Bahkan Djoko juga pernah di tawari untuk memasok nila merah untuk ekspor, sayangnya kesempatan ini belum ia ambil karena merasa belum mampu memproduksi dalam jumlah yang sangat besar. ”Kalau untuk permintaan ekspor satu kali kirim mereka minta sekitar 20 ton, kita belum berani karena untuk produksi segitu untuk satu pengiriman bukan hal yang mudah,” ungkap Djoko.
 
 
Permintaan dan Produksi
Permintaan pasar yang besar dan harga yang relatif stabil membuat nila merah digandrungi untuk dibudidayakan di Subang. Untuk itu Djoko mengajak pembudidaya lainnya bergabung dalam satu kelompok. Djoko mengaku ada sekitar 30 pembudidaya yang bergabung bersamanya dalam satu kelompok dan menjadi plasma.
 
Ia bersama kelompoknya Ikan Bangun Jaya mampu memproduksi nila merah sekitar 40 – 60 ton per bulan. “Kami atur agar bisa panen dari 2 - 3 kolam setiap hari, paling sedikit setiap hari satu kali kirim sekitar 500 kg agar ketutup biaya operasional untuk pengirimannya,” urai Djoko. Djoko sendiri memiliki 50 kolam dan sisanya produksi diambil dari kolam – kolam milik pembudidaya plasmanya.
 
Tak hanya Djoko yang bermitra dengan para pembudidaya lainnya, Nendy Mulyadi yang akrab disapa Asep juga Denden Agus Zaelani menerapkan konsep inti plasma untuk meningkatkan produksi agar mampu memenuhi permintaan pasar yang tinggi. Misalnya saja Asep bersama dengan pembudidaya binaannya mampu memanen nila merah hingga 1 ton per hari. ”Bersama mitra kita bisa atur agar bisa penen 1 ton per hari dari sekitar 100 kolam, kita atur giliran panennya,” tutur Asep.

Geliat Budidaya Sidat di Bali

Mengejar pasar ekspor asia
 
 
Satu lagi komoditas perikanan darat yang saat ini sedang diincar oleh pembudidaya, ikan sidat (Anguilla,sp). Meski belum begitu populer di masyarakat secara umum, potensi pasar sidat cukup menjanjikan. Di Jepang, sidat dipercaya menjadi menu utama para kaisar. Di Korea dan beberapa negara lain, olahan sidat termasuk hidangan mewah.
 
Dari 18 jenis sidat yang ada di dunia, 7 di antaranya terdapat dan berkembang di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, sidat dikenal dengan nama berbeda. Ada yang menyebutnya ikan masapi (Bugis), ikan moa (Betawi), ikan lubang (Sunda) dan sebagainya. Di Bali, sidat dikenal dengan nama kulen.
 
Sejak setahun terakhir, budidaya sidat mulai berkembang di Bali. Adalah kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) Mina Sidat Dewata yang serius membudidayakannya. Kelompok beranggotakan 30 orang tersebut saat ini tersebar di beberapa daerah, yaitu Wanasari (Tabanan), Bedugul (Tabanan), Denpasar dan Gianyar.
 
Kelompok ini khusus membudidayakan sidat jenis Anguilla  bicolor  yang memiliki warna coklat polos kehitaman tanpa bintik-bintik dan kapasitas tebar benih di seluruh Bali telah mencapai 1,5 ton. "Yang sesuai dengan Bali adalah jenis ini (Anguilla bicolor), ” ujar I Wayan Adnyana, Ketua Teknisi Budidaya Mina Sidat Dewata. Lelaki yang akrab disapa Tedi ini menggeluti bisnis ikan sejak tahun 1970-an.
 
 
Tak Ada SOP
Menurut Tedi, budidaya sidat memerlukan teknik khusus. Baginya, ilmu sidat tidak ada SOP (Standar Operating Procedure) bakunya. Hal mendasar yang harus diperhatikan dalam budidaya sidat adalah kondisi air, kualitas pakan, ketersediaan benih juga pemasaran hasil.
 
Untuk kondisi air, sidat memerlukan air bersih. Air yang jernih namun tercampur dengan residu bahan-bahan kimia, tidak bisa digunakan untuk membudidayakan sidat. Sedangkan untuk pakan harus memiliki kandungan protein tinggi. “Yang bakal jadi masalah jika budidaya sidat ini makin berkembang adalah ketersediaan benih. Sampai saat ini, benih sidat hanya mengandalkan tangkapan dari alam,” terang Tedi.
 
Keberhasilan budidaya sidat di Wanasari (Tabanan) memicu daerah lain untuk serta ambil bagian. Tak ketinggalan Denpasar. Nyoman Jaya Kusuma, pembudidaya sidat di daerah Penatih yang juga anggota kelompok Mina Sidat Dewata menjelaskan jika komoditas sidat ini memiliki nilai ekonomis tinggi dan peluang pasar besar.
 
Jaya Kusuma bersama dua rekannya sesama alumni Universitas Udayana menyewa lahan seluas empat are di kawasan Penatih, Denpasar Timur dan mendirikan deretan kolam beton berukuran 3x6 meter dengan ketinggian 1 meter. Benih dipasok dari Jawa dengan harga 350 ribu rupiah per kilogram yang berisi 60 hingga 65 ekor. Ditebar dalam ketinggian air 40 – 50 cm. “Kami memilih mengembangkan sidat jenis bicolor ini karena dagingnya terasa lebih enak, durinya sedikit dan diminati tamu dari Jepang," ujar Jaya Kusuma.
 
 
Manajemen Kolam
Di wilayah Denpasar, kolam sidat milik Jaya Kusuma dan dua kawannya bisa dikatakan sebagai perintis. Dengan permodalan mandiri, di areal 4 are itu dibangun 6 unit kolam (dua kolam sudah terisi,red), satu bangunan yang difungsikan sebagai kamar tidur dilengkapi dengan dapur dan kamar mandi, ruang terbuka untuk santai, gudang, dan beberapa petak yang rencananya untuk budidaya cacing.
 
Ngurah Riyawan yang sehari-hari bertanggungjawab atas kolam sidat milik Jaya Kusuma mengungkapkan, jika pemilihan lokasi kolam sidat harus memperhatikan lingkungan sekitar dan sumber air yang akan digunakan. “Lokasi yang dipilih harus jauh dari kebisingan atau keramaian. Sidat tidak suka suara-suara bising.
 
Yang paling utama harus terpenuhi adalah sumber air, lanjutnya. Di sini menggunakan air sumur.  Jika di daerah-daerah masih banyak sumber mata air, budidaya sidat akan lebih efektif. Jika masalah air selesai, bisa dibilang 50% masalah selesai. terangnya.
 
Jaya Kusuma melanjutkan, ”Secara visual, air harus bersih, dalam arti harus ada oksigen, fertilizer dan garam krosok.” Pemberian garam pada air dilakukan hingga sidat mencapai berat 100 gram ke atas. Selanjutnya, garam dikurangi, dan ketika sudah besar hingga jelang panen, tidak menggunakan garam sama sekali.

Melongok Budidaya Cacing Sutera di Temanggung

Harga stabil, cara budidaya dan perawatan mudah, modal murah
 
 
Cacing-cacing kecil berwarna merah terlihat menggerombol di dalam nampan-nampan yang disusun zig zag bertingkat dan dialiri air. Ibni mengambil koloni-koloni cacing tersebut dan menaruhnya dalam wadah tersendiri untuk kemudian dikemas dan dikirim. “Coba pegang, Mbak…seperti jelly,” tantangnya kepada Trobos Aqua yang siang itu mengunjungi lokasi budidaya cacing sutera miliknya di Desa Karangtejo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
 
Ya, Ibni Khomsin—nama lengkapnya—adalah pembudidaya cacing sutera. Menurut dia,  cacing yang menyerupai rambut ini merupakan pakan alami benih ikan yang belum tergantikan. Hewan ini memiliki kandungan enzim lengkap sehingga cocok untuk benih yang belum sempurna pencernaannya, tidak mudah busuk serta bisa merangsang nafsu makan ikan. “Unit pembenihan ikan rakyat sangat bergantung kepada cacing sutera,” katanya.
 
Tak hanya pembenih, cacing sutera juga diburu pemancing ikan dan pembudidaya ikan hias. Ibni berkisah, awal usahanya di bidang perikanan adalah pembenihan ikan koi. Dia sadar betul jika keberhasilan usahanya tersebut sangat tergantung pada ketersediaan cacing sutera.
 
Karena itulah dia kemudian melakukan pengembangan usaha dengan budidaya cacing sutera. “Budidaya ini belum banyak yang meminati dan ketersediaannya masih mengandalkan pasokan dari alam, padahal jika masuk musim hujan jumlahnya jadi berkurang,” jelasnya mengemukakan alasan budidaya cacing bernama ilmiah Tubifex ini.
 
Selain itu, lanjut Ibni, harga cacing sutera relatif stabil dari waktu ke waktu.  Yaitu berkisar Rp 7.000 sampai Rp 10.000 per gelas. Ini juga yang membuat usaha budidaya cacing sutera mempunyai prospek bagus.
 
Tak hanya itu, permintaan cacing sutera juga terus meningkat. Menurut Ibni, pihaknya pernah mendapat pesanan cacing sutera 10 liter per hari dari Kalimantan tapi dia tolak karena belum mampu. “Memenuhi permintaan di lokal Temanggung saja masih kurang,” kata bapak dua anak ini beralasan.
 
Hal lain yang menjadi daya tarik budidaya cacing sutera adalah cara budidaya dan perawatan relatif mudah. Untuk budidaya bisa dilakukan di dua lahan yaitu dalam ruangan (menggunakan bak) dan di alam (sawah). Saat ini Ibni memiliki lahan budidaya cacing sutera di dua tempat tersebut.
 
Untuk yang di dalam ruangan terdapat 1 unit rumah produksiyang terdiri atas60 unit bak kayudan 2 unit kolam beton. Selain itu juga ada 1 unit rumah karantina. Dia mampu panen 2 kali sebulan 5 gelas per bak  serta 10 gelas dari lahan sawah ukuran 4 x 5 m.
 
 
Budidaya
Lebih jauh, Ibni menjelaskan cara budidaya cacing sutera. Dalam hal ini ada beberapa tahapan. Pertama pembuatan unit budidaya. Wadah budidaya bisa menggunakan kolam beton, kolam terpal, ember, bak fiber, nampan, talang air dan lainnya .
 
Wadah budidaya menggunakan bak kayu dilapisi plastik uv. Ukuran bak panjang 200 cm, lebar 40 cm, tinggi 10 cm. “Setiap bak dipasang pada rak budidaya sebanyak tiga tingkat, masing-masing rak budidaya diberikan aliran air,” jelas Ibni.
 
Tahap ke dua adalah persiapan media budidaya. Yaitu berupa ampas tahu dan pupuk kandang keringsetengah bagian dan lumpur yang sudah disaring 1 bagian, pasir halusketebalan 1 cm. “Untuk lumpur ini cari yang kaya bahan organik, misalnya lumpur dari kolam budidaya lele,” saran Ibni.
 
Selanjutnya campur semua bahandan aduk hingga rata. Lalu tambahkanprobiotik dosis 5 tutup per ember, aduk lagihingga rata. Setelah itu tutup mediatersebut dan difermentasi selama 5 hari.
 
Kemudian siapkan substrat pasir tebal 1 cm pada wadah, tambahkan media yang telah difermentasi tadi dengan tebal 5–7  cm dan media siap masuk unit produksi. Sebelum ditebar bibit cacing,media dialiri air selama 1 minggu. Tahap ini harus dijaga agar tidak terlalu banyak air sehingga membuat media jadi lembek. “Cacing tidak suka media yang terlalu lembek, sukanya yang kenyal dan lembut,” jelas Ibni.
 
Berikutnya tahap ke tiga yakni penebaran bibit dan pemeliharaan. Atur ketinggian air 2 cm dari permukaan media dan diberi aliran air yang tidak deras selama 2 – 3 hari. Lalu siapkan bibit cacing sebanyak  2gelas/bak. Tebar bibit cacing pada wadah. “Dalam waktu 1 hari cacingakan menyebar dengan sendirinya sebagai tanda media cocok, kalau tidak cocok akan tetap  mengumpul,” kata Ibni.
 
Setelah bibit menyebardilakukan pemberian pakan. Yaitu berupa ampas tahu. Pemberian pakan sebaiknya dilakukan setiap harisebanyak150gr/bak sambil melihat perkembangan cacing.

Produksi Susah, Permintaan Melimpah

Perlu kemampuan khusus untuk bisa memproduksi benih lele memenuhi permintaan pasar
 
 
High risk, high return. Filosofi bisnis ini berlaku dalam banyak hal termasuk usaha perikanan. Dalam keseluruhan proses produksi budidaya perikanan, segmen pembenihan dapat dikatakan memiliki risiko yang paling besar. Tidak terkecuali pembenihan ikan lele. Meski jika ditinjau dari finansial, input biaya pembenihan jauh lebih kecil dari pada pembesaran, akan tetapi tingkat resiko produksinya relatif lebih besar.
 
Duet pemuda yang berjibaku di pembenihan lele pun mengakui kesukaran dalam berbudidaya benih. Adalah Chandra Bani dan Cahyadin yang sejak 4 tahun lalu telah fokus pada pembenihan ikan lele. Saat ditemui di farm milik keduanya di Bogor Jawa Barat, bergantian mereka menjelaskan bagaimana tantangan yang dihadapi dalam menghasilkan benih lele berkualitas.
 
Meski sudah 4 tahun berjalan, keduanya masih selalu menemui tantangan baru dalam menghasilkan benih lele. “Melihara benih kayak melihara bayi,” ucap Bani. Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan untuk menghasilkan benih yang berkualitas.
 
Keduanya memproduksi benih lele ukuran 7 - 8 cm. “Maksimal ukuran 9 – 10 cm. Setelah mencapai ukuran itu harus udah keluar semua,” jelas Cahyadin, yang biasa dipanggil Yadin. Mereka harus memutus produksi hingga ukuran maksimal 9 - 10 cm demi menjaga pola tanam berikutnya. Pada ukuran farm pembenihan yang mencapai  hampir seribu  meter persegi, kapasitas produksi saat ini sudah mencapai 250 ribu benih lele.
 
Jenis lele yang dibudidayakan oleh Bani dan Cahyadin saat ini adalah sangkuriang. Sejauh ini bagi mereka, lele jenis ini masih dinilai unggul dibadingkan dengan jenis lele lainnya.
 
 
Pakan Berkualitas
Dalam menjamin kontinuitas pasokan untuk pelanggannya, Bani dan Cahyadin lebih banyak menggunakan larva jadi yang dibelinya dari Balai Besar Pengmabngan Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Larva yang mereka beli berumur 2 hari. “Kadang juga memijahkan sendiri,” kata Chayadin melengkapi.
 
Mereka tidak mepermasalahkan benih yang diproduksi berasal dari larva yang dipijahkan secara alami maupun buatan. Yang terpenting bagi keduanya adalah bagaimana merawat larva tersebut sebaik mungkin agar menjadi benih berkualitas.
 
Demi menjaga kesehatan dan kualitas larva, Kedua laki-laki alumni Perikanan Budidaya Institut Pertanian Bogor ini rela mengeluarkan biaya lebih, terutama untuk pakan awal larva. “Hari pertama setelah larva datang diberi artemia,” tutur mereka serempak. Hari kedua hingga hari ke-10 pemeliharaan, larva lele diberi pakan cacing sutra dan pakan larva ikan laut pada pagi dan sore hari secara bergantian.
 
Berbeda dengan pembenih lele lainnya yang menjadikan cacing sebagai pakan utama pada awal-awal pemeliharaan, Bani dan Cahyadin justru membatasi peggunaannya. Menurut keduanya, pengurangan penggunaan cacing untuk mengurangi risiko patogen yang dibawa oleh cacing sutera yang sebagian besar masih dihasilkan dari tangkapan alam.
 
Setelah lewat 10 hari pemeliharaan, pakan alami berupa cacing diganti pakan pelet larva ikan laut. “10 hari berikutnya full pakan ikan air laut” kata Bani. Pakan tersebut dipercaya mampu meningkatkan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit. Baru setelah lebih dari 20 hari pemeliharaan, benih lele diberi pakan untuk benih ikan air tawar hingga dipanen pada umur 40 hari pemeliharaan.
 
Penggunaan pakan benih ikan air tawar sejak awal dinilai mereka kurang bagus bagi pertumbuhan. “Nafsu makan ikannya juga kurang,” aku Cahyadin. Selain itu, masih menurutnya, pakan benih air tawar cenderung mengotori air budidaya. Bahkan pakan benur udang yang biasa digunakan untuk pembitbitan lele pun masih dinilai kurang bagus.  Sehingga pakan benih ikan air tawar hanya diberikan jika benih sudah lebih dari 20 hari pemeliharaan.

Industri Patin

 

Peluang pasar untuk produk olahan patin masih terbuka lebar baik untuk lokal maupun ekspor
 
 
Geliat patin dalam negeri kembali menunjukkan tren positif. Setelah beberapa waktu lalu sempat dihantam badai masuknya fillet (daging tanpa tulang) patin ilegal yang menyebar sebagian pasar lokal, kini industri patin nasional perlahan mulai bangkit. Sekalipun ada patin Vietnam atau yang dikenal dengan dori di pasar lokal, patin produksi dalam negeri tetap bergeliat.
 
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI), Azzam Bachrur mengatakan, kalau dulu pelaku patin mengeluh tersendatnya pasar karena banyak masuk patin ilegal, sekarang sudah jauh berkurang. “Dulu untukfillet patin masih terkendala bahan baku dan kualitas, sekarang sudah mulai menemukan ritmenya, hanya dari sisi harga saja belum terpecahkan,” tutur Azzam.
 
Menurutnya, harga patin Vietnam masih lebih murah karena produksi mereka lebih efisien. Sehingga produsen patin tidak bisa menjual patin dengan harga yang bagus karena tertekan dengan harga produk fillet patin pesaing yang ada di pasar lokal. Namun Azzam optimis pelaku industri patin dalam negeri mampu bersaing secara harga dengan menunjukan kualitas produk yang lebih baik.
 
Dia menginformasikan, saat ini harga fillet patin di modern market berkisar antara Rp 70 – Rp 80 ribu per kg, dengan harga modal dari produsen fillet patin sekitar 60% nya atau sekitar Rp 40 – Rp 50 ribu per kg.
 
Ikut angkat bicara Asisten Vice President PT Central Proteina Prima (CPP) (produsen fillet patin) Stephanie Endang mengakui, bahwa secara kualitas kita sudah menyamai patin Vietnam.  Namun meski demikian sejumlah tantangan juga dihadapi dalam mengembangkan indutri patin.
 
Menurut Stephanie, tantangan tersebut antara lain biaya produksi yang masih cukup tinggi sehingga masih kurang bisa bersaing dengan produk dari Vietnam. Lalu pada awal program masih muncul ‘muddy smell’ (bau lumpur) pada daging patin, tetapi sudah teratasi. Kemudian teknologi pengolahan yang masih kalah dibandingkan dengan vietnam.
 
 
Kemitraan Patin
Penyediaan bahan baku yang berkualitas yang tidak bau lumpur dan sesuai dengan preferensi pasar menjadi tantangan tersendiri. Dalam hal ini CPP mengembangkan sistem kemitraan untuk memperoleh bahan baku yang berkualitas dalam jumlah besar secara kontinu.
 
Stephanie mengungkapkan, pola kemitraan ini dilakukan untuk memberdayakan kolam–kolam milik petani pembudidaya yang idle maupun mengembangkan kolam–kolam yang baru. ”Pola kemitraan ini kita lakukan juga untuk meningkatkan pendapatan pembudidaya patin, dan mengisi kekosongan pasar fillet patin dori Vietnam,” ungkap Sthepanie.
 
Lebih jauh ia menjelaskan, dalam pola kemitraan ini pembudidaya didampingi untuk memproduksi patin dengan bobot sekitar 1 ekor per kg. Hasil produksi ini yang kemudian diserap oleh CPP sebagai bahan baku produk fillet patin yang dihasilkan. Kemitraan meliputi support permodalan, pendampingan teknis budidaya, dan buy back ikan dengan harga kontrak.
 
”Pembudidaya akan didampingi untuk melakukan budidaya sesuai standar operasional prosedur/SOP yang telah kami buat agar hasil produksinya bagus dan efisien, di SOP diajarkan semua teknik budidaya dari mulai persiapan kolam sampai panen, agar hasilnya sesuai dengan standar bahan baku yang dibutuhkan,” ujar Sthepanie. Dia menginformasikan, saat ini untuk runing produksi fillet patin perusahaannya, membutuhkan bahan baku sekitar 300 – 500 ton per bulan.
 
Menurutnya jumlah pembudidaya yang bermitra terus bertambah dari tahun 2012 hingga 2016 sudah lebih dari 85 orang, dengan jumlah produksi sekitar 350 ton per bulan. ”Jumlah petani  mitra terus bertumbuh karena ada jaminan  serapan pasar, walaupun  nilai keuntungan per kg tidak besar tapi namun tingkat kepastiannya tinggi,” klaim Sthepanie. Seiring makin bertumbuhnya kemitraan patin tentunya aspek pasar juga harus berkembang.
 
 
Pasar Patin
Tidak dipungkiri  peluang pasar untuk patin terbuka lebar baik untuk lokal maupun ekspor. Pada awal tahun 2017 Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo menginformasikan bahwa ekspor ikan patin dari Vietnam menuju ke Amerika Serikat sudah dilarang. Karena itu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mendorong Indonesia untuk mengisi peluang ekspor patin ke Amerika Serikat.