Selasa, 20 Juni 2017

Geliat Budidaya Sidat di Bali

Mengejar pasar ekspor asia
 
 
Satu lagi komoditas perikanan darat yang saat ini sedang diincar oleh pembudidaya, ikan sidat (Anguilla,sp). Meski belum begitu populer di masyarakat secara umum, potensi pasar sidat cukup menjanjikan. Di Jepang, sidat dipercaya menjadi menu utama para kaisar. Di Korea dan beberapa negara lain, olahan sidat termasuk hidangan mewah.
 
Dari 18 jenis sidat yang ada di dunia, 7 di antaranya terdapat dan berkembang di Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, sidat dikenal dengan nama berbeda. Ada yang menyebutnya ikan masapi (Bugis), ikan moa (Betawi), ikan lubang (Sunda) dan sebagainya. Di Bali, sidat dikenal dengan nama kulen.
 
Sejak setahun terakhir, budidaya sidat mulai berkembang di Bali. Adalah kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) Mina Sidat Dewata yang serius membudidayakannya. Kelompok beranggotakan 30 orang tersebut saat ini tersebar di beberapa daerah, yaitu Wanasari (Tabanan), Bedugul (Tabanan), Denpasar dan Gianyar.
 
Kelompok ini khusus membudidayakan sidat jenis Anguilla  bicolor  yang memiliki warna coklat polos kehitaman tanpa bintik-bintik dan kapasitas tebar benih di seluruh Bali telah mencapai 1,5 ton. "Yang sesuai dengan Bali adalah jenis ini (Anguilla bicolor), ” ujar I Wayan Adnyana, Ketua Teknisi Budidaya Mina Sidat Dewata. Lelaki yang akrab disapa Tedi ini menggeluti bisnis ikan sejak tahun 1970-an.
 
 
Tak Ada SOP
Menurut Tedi, budidaya sidat memerlukan teknik khusus. Baginya, ilmu sidat tidak ada SOP (Standar Operating Procedure) bakunya. Hal mendasar yang harus diperhatikan dalam budidaya sidat adalah kondisi air, kualitas pakan, ketersediaan benih juga pemasaran hasil.
 
Untuk kondisi air, sidat memerlukan air bersih. Air yang jernih namun tercampur dengan residu bahan-bahan kimia, tidak bisa digunakan untuk membudidayakan sidat. Sedangkan untuk pakan harus memiliki kandungan protein tinggi. “Yang bakal jadi masalah jika budidaya sidat ini makin berkembang adalah ketersediaan benih. Sampai saat ini, benih sidat hanya mengandalkan tangkapan dari alam,” terang Tedi.
 
Keberhasilan budidaya sidat di Wanasari (Tabanan) memicu daerah lain untuk serta ambil bagian. Tak ketinggalan Denpasar. Nyoman Jaya Kusuma, pembudidaya sidat di daerah Penatih yang juga anggota kelompok Mina Sidat Dewata menjelaskan jika komoditas sidat ini memiliki nilai ekonomis tinggi dan peluang pasar besar.
 
Jaya Kusuma bersama dua rekannya sesama alumni Universitas Udayana menyewa lahan seluas empat are di kawasan Penatih, Denpasar Timur dan mendirikan deretan kolam beton berukuran 3x6 meter dengan ketinggian 1 meter. Benih dipasok dari Jawa dengan harga 350 ribu rupiah per kilogram yang berisi 60 hingga 65 ekor. Ditebar dalam ketinggian air 40 – 50 cm. “Kami memilih mengembangkan sidat jenis bicolor ini karena dagingnya terasa lebih enak, durinya sedikit dan diminati tamu dari Jepang," ujar Jaya Kusuma.
 
 
Manajemen Kolam
Di wilayah Denpasar, kolam sidat milik Jaya Kusuma dan dua kawannya bisa dikatakan sebagai perintis. Dengan permodalan mandiri, di areal 4 are itu dibangun 6 unit kolam (dua kolam sudah terisi,red), satu bangunan yang difungsikan sebagai kamar tidur dilengkapi dengan dapur dan kamar mandi, ruang terbuka untuk santai, gudang, dan beberapa petak yang rencananya untuk budidaya cacing.
 
Ngurah Riyawan yang sehari-hari bertanggungjawab atas kolam sidat milik Jaya Kusuma mengungkapkan, jika pemilihan lokasi kolam sidat harus memperhatikan lingkungan sekitar dan sumber air yang akan digunakan. “Lokasi yang dipilih harus jauh dari kebisingan atau keramaian. Sidat tidak suka suara-suara bising.
 
Yang paling utama harus terpenuhi adalah sumber air, lanjutnya. Di sini menggunakan air sumur.  Jika di daerah-daerah masih banyak sumber mata air, budidaya sidat akan lebih efektif. Jika masalah air selesai, bisa dibilang 50% masalah selesai. terangnya.
 
Jaya Kusuma melanjutkan, ”Secara visual, air harus bersih, dalam arti harus ada oksigen, fertilizer dan garam krosok.” Pemberian garam pada air dilakukan hingga sidat mencapai berat 100 gram ke atas. Selanjutnya, garam dikurangi, dan ketika sudah besar hingga jelang panen, tidak menggunakan garam sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar