Perlu kemampuan khusus untuk bisa memproduksi benih lele memenuhi permintaan pasar
High risk, high return. Filosofi bisnis ini berlaku dalam
banyak hal termasuk usaha perikanan. Dalam keseluruhan proses produksi
budidaya perikanan, segmen pembenihan dapat dikatakan memiliki risiko
yang paling besar. Tidak terkecuali pembenihan ikan lele. Meski jika
ditinjau dari finansial, input biaya pembenihan jauh lebih kecil dari
pada pembesaran, akan tetapi tingkat resiko produksinya relatif lebih
besar.
Duet pemuda yang berjibaku di pembenihan lele pun mengakui kesukaran
dalam berbudidaya benih. Adalah Chandra Bani dan Cahyadin yang sejak 4
tahun lalu telah fokus pada pembenihan ikan lele. Saat ditemui di farm
milik keduanya di Bogor Jawa Barat, bergantian mereka menjelaskan
bagaimana tantangan yang dihadapi dalam menghasilkan benih lele
berkualitas.
Meski sudah 4 tahun berjalan, keduanya masih selalu menemui tantangan
baru dalam menghasilkan benih lele. “Melihara benih kayak melihara
bayi,” ucap Bani. Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan untuk
menghasilkan benih yang berkualitas.
Keduanya memproduksi benih lele ukuran 7 - 8 cm. “Maksimal ukuran 9 –
10 cm. Setelah mencapai ukuran itu harus udah keluar semua,” jelas
Cahyadin, yang biasa dipanggil Yadin. Mereka harus memutus produksi
hingga ukuran maksimal 9 - 10 cm demi menjaga pola tanam berikutnya.
Pada ukuran farm pembenihan yang mencapai hampir seribu meter persegi, kapasitas produksi saat ini sudah mencapai 250 ribu benih lele.
Jenis lele yang dibudidayakan oleh Bani dan Cahyadin saat ini adalah
sangkuriang. Sejauh ini bagi mereka, lele jenis ini masih dinilai unggul
dibadingkan dengan jenis lele lainnya.
Pakan Berkualitas
Dalam menjamin kontinuitas pasokan untuk pelanggannya, Bani dan
Cahyadin lebih banyak menggunakan larva jadi yang dibelinya dari Balai
Besar Pengmabngan Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Larva yang mereka beli
berumur 2 hari. “Kadang juga memijahkan sendiri,” kata Chayadin
melengkapi.
Mereka tidak mepermasalahkan benih yang diproduksi berasal dari larva
yang dipijahkan secara alami maupun buatan. Yang terpenting bagi
keduanya adalah bagaimana merawat larva tersebut sebaik mungkin agar
menjadi benih berkualitas.
Demi menjaga kesehatan dan kualitas larva, Kedua laki-laki alumni
Perikanan Budidaya Institut Pertanian Bogor ini rela mengeluarkan biaya
lebih, terutama untuk pakan awal larva. “Hari pertama setelah larva
datang diberi artemia,” tutur mereka serempak. Hari kedua hingga hari
ke-10 pemeliharaan, larva lele diberi pakan cacing sutra dan pakan larva
ikan laut pada pagi dan sore hari secara bergantian.
Berbeda dengan pembenih lele lainnya yang menjadikan cacing sebagai
pakan utama pada awal-awal pemeliharaan, Bani dan Cahyadin justru
membatasi peggunaannya. Menurut keduanya, pengurangan penggunaan cacing
untuk mengurangi risiko patogen yang dibawa oleh cacing sutera yang
sebagian besar masih dihasilkan dari tangkapan alam.
Setelah lewat 10 hari pemeliharaan, pakan alami berupa cacing diganti pakan pelet larva ikan laut. “10 hari berikutnya full
pakan ikan air laut” kata Bani. Pakan tersebut dipercaya mampu
meningkatkan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit. Baru setelah
lebih dari 20 hari pemeliharaan, benih lele diberi pakan untuk benih
ikan air tawar hingga dipanen pada umur 40 hari pemeliharaan.
Penggunaan pakan benih ikan air tawar sejak awal dinilai mereka kurang
bagus bagi pertumbuhan. “Nafsu makan ikannya juga kurang,” aku Cahyadin.
Selain itu, masih menurutnya, pakan benih air tawar cenderung mengotori
air budidaya. Bahkan pakan benur udang yang biasa digunakan untuk
pembitbitan lele pun masih dinilai kurang bagus. Sehingga pakan benih
ikan air tawar hanya diberikan jika benih sudah lebih dari 20 hari
pemeliharaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar