Selasa, 20 Juni 2017

Produksi Susah, Permintaan Melimpah

Perlu kemampuan khusus untuk bisa memproduksi benih lele memenuhi permintaan pasar
 
 
High risk, high return. Filosofi bisnis ini berlaku dalam banyak hal termasuk usaha perikanan. Dalam keseluruhan proses produksi budidaya perikanan, segmen pembenihan dapat dikatakan memiliki risiko yang paling besar. Tidak terkecuali pembenihan ikan lele. Meski jika ditinjau dari finansial, input biaya pembenihan jauh lebih kecil dari pada pembesaran, akan tetapi tingkat resiko produksinya relatif lebih besar.
 
Duet pemuda yang berjibaku di pembenihan lele pun mengakui kesukaran dalam berbudidaya benih. Adalah Chandra Bani dan Cahyadin yang sejak 4 tahun lalu telah fokus pada pembenihan ikan lele. Saat ditemui di farm milik keduanya di Bogor Jawa Barat, bergantian mereka menjelaskan bagaimana tantangan yang dihadapi dalam menghasilkan benih lele berkualitas.
 
Meski sudah 4 tahun berjalan, keduanya masih selalu menemui tantangan baru dalam menghasilkan benih lele. “Melihara benih kayak melihara bayi,” ucap Bani. Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan untuk menghasilkan benih yang berkualitas.
 
Keduanya memproduksi benih lele ukuran 7 - 8 cm. “Maksimal ukuran 9 – 10 cm. Setelah mencapai ukuran itu harus udah keluar semua,” jelas Cahyadin, yang biasa dipanggil Yadin. Mereka harus memutus produksi hingga ukuran maksimal 9 - 10 cm demi menjaga pola tanam berikutnya. Pada ukuran farm pembenihan yang mencapai  hampir seribu  meter persegi, kapasitas produksi saat ini sudah mencapai 250 ribu benih lele.
 
Jenis lele yang dibudidayakan oleh Bani dan Cahyadin saat ini adalah sangkuriang. Sejauh ini bagi mereka, lele jenis ini masih dinilai unggul dibadingkan dengan jenis lele lainnya.
 
 
Pakan Berkualitas
Dalam menjamin kontinuitas pasokan untuk pelanggannya, Bani dan Cahyadin lebih banyak menggunakan larva jadi yang dibelinya dari Balai Besar Pengmabngan Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Larva yang mereka beli berumur 2 hari. “Kadang juga memijahkan sendiri,” kata Chayadin melengkapi.
 
Mereka tidak mepermasalahkan benih yang diproduksi berasal dari larva yang dipijahkan secara alami maupun buatan. Yang terpenting bagi keduanya adalah bagaimana merawat larva tersebut sebaik mungkin agar menjadi benih berkualitas.
 
Demi menjaga kesehatan dan kualitas larva, Kedua laki-laki alumni Perikanan Budidaya Institut Pertanian Bogor ini rela mengeluarkan biaya lebih, terutama untuk pakan awal larva. “Hari pertama setelah larva datang diberi artemia,” tutur mereka serempak. Hari kedua hingga hari ke-10 pemeliharaan, larva lele diberi pakan cacing sutra dan pakan larva ikan laut pada pagi dan sore hari secara bergantian.
 
Berbeda dengan pembenih lele lainnya yang menjadikan cacing sebagai pakan utama pada awal-awal pemeliharaan, Bani dan Cahyadin justru membatasi peggunaannya. Menurut keduanya, pengurangan penggunaan cacing untuk mengurangi risiko patogen yang dibawa oleh cacing sutera yang sebagian besar masih dihasilkan dari tangkapan alam.
 
Setelah lewat 10 hari pemeliharaan, pakan alami berupa cacing diganti pakan pelet larva ikan laut. “10 hari berikutnya full pakan ikan air laut” kata Bani. Pakan tersebut dipercaya mampu meningkatkan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit. Baru setelah lebih dari 20 hari pemeliharaan, benih lele diberi pakan untuk benih ikan air tawar hingga dipanen pada umur 40 hari pemeliharaan.
 
Penggunaan pakan benih ikan air tawar sejak awal dinilai mereka kurang bagus bagi pertumbuhan. “Nafsu makan ikannya juga kurang,” aku Cahyadin. Selain itu, masih menurutnya, pakan benih air tawar cenderung mengotori air budidaya. Bahkan pakan benur udang yang biasa digunakan untuk pembitbitan lele pun masih dinilai kurang bagus.  Sehingga pakan benih ikan air tawar hanya diberikan jika benih sudah lebih dari 20 hari pemeliharaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar