Pengguna autofeeder mengakui adanya efisiensi pada pemberian pakan dan percepatan terhadap pertumbuhan udang
Perkembangan penggunaan alat pemberi pakan otomatis atau automatic feeder (autofeeder) pada sektor perikanan dan perudangan di Indonesia nampaknya belum berkembang pesat sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara yang telah maju sektor perikanannya. Hal tersebut diakui oleh pakar nutrisi ikan dari Institut Pertanian Bogor, Nur Bambang Priyo Utomo. Menurut pria yang akrab dipanggil Bambang ini, ada beberapa alasan mengapa autofeeder di Indonesia belum berkembang sesuai yang diharapkan.
Menurut Bambang, pada mulanya penggunaan autofeeder di negara-negara maju bertujuan untuk memecahkan dua masalah utama. Yakni meningkatkan efektivitas dan efisensi pemberian pakan, serta untuk menyiasati mahalnya biaya tenaga kerja. “Selain tenaga kerja mahal, akurasi pemberian pakan juga,” kata Bambang kepada Trobos Aqua.
Bagi pelaku perikanan di Indonesia, perkembangan penggunaan autofeeder seolah menjadi dilema. Di satu sisi perlu untuk meningkatkan efisiensi pemberian pakan, di sisi lain tenaga kerja di Indonesia cukup melimpah dengan biaya relatif murah. “Norwegia tenaga kerjanya mahal bukan main,” terang Bambang membandingkan kondisinya. Alasan tersebut bisa menjadi salah satu kendala kenapa penggunaan autofeeder belum sesuai yang diharapkan.
Tetapi apakah benar autofeeder ini dapat menggantikan peran pekerja di tambak sehingga mengurangi peluang kerja dan meningkatkan pengangguran. Menurut pengelola tambak di Sumenep-Madura, Hardjono, penggunaan autofeeder sebetulnya tidak serta merta menghilangkan peran pekerja di tambak. “Masih harus isi pakan, cek anco, dan kondisi tambak,” terangnya.
Sementara menurut founder sekaligus CEO produsen autofeederEfishery, Gibran Huzaifah Amsi El Farizy, alasan utama ia membuat autofeeder adalah untuk menyiasati efisiensi pemberian pakan. “Di udang ini pakan salah satu yang paling besar. Masalahnya pakan yang paling besar ini pemberiannya belum efisien,” jelas Gibran. Hal itu yang mendasari Gibran mengembangkan autofeeder.
Pemberian pakan yang tidak efisien tentunya membuat biaya pakan yang sudah besar menjadi lebih besar. Hal ini dikarenakan keterbatasan manusia dalam memenuhi kemauan udang yang memiliki sifat continus feeding, atau pemakan secara terus menerus. “Dan kita masih belum bisa memberi dengan optimal. akhirnya jadi jebol,” terang Gibran.
Menurut Bambang, proses makan udang mulai dari menangkap pakan hingga memasukannya ke dalam mulut terbilang lama. Berbeda dengan ikan (finsfish) yang hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit saja. “Finfish 15 belas menit habis. Kalo udang kan dicapit dulu, intinya proses makannya gak cepet. Satu jam lah,” ujar Bambang.
Karena proses yang lama itu lah, udang perlu makan secara terus menerus agar proses pertumbuhannya berjalan dengan baik. Di sisi lain, hal ini justru menjadi keterbatasan bagi pekerja tambak jika harus memberi makan udang secara terus menerus. Sehingga penggunaan autofeeder menjadi dipertimbangkan.
Cara Kerja
Beberapa petambak kini sudah mulai mencoba penggunaan autofeeder untuk udang. Bahkan bagi petambak yang sudah merasakan manfaatnya, autofeeder sudah digunakan di semua petakan tambak. Umumnya autofeeder di tambak saat ini menggunakan kombinasi antara jumlah pemberian dalam setiap lemparan dengan frekuensi pemberian dalam sehari.
Di tambak Hardjono misalnya, pemberian pakan dilakukan selama 5 kali dalam sehari. Artinya total pakan udang sehari dibagi ke dalam lima kali pemberian. Jarak pemberiannya selama 3,5 jam. Dalam 3,5 jam tersebut autofeeder akan melontarkan pakan berkali-kali hingga pakan di dalam alat tersebut habis. “Kemudian diisi pakan lagi,” ucap Hardjono.
Autofeederyang digunakan oleh Hardjono akan mengeluarkan pakan selama 1 menit setiap lemparannya. Setelah 1 menit, motor pemutar pakan akan berhenti atau delay selama 1 - 4 menit, disesuaikan dengan kebutuhannya. Alat yang dapat menampung pakan sebanyak 50 kg ini dapat melemparkan pakan sejauh 8 - 9 meter.
Dengan cara kerja alat seperti itu, udang akan makan secara bergantian satu dengan yang lainnya. Udang yang mendapat pakan lebih dulu akan menyelesaikan proses makannya selama satu jam. Dalam waktu tersebut, udang yang belum mendapat pakan akan mendapatkannya pada lemaparan pakan selanjutnya. “Udang pergi, kloter dua datang. Begitu terus,” ucap Hardjono.
Sebagai komoditas yang terbilang manja, udang memerlukan banyak pengamatan setiap harinya. Meski sudah menggunakan autofeeder, sampling terhadap tingkat konsumsi pakan oleh udang mesti tetap dilakukan. Samplingnya tetap menggunakan anco, hanya saja anco tersebut tidak diisi pakan oleh tenaga kerja seperti biasanya. Melainkan diisi langsung oleh autofeeder.
Samplingdengan metode tersebut salah satunya dilakukan oleh petambak udang sekaligus pengurus Shrimp Club Indonesia (SCI) Banyuwangi, Yanuar Toto Rahardjo. Ia memosisikan anco dengan jarak 2,5 – 5 meter dari alat pakan. “Penempatan anco di daerah sebaran pakan. Asal pakan tidak unmpuk di anco berarti dimakan udang,” terangnya. Pengecekan anco dilakukan setiap 3 - 4 menit setelah autofeeder berhenti memuntahkan pakan.
Sementara Gibran memiliki prosedur sendiri untuk peletakan anco dan pengecekannya. Menurutnya, anco diletakkan pada jarak 2 meter dan jarak 8 meter berseberangan dari alatnya. Sedangkan pengecekannya dilakukan selama 2 jam sekali atau lima kalau dalam sehari.
Peletakan Alat
Jumlah penggunaan autofeeder dalam satu petak tambak bervariasi sesuai dengan ukuran tambak dan spesifikasi alatnya. Yanuar sendiri menggunakan 2 - 3 alat dalam satu petaknya. “Kolam terkecil ukuran 3.300 (m2) saya menggunakan dua. Kolam terbesar ukuran 6.500 (m2) saya menggunakan tiga,” jelas Yanuar.
Sementara Hardjono menggunakan satu alat saja untuk luas petak sekitar 2.500 meter per segi. Kapasitas setiap alat juga berbeda. Hardjono menggunakan alat dengan kapasitas relatif kecil, yakni 50 kg. “Agar sering mengontrol,” alasan Hardjono. Sementara autofeeder yang digunakan oleh Yanuar memiliki kapasitas 50 dan 100 kg.
Sebetulnya tidak ada aturan baku mengenai jumlah alat dalam setiap kolam dan di posisi mana sebaiknya alat diletakan. Hal ini justru petambak sendiri yang mengetahui kondisi udang dan tambaknya. Tetapi Gibran merekomendasikan agar area lemparan alat tidak beririsan satu dengan yang lainnya. “Kalau ditempatkan dekat dan ada irisan pemberian pakan satu feeder dengan lainnya, ini akan jelek nanti hasilnya,” jelas Gibran.
Jika dilihat dari kebiasaan udangnya, Menurut Bambang, udang akan menyebar jika kondisi air tambak bagus. Bambang menambahkan, letak-letak kondisi air yang bagus sudah pasti yang dilewati oleh aliran arus kincir. “Udang itu paling banyak di aliran kincir ini, karena bersih kan. Yang gak kena kincir itu sedikit udangnya.” Katanya. Hal ini penting bagi petambak sebagai pertimbangan untuk memposisikan autofeedernya.
Sementara itu, Gibran juga memberikan saran mengenai ketinggian peletakan autofeeder dari permukaan air tambak. Menurutnya sebaiknya alat ditempatkan pada titik terdalam di suatu tambak. Ketinggian peletakan alatnya sendiri 60 - 80 cm dari permukaan air agar penyebarannya optimal. “Jika terlalu tinggi juga potensi tertiup angin lebih besar,” Ucap Gibran mewanti-wanti.
Pertumbuhan Udang
Awal mula pemakaian autofeeder berbeda-beda disesuaikan dengan spesifikasi jenis alatnya. Jika alat yang digunakan tidak bisa untuk pakan crumble, maka peenggunaan alat pertama kali dilakukan saat udang sudah memasuki fase memakan pakan dalam bentuk pelet. “Saya mggunakan umur 21 hari,” ucap Yanuar.
Sebagai pengguna autofeeder, Yanuar dan Hardjono merasakan manfaat dari alat tersebut. Kini penggunaan alat autofeeder Yanuar sudah memasuki siklus keempat. Mendapat manfaat dari penggunaan autofeeder ini, Yanuar memutuskan untuk memasang autofeeder di setiap tambaknya. “Sangat signifikan ya perbedaannya,” aku Yanuar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar