Selasa, 17 Juli 2018

Manajemen kualitas air dengan konsep keseimbangan ekosistem budidaya

Memasuki musim pancaroba di pertengahan tahun 2018, petambak udang terkadang merasa cukup resah terhadap kondisi tambaknya. Untuk itu petambak pun dituntut meningkatkan rasa awas terdapat perubahan kondisi cuaca yang bisa berdampak pada tambaknya, agar tidak mengganggu kelangsungan hidup udang.

Apalagi, terang Akrom Muflih, Technical Sales Support (TSS) PT Harvest Ariake Indonesia (produsen probiotik), budidaya udang saat ini lebih menekankan pada tingkat produktivitas lahan yang tinggi. Sementara,  produktivitas lahan sangat erat dengan daya dukung tambak dan lingkungan perairan.

Akrom menjelaskan, ketika budidaya dengan kepadatan udang tinggi, nilai daya dukung perairan tambak menjadi sangat terbatas. Belum lagi dengan bertambahnya kolam-kolam tambak di sekeliling, yang dikhawatirkan adanya pembuangan limbah kolam budidaya ke aliran sumber air.

Sehingga, lanjutnya, masukan beban perairan ini menyebabkan perubahan beberapa parameter air. Contohnya suhu, pH, oksigen, salinitas, alkalinitas, dan jumlah bahan organik. Yang ujungnya dapat mengakibatkan ekosistem perairan yang tidak stabil.

Menurut Bobby Juneidi, General Manager of Sales and Marketing PT Maxima Arta Prima (produsen peralatan tambak), dengan menurunnya kualitas air, maka probabilitas terinfeksi penyakit akan meningkat. “Menjadi peringatan ketika rendahnya kualitas air yang digunakan untuk budidaya di kolam dengan dasar tanah. Karena akan memicu timbulnya bakteri patogen dari dalam tanah yang sebelumnya tidak menginfeksi udang. Dalam artian, membangunkan patogen yang tertidur,” ungkap Bobby.


Kadar Amoniak 
Akrom  pun mencontohkan, kualitas air yang stabil yakni standar kadar bahan organik haruslah kurang dari 90 miligram per liter (mg/l). Karena, bila kandungan bahan organik di atas ini tidak jarang petambak menemukan masalah pada kualitas air mereka. Karena bisa berakibat pada terbentuknya amoniak yang ujungnya bisa menyebabkan timbulnya penyakit.

Hal ini khususnya banyak terjadi pada petambak yang menerapkan kepadatan tinggi. “Amoniak menjadi momok karena dianggap mengganggu keseimbangan kualitas perairan,” ungkap  Hasanuddin Atjo, petambak yang menerapkan tambak supra intensif.

Diimbuhkan Yanuar Toto Raharjo, Ketua Shrimp Club Indonesia wilayah Banyuwangi Jawa Timur, amoniak betul menjadi momok bagi petambak. Dan menurutnya, banyak petambak yang mengaplikasikan berbagai metode removal untuk membuang kandungan amoniak di air. “Salah satunya dengan metode penggantian air. Walau, metode ini juga berisiko mengganggu keseimbangan di dalam perairan tambak karena kandungan amoniak otomatis drop,” terangnya.

Di sisi lain, ucap Yanuar, banyak juga petambak yang menerapkan metode yang berkebalikan, yakni tidak merendahkan kadar amoniaknya. Yaitu dengan mendukung keseimbangan siklus N yang telah berjalan secara alami di alam.

“Yakni dengan melangsungkan proses dinamisasi unsur nitrogen (N). Karena di alam kan sudah ada proses nitrifikasi, yakni dari amonium menjadi nitrit, lalu nitrit menjadi nitrat. Yang nantinya mengalami denitrifikasi menjadi nitrit lagi, dan dilepas dalam bentuk N bebas lagi. Maka siklus ini yang harus dijalankan sehingga kita tidak perlu takut bila kandungan amonium atau nitrit-nya tinggi,” beber petambak yang panennya tanpa parsial ini.

Maka, syarat terjadinya siklus-siklus terkait N ini-lah yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan oksigen untuk oksidasi. “Karena sudah pasti ada siklus tersebut di tambak, sedangkan jika kita buang nitrit-nya nantinya ada yang pincang dalam keseimbangan siklus,” ungkap petambak yang menerapkan padat tebar di kisaran 90 ekor per meter persegi (m2) ini.

“Kalau diterangkan dengan bahasa penelitian, kadar nitrit 1 ppm (part per million) itu  bisa dikatakan dalam kadar toksik level. Ya tapi kan itu dalam bahasa penelitian, yang disediakan dengan wadah dan konsentrasi nitrit yang berbeda,” tuturnya. Sedangkan di tambak, jelas Yanuar, kondisi ekosistem itu riil itu jelas berbeda.

Bahkan, Yanuar pun menjelaskan, bahwa sebetulnya keberadaan unsur N dengan konsentrasi tinggi itu belum tentu merugikan. “Dari data yang saya dapat di tambak juga menunjukkan, ternyata konsentrasi N yang tinggi itu sebetulnya tidak berkorelasi langsung terhadap toksisitas gas beracun di dalam tambak. Saat produksi kita bagus, kita trace (telusuri) kadar nitritnya, kadar amoniak di perairan juga ternyata relatif tinggi,” ujar Yanuar.

Petambak yang menerapkan 75 hari budidaya per siklusnya ini mengatakan, data yang ia dapat pernah tercatat bahwa kadar nitrit tambaknya bisa mencapai 15 - 20 ppm. Sementara, kadar nitrat bisa mencapai 50 ppm. Yang menjadi pembeda, terang Yanuar, adalah proses siklus tersebut tetap berjalan simultan dan tanpa terputus.


Seimbangkan Rasio N/P
Justru, yang patut dijaga, beber Yanuar, adalah rasio nitrogen dan fosfor (N/P ratio). Mengapa, Yanuar beralasan, keberadaan rasio N/P bisa memanipulasi dominasi plankton yang bisa membahayakan.

“Contoh saja ketika rasio N/P rendah, akan ada dominasi Cyanobacter yang merupakan Blue Green Algae (BGA) dan mementahkan keberadaan plankton lainnya. Maka rasio N/P harus ditinggikan biar jenis plankton lain bisa tumbuh,” Yanuar menggambarkan. Keberadaan Cyanobacter pun otomatis diharapkan menurun karena BGA yang satu ini menghasilkan toksin yang membahayakan udang.

“Toksin itu kan senyawa protein. Secara simpelnya untuk membuat senyawa protein ini atau toksisitasnya rendah kan harus dipecah senyawa ini. Yang mampu merombak protein adalah enzim protease. Dan enzim ini bisa dihasilkan oleh probiotik di kondisi rasio N/P yang tinggi. Maka naikkan rasio N/P, gangguan toksin bisa dicegah sehingga udang tidak terganggu,” terang Yanuar yang biasanya menerapkan rasio N/P di kisaran 16 - 20.

Jadinya, dia menerangkan, sebetulnya udang ternyata bisa beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. “Ternyata udang mampu beradaptasi. Justru udang tidak mampu beradaptasi ketika terjadi lonjakan tiba-tiba,” imbuh Ketua Shrimp Club Indonesia wilayah Banyuwangi ini.

Diamini Akrom, fitoplankton jenis tertentu dan dalam kadar tertentu, sebetulnya merupakan organisme yang menguntungkan karena penghasil oksigen. Namun, ketika jumlah fitoplankton berlebih dan ketika terjadi perubahan cuaca, dapat terjadi fungsi kebalikan serta menghasilkan racun yang berbahaya bagi udang sehingga penerapan probiotik dibutuhkan disini.


Seimbangkan Bakteri-Plankton
Makanya, terang Yanuar, parameter kualitas air pun perlu diseimbangkan agar tidak terjadi lonjakan. “Yang salah satunya kita seimbangkan dengan penambahan bakteri denitrifikan. Agar bisa terjadi denitrifikasi. Salah satu aplikasi seperti ini adalah budidaya dengan probiotik,” ucap petambak yang rutin panen di ukuran (size) 40 ekor per kilogram (kg).

Akrom pun ikut menjelaskan, proses denitrifikasi akan mengubah amoniak (bersifat racun dari feses udang dan sisa pakan) menjadi nitrat dan gas nitrogen (bersifat tidak beracun). Contohnya, jenis Bacillus pumilus dan Bacillus subtilis dapat mendegradasi berbagai jenis bahan organik yang berasal dari feses udang, sisa pakan, dan organisme yang mati di kolom perairan maupun di substrat dasar perairan tambak. Peranan bakteri probiotik tersebut juga dapat menjaga kualitas air tetap stabil dari parameter nitrogen di perairan tambak. 

Disisi lainnya, probiotik mengontrol pertumbuhan fitoplankton. Beberapa jenis bakteri probiotik, jelas Akrom, seperti Bacillus lecinoformis dapat menekan kepadatan fitoplankton di air pada pH optimal 7,3 - 8,8 yang berakibat terhadap parameter kecerahan perairan tetap terjaga pada nilai 30 - 50 centimeter (cm).

Sementara itu, Sony Ardianto, praktisi perudangan asal Malang-Jawa Timur mengingatkan tentang interaksi plankton-bakteri ini. Menurutnya, banyaknya plankton tidak tergantung pada batasan jumlah tetapi hasil atau obyek kerja dari plankton dan bakterial tersebut. Gambarannya, semakin banyak sampah yang muncul maka semakin banyak pula pasukan pembersih sampah yang dibutuhkan, sehingga semakin banyak sumber amonium (NH4) atau nitrat (NO3) maka semakin banyak juga plankton dan bakterial yang dibutuhkan.

Sumber :
Majalah Trobos Edisi Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar