"BUDIDAYA KEPITING BAKAU"
Gambar 1. Kepiting Bakau
Di Indonesia dikenal ada 2 macam
kepiting sebagai komoditi perikanan yang diperdagangkan/komersial ialah
kepiting bakau atau kepiting lumpur; dalam perdagangan internasional dikenal
sebagai “Mud Crab” dan bahasa Latinnya Scyla serrata dan ada
juga kepiting laut atau rajungan yang nama internasionalnya “Swimming Crab”
dengan nama Latin: Portunus pelagicus. Kedua macam kepiting tsb
nilai ekonominya sama , dan keduanya diperoleh dari penangkapan dialam.
Kepiting bakau ditangkap dari perairan
estuaria yaitu muara sungai , saluran dan petak-petak tambak , diwilayah hutan
bakau dimana binatang ini hidup dan berkembangbiak secara liar. Kepiting bakau
lebih suka hidup diperairan yang relative dangkal dengan dasar berlumpur,
karena itu disebut juga Kepiting Lumpur (Mud Crab).
Sedangkan rajungan , ditangkap oleh
nelayan dilaut dekat pantai sampai sejauh 1-2 mil dari pantai, karena rajungan
hidup pelagis (di badan air laut). Namun demikian Kepiting Bakau juga dapat
tertangkap di laut dekat pantai, karena kepitng bakau yang hendak kawin dan
bertelur, juga berpindah di wilayah laut dekat pantai.
Bentuk (habitus) kepiting bakau badannya
yang didominasi oleh tutup punggung (karapas) yang berkulit chitin yang tebal.
Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi
dibawah karapas itu. Anggota badannya berpangkal pada bagian dada (cephalus)
tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu 5 pasang kaki jalan.
Kaki jalan terdepan (nomer 1) berbentuk
capit yang besar ; kaki jalan nomer 2,3 dan 4 berujung runcing yang berfungsi
untuk berjalan ; kaki jalan nomer 5 berbentu pipih berfungsi sebagai dayung
bila ia berenang. Pada cephalus (dada) terdapat organ2 pencernaan, organ
reproduksi (gonad pada betina dan testis pada jantan). Sedangkan bagian tubuh
(abdomen) melipat rapat dibawah (ventral) dari dada. Pada ujung abdomen itu
bermuara saluran cerna (dubur).
Pada kepiting jantan , bentuk abdomen
itu segitiga meruncing, terbentuk dari deretan beberapa ruas. Sedangkan
kepiting betina bentuk abdomen seperti segitiga juga tetapi lebar, dibawahnya
terdapat bulu-bulu (umbai-umbai) dimana telur-telurnya melekat ketika dierami.
HABITAT DAN PENYEBARAN
Kepiting Bakau terdapat di wilayah
perairan pantai estuaria dengan kadar garam 0 sampai 35 ppt. Menyukai perairan
yang berdasar lumpur dan lapisan air yang tidak terlalu dalam sekitar 10- 80 cm
dan terlindung,seperti di wilayah hutan bakau. Di habitat seperti itu kepiting
bakau hidup dan berkembang biak.
Dilaut dekat pantai, seringkali nelayan
dapat menangkap kepiting bakau yang sudah dewasa dan mengandung telur. Agaknya
kepiting bakau menyukai laut sebagai tempat melakukan perkawinan , namun
kepiting bakau banyak dijumpai berkembangbiak didaerah pertambakan dan hutan
bakau yang berair tak terlalu dangkal ( lebih dari 0,5 m).
Habitat hutan bakau itulah habitat utama
bagi kepiting untuk tumbuh dan berkembang, karena memang subur dihuni oleh
organisme kecil yang menjadi makanan dari kepiting bakau itu. Jadi cocok
sebagai “ breeding gound” ( tempat memijah) dan “nursery ground”(tempat
anak-anak kepiting berkembang/tumbuh) .
Kepiting bakau mempunyai daerah
penyebaran geografis yang sangat luas , yaitu pantai wilayah Indo Pasific
barat, dari pantai barat Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh
Asia Tenggara sampai kepulauan Hawaii; Di sebelah utara : dari Jepang bagian
selatan sampai pantai utara Australia. Dan di pantai barat Amerika bagian
selatan. (Moosa et al., 1985 dalam Mardjono et al., 1994).
DAUR HIDUP DAN PERKEMBANGBIAKAN
Kepiting bakau ialah binatang Kelas
Krustasea sama halnya dengan Udang. Badannya beruas-ruas yang tertutup oleh
kulit tebal dari zat khitin. Karena itu secara periodik berganti kulit
(moulting) yang memungkinkan binatang ini tumbuh pesat setelah ganti kulit .
Binatang yang masih muda berganti kulit lebih sering dibanding dengan yang tua.
Sehingga yang muda tumbuh lebih cepat dari pada yang telah tua.
Mekanisme ganti kulit itu sejalan pula
dengan periodisitas dari saat perkawinannya. Bila Kepiting (juga Udang) sedang
tumbuh kembang gonadnya terjadi ketika kulitnya sedang keras (intermoult) .
sedangkan menjelang perkawinan, pasti terjadi proses ganti kulit (mating moult)
sehingga kulit yang betina lunak memudahkan bagi pejantannya melakukan proses
perkawinan, memasukkan sperma kedalam thelycum alat kelamin) betinanya.
Kepiting betina yang sudah kawin dan
memijah (melepaskan telur-telurnya), telur lalu dibuahi (fertilisasi oleh
sperma yang sudah disimpan ketika perkawinan terjadi. Telur yang sudah
terfertilisasi tidak dilepaskan kedalam air melainkan segera menempel pada
rambut-rambut yang terdapat pada umbai-umbai di bagian bawah abdomen. Di
Indonesia yang beriklim tropika telur itu “dierami” selama 20 - 23 hari sampai
menetas tergantung tingginya suhu air. Seekor induk betina kepiting bakau yang
beratnya 100 gram (lebar karapas 11 cm) menghasilkan telur 1 – 1,5 juta butir.
Semakin besar /berat induk kepiting, semakin banyak telur yang dihasilkan.
Telur yang baru difertilisasi ( dibuahi)
berwarna kuning –oranje . Semakin berkembang embrio dalam telur, warna telur
akan berubah menjadi semakin gelap yaitu kelabu akhirnya coklat kehitaman
ketika hampir menetas.
Induk yang mengerami telur biasa sedikit
atau tidak makan sama sekali. Induk itu selalu menggerakkan kaki-kaki renangnya
dan sering tampak berdiri tegak pada kaki dayungnya , agar telur-telur mendapat
aliran air segar yang cukup oksigen.
Bila waktunya telur menetas, induk
kepiting itu menggarukkan kaki-kaki jalan dan kaki dayungnya terus menerus
dengan cepat , untuk memudahkan pelepasan larva yang segera menyebar
kesekelilingnya. . Disini fungsi kaki-kaki jalan itu penting, jika jumlahnya
tidak lengkap atau cacat, akan mengganggu proses penetasan tsb.
Hanya sebagian kecil saja telur yang
tidak menetas dan akhirnya rontok tidak menetas. Proses penetasan telur lamanya
3-5 jam.
Telur yang baru menetas disebut stadia pre-zoea hanya
dalam waktu 30 menit berubah menjadi stadia Zoea 1 . Ada 5 sub stadia Zoea
yaitu Zoea-1, Zoea-2, Zoea-3, Zoea -4 dan Zoea-5. Semakin
lanjut sub –stadia, terjadi penambahan organ tubuh sehingga semakin sempurna
untuk pergerakan, menangkap makanan dan metabolisme tubuhnya.
Setiap sub-stadia memerlukan waktu 3-4
hari untuk berubah menjadi sub-stadia selanjutnya. Sehingga tingkat Zoea
seluruhnya memerlukan waktu 18-20 hari untuk menjadi stadia selanjutnya yaitu megalopa.
Zoea-1 warna tubuh transparan, panjang
tubuhnya 1,15 mm, matanya tidak bertangkai.
Zoea-1 geraknya masih lamban, makanannya
fitoplankton . dan zooplankton yang lamban geraknya yaitu Brachionus
plicatilis.
Zoea-2 geraknya lebih gesit sejalan
dengan semakin berkembangnya anggota tubuh baik dalam ukuran maupun jumlahnya..
Panjang tubuhnya 1,50 mm . Mata bertangkai.
Makananya masih berupa fitoplankton yang
ukurannya lebih besar seperti Tetraselmis chuii, Chaetoceros
calcitran. Kedua jenis fitoplankton itu selain sebagai pakan untuk
Brachionus juga menyerap gas hasil metabolisme (metabolit) dari larva itu
sendiri. Jadi sebagai pembersih air.
Sub-stadia Zoea-3 , ukurannya lebih
besar 1,93 mm .Dapat memangsa nauplii Artemia. Beberapa organ tubuhnya
disajikan pada Seekor Zoea-3 dapat memakan nauplii artemia sebanyak 30 ekor
per-hari.
Sub-stadia Zoea-4 ,panjang tubuhnya 2,4
mm. Pada stadia ini telah terbentuk pleopoda (kaki renang) dan pereiopoda (kaki
jalan). Tampak aktif berenang karena itu lebih aktif menangkap pakannya.
Sub-stadia Zoea-5 panjang tubuhnya 3,4
mm, lebih efektif menangkap mangsanya dan geraknya lebih gesit.
Stadia berikutnya ialah Megalopa .
Ukuran tubuhnya semakin besar, sehingga tidak lagi diberi pakan nauplii artemia
melainkan dapat memakan artemia instar-5 .
Panjang karapas 2,18 mm (termasuk duri
rostral), lebar karapas 1,52 mm ; panjang abdomen 1,87 mm panjang tubuh total
(termasuk duri rostral) 4,1 mm. Mempunyai pereopoda 5 pasang . Abdomen terdiri
7 segmen memanjang kebelakang.
Stadia berikutnya ialah Stadium Crab
(kepiting muda). Bentuk dan anggota tubuhnya sudah seperti pada kepiting
dewasa. Kebiasaannya cenderung di dasar perairan. Memakan makanan yang ada
didasar atau yang tenggelam. Makanan yang diberikan berupa cacahan cumi-cumi,
udang kecil dsb. Tetapi juga dapat memakan nauplii artemia yang planktonis.
Biasanya juga diberi pakan buatan berupa mikro pellet yang kaya nutrisi,
seperti yang biasa untuk larva udang.
Pada kondisi normal di Panti Pembenihan (Hatchery) , lama waktu perubahan dari menetas sampai menjadi stadium Megalopa 21-23 hari. Dari Megalopa menjadi Stadium Crab-5 ialah 10-12 hari . Sehingga lama waktu pemeliharaan larva sejak telur menetas sampai menjadi benih kepiting (crab-5) siap jual hanyalah 30 – 35 hari.
PEMBENIHAN
Tehnik Pembenihan kepiting bakau telah
berhasil di coba kan pada tahun 1992 -1994 di Balai Budidaya Air Payau Jepara
dan di Balai Besar Budidaya Pantai, Gondol, Bali. Namun demikian sampai
sekarang tehnologi pembenihan komoditi yang sebenarnya mendapat pasaran cukup
besar dan menjanjikan di luar negeri ini, masih belum mendapat tanggapan dari
para pengusaha swasta, sehingga belum dikembangkan.
Kendala yang dihadapi pada waktu itu ,
sudah diidentifikasi dan masih perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Kendala termaksud ialah a.l . derajat
kehidupan (sintasan) larva menjadi megalopa masih rendah yaitu 3-5 % walaupun
derajat penetasan telurnya tinggi, sedangkan seekor induk kepiting yang
beratnya 100 gram dapat menghasilkan telur 1-1,5 juta butir. Penyebab dari
mortalitas yang besar ini disebabkan a.l. oleh sifat kanibalisme (memakan
sesamanya) . Sebenarnya sintasan yang rendah ini biasa terjadi pada
pemeliharaan larva hewan- hewan air seperti udang windu, udang galah, vannamei,
ikan kerapu , ikan kakap , dsb. namun demikian setelah berjalan beberapa waktu
, ternyata kendala tehnis itu dapat diatasi , karena faktor manusia yaitu para
pelaksana/tehnisi telah semakin terampil dan menguasai keadaan.
TEMPAT DAN WADAH PEMELIHARAAN
1. Lokasi
Panti Pembenihan Kepiting Bakau harus
berlokasi di dekat pantai karena memerlukan air sebagai media kehidupan larva
ialah air payau dengan kadar garam 25-35 ppt.; pH 7,5 – 8,5. Perlu adanya
sumber air tawar yang jernih dan kuntitasnya mencukupi.Kegunaan air tawar ini
untuk memcuci bak dan peralatan, untuk keperluan para pekerja sehari-hari .dan
untuk mengencerkan kadar garam pada air media pemeliharaan itu sendiri bila
diperlukan.
Persyaratan lain seperti, bebas
pencemaran , mudah dijangkau oleh akses komunikasi (jalan ) dan fasilitas yang
mudah dan murah (listrik, tenaga kerja).
Memungkinkan untuk berproduksi sepanjang
tahun ( minimal 8 bulan/tahun) .Bebas bencana alam dan sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Daerah, sehingga tidak tumpang tindih dengan peruntukan pembangunan
lainnya. Bebas dari gangguan keamanan pada umumnya Persyaratan tsb adalah lazim
dibutuhkan oleh sesuatu Panti Pembenihan berbagai komoditas akuatik maupun
bukan .
2. Prasarana, Tatak Letak dan Desain
bangunan
Panti Pembenihan Kepiting Bakau
memerlukan prasarana yang umum pada panti panti pembenihan udang terperinci
sbb.:
a. Fasilitas pengadaaan air laut
dan air tawar : berupa bangunan dan bak-bak untuk penyaringan air
dilengkapi dengan system filter, system airasi.
b. Fasilitas bak-bak dibuat
dari beton dan/atau fiber glass sesuai dengan kapasitasnya, untuk keperluan
pemeliharaan calon induk, pematangan gonad, perkawinan; bak-bak penetasan telur
(untuk induk yang mengerami), bak pemeliharaan larva ,megalopa dan crablets),
bak kultur fitoplankton, zooplankton dan penetasan Artemia.
c. Bangunan pendukung :
Bangsal tempat panen dan packing, laboratorium pemeriksaan kualitas air dan
penyakit, persiapan pakan tambahan, gudang penyimpanan bahan kimia, obat-obat,
dsb.
d. Bangunan pelengkap :
kantor manajemen dan administrasi, asrama tehnisi, dapur, garasi, ruang
pengepakan hasil, dsb.
e. Peralatan penting :
seperti pompa- pompa penyedot/ celup untuk air laut dan air tawar, sesuai
dengan kebutuhan, blower, unit mesin pembangkit listrik (Gen set), refrigerator,
kendaraan roda-4 dan roda-2. telepon , computer, dsb.
Tata Letak dan desain bangunan
Tata letak dan desain bangunan diatur
untuk memudahkan dan efisiensi pekerjaan. Bak-2 pemeliharaan harus dalam
ruangan (indoor), memungkinkan pengaturan cahaya (matahari atau listrik)
menurut kebutuhan, dilengkapi dengan fasilitas desinfeksi/ pencucian,
karantina, dsb.
Panti Pembenihan untuk Kepiting bakau
ini dapat menggunakan Panti pembenihan yang biasanya untuk pembenihan udang
windu atau vannamei.
PEMATANGAN GONAD INDUK KEPITING BAKAU
1. Calon Induk
Kegiatan tehnik Pembenihan dimulai dari
perolehan calon induk kepiting. Calon induk kepiting dapat diperoleh dari alam
yaitu hasil penangkapan di tambak-tambak atau perairan hutan bakau di sepanjang
pantai. Dapat juga calon induk di dapat dari penangkapan nelayan di laut.
Kepiting yang dijadikan calon induk untuk pembenihan harus diseleksi yang telah
dewasa yaitu yang ukuran karapasnya lebar tidak kurang dari 10 cm dan berat tak
kurang dari 100 gram untuk yang betina; yang jantan berat minimum 120 gram dan
panjang karapas 12 cm atau lebih. Ini disebabkan karena kepiting jantan tumbuh
lebih cepat walaupun umurnya sama dengan yang betina.
Kepiting betina, abdomennya berbentuk
segitiga yang lebar melipat dibawah (ventral) dari dadanya. Yang jantan abdomen
berbentuk segitiga yang sempit, juga melipat di bagian ventral dada. Betina
yang tertangkap di laut kebanyakan yang sudah dewasa dan menjelang perkawinan.
Kesehatan calon induk harus diperhatikan yaitu dipilih yang kulitnya bersih
tidak ada organisme penempel (fouling) . Anggota tubuh (kaki jalan, kaki
renang, dll) lengkap dan tidak cacat. Kelengkapan anggota tubuh ini penting dan
berperan dalam keberhasilan pemijahan dan penetasan telurnya.
Agar produksi benihnya bagus dan
telurnya banyak, kepiting betina dipilih yang berat badannya 200 gram atau
lebih , panjang karapas 8 cm dan lebar karapas 11-12 cm. CaLon induk jantan
berat 300 gram , panjang dan lebar karapas 8 dan 11 cm. Perbedaan ukuran jantan
dan betina ini disebabkan kepiting jantan lebih cepat tumbuh disbanding yang
betina.
Dalam proses pematangan gonad , calon
induk kepiting dipelihara didalam bak dengan kepadatan 5 ekor/M2 , dengan
perbandingan jantan : betina 2 : 3.
Calon induk sebelum dimasukkan kedalam
bak pemeliharaan induk perlu di adabtasi lebih dahulu didalam bak penampungan
selama 3 hari. Adaptasi ini perlu untuk penyegaran kondisi calon induk karena
pengangkutan. Kepiting yang pada umumnya dilakukan dengan system kering
(lembab) . metoda penagangkutan kepiting hidup dengan system kering ini
dimungkinkan bila jarak angkut cukup dekat : 1-3 jam perjalanan.
2. Pematangan gonad
Kepiting betina agak sukar mencapai
kematangan gonad terutama diluar musim pemijahan alami. Untuk mempercepat
kematangan gonad, dilakukan tehnik ablasi tangkai mata seperti dilakukan
terhadap induk udang. (Mardjono dkk., 1992) .
Prinsip ablasi mata ialah dengan
memanfaatkan system hormonal yang terjadi pada binatang kelas Krustasea pada
umumnya, yang diungkapkan oleh Adiyodi dan Adiyodi, 1970 dalam Nurjana
dkk. 1985; Mardjono dkk.1992).
Teori ini menjelaskan bahwa pada tangkai
mata Dekapoda kelas Crustacea, terdapat kelenjar yang menghambat pematangan
gonad yang disebut organ X. . Adanya rangsangan dari luar yang diterima oleh
susunan syaraf pusat , memerintahkan organ X untuk mengeluarkan hormone yang
disebut “Gonade Inhibiting Hormone “ (GIH) . GIH sebelum dilepas kedalam
sirkulasi tubuh , di tampung lebih dahulu didalam Sinus Gland yang juga
terletak pada tangkai mata . Fungsi dari GIH secara langsung menghambat
perkembangan kelenjar hormone sex jantan (androgenic hormone) atau Ovarium pada
binatang betina ; sehingga sperma pada jantan dan /atau sel telur pada betina
terhambat perkembangannya. Dapat pula GIH mempengaruhi perkembangan gonada
secara tidak langsung yakni dengan menghambat aktifitas Y-organ. Y-organ ialah
kelenjar yang terletak pada pusat syaraf pada kepala dan juga pada thorax ; Y
–organ menghasilkan hormone GSH (Gonade Stimulating Hormone) yang fungsinya
mendorong perkembangan gonad yaitu merangsang pembentukan sperma pada individu
jantan dan pembentukan sel telur pada individu betina.
Dengan demikian jika X Organ dihilangkan
dengan cara pemotongan tangkai mata maka GIH tidak terbentuk, berarti tidak ada
yang menghambat perkembangan telur dan sperma, berarti telur dan sperma akan
cepat terbentuk .
Akibat lain yang terjadi ialah Y organ
bebas menghasilkan GSH sehingga ada rangsangan untuk pematangan gonad menjadi
kuat atau dipercepat. .
Fungsi lain dari Y organ ialah berperan
pada tingkah laku birahi , mengendalikan proses penyerapan air, proses ganti
kulit dan pembentukan zat warna.
Ablasi (pembuangan) tangkai mata (tentu
termasuk juga menghilangkan bola mata) hanya pada individu betina , karena
individu jantan organ sex-nya mudah dapat berkembang cepat dan sempurna secara
alamiah , walaupun dipelihara didalam bak.
Uji coba telah dilakukan di Balai
Budidaya Air Payau Jepara (Mardjono dkk.1992) mengungkapkan bahwa walaupun
kepiting betina dapat matang gonad di tambak namun laju perkembangan gonadnya
lambat bila dipelihara di dalam bak. Apabila dilakukan ablasi mata, maka
individu betina tersebut lebih cepat mengalami pematangan gonad disusul dengan
proses perkawinan dan kehamilan (pengeraman telur) , walaupun diluar musim
kawin yang alamiah.
Musim pematangan gonad dan perkawinan
kepiting bakau terjadi pada musim hujan ialah pada bulan November sampai
Februari . selain bulan-bulan tsb. kepiting dapat matang gonad apabila di
ablasi mata. Namun demikian diketahui juga bahwa kepiting dapat bertelur di
berbagai bulan sepanjang tahun dibeberapa daerah, bilamana kondisi alam cukup
menimbulkan perangsang.
Metoda ablasi mata pada kepiting sama
dengan yang diterapkan pada udang windu yaitu memotong salah satu tangkai mata
(unilateral ablation) pada betina saja.
Ablasi baik dilaksanakan siang maupun
malam hari , namun dengan syarat ketika kepiting betina tidak sedang ganti
kulit , melainkan harus sedang berkulit keras; juga agar dipilih kepiting
betina yang sehat, dan tida bercacat pada anggota tubuhnya. Apabila berkulit
lunak , luka karena ablasi akan menyebabkan keluarnya banyak cairan tubuh
sehingga kepiting dapat mati ; sedangkan kecacatan dan tidak lengkapnya anggota
badan akan berakibat terganggunya proses perkawinan, kehamilan dan penetasan
telur, sehingga jumlah larva akan sedikit yang menetas.
C. Bak Pemeliharaan
Agar memperoleh hasil yang baik dalam
prose pematangan gonad induk kepiting diperlukan bak konstruksi semen ukuran 3
x 4 x 1 m (12 m3). Bentuk bak dapat dibuat persegi ataupun oval, dilengkapi
dengan saluran pemasukan dan pembuangan air berbentuk pipa goyang yang mudah
dioperasikan untuk mengatur ketinggian air maupun untuk pengeringan.
Sebaiknya disediakan minimal 2 buah bak
untuk pematangan gonad , bak2 itu terletak berdekatan agar memudahkan dalam
pengoperasian , karena kepiting yang telah matang gonad perlu segera diseleksi
dan dipindahkan kedalam bak terpisah.
Intensitas cahaya yang mengenai bak-bak
itu harus diperlemah dengan cara memberikan tutup dari bahan yang masih dapat
ditembus sinar matahari tetapi intensitasnya kurang. Juga atap berfungsi agar
bak tidak kena curahan air hujan secara langsung.
Bak pemetangan induk itu harus diberi
dasar lapisan lumpur campur pasir setebal 15 – 20 cm, dengan ketinggian air
30-80 cm. dasar bak juga diberi tempat berlindung (shelter) dari
potongan-potongan pipa paralon berdiameter 3-4 inci karena kepiting dihabitat
aslinya suka bersembunyi didalam lubang-lubang.
Bak perlu dilengkapi dengan aerasi , 1
batu aerasi setiap 2 m2. Aerasi dipasang setinggi 5 cm diatas lapisan lumpur
dasar, agar lumpur tidak teraduk oleh proses airasi itu. Kadar oksigen dalam
air diupayakan 6-7 ppm. Batu-batu airasi perlu dibersihkan secara periodic
untuk menjaga kestabilan gelembung udara.
PEMELIHARAAN INDUK
1. Media pemeliharaan
Air media pemeliharaan dengan kadar
garam 30-32 ppt yang sebelumnya disaring lebih dahulu dengan saringan pasir
(sand filter) sebagaimana lazimnya pada hatchery untuk udang. pH air berkisar
7,5 -8,5 . DO 5-7 ppt.
Dasar bak pemeliharaan induk kepiting
perlu diberikan lapisan lumpur yang sebelumnya sudah di bersihkan dan disterilkan
dengan cara di rebus sampai mendidih , lalu didinginkan. Percobaan yang telah
dilakukan membuktikan bahwa, induk kepiting yang dipelihara di bak yang tanpa
substrat berupa dasar lumpur, hasil perkembangan telurnya kurang baik, sedikit
dan daya tetas kurang. (Rusdi dkk.,1998).
2. Pakan
Pakan untuk calon induk dan induk
kepiting ialah cacahan daging ikan, cumi-cumi yang masih segar. Pengalaman di
BBAP Jepara menunjukkan bahwa cumi-cumi harus diutamakan, karena baik untuk
merangsang perkembangan gonad bagi binatang krustasea : udang ,kepiting.
(Mardjono dkk,1992). Banyaknya pakan 5-10% berat biomassa perhari. Pakan
sejumlah itu diberikan dua kali per-hari , jam 8.00 pagi dan jam 17. 00 sore.
Sebelum pakan diberikan, dasar bak dibersihkan dengan cara menyipon untuk
menyedot pakan yang ang masih tersisa. Bila pakan yang tersisa banyak, maka
pemberian pakan berikutnya harus dikurangi. Sebaliknya bila pakan tidak bersisa
, pakan yang diberikan harus ditambah.
Pembersihan bak hanya dilakukan pada
pagi hari saja, kecuali bila terjadi hal yang buruk, misalnya ada gejala
pembusukan dengan terlihatnya banyak busa dipermukaan air, atau air berbau
busuk.
Selain pakan alami berupa daging ikan
dan cumi-cumi mentah segar, juga diberi pakan buatan berupa pelet kering yang
biasa diberikan untuk induk udang windu. Pakan pellet khusus untuk induk udang
itu mengandung nutrisi jang baik sebagai pelengkap ,dengan kandungan protein
dan lemak esensial, vitamin dan mineral . Diberikannya cukup 2-3 kali
per-minggu, dengan dosis 2 % berat biomassa
3. Ablasi mata
Ablasi mata dilakukan setelah calon
induk dipelihara 3-5 hari didalam bak, setelah induk-induk itu terlihat sehat ,
gesit dan nafsu makannya baik.
Calon induk betina yang hendak di ablasi
dipilih yang berkulit keras dan sehat. Pelaksana ablasi kepiting harus
dilakukan oleh tehnisi yang terampil memegang kepiting agar tidak meronta.
Pemotongan mata berikut tangkainya dilakukan dengan gunting yang tajam dan
dipanaskan lebih dahulu , sehingga luka bekas terpotong segera kering dan tidak
mengeluarkan banyak cairan.
Selesai ablasi uni-lateral (sat mata),
kepiting direndam di dalam ember berisi larutan PK 5 ppm selama 15 menit, untuk
mencegah infeksi. Setelah itu kepiting dipindahkan kedalam bak pemeliharaan
yang telah dipersiapkan sebelumnya, dimana kepiting betina pasca ablasi itu di
pelihara bersama dengan kepiting jantan, dengan perbandingan jantan : betina
2:3. 3-5 hari pasca ablasi biasanya sudah ada betina yang siap untuk
perkawinan.
4. Proses Perkawinan
Kepiting Bakau melakukan perkawinan di
perairan estuaria (Arriola,1940 dalam Mardjono dkk. 1994). Perkawinan terjadi
biasanya saat suhu air naik. Menjelang perkawinannya, kepiting betina
mengeluarkan cairan kimiawi perangsang yaitu pheromone kedalam
air yang akan menarik perhatian kepiting jantan. Selanjutnya kepiting jantan
yang berhasil menemui kepiting betina sumber pheromone itu, lalu naik ke atas
karapas kepiting betina yang sedang dalam kondisi pra lepas cangkang (premolt).
Kepiting jantan tsb. membantu proses ganti kulit kepiting betina tsb. Selama
kepiting betina mengalami proses ganti kulit, kepiting jantan akan melindungi
nya selama kurang lebih 2-4 hari sampai cangkang terlepas dari tubuh kepiting
betina . Kondisi seperti itu disebut “doubler formation” atau “ premating
embrace”.
Setelah cangkang terlepas dari tubuh
kepiting betina, tubuh betina dibalikkan oleh yang jantan sehingga sekarang
pada posisi berhadapan untuk terjadinya kopulasi. Semetara itu cangkang betina
masih dalam keadaan lunak. “Spermatofora” dari kepiting jantan akan
disimpan didalam “spermateka” kepiting betina. Menurut Fielder dan
Heasman,1978dalam Mardjono dkk., 1991). Perkawinan kepiting ini
dapat terjadi di waktu siang maupun malam hari.
Fielder dan Heasman (1978) mengungkapkan
bahwa spermatofora yang tersimpan pada kepiting betina sekali kawin mencukupi
untuk pembuahan dua kali peneluran sekor kepiting betina. Telur yang telah
matang gonad dalam ovarium betina akan turun ke oviduct dan dibuahi oleh
sperma, selanjutnya telur yang telah dibuahi itu dikeluarkan lalu menmpel pada
umbai- umbai (rambut-rambut pada pleopoda) untuk dierami oleh induk betina itu.
Sekali bertelur induk kepiting dapat
mengeluarkan 1-8 juta butir telur ,
tergantung dari berat badan induk betina. , namun biasanya yang berhasil
menempel pada umbai-umbai hanya 1/3 nya.
5. Perkembangan Telur Dalam Ovarium
Pada kepiting bakau, telur berkembang
menuju pematangan untuk siap dibuahi, setelah terjadi kopulasi (perkawinan).
Jantan dan betina melepaskan diri , dan cangkang induk betina menjadi keras
kembali.
6. Pengamatan Kematangan Telur
Mulai sepuluh hari setelah di ablasi
mata dan selanjutnya pengamatan dilakukan berselang 3 hari kemudian., dilakukan
pengamatan tingkat perkembangan gonad. Berbeda dengan udang, kepiting
bercangkang sangat tebal sehingga pengamatan gonad hanya dapat dilakukan
melalui bagian belakang karapas tempat bersambungan dengan abdomen. B again ini
tampak menggembung bila telur kepiting berkembang penuh. Dan berwarna kemerahan
cerah. Fielder dan heasman (1978) dalam Mardjono (1994)
membuat tingkat perkembangan telur kepiting bakau menjadi 4 tingkatan , sbb. :
Tingkat I: belum matang (immature),
yaitu belum ada tanda-tanda perkembangan telur pada induk betina .
Tingkat II: Sedang dalam proses
pematangan (maturing) perkembangan telur sudah mulai terlihat penuh, berwarna
kuning, namun belum tampak menonjol penuh.
Tingkat III: Matang (ripe). Telur
kepiting telah dibuah dan dikeluarkan serta menempel pada umbai-umbai dibawah
abdomen. Saat baru ditempelkan ,telur berwarna kuning muda. Selanjutnya embrio
makin berkembang didalam telur dan warna telur berubah menjadi kelabu, coklat
kehitaman , bila hamper menetas. Lama pengeraman (inkubasi) telur 14-20 hari.
Tingkat IV: Salin (spent). Seluruh telur
telah menetas. Ruang dibawah abdomen terlihat kosong.
Pada tingkat kematangan II akhir, telur
dikeluarkan dari ovarium lalu dibuahi. Selanjutnya telur yang sudah dibuahi itu
keluar tidak membuyar kedalam air melainkan melekat pada bulu-bulu di kaki
renang (pleopoda) yang disebut umbai-umbai dibawah abdomen mengalami masa
pengeraman. Pada panti pembenihan, saat induk mulai terlihat mengerai telur,
segera dipindahkan kedalam bak pengeraman/ penetasan. Masa pengeraman telur 14
– 20 hari.
7. Pengeraman dan Penetasan
Induk yang sedang mengerami telur,
mengipaskan kaki renangnya secara teratur , sehingga telur-telur itu memperoleh
air segar yang banyak mengandung oksigen. Pada masa pengeraman tsb. induk
berenang-renang dengan kaki renangnya yang terus=menerus bergerak dan sering
berdiri pada kaki jalan. Sehingga telur-telur terus menerus memperoleh air
segar dan banyak oksigen . Hal ini penting untuk perkembangan embrio. Masa
telur yang semakin tua, warnanya berubah warna menjadi kelabu kemudian coklat kehitaman.
Masa pengeraman banyak dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan. Pada lingkungan dengan kadar garam 30-33 ppt dan suhu
berkisar antara 26-30 oC pengeraman dapat berlangsung baik dan perkembangan
telur normal.
Induk yang di ablasi proses pematangan
telur berlangsung sedikit lebih cepat dan didapatkan jumlah induk matang telur
lebih banyak . (Mardjono dkk.,1994).
Bak untuk pengeraman dapat digunakan bak
berukuran 2 x 2 x 0,5 m , terbuat dari semen atau fiber glass. Sebagai media
pemeliharaan digunakan air laut dengan kadar garam minimal 28 ppt suhu 28oC.
Untuk mengurangi kecerahan cahaya
matahari, bak perlu ditutup dengan anyaman bambu (gedeg) atau plastic yang
tidak terlalu gelap. Kepadatan kepiting dalam bak pengeraman 1 ekor/m2 .
Selama proses pengeraman induk tidak
diberi pakan. Penggantian air dilakukan setiap hari sebanyak 75%. Aerasi
dipasang 1 batu aerasi/m2 dengan tekanan aerator diatur agar tidak terlalu kuat
dan tidak terlalu lemah.
E. Penetasan Telur
Setelah telur-telur berwarna kehitaman,
proses penetasan akan segera berlangsung. Penetasan biasanya berlangsung pada
pagi hari. Larva yang baru menetas disebut pre-zoea yang
sekitar 30 menit kemudian akan bermetamorfosa menjadi Zoea-1.
Pada masa penetasan ini pre-zoea disebarkan kedalam air secara terus menrus
selama 3 – 5 jam. Seekor induk kepiting dengan berat 100 gram (lebar karapas 11
cm) dapat menghasilkan telur sebanyak 1 – 1,5 juta butir. Pada proses penetasan
itu, kaki dayungnya dikipas-kipaskan dan kaki-kaki jalan induk di
garuk-garukkan kepada umbai-umbai segingga telur lepas secara bertahap.
Disinilah fungsi kai-kaki jalan sehingga kelengkapan anggota badan induk sangat
berperan dalam kesempurnaan proses reproduksi sajak perkawinan sampai penetasan
telurnya. Akhirnya hanya sebagian kecil dari telur yang akhirnya rontok gagal
menetas.
Induk kepiting yang telah melepaskan
larva yang baru menetas itu, segera dipindahkan kedalam bak pemeliharaan induk
dan dirawat guna memulihkan kondisi induk . Masa pemulihan ini akan berlangsung
selama 4 – 7 hari . setelah itu induk dikembalikan kedalam bak perkawinan
bersama kepiting jantan.
F. Pemeliharaan Larva
1. Bak Pemeliharaan Larva
Bak untuk pemeliharaan larva kepiting
dapat berbentuk bulat, oval ataupun segi empat.
Ataupun bentuk-bentuk lain. Pada
dasarnya bak yang biasa untuk memlihara larva udang dapat juga untuk memelihara
larva kepiting. Yang terpenting ialah bahwa bak tidak boleh mempunyai sudut
tajam sehingga merupakan “sudut mati “dimana akan terkumpul kotoran disitu.
Bahkan larva itu sendiri akan terjebak pada sudut itu.
Dasr bak harus di disain agar cukup
miring supaaya dapat dengan tuntas dikeringkan. Pembuangan air berupa “pipa
goyang “ atau “system sifon” agar pembuangan air mudah dan tuntas.
Volume bak sebaiknya tidak terlalu
besar, cukup 5 – 10 m3 dengan kedalaman bak 1 m.Sehingga diisi air dengan
kedalaman maksimum 80 cm. Ukuran ini akan memudahkan dalam pengelolaan ,
seperti penggantian air; sedangkan larva yang dipelihara sebaiknya dapat
terdiri dari larva yang seumur (hari menetasnya bersamaan ) walaupun dari induk
yang berbeda. Hal ini penting untuk mengurangi kemungkinan perbedaan laju
pertumbuhan sehingga akan cenderung kanibal.
2. Media Pemeliharaan
Media pemeliharaan larva digunakan air
yang diambil langsung dari laut yang jernih, yang disaring dengan saringan
pasir, disusul dengan penyinaran sinar ultra violet atau perlakuan dengan
klorine 50 ppm untuk sterilisasi dari bacteria dan lain lain organisme renik
yang mungkindapat menimbulkan pengakit pada larva kepiting.
Salinitas 30-33 ppt, pH 7,5 – 8,5. Kadar
oksigen terlarut harus diupayakan stabil antara 6-7 ppm, dengan memasang
aerasi. Jumlah batu aerasi 1 per-m2
dengan jarah antar batu aerasi 0,5 m,
yang digantung dengan bantuan tali membentuk segi empat dimana setiap sudutnya
digantungkan batu aerasi, sebagaimana lazimnya pada bak pemeliharaan larva
udang. Kekuatan aerasi diatur agar tidak terlalu kuat dan tidak terlalu lemah.
Fungsi dari aerasi itu selain untuk menambah kelarutan oksigen dalam air, juga
untuk menggerakkan pakan larva agar selalu dalam kondisi melayang diair agar
tidak mudah tenggelam didasar.
3. Penebaran
Larva yang baru menetas , diperoleh dari
bak penetasan dinama induk yang mengeram di pelihara secara terpisah. Setelah
pre-zoea berubah menjadi zoea -1 , saatnya untuk dipindahkan ke bak
pemeliharaan larva.
Pemindahan larva dilakukan pada pagi
atau sore hari. Lrva dikumpulkan dengan menggunakan gayung atau “cimplung” agar
larva terambil bersama massa airnya. Selanjutnya ditampung di dalam ember
sambil diaerasi lambat. Bila sudah terkumpul dalam jumlah cukup banyak, larva
di pindah dalam waskom , lalu diapungkan dipermukaan air bak larva untuk 30
menit lamanya , sambil sedikit demi sedikit air dari bak yang akan ditebari itu
dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam waskom agar teraklimatisasi. Akhirnya
waskom dimiringkan sehingga larva dapat keluar sendiri menyebar kedalam air bak
pemeliharaan larva itu.
Kepadatan larva didalam bak pemeliharaan
75-100 ekor /liter. Jadi satu bak larva yang volume airnya 4000 liter (4 m3)
dapat ditebari 400 000 ekor Zoea-1 Larva sejumlah itu berasal dari seekor induk
kepiting saja. Bahkan dari seekor induk , larvanya dapat ditebar kedalam bak
yang volume airnya 8 m3.
Larva kepiting sangat bersifat kanibal.
Karena itu kepadatan sangat mempengaruhi tingkat sintasannya, apalagi kalau
pakan nya tidak mencukupi. Pakan yang kurang menyebabkan perkembangan larva
tidak sehat, sehingga banyak mati , selain kanibalisme. Sewbvaliknya bila pakan
berlebihan, akan menyebabkan mutu air memburuk, menyebabkan banyak kematian
juga pada larva.
4. Pengelolaan Pakan
Di alam larva kepiting memakan berbagai
organisme renik plankton seperti Diatomae, larva-larva dari Echinodermata,
moluska dan cacing, dsb. Didalam bak pemeliharaan , pakan yang diberikan juga
harus disesuaikan dengan sifat alami dari larva itu.
4.1. Pakan Alami
Dalam pemeliharaan larva kepiting diberi
pakan berupa pakan alami dari berbagai organisme plankton hewani (zooplankton)
dan fitoplankton yang ukurannya sesuai dengan stadia Zoea.
Pakan untuk Zoea – 1 sampai Zoea-3.
berupa zooplankton Brachionus sp dan fitoplankton jenis Chaetoceros sp.
yang dihasilkan dari kultur di laboratorium.
Pakan untuk Zoea- 4 dan Zoea -5 dan
Megalopa berupa nauplii Artemia yang ditetaskan dari kista Artemia dan
fitoplankton Chaetoceros sp. dan ditembah Tetraselmis sp..
Kegunaan dari fitoplankton itu walaupun mungkin secara langsung tidak dimakan
oleh larva kepiting, tetapi berguna sebagai penyeimbang lingkungan dalam air
karena fitoplankton itu dalam proses fotosintesisnya dapat menyerap zat-zat
hara yang beracun bagi larva kepiting yang dipelihara.
Dosis Brachionus , Chaetoceros yang
diberikan kira-kira 10 liter ( satu ember) kultur yang sudah disaring sehingga
padat untuk bak volume 1 M3. Demikian juga Tetraselmis sp. juga sebanyak 10
liter kultur yang sudah disaring.
Sedangkan untuk Zoea-4, Zoea-5 dan
Megalopa dosis nauplii Artemia diperkirakan 2 gram kista ditetaskan untuk
diberikan kepada setiap 100 000 larva kepiting. Jadi jika kita memelihara
seluruhnya 5 juta larva kepiting , maka setiap hari perlu di tetaskan kista
artemia sebanyak 10 gram.
Tetasan nauplii artemia tsb. diberikan
pada pagi hari, setelah dilakukan pembersihan bak dengan sipon dan air bak dig
anti 1/3 volume dengan air yang segar.
4.2. Pakan Buatan
Dalam pemeliharaan larva kepiting selain
pakan alami juga diberi pakan buatan. Pakan buatan mengacu kepada jenis pakan
yang diberikan kepada larva udang windu. Tujuan pemberian pakan buatan ini
untuk melengkapi zat nutrisi yang kemungkinan tidak terdapat pada pakan alami.
Larva kepiting mulai stadium Zoea -1
sudah dapat memakan pakan buatan . banyaknya ransum dan ukuran jenis pakan
buatan yang diberikan dirubah sesuai dengan tingkat perkembangan larva.
Larva stadium Z-1 dan Z-2 diberi pakan
sebanyak 0,5 ppm. Artinya kedalam bak pemeliharaan larva yang volume airnya 1
M3 (1000 liter) diberi pakan berupa butir-butir mikropelet sebanyak 0,5 gram .
Jika volume air 5 M3 maka banyaknya pakan 5 x 0,5 gram. = 2,5 gram.per-M3
volume air bak.
Untuk stadium Zoea-3, dosis pakan 0,6
ppm ; atau sebanyak 0,6 gram per-M3 air bak.
Untuk stadium Zoea-4 , dosis pakan 0,65
ppm ; atau sebanyak 0,65 gram per-M3 air bak.
Untuk stadium Zoea-5, dosis pakan 0,75
ppm ; atau sebanyak 0,75 gram per-M3 air bak.
Mulai stadium Megalopa sampai instar (
stadium Crab) ransum pakan ditingkatkan menjadi 1 ppm sekali pemberian.
Pemberian pakan buatan (mikropelet) tsb.
sehari diberi kan 6 kali , yaitu berselang waktu 4 jam. Dengan cara itu
diharapkan larva dapat terus menerus mendapat makanan, pakan tidak boleh
berlebihan dan karena selalu ada pakan didalam air pemeliharaan, larva menjadi
berkurang sifat kanibalisme-nya.
Ukuran partikel pakan juga harus
disesuaikan dengan ukuran stadium larva. Untuk stadium Zoea-1 sampai Zoea-5
ukuran pelet 50 mikron, diberbesar bertahap sampai 100 mikron . Selanjutnya
untuk stadium Megalopa dan Crab ukuran pelet lebih besar yaitu 200 mikron
sampai 500 mikron.
Ukuran-ukuran besarnya mikropelet itu
dapat di baca pada kaleng wadah pakan larva yang dijual.
Stadium Megalopa lebih suka tinggal
didasar bak (benthic)dan makan Artemia yang sudah ditetaskan berumur 4-5 hari
(instar 4-5). Dosis pakan tetasan kista sebanyak 3 gram untuk 100 000 ekor
Megalopa per-hari. Ukuran panjang total tubuhnya 4,1 mm. Sifatnya cenderung
kanibal. Sehingga terjadi banyak penyusutan jumlahnya. Untuk mengurangi
kanibalisme, di dalam air bak perlu diberi tempat persembunyian berupa
rumbai-rumbai yang dapat dibuat dari tali rafiyah yang diikat segerombol diberi
pemberat agar dapat ditegakkan didalam air. Jumlah rumbai-rumbai ini hendaknya
cukup banyak. Lama masa Megalopa ini 7 hari, bermetamorfosa menjadi stadium
Crablet (benih kepiting).
Pada stadium Crab-1 sampai Crab-5 yaitu
benih kepiting , bentuk dan organ tubuhnya sudah seperti pada kepiting
dewasa.Panjang karapas 2 mm sampai 3 mm; berat badannya 5 – 9 mg. Pada stadia
Crab anakan kepiting makan dari dasar bak Pakan yang diberikan berupa daging
ikan , cumi-cumi yang masih segar dan dibersihkan, lalu dicacah . Dosis pakan
perhari diperkirakan sebanyak 50-100 gram untuk 100 000 ekor benih Crab-1 sampai
Crab-5. Pemberiannya pakan secara di onggokkan pada 4-5 titik. Sementara diberi
pakan itu , aerator dihentikan. Kemudian harus diamati apakah pakan yang
diberikan itu segera habis dalam waktu 10 menit. Bila cepat habis, maka selang
3 - 4 jam , perlu diberi lagi cacahan pakan yang sama. Demikian dalam sehari
pemberian pakan untuk stadium Crab sebanyak 6 kali. Bila Crab terlihat sangat
rakus atau nafsu makan bagus, maka dosis pakan harus dinaikkan. Sebaliknya
kalau nafsu makan kurang, atau lambat memakannya, maka pada pemberian
berikutnya dosis pakan dikurangi.
Pengamatan dan pengaturan dosis pakan
itu penting , untuk mencegah terjadinya kanibalisme, bila benih crab itu
kelaparan dan pakannya kurang. Sebaliknya jika pakan terlalu banyak bersisa,
menyebabkan kualitas air menurun
karena pembusukan sisa pakan itu. Hal
ini akan menyebabkan banyak kematian pada benih kepiting.
Penelitian telah dilakukan pada
pertumbuhan benih stadia Crab dimana pada umur 50 hari (terhitung sejak Zoea-1)
berat badannya mendekati 500 mg panjang karapas mendekati 10 mm ( 1 cm). Ini
ukuran yang diperkirakan sudah cukup kuat untuk di jual sebagai benih untuk di
deder pada tempat yang lebih luas di luar ruangan. Misalnya didalam hapa yang
dipasang ditambak yang subur dengan pakan alaminya. Namun tentu saja harus
selalu dilindungi terhadap hama pemangsa karena itu masih di pelihara didalam
hapa.
G. Pengelolaan Kualitas Air
Kualitas air tempat larva kepiting
dipelihara , merupakan faktor penting yang harus dijaga agar tetap dalam kondisi
optimum dan stabil. Dalam Panti Pembenihan, biasanya dilakukan pergantian air
bak larva sebanyak 20-40% dari volume bak setiap 2 hari.
Penggantian air dilakukan dengan lebih
dahulu menyedot air dari dasar bak menggunakan sipon yaitu slang berdiameter 2
-3 inci yang diberi tutup ujungnya dengan kain kelambu yang lubangnya tidak
terlalu kecil, memungkinkan kotoran yang mengendap didasar bak tersedot.
Sebagian air dari dasar bak akan terbuang sebanyak 20-40% volume. Kemudian bak
diisi lagi dengan air yang masih segar dan salinitas 30-33ppt , suhu 28-30 oC
sama dengan air yang lama. Sedangkan kadar Oksigen tentu dapat dipertahankan
6-7 ppm bila aerator terus menerus terpasang. Dan dijaga kebersihannya.
Kotoran-kotoran dan sisa-sisa pakan didalam air akan membusuk dan menyerap
banyak O2. Karena itu kebersihan air dan dasar serta dinding bak harus dijaga,
dengan cara di sipon dengan cermat.
Penggantian air itu dimulai pada zoea-2
sebanyak 20% setiap 2 hari sekali , sampai Zoea-3 , selanjutnya sampai Zoea 5
ganti air sebanyak 40%.
Pada stadium Megalopa, sebaiknya
dipanen, untuk memindahkan Megalopa kedalam bak lain yang sudah dipersiapkan
dalam kondisi bersih dan diberi rumbai-rumbai untuk persembunyian terhadap
sesamanya. Megalopa bersifat benthic yaitu senang berada
didasar bak. Ukuran besarnya panjang karapas 2,1 mm, panjang abdomen 1,87 mm,
panjang tubuh total dari ujung duri rostral sampai ujung belakang abdomen
4,1mm.
Padat penebaran Megalopa 10-20
ekor/M3.diperkirakan dapat mengurangi sifat kanibalisme.
H. Pengendalian Penyakit
Penyakit pada larva kepiting dapat
terjadi pada semua stadium . Disebabkan adanya bacteria, jamur dan Protozoa
yang terdapat dan berkembang didalam air bak pemeliharaan. Ini disebabkan oleh
kotoran dan sisa-sisa pakan.
Penelitian mengenai larva kepiting belumlah
banyak dilakukan. Namun demikian haruslah diwaspadai masalah penyakit ini.
Penyakit dapat timbul dari interaksi antara 3 faktor yaitu faktor
lingkungan,fartor keberadaan organisme penyakit dan faktor kondisi inang atau
organisme itu sendiri (yaitu larva yang dipelihara) yang dalam kondisi lemah.
Lingkungan, yang kondisinya tidak stabil
(kotor, kualitas air tidak stabil) menyebabkan kondisi larva stress, lemah,
nafsu makan menurun, akibatnya mudah diserang penyakit. Penyakit itu disebabkan
keberadaan organisme penyakit itu yang ada didalam lingkungan /bak. Keberadaan
organisme penyebab penyakit itu memang ada dimana-mana, tetapi akan dapat
merebak bila kondisi airnya kotor. Bila kondisi bersih, tidak banyak sisa-sisa
kotoran dsb. dan kualitas air selalu terjaga stabilitasnya/ cocok untuk
kehidupan larva yang dipelihara, makanan cukup dan bergizi yang sesuai dengan
kebutuhan larva, maka larva juga kondisi nya akan selalu sehat, kuat, dan tahan
penyakit.
Itulah caranya kita mengendalikan
kondisi larva yang kita pelihara , agar kita upayakan selalu dalam kondisi
sehat dan ini dapat dicapai jika kita bekerja dengan cermat, cermat, dan
cermat.
1. Penggunaan Obat
Banyak jenis anti biotika yaitu obat
yang membasmi bacteria, jamur, protozoa, tetapi virus tidak dapat dibunuh oleh
antibiotika karena virus tidak dapat melakukan metabolisme sendiri, melainkan
sepenuhnya numpang hidup pada organisme lain.
Jenis penyakit pada larva kepiting ,
tentu juga serupa dengan yang menyerang larva udang yang sekarang sudah banyak
diketahui. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa larva yang terlanjut
sakit, sulit untuk disembuhkan dengan obat apapun. Karena itu cara pencegahan
harus diutamakan, yaitu memelihara lingkungan agar stabil dan optimal bagi
kehidupan larva, pakan yang baik mutunya, menjaga kebersihan, dan
menghindari/melindungi bak-bak pemeliharaan dari kontaminasi/penularan bibit
penyakit.
2. Penggunaan Antibiotik
Obat anti biotika sekarang dilarang oleh
Pemerintah penggunaannya untuk perikanan, karena menyebabkan organisme penyakit
menjadi resisten (tidak mati oleh obat tsb.) dan adanya obat yang menyebabkan
kanker pada manusia bila pemakaian jangka panjang dan obat tertentu itu
mengendap dalam bahan makanan.
Untuk pencegahan penyakit pada Panti
Pembenihan, diperkenankan untuk pembersihan saja yaitu menggunakan obat
disinfektan yang berupa bahan kimia , seperti larutan PK 2-3 ppm, deterjen ,
sabun untuk mencuci bak dll. , formalin 100- 200 ppm untuk mematikan bakteri
dan juga virus.
Demikian semoga penjelasan-penjelasan
dalam buku ini dapat diterapkan dan membawa keberhasilan dalam budidaya
Perikanan pada umumnya.
SUMBER:
Suyanto S.R., 2011. Budidaya Kepiting
Bakau. Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan Nomor: 008/TAK/BPSDMKP/2011.
Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
PUSTAKA:
Aldrianto,E., 1994. Aktifitas Reproduksi
Kepiting Bakau. Techner no.12 Th.2. 1994. Hal. 46-48.
Cholik,F dan A.Hanafi. 1991. A.Review of
the status of the Mud Crab (Scylla sp.). Fishery and Culture in
Indonesia. The Mud Crab . A rep on Sem convened in Surat Thani,Thailand, Nov
5-8,1991.s for Mud crab culture – a Preliminary biochemical, Fisical and
Biological Evaluation . The Mud Crab. A Rep .on th Sem convened at Surat Thani,
Thayland. Nov.5-8. BOBP.1991.
Gillespie,N.C. and J.H.Burke. 1991. Mud
crab storage and Transport in Australian Commerce. The Mud crab. A Rep.on the
Sem. Convened at Surat Thani, Thayland. Nov.5-8. BOBP. 1991.
How-Cheong, C., U.P.D.Gunasekera and
H.P.Amandakoon. 1991. Formulation of artificial feeds for Mud crab culture – a
Preliminary biochemical, Fisical and Biological Evaluation . The Mud Crab. A
Rep .on th Sem convened at Surat Thani, Thayland. BOBP. 1991.
Ladra, D.F. and J.C.Lin. 1991. Trade and
Marketing Practices of the Mud Crab in the Philippines. A Rep. on th
Sem.convened at Surat Thani, Thayland. Nov.5-8. BOBP. 1991.
Ladra,D.F. Mudcrab fattening Practices
in the Philippines. The Mud Crab, A Rep on the Sem convened in Surat
Thani,Thayland, Nov.5-8, 1991. BOBP.
Mardjono,M., Anindiastuti, Noor hamid ,
Iin S.Djunaidah dan W.H.Satyantini. 1994
Pedoman Pembenihan Kepiting Bakau Scylla
serrata . BBAP Jepara. 1994.
Mardjono, M.,N.Hamid dan M.L.Nurdjana .
1992. Budidaya Kepiting Bakau : Lahan Usaha Baru yang Menguntungkan. Makalah
Seminar sehari. Jakarta 8 Juli 1992.
Makatutu,D., I.Rusdi dan A.Parenrengi.
1998. Studi pendahuluan Pengaruh perbedaan waktu awal pemberian pakan alami
rotifer, Brachionus rotendiformis terhadap sintasan Zoea
kepiting bakau S.serrata Forskal. Pros.Sem Perik.Pantai, Bali.
1998. hal: 178-181.
Prinpanapung,S. 1991. Rearing of Mud
Crab (Scylla serrata). The Mud Crab. A Rep.on the Sem.convened at Surat
Thany, Thayland. Nov.5-8. BOBP.1991.
Rattanachote,A. and R. Dangwatanakul.
Mud Crab (Scylla serrata Forskal) fattening in Surat Thani Province. A Rep on
the Sem.convened in Surat Thani, Thayland. Nov.5-8. BOBP . 1991.
Rusdi,I.,D.Makatutu dan K.M.Setiawati.
1998. Percobaan Pematangan Gonad dan Pemijahan Kepiting Bakau Scylla
serrata pada berbagai jenis dan ketebalan substrat.
Pros. Sem.Teh.Perik.Pantai, Bali , 6-7
Agust 1998.
Samarasinghe,R.P., D.Y.Fernando and
O.S.S.C.de Silva. 1991. Pond Culture of Mud Crab in Sri Lanka. A Rep.on the
Sem.convened in Surat Thani , Thayland. . Nov 5-8 . BOBP . 1991.
Srinavasagam,S. and M.Kathirvel. 1991. A
Review of Experimental Culture of the Mud crab, Scylla serrata Forskal in
India. The Mud Crab. A rep. of the Sem convened at Surat Thani, Thayland. N0v.
5-8. BOBP. 1991.
Susanto,B. , M.Marzuqi,
I.Setyadi,D.Syahidah,G.N.Permana dan Haryanti . 2004. Penagmatan aspek biologi
Rajungan (portunus pelagicus), dalam menunjang tehnik pembenihannya. Warta
Penel. Perik Indonesia.Vol.10,No.1,2004.
Yunus. 1998. Uji Pendahuluan Produksi
benih kepiting bakau (S.serrata). Pros. Sem.Teh.Perik.Pantai, Bali.
1998. hal: 124-132.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar