Selasa, 31 Oktober 2017

JENIS DAN HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PENGANGKUTAN IKAN HIDUP

Dalam pengangkutan ikan hidup perlu dilakukan teknik khusus, berbeda dengan ikan mati. Ikan yang sudah mati hanya diharapkan tetap segar untuk sampai ke tujuan namun untuk ikan hidup, ikan harus tetap hidup dan dalam keadaan sehat hingga sampai ke tempat tujuan.Teknik pengangkutan ikan hidup dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : yaitu teknik basah yang menyertakan media air; dan teknik kering, tanpa penyertaan air. Setiap teknik yang digunakan bergantung kepada jarak tempuh dan waktu tempuh yang dibutuhkan hingga sampai ke tempat tujuan.
 
1.  Pengangkutan ikan hidup dengan teknik basah
Pada pengangkutan ikan hidup dengan teknik basah, ada beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu kandungan oksigen (O2), jumlah dan berat ikan, kandungan amoniak dalam air, karbondioksida (CO2), serta pH air. Jumlah O2 yang dikonsumsi ikan tergantung jumlah oksigen yang tersedia. Jika kandungan O2 meningkat, ikan akan mengonsumsi O2 pada kondisi stabil, dan ketika kadar O2 menurun konsumsi ikan atas O2 akan lebih rendah. Sementara itu, nilai pH air merupakan faktor kontrol yang bersifat teknis akibat perubahan kandungan CO2 dan amoniak. CO2 sebagai hasil respirasi ikan akan mengubah pH air menjadi asam. Perubahan pH menyebabkan ikan menjadi stres, dan cara menanggulanginya yaitu dengan menstabilkan kembali pH air selama pengangkutan dengan larutan bufer.Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pengangkutan ikan hidup menggunakan teknik basah yaitu pengangkutan dengan sistem terbuka dan sistem tertutup.
Pengangkutan dengan sistem terbuka biasanya hanya dilakukan jika jarak waktu dan jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dan menggunakan wadah yang terbuka. Sistem ini mudah diterapkan. Berat ikan yang aman untuk diangkut dengan sistem terbuka tergantung efisiensi sistem aerasi, lama pengangkutan, suhu air, ukuran, dan jenis ikan. Sementara itu, pengangkutan ikan hidup dengan sistem tertutup dilakukan menggunakan wadah tertutup dan memerlukan suplai oksigen yang cukup. Karena itu, perlu diperhatikan beberapa faktor penting yang memengaruhi keberhasilan pengangkutan yaitu kualitas ikan, oksigen, suhu, pH, CO2, amoniak, serta kepadatan dan aktivitas ikan.
 
2.  Pengangkutan ikan hidup dengan teknik kering
Dalam pengangkutan teknik kering, media yang digunakan bukanlah air. Namun,  ikan harus dikondisikan dalam aktivitas biologis rendah (dipingsankan) sehingga konsumsi ikan atas energi dan oksigen juga rendah. Semakin rendah metabolisme ikan, semakin rendah pula aktivitas dan konsumsi oksigennya. Dengan begitu, ketahanan hidup ikan untuk diangkut di luar habitatnya semakin besar. Terdapat tiga cara pemingsanan yang dapat dilakukan pada ikan, yaitu 
  •         Penggunaan suhu rendah,
  •     Pembiusan dengan zat kimia, dan
  •     Penyetruman dengan arus listrik.

Pemingsanan dengan penggunaan suhu rendah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penurunan suhu secara langsung dan penurunan suhu secara bertahap. Pemingsanan ikan menggunakan penurunan suhu secara langsung dilakukan dengan cara ikan dimasukkan dalam air bersuhu 10-15oC sehingga ikan pingsan seketika. Sementara, Pemingsanan ikan menggunakan penurunan suhu secara bertahap dapat dialkuakn dengan cara penurunan suhu air sebagai media ikan secara bertahap sampai ikan pingsan.Pembiusan dengan ikan zat kimia dilakukan dengan menggunakan bahan anestasi (pembius). Bahan anestasi yang digunakan untuk pembiusan ikan yaitu MS-222, Novacaine, Barbital sodium, dan bahan lainnya tergantung berat dan jenis ikan. Selain bahan-bahan anestasi sintetik, pembiusan juga dapat dilakukan  dengan zat cauler pindan cauler picin yang berasal dari ekstrak rumput laut Caulerpa sp. 
 
HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENGANGKUTAN IKAN HIDUP
 
Dalam budidaya ikan hias, salah satu faktor penting yang perlu mendapat perhatian adalah teknik pengangkutannya. Tidak jarang pengusaha ikan hias mengalami kerugian waktu, biaya dan kepercayaan karena kesalahan teknik pengangkutan.
Untuk mengatasi hal ini, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah memperbaiki teknik pengangkutan. Berikut adalah penjelasannya detailnya mengenai apa-apa saja yang harus diperhatikan:
1. Sesuai daya tampung
Sebaiknya kantong plastik diisi air 1/4 bagian. Air yang dimasukkan dalam kantong plastik harus steril dan sudah difiltrasi terlebih dahulu. Selain itu untuk menjaga stabilitas kwalitas, air perlu diberikan larutan buffer.
Setelah kantong plastik diisi air, ikan dimasukkan kedalamnya. Berat/jumlah ikan yang dimasukkan sebaiknya sama perbandingannya dengan berat/volume air. Cara menghitung perbandingannya dapat dilakukan dengan menimbang atau menghitung jumlah ikan. Baru kemudian, sisa isi kantong plastik diisi oksigen, dan diikat kuat agar oksigen tidak keluar atau bocor.
2. Desinfeksi
Sebelum masuk ruang pemberokkan, pekerja harus mencuci tangan dan kaki terlebih dahulu dengan menggunakan larutan lysol, atau disinfektan lainnya. Sebaiknya yang memasuki ruang pemberokkan hanyalah pekerja yang menangani ikan saja.
Desinfeksi juga dilakukan terhadap alat-alat, dan tempat wadah yang akan dipakai. Desinfeksi wadah/tempat dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan desinfektan sebelum wadah/tempat diisi air. Sedangkan deinfeksi alat-alat dapat dilakukan dengan merendamnya dalam larutan desinfektan, kemudian dibilas dengan air bersih.
3. Diberokkan
Selain seleksi, satu kegiatan penting yang harus dilakukan sebelum ikan dikemas adalah memberokkan ikan. Pemberokkan adalah suatu perlakuan untuk mengistirahatkan ikan setelah mendapat penanganan tertentu ditempat pemeliharaan. Maksudnya adalah agar ikan kondisinya lebih baik, dan tidak stress selama diperjalanan.
Pemberokkan dilakukan dalam air bersih yang sudah disterilkan, selama 2 -3 hari. Selama pemberokkan ikan tidak diberi pakan, namun kondisi kesehatan ikan tetap terus dijaga. Kandungan oksigen (O2) dalam air harus cukup, sebaiknya tidak kurang dari 8 ppm, dan kandungan amoniak (NH4) tidak melebihi 0,1 ppm.
4. Pengangkutan
Dalam pengangkutannya selain keselamatan, tepat waktu perlu juga diperhatikan. Untuk itu alat transportasi yang digunakan, cara penempatan karton-karton, dan waktu pemberangkatannya perlu dipertimbangkan.
Agar kemasan/karton berisi ikan tidak rusak, maka penataannya harus dilakukan dengan benar. Kemasan/karton-karton harus disusun berjajar satu-satu, dan rapat sehingga terlihat rapih, dan tahan goncangan. Namun bila kemasan ingin disusun bertingkat, maka harus menggunakan rak-rak.
5. Tepat waktu
Hal penting terakhir yang harus diperhatikan adalah ketepatan waktu pemberangkatan. Selain waktu pemberangkatan, lamanya perjalanan juga harus diketahui secara tepat. Jika hal ini tidak diketahui secara tepat, maka sulit memperkirakan perbandingan jumlah oksigen yang harus diberikan, akibatnya juga membahayakan keselamatan ikan yang dilalu-lintaskan.

Senin, 30 Oktober 2017

Skala Ekonomi Usaha Pengolahan Patin Nir Limbah

Skala Ekonomi Usaha Pengolahan Patin Nir Limbah

Usaha pengolahan patin akan lebih  menguntungkan jika dilakukan dengan menerapkan zero waste concept.  Dengan konsep ini, usaha pengolahan patin diarahkan dengan memproduksi  fillet patin sebagai produk utama. Sisanya yang berupa kepala, tulang,  dan kulit yang jumlahnya mencapai 60% dari berat patin dapat diolah  menjadi produk olahan seperti tepung ikan, kerupuk dan krispi yang  masing-masing dapat diusahakan dalam usaha terpisah yang menguntungkan.  Jika usaha pengolahan fillet patin ini dilakukan secara terintegrasi  dengan memanfaatkan hasil samping tersebut akan lebih menguntungkan.  Pemanfaatan semua bagian tubuh patin yang nir limbah ini dapat  memberikan keuntungan tambahan yang sekaligus mengimplementasikan zero  waste concept yang merupakan salah satu prinsip utama dalam blue economy  sehingga usaha ini dapat dikatagorikan sebagai usaha yang sangat ramah  lingkungan.     
LATAR BELAKANG  
Patin merupakan salah satu komoditas  unggulan ikan budidaya yang dikembangkan di Indonesia (di sungai, danau,  waduk, maupun kolam) karena memiliki pangsa pasar sangat besar baik di  dalam maupun di luar negeri, budidayanya mudah, pertumbuhannya cepat,  dan mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan. Produksi patin  Indonesia (Anon, 2012a) meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007  produksi patin nasional mencapai 47.594 ton meningkat 5 kali lipat lebih  menjadi 243.419 ton pada tahun 2011 (Gambar 1). Ditargetkan pada tahun  2014 nanti produksi menjadi 1,8 juta ton (Anon., 2013a). Peningkatan  produksi yang luar biasa ini menuntut tindakan yang tepat, tertutama  untuk memanfaatkan nilai tambah semaksimal mungkin di dalam negeri  sekaligus memenuhi permintaan dalam negeri yang tinggi. Di sisi lain,  permintaan ekspor akan ikan ini pun terus meningkat, terutama dari pasar  Eropa dan Amerika Serikat. Namun demikian, di pasar ekspor harga ikan  patin Indonesia belum dapat bersaing dengan patin Vietnam yang saat ini  menguasai 80% pasar dunia.   Peluang ekspor patin bagi Indonesia  semakin terbuka lebar setelah Amerika Serikat mulai menutup impor patin  dari Vietnam karena disinyalir mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan  manusia. Amerika Serikat mengimpor patin hingga 1,1 juta ton per tahun,  terutama dalam bentuk fillet, yang didominasi oleh patin Vietnam. Pasar  potensial lainnya adalah pasar Eropa (terutama pasar Uni Eropa) yang  diperkirakan kebutuhan pasarnya jauh di atas kebutuhan patin di pasar  Amerika Serikat (Anon., 2013b). Saat ini 25% pangsa pasar patin di pasar  Eropa dikuasai patin Vietnam. Potensi ekspor patin ke pasar Eropa ini  makin meningkat dengan dikeluarkannya kebijakan untuk membatasi  perburuan ikan cod. Sebagai gantinya, masyarakat Eropa mulai beralih ke  patin yang daging dan teksturnya mirip dengan ikan cod. Pasar potensial  lainnya adalah Timur Tengah khususnya Dubai (Uni Emirat Arab) yang  menginginkan patin ukuran 2 ekor/kg (Anon., 2013b).   Dengan mempertimbangkan potensi serta  keunggulan yang dimiliki dalam mengembangkan produksi patin nasional  maka bukanlah hal yang mustahil jika Indonesia mampu menjadi salah satu  eksportir patin terbesar dunia. Program industrialisasi menjadi salah  satu usaha nyata dalam rangka mewujudkan harapan tersebut. Ditambah lagi  dengan peluang pemasaran patin baik untuk konsumsi dalam negeri maupun  untuk memenuhi permintaan impor dari beberapa negara di dunia. ?  
Masalah yang dihadapi untuk  mengembangkan potensi patin Indonesia adalah harga jual yang masih  tinggi dan bagaimana meningkatkan nilai tambah patin itu sendiri di  dalam negeri agar patin Indonesia mampu bersaing di tingkat  internasional. Usaha pengolahan fillet patin untuk memenuhi pasar dalam  maupun luar negeri merupakan usaha yang menguntungkan. Usaha ini akan  makin menguntungkan jika diikuti dengan pemanfaatan hasil samping  seperti kepala, tulang, sisa daging dan kulit sehingga tidak terdapat  bagian tubuh patin yang terbuang (nir limbah). Upaya ini merupakan  implementasi dari zero waste concept yang merupakan salah satu jiwa dari  prinsip blue economy.   Secara parsial, usaha pengolahan hasil  samping menjadi produk olahan merupakan usaha yang menguntungkan untuk  dikerjakan dalam skala besar maupun UKM, bahkan hingga skala mikro.  Usaha tersebut akan makin menguntungkan jika dilakukan secara  terintergrasi dengan memproduksi fillet sebagai produk utama dan hasil  samping sebagai produk tambahan untuk usaha skala besar hingga UKM.  Produk-produk olahan hasil samping dari pengolahan fillet patin telah  dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan  Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, seperti kerupuk tulang  patin, krispi kulit patin dan tepung ikan dari hasil samping lainnya  (Suryaningrum et al., 2012).   Usaha pengolahan lain yang biasa dan  telah lama dilakukan di Indonesia namun tidak menghasilkan hasil samping  adalah salai patin (patin asap) yang secara finansial menguntungkan.  Salai patin ini lebih ditekankan untuk memenuhi permintaan dalam negeri  yang tinggi, namun demikian, dengan perbaikan cara pengolahan dan  peningkatan mutu, tidak tertutup kemungkinan produk ini untuk diekspor  terutama ke pasar Asia dan Afrika yang memiliki selera serupa dengan  Indonesia.             
      
PENGEMBANGAN USAHA PATIN TERINTEGRASI NIR LIMBAH  
Diversifikasi pengolahan patin menjadi  beberapa produk siap olah dan siap saji akan meningkatkan nilai tambah  produk patin itu sendiri. Produk diversifikasi ini dapat memberikan  pilihan yang lebih luas bagi konsumen untuk memenuhi minat akan produk  yang praktis dan menarik. Disamping itu, produk tersebut memiliki pangsa  pasar yang sangat terbuka baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan  domestik maupun kebutuhan ekspor ke beberapa negara di dunia.  Pengembangan usaha pengolahan patin dengan zero waste concept ini sangat  mungkin untuk diterapkan mengingat patin dapat dimanfaatkan secara  menyeluruh mulai dari daging, kepala, tulang, kulit, sirip dan isi  perut. Penerapan zero waste concept dalam usaha pengolahan patin yang  terintegrasi dapat meningkatkan margin usaha jika dibandingkan usaha  masing-masing secara parsial.   Salai patin merupakan salah satu bentuk  olahan patin tradisional yang telah dilakukan di beberapa daerah  (terutama di Kampar, Sumatera) dalam bentuk utuh tanpa menyisakan bagian  tubuh yang lain kecuali isi perut. Usaha pengolahan salai patin ini  umumnya dilakukan di pedesaan yang hasil produksinya dikumpulkan oleh  pedagang pengumpul dan selanjutnya didistribusikan ke daerah pemasaran.  Namun demikian, mekanisme pemasaran untuk ekspor belum berfungsi,  sedangkan masalah sanitasi dan higiene belum diterapkan dengan ketat.  Hal ini menjadi kendala utama untuk pemasaran salai patin ke luar  negeri. Teknologi pengolahan salai patin cukup sederhana sehingga  potensial sebagai alternatif pengembangan pengolahan di sentra produksi  patin di Indonesia. Pasar domestik yang sangat besar dapat menjadi  alasan penting untuk terus mengembangkan salai patin. Pasar domestik  salai patin antara lain Jakarta, Medan, Pekanbaru, Aceh, Padang, dan  Batam. Sedangkan pasar ekspor salai patin adalah negara tetangga seperti  Malaysia dan Singapura, atau bahkan Afrika yang memiliki selera yang  serupa terhadap produk ini. Sejak tahun 2010 hingga 2012 diperkirakan  ekspor salai patin ke kedua negara Asia tersebut mencapai tiga ton  (Anon., 2013b). Pengolahan salai patin ini dapat diusahakan secara  komersial dengan skala produksi 22 ton per tahun dengan investasi Rp.  87.000.000,- yang dapat kembali investasi (ROI) dalam 1,25 tahun  (keuntungan bersih Rp. 71.000.000,-/tahun). Rincian analisis finansial  seperti pada Tabel 1.   Daging patin dapat dimanfaatkan menjadi  berbagai produk olahan seperti fillet, surimi, kerupuk maupun abon  patin. Pengembangan pengolahan fillet patin (40% dari berat patin) dapat  dijalankan secara terpisah maupun terintegrasi dengan pengolahan  lainnya (60%) seperti kerupuk, krispi dan tepung ikan dengan fillet  sebagai produk utama. Jumlah UPI fillet patin yang ada di Indonesia pada  tahun 2012 berjumlah 8 (delapan) unit yang ada di Jakarta, Surabaya dan  Banjarmasin. Pada tahun 2013, Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP)  telah membangun 6 UPI fillet patin serta pabrik dan pengolahan tepung  ikan yang tersebar di Kab. Muaro Jambi, Kab. Kampar, Kab. Tulung Agung,  Kab. Banjar, Kab. Karawang dan Kab. Purwakarta (Anon., 2013c). Dengan  mempertimbangkan jumlah produksi patin nasional, usaha pengolahan fillet  patin masih terbuka. Pengolahan fillet ini dapat diusahakan dengan  investasi Rp. 1.000.000.000,- (skala produksi 480 ton/tahun) dengan  kemampuan balik investasi (ROI) 1,9 tahun (Tabel 1).                   
Tabel 1. Analisis keuntungan finansial usaha pengolahan patin          
Usaha pengolahan tepung ikan merupakan  usaha sampingan yang memanfaatkan sebagian besar (93%) hasil samping  usaha pengolahan fillet. Nilai produksi tepung ikan berbahan baku patin  mengalami peningkatan dimana pada tahun 2012 dihasilkan 164 ton tepung  ikan sedangkan di tahun 2013 menjadi 3.305 ton, pada tahun 2014 produksi  tepung ikan berbahan baku patin diharapkan mencapai 7.070 ton (diolah  dari Anon., 2012b). Pengolahan tepung ikan berbahan patin membutuhkan  investasi Rp. 800.000.000,- dengan skala produksi 133 ton per tahun dan  kemampuan balik investasi (ROI) dalam 1,5 tahun (Tabel 1).                                                  
      
Produksi krispi kulit dan kerupuk tulang  patin dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi UMKM. Kerupuk tulang  patin maupun krispi kulit patin merupakan produk yang mempunyai umur  simpan yang cukup lama karena produk ini dapat disimpan dalam bentuk  kering. Meskipun pemasarannya hampir kebanyakan untuk pasar domestik,  namun tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan produk ekspor ke Asia,  Timur Tengah dan bahkan Amerika Serikat maupun Eropa dengan syarat  diproduksi dengan mengikuti kaidah GMP yang ketat dan mutu yang tinggi.  Pengolahan krispi kulit patin secara komersial membutuhkan investasi Rp.  260.000.000,- untuk skala produksi 49 ton per tahun dan kemampuan balik  investasi (ROI) dalam 1,9 tahun dengan laba bersih Rp.  141.000.000,-/tahun (Tabel 1). Untuk usaha pengolahan krupuk tulang  patin dapat dilakukan dengan skala produksi 28 ton/tahun yang memerlukan  investasi Rp. 238.000.000,-. Usaha ini mampu menghasilkan laba Rp.  232.000.000,-/tahun dan jangka waktu pengembalian investasi (ROI) 1,1  tahun (Tabel 1).                   
Disamping produk diatas,  bentuk olahan lainnya yang dapat dihasilkan dengan menggunakan daging  patin adalah produk surimi dan produk berbasis surimi. Surimi merupakan  produk setengah jadi, berupa daging lumat yang dibersihkan dan mengalami  pencucian berulang-ulang sehingga sebagian besar bau, darah, lemak dan  pigmen telah hilang. Dari surimi dapat dibuat berbagai macam produk  berbasis surimi seperti nugget, bakso, sosis, fish cake maupun kamaboko  yang dapat meningkatkan nilai tambah dari patin. Pemasaran produk-produk  tersebut dalam bentuk beku yang tersebar di berbagai supermarket yang  ada di Indonesia. Teknologi pengolahan produk produk tersebut telah  dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan  Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (Suryaningrum et al.,  2012).       
REKOMENDASI   Perlu adanya pengembangan usaha pengolahan patin yang terintegrasi  untuk skala UKM yang lebih menguntungkan sekaligus untuk  mengimplementasikan zero waste concept. Perlu dibangun usaha pengolahan patin terintegrasi di sentra  produksi patin sebagai model usaha skala UKM yang menerapkan prinsip GMP  (terutama aspek sanitasi dan higiene) sehingga peluang ekspor produk  yang dihasilkan makin terbuka luas. Perlu dilakukan upaya yang lebih tepat mulai dari budidaya hingga  pemasaran untuk mengambil peluang ekspor patin baik dalam bentuk segar  maupun bentuk olahan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari  patin. Mekanisme pemasaran ekspor perlu difungsikan dengan baik sehingga  hasil produksi olahan ikan patin dapat terserap seluruhnya oleh pasar.      IMPLIKASI KEBIJAKAN   Nilai tambah patin akan dapat dinikmati lebih besar di dalam negeri,  terutama oleh usaha skala UKM. Disisi lain, diperlukan langkah-langkah  tegas untuk meningkatkan efisiensi budidaya patin untuk menjamin  ketersediaan bahan baku yang kontinyu dengan harga terjangkau. Potensi kerugian yang mungkin timbul dari usaha pengolahan patin  yang parsial dapat ditekan dengan penerapan pengolahan terintegrasi. Potensi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat berkembangnya  usaha pengolahan patin (fillet) dapat dikurangi atau bahkan dihindari. Peluang ekspor produk olahan patin dan hasil sampingnya dapat dimanfaatkan. Diperlukan penguatan SDM pengolahan dan alih teknologi pengolahan  produk ikan patin dalam menerapkan prinsip GMP secara konsisten. Penguatan kelembagaan dalam pemasaran sangat diperlukan untuk mendukung kesempatan dalam meraih pasar ekspor.      
DAFTAR PUSTAKA  
Anon. 2012a. Statistik Perikanan KKP. Kementerian Kelautan dan Perikanan.  
Anon. 2012b. Bahan diskusi sinkronisasi dengan Litbang Pengolahan  Produk dan Bioteknologi. Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran  Hasil Perikanan.  
Anon. 2013a. Budidaya Patin Butuh 1,3 Juta Ton Pakan Ikan. . Diakses 15 Januari 2014  
Anon. 2013b. Pengembangan Usaha Ikan patin. Warta Ekspor. Ditjen  PEN/MJL/004/10/2013 Oktober. Kementerian Perdagangan RI. Hal. 3 – 11.  Diakses 15 Januari 2014  
Anon. 2013c. Produksi Ikan Patin Ditergetkan 1,1 juta ton. Antara News. . Diakses 15 Januari 2014.  
Suryaningrum, TD., Suryanti, dan Muljanah, I. 2012. Membuat filet ikan patin. Penebar Swadaya.
http://www.bbp4b.litbang.kkp.go.id/skala-ekonomi-usaha-pengolahan-patin-nir-limbah
Sumber: http://www.balitbangkp.kkp.go.id/dev3/skala-ekonomi-usaha-pengolahan-patin-nir-limbah

Minggu, 29 Oktober 2017

TRANSPORTASI IKAN HIDUP

Pengangkutan ikan dalam keadaan hidup merupakan salah satu mata rantai  dalam usaha perikanan. Harga jual ikan, selain ditentukan oleh ukuran, juga ditentukan oleh kesegarannya. Oleh karena itu, kegagalan dalam pengangkutan ikan merupakan suatu kerugian. Pada prinsipnya, pengangkutan ikan hidup bertujuan untuk mempertahankan kehidupan ikan selama dalam pengangkutan sampai ke tempat tujuan. Pengangkutan dalam jarak dekat tidak membutuhkan perlakuan yang khusus. Akan tetapi pengangkutan dalam jarak jauh dan dalam waktu lama diperlukan perlakuan-perlakuan khusus untuk mempertahankan kelangsungan hidup ikan.
          Pada dasarnya, ada dua metode transportasi ikan hidup, yaitu dengan menggunakan air sebagai media atau sistem basah, dan media tanpa air atau sistem kering.

A.    PENGANGKUTAN SISTEM BASAH

Transportasi sistem basah (menggunakan air sebagai media pengangkutan) terbagi menjadi dua, yaitu :
(1).     Sistem Terbuka
       Pada sistem ini ikan diangkut dalam wadah terbuka atau tertutup tetapi secara terus menerus diberikan aerasi untuk mencukupi kebutuhan oksigen selama pengangkutan. Biasanya sistem ini hanya dilakukan dalam waktu pengangkutan yang tidak lama. Berat ikan yang aman diangkut dalam sistem ini tergantung dari efisiensi sistem aerasi, lama pengangkutan, suhu air, ukuran, serta jenis spesies ikan.


(2).     Sistem Tertutup
       Dengan cara ini ikan diangkut dalam wadah tertutup dengan suplai oksigen secara terbatas yang telah diperhitungkan sesuai kebutuhan selama pengangkutan. Wadah dapat berupa kantong plastik atau kemasan lain yang tertutup.
Faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pengangkutan adalah kualitas ikan, oksigen, suhu, pH, CO2, amoniak, kepadatan dan aktivitas ikan (Berka, 1986).
(1).     Kualitas Ikan
       Kualitas ikan yang ditransportasikan harus dalam keadaan sehat dan baik. Ikan yang kualitasnya rendah memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dalam waktu pengangkutan yang lebih lama dibandingkan dengan ikan yang kondisinya sehat.

(2).     Oksigen
Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung dari tingkat toleransi ikan terhadap perubahan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO2 dan hasil metabolisme seperti amoniak. Biasanya dasar yang digunakan untuk mengukur konsumsi O2 oleh ikan selama transportasi adalah berat ikan dan suhu air. Jumlah O2 yang dikonsumsi ikan selalu tergantung pada jumlah oksigen yang tersedia. Jika kandungan O2meningkatikan akan mengkonsumsi O2 pada kondisi stabil dan ketika kadar O2 menurun konsumsi O2 oleh ikan lebih rendah dibandingkan konsumsi pada kondisi kadar O2 yang tinggi.


(3).     Suhu
Suhu merupakan faktor yang penting dalam transportasi ikan. Suhu optimum untuk transportasi ikan adalah 6 – 80C untuk ikan yang hidup di daerah dingin dan suhu 15 – 20 0 untuk ikan di daerah tropis.

(4).     Nilai pH, CO2, dan amonia
Nilai pH air merupakan faktor kontrol yang bersifat teknik akibat kandungan CO2 dan amoniak. CO2 sebagai hasil respirasi ikan akan mengubah pH air menjadi asam selama transportasi. Nilai pH optimum selama transportasi ikan hidup adalah 7 sampai 8. Perubahan pH menyebabkan ikan menjadi stres, untuk menanggulanginya dapat digunakan larutan bufer untuk menstabilkan pH air selama transportasi ikan. Amoniak merupakan anorganik nitrogen yang berasal dari eksresi organisme perairan, permukaan, penguraian senyawa nitrogen oleh bakteri pengurai, serta limbah industri atau rumah tangga.

(5).   Kepadatan dan aktivitas ikan selama transportasi
Perbandingan antara volume ikan dan volume air selama transportasi tidak boleh lebih dari 1 : 3 . Ikan-ikan lebih besar, seperti induk ikan dapat ditrasportasi dengan perbandingan ikan dan air sebesar 1 : 2 sampai 1 : 3 , tetapi untuk ikan-ikan kecil perbandingan ini menurun sampai 1 : 100 atau 1 : 200. Kesegaran ikan juga dipengaruhi oleh kondisi apakah ikan dalam keadaan meronta-ronta dan letih selama transportasi. Ketika ikan berada dalam wadah selama transportasi, ikan-ikan selalu berusaha melakukan aktivitas. Selama aktivitas otot berjalan, suplai darah dan oksigen tidak memenuhi, sehingga perlu disediakan oksigen yang cukup sbagai alternatif pengganti energi yang digunakan.

          Beberapa permasalahan dalam pengangkutan sistem basah adalah selalu terbentuk buih  yang disebabkan banyaknya lendir  dan kotoran ikan yang dikeluarkan. Kematian diduga karena pada saat diangkut, walaupun sudah diberok selama satu hari, isi perut masih ada. Sehingga pada saat diangkut masih ada kotoran yang mencemari media air yang digunakan untuk transportasi. Disamping itu, bobot air cukup tinggi, yaitu 1 : 3 atau 1 : 4 bagian ikan dengan air menjadi kendala tersendiri untuk dapat meningkatkan volume ikan yang diangkut.
       
B. Transportasi Sistem Kering (Semi Basah)
Pada transportasi sistem kering, media angkut yang digunkan adalah bukan air, Oleh karena itu ikan harus dikondisikan dalam keadaan aktivitas biologis rendah sehingga konsumsi energi dan oksigen juga rendah. Makin rendah metabolisme ikan, terutama jika mencapai basal, makin rendah pula aktivitas dan konsumsi oksigennya sehingga ketahanan hidup ikan untuk diangkut diluar habitatnya makin besar .
          Penggunaan transportasi sistem kering dirasakan merupakan cara yang efektif meskipun resiko mortalitasnya cukup besar. Untuk menurunkan aktivitas biologis ikan (pemingsanan ikan) dapat dilakukan dengan menggunkansuhu rendah, menggunakan bahan metabolik atau anestetik, dan arus listrik.
          Pada kemasan tanpa air, suhu diatur sedemikian rupa sehingga kecepatan metabolisme ikan berada dalam taraf metabolisme basal, karena pada taraf tersebut, oksigen yang dikonsumsi ikan sangat sedikit sekedar untuk mempertahankan hidup saja. Secara anatomi, pada saat ikan dalam keadaan tanpa air, tutup insangnya masih mangandung air sehingga melalui lapisan inilah oksigen masih diserap .

PEMINGSANAN IKAN

Kondisi pingsan merupakan kondisi tidak sadar yang dihasilkan dari sistem saraf pusat yang mengakibatkan turunnya kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan rendahnya respon gerak dari rangsangan tersebut. Pingsan atau mati rasa pada ikan berarti sistem saraf kurang berfungsi ..
Pemingsanan ikan dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu melalui penggunaan suhu rendah, pembiusan menggunakan zat-zat kimia dan penyetruman menggunakan arus listrik.
1.     Pemingsanan dengan penggunaan  suhu rendah .

Metode pemingsanan dengan penggunaan suhu rendah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

q  penurunan suhu secara langsung, dimana ikan langsung dimasukan dalam air yang bersuhu 10– 150C. Sehingga ikan akan pingsan.

q  Penurunan suhu secara bertahap, dimana suhu air sebagai media ikan diturunkan secara bertahap sampai ikan pingsan.

2. Pemingsanan ikan dengan bahan anestasi (bahan pembius)
Bahan anestasi yang dapat digunakan untuk pembiusan ikan adalah :

No
BAHAN
DOSIS
1
MS-222
0.05 mg / l
2
Novacaine
50 mg / kg berat ikan
3
Barbitas sodium
50 mg / kg berat ikan
4
Ammobarbital sodium
85 mg / kg berat ikan
5
Methyl paraphynol (dormisol)
30 mg / l
6
Tertiary amyl alcohol
30 mg / l
7
Choral hydrate
3-3.5 g lt
8
Urethane
100 mg / l
9
Hydroksi quinaldine
1 mg / l
10
Thiouracil
10 mg / l
11
Quinaldine
0.025 mg / l
12
2-Thenoxy ethanol
30 – 40 ml / 100 lt
13
Sodium ammital
52 – 172 mg / l


Selain bahan-bahan anestasi sintetik diatas pembiusan juga dapat dilakukan dengan menggunakan zat  caulerpin  dancaulerpicin yang berasal dari ekstrak rumput laut Caulerpa sp.
Pembiusan  ikan dikatakan berhasil bila memenuhi tiga kriteria, yaitu :
1       Induksi bahan pembius dalam tubuh ikan terjadi dalam waktu tiga menit atau kurang, sehingga ikan lebih mudah ditangani.
2.     Kepulihan ikan sampai gerakan renangnya kembali normal membutuhkan waktu kurang dari 10 menit.
3.  Tidak ditemukan adanya kematian ikan selama 15 menit setelah pembongkaran

Proses pembiusan ikan meliputi 3 tahap yaitu :
1.       Berpindahnya bahan pembius dari lingkungan ke dalam muara pernapasan organisme
2.       Difusi membran dalam tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan bahan pembius ke dalam darah.
3.       Sirkulasi darah dan difusi jaringan menyebarkan subtansi ke seluruh tubuh. Kecepatan distribusi dan penyerapan oleh sel bergantung pada persediaan darah dan kandungan lemak pada setiap jaringan sehingga bahan anestasi juga harus mudah larut dalam air dan lemak.

3. Pemingsanan Ikan dengan Arus Listrik

Arus listrik yang aman digunakan untuk pemingsanan ikan adalah yang mempunyai daya 12 volt, karena pada 12 Volt ikan mengalami keadaan pingsan lebih cepat dan tingkat kesadaran setelah pingsan juga cepat.

PENGEMASAN

Pada pengangkutan kering diperlukan media pengisi sebagai pengganti air. Menurut Wibowo (1993), yang dimaksud dengan bahan pengisi dalam pengangkutan ikan hidup adalah bahan yang dapat ditempatkan diantara ikan hidup dalam kemasan untuk menahan ikan dalam posisinya. Selanjutnya disebutkan bahwa bahan pengisi memiliki fungsi antara lain mampu manahan ikan agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu rendah agar ikan tetap hidup serta memberi lingkungan udara dan kelembaban memadai untuk kelangsungan hidupnya.
Media pengisi yang sering digunakan dalam pengemasan adalah serbuk gergaji, serutan kayu, serta kertas koran atau bahan karung goni. Namun penggunaan karung goni sudah tidak digunakan karena hasilnya kurang baik. Jenis serbuk gergaji atau serutan kayu yang digunakan tidak spesifik, tergantung bahan yang tersedia.Dari bahan pengisi yaitu sekam padi, serbuk gergaji, dan rumput laut , menururt Wibowo (1993) ternyata sekam padi dan serbuk gergaji merupakan bahan pengisi terbaik karena memiliki karakteristik, yaitu :
q  Berongga
q  Mempunyai kapasitas dingin yang memada
q  Tidak beracun, dan
q  Memberikan RH tinggi.

Media serbuk gergaji memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis media lainnya. Keunggulan tersebut terutama pada suhu. Serbuk gergaji mampu mempertahankan suhu rendah lebih lama yaitu 9 jam tanpa bantuan es dan tanpa beban di dalamnya. Sedangkan rumput laut kurang efektif karena menimbulkan lendir dan bau basi selama digunakan

Sumber:
Rinto. 2012. Transportasi Ikan Hidup. Didownload dari http://teknologipascapanen.blogspot.co.id/2012/02/transportasi-ikan-hidup.html

Kamis, 26 Oktober 2017

PERAN DAN FUNGSI KELOMPOK PERIKANAN










Sumber:
Tim Fasilitator Pusluhdaya KP. 2016. Bahan Tayang "Penumbuhan, Penguatan dan Pengembangan Kelompok Perikanan" yang disampaikan pada kegiatan Bimtek Peningkatan Kelas Kelompok Perikanan yang diselenggarakan oleh Pusat Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat KP di Hotel Sahid Surabaya tanggal 12-14 Maret 2016.

Rabu, 25 Oktober 2017

MEMAJUKAN SEKTOR PERIKANAN MELALUI KOPERASI PERIKANAN





























Sumber:
DPP-KKUKM