Jumat, 20 Oktober 2017

KONEKTIVITAS EKOLOGIS DAN BIOTA ANTARA EKOSISTEM ESTUARIA DENGAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

KONEKTIVITAS EKOLOGIS DAN BIOTA ANTARA EKOSISTEM
ESTUARIA DENGAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
ABSTRAK
Ekosistem estuaria sebagai daerah ekoton, yaitu daerah pertemuan antara ekosistem air tawar dengan air laut, menjadikan biota yang hidup di perairan estuaria juga merupakan kombinasi dari kedua ekosistem asal tersebut. Walaupun demikian secara relative, jumlah spesies laut lebih banyak dijumpai di daerah estuaria. Ekosistem terumbu karang sebagai habitat bagi berbagai jenis biota laut dengan tingkat keragaman hayati yang sangat tinggi dan sulit ditandingi oleh ekosistem lainnya. Ekosistem estuaria dan terumbu karang mempunyai konektivitas ekologis dan biota.  Oleh karena itu apabila salah satu ekosistem tersebut terganggu, maka ekosistem yang lain juga akan ikut terganggu. Yang jelas interaksi yang harmonis antara kedua ekosistem ini harus dipertahankan agar tercipta sinergi keseimbangan lingkungan.
Kata kunci: hubungan ekologis dan biota ekosistem, perairan estuaria, terumbu karang 
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.791 km, memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan, mamalia, reptilia, krustasea dan berbagai jenis moluska. Sumberdaya alam laut tersebut merupakan salah satu modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan nasional (Dewanto, 2012).
Keberadaan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya disebut dengan ekosistem. Menurut Kusumastanto (2012) sebagai Negara yang terletak di kawasan tropis, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi serta kelengkapan komponen-komponen penyusun ekosistem. Ekositem pesisir tropis, seperti di Indonesia terdiri atas berbagai jenis ekositem, seperti ekositem mangrove, padang lamun, terumbu karang, estuaria pantai berpasir dan berbatu. Setiap jenis ekosistem pesisir tersebut memiliki karakter tersendiri dan syarat lingkungan biofisik yang khas.
Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi.  Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu (Universitas Terbuka, 2014).
Terumbu karang merupakan komunitas yang khas dan tumbuh terbatas di daerah tropika.  Struktur dasar terumbu adalah bangunan kalsium karbonat (kapur) yang sangat banyak, yang sebagian besar dibentuk oleh binatang karang (polip).  Hewan karang ini termasuk kelas Anthozoa, filum Coelenterata, yang hidup berkoloni dan masing-masing menempati semacam mangkuk kecil dari bahan kapur yang keras tadi. Komunitas terumbu karang merupakan salah satu komunitas yang paling kaya jenis di lautan dan bahkan juga di dunia (Universitas Terbuka, 2014). 
Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton (http://www.ut.ac.id/ html/suplemen/mmpi5104/ f_peranan_estuaria.htm). Sedangkan pada ekosistem terumbu karang, penyusun utama komunitas ini adalah hewan-hewan karang yang membentuk aneka rupa karang keras (ordo Madreporaria).  Di samping itu juga terdapat aneka jenis karang lunak (Octocorallia), gorgonia, kipas laut, cambuk laut serta berbagai jenis alga. Beberapa macam alga juga memproduksi kalsium karbonat, bahkan kelompok alga yang disebut alga koralin menghasilkan endapan kalsium karbonat di substrat yang ditumbuhinya dan merekatkan bagian-bagian yang lepas, seperti pecahan karang, menjadi satu (Universitas Terbuka, 2014).
Ekosistem estuaria dan ekosistem terumbu karang memiliki hubungan yang sinergis dilihat dari aspek ekologis dan biota, tidak hanya tergantung di mana organisme tadi hidup, tetapi juga pada apa yang dilakukan organisme termasuk mengubah energi, bertingkah laku, bereaksi, mengubah lingkungan fisik maupun biologi dan bagaimana organisme dihambat oleh spesies lain. Melalui tulisan ini akan coba diuraikan seberapa besar konektivitas ekologis dan biota antara kedua ekosistem tersebut dan apabila salah satu sistem mengalami gangguan, berpengaruhkah terhadap ekosistem yang lain.
METODOLOGI
Pengkajian konektivitas antara ekosistem estuaria dengan ekosistem terumbu karang dari sisi ekologis dan biota dilaksanakan pada tanggal 7 – 8 Maret 2014. Metode yang digunakan dalam pengkajian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan teknik yang digunakan: (1) pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal dan internet yang berhubungan dengan topik yang diangkat; (2) pengolahan data dan penyusunan kajian, dengan penjabaran dan penggalian ide/gagasan utama dan ide pendukung dengan menggunakan 5 W (What, Who, When, Where, Why), dan 1 H (How) melalui pengolahan data dan penelusuran pustaka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.   Konektivitas Ekologis
Menurut Kusumastanto (2012) Estuaria adalah sebuah perairan semi tertutup dan memiliki hubungan langsung dengan laut lepas dihadapannya serta pada umumnya senantiasa mendapat suplai air tawar dari daratan. Di kawasan ini, proses fisika perairan, seperti pasang surut senantiasa berlangsung menjadikan kawasan ini senantiasa bergerak dan dinamis secara fisik kolom airnya. Pada saatnya, pergerakan kolom air yang sangat dinamis menjadikan estuaria senantiasa bertukar masa air baik dengan perairan tawar maupun dengan perairan laut lepas.
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar pada perairan estuaria akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi, antara lain: (1) Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya; (2) Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut; (3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya; dan (4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_definis.htm).
Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung terapung di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut estuaria positif atau estuaria baji garam (salt wedge estuary) (Nybakken, 1988).
Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air estuaria dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_sifat_estuaria.htm).
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan terus menerus dan tidak tahan terhadap gangguan-gangguan alam yang berasal dari luar terumbu.  Beberapa faktor  yang  membatasi  pertumbuhan  karang adalah : cahaya, diperlukan oleh Zooxanthellae  untuk  melakukan    fotosintesis    dalam   jaringan   karang.   Suhu dapat merupakan faktor pembatas yang umum bagi karang. Pertumbuhan karang yang optimum terjadi pada perairan yang rata-rata suhu tahunannya berkisar 23 – 25oC, akan tetapi karang juga dapat mentoleransi suhu pada kisaran 20oC, sampai dengan 36 – 40oC  (Nybakken, 1988).
Sementara itu sebagai hewan laut sejati, terumbu karang memerlukan kadar garam air laut yang normal antara 32-35 atau yang lebih tinggi.  Di bagian laut yang berkadar garam lebih rendah, misalnya dekat muara sungai-sungai besar, terumbu karang akan terhalang pertumbuhannya. Berkurangnya laju fotosintesis akan mempengaruhi kemampuan karang membentuk terumbu.  Sehingga kedalaman laut yang optimal untuk membentuk terumbu berada kurang dari 25 m, di mana cahaya matahari masih memadai untuk fotosintesis.  Umumnya terumbu karang tidak dapat terbentuk pada kedalaman lebih dari 50-70 m (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_dskrip_tk.htm)
Di samping itu aliran sungai juga membawa serta endapan tanah dan bahan organik lainnya.  Bahan-bahan ini akan memperkeruh air laut, mengurangi penetrasi sinar matahari, dan endapannya dapat menutupi karang serta mematikan hewan-hewan karang.  Oleh sebab itu karang lebih berkembang pada wilayah-wilayah perairan dengan gelombang besar.  Gelombang laut yang kuat tidak banyak merusak karang yang masif.  Sementara itu, gelombang justru menghalangi pengendapan, memberikan air yang segar dan memperkaya kandungan oksigen dalam air laut (http://www.ut.ac.id/ html/suplemen/mmpi5104/f_tipe_trumbu.htm).
Konektivitas:
a.   Interaksi fisik
Estuaria dan terumbu karang berinteraksi secara fisik melalui beberapa mekanisme, yaitu reduksi energi gelombang, reduksi sedimen, dan pengaturan pasokan air baik air laut maupun air tawar dari sungai. Biota perairan estuaria sangat bergantung pada keberadaan struktur kokoh dari bangunan kapur terumbu karang sebagai penghalang aksi hidrodinamis lautan, yaitu arus dan gelombang. Di zona reef front, terjadi produksi pecahan fragmen kapur akibat hempasan gelombang dan terpaan arus yang terus-menerus. Fragmen-fragmen kapur ini akan diproses oleh beberapa jenis ikan, bulu babi, dan sponge untuk menghasilkan kerikil, pasir, dan lumpur. Selanjutnya kerikil, pasir, dan lumpur akan diteruskan ke arah pantai oleh aksi gelombang dan arus yang telah dilemahkan, sehingga membentuk akumulasi sedimen yang menjadi substrat utama yang diperlukan di ekosistem estuaria.
b.   Interaksi ekosistem daratan dan laut
-    Estuaria: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, intrusi air laut dan percikan air gelombang.
-    Terumbu karang: kawasan perairan laut yang masih dipengaruhi proses-proses aliran air sungai, limpasan air permukaan, sedimen dan bahan pencemar.
c.    Interaksi bahan organik
Bahan organik yang berasal dari estuaria dapat mempengaruhi pertumbuhan dari terumbu karang. Tingginya partikel organik yang tersuspensi diperairan dapat menurunkan fotosintesis di perairan. Partikel organik ini akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Selain itu partikel organik yang terbawa dari ekosistem mangrove ke ekosistem estuaria merupakan makanan bagi biota-biota perairan seperti filter feeder dan detritus feeder. Beragam aktivitas manusia didaratan seperti penebangan hutan dapat meningkatkan partikel organik diperairan. Partikel yang tersuspensi terutama dalam bentuk partikel halus maupun kasar, akan menimbulkan dampak negatif terhadap biota perairan estuaria dan ekosistem terumbu karang, sebagai contoh menutupi sistem pernafasan yang mengakibatkan biota tersebut susah bernafas.
2.   Konektivitas Biota
Sebagai wilayah peralihan atau percampuran, estuaria memiliki tiga komponen biota, yakni fauna yang berasal dari lautan, fauna perairan tawar, dan fauna khas estuaria atau air payau. Fauna lautan yang tidak mampu mentolerir perubahan-perubahan salinitas yang ekstrem biasanya hanya dijumpai terbatas di sekitar perbatasan dengan laut terbuka, di mana salinitas airnya masih berkisar di atas 30‰.  Sebagian fauna lautan yang toleran (eurihalin) mampu masuk lebih jauh ke dalam estuaria, di mana salinitas mungkin turun hingga 15‰ atau kurang. Sebaliknya fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5‰, sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian hulu dari estuaria. Fauna khas estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar garam antara 5-30‰, namun tidak ditemukan pada wilayah-wilayah yang sepenuhnya berair tawar atau berair laut.  Di antaranya terdapat beberapa jenis tiram dan kerang (Ostrea, Scrobicularia), siput kecil Hydrobia, udang Palaemonetes, dan cacing polikaeta nereis (Universitas Terbuka,  2014).
Di samping itu terdapat pula fauna-fauna yang tergolong peralihan, yang berada di estuaria untuk sementara waktu saja.  Beberapa jenis udang Penaeus, misalnya, menghabiskan masa juvenilnya di sekitar estuaria, untuk kemudian pergi ke laut ketika dewasa.  Jenis-jenis sidat (Anguilla) dan ikan salem (Salmo, Onchorhynchus) tinggal sementara waktu di estuaria dalam perjalanannya dari hulu sungai ke laut, atau sebaliknya, untuk memijah.  Dan banyak jenis hewan lain, dari golongan ikan, reptil, burung dan lain-lain, yang datang ke estuaria untuk mencari makanan (Nybakken, 1988).
Organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa dan burung.  Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria, bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung bersifat terbuka. Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar dari system (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ mmpi5104/f_peranan_estuaria.htm).
Terumbu karang merupakan komunitas yang khas dan tumbuh terbatas di daerah tropika.  Struktur dasar terumbu adalah bangunan kalsium karbonat (kapur) yang sangat banyak, yang sebagian besar dibentuk oleh binatang karang (polip).  Hewan karang ini termasuk kelas Anthozoa, filum Coelenterata, yang hidup berkoloni dan masing-masing menempati semacam mangkuk kecil dari bahan kapur yang keras tadi. Komunitas terumbu karang merupakan salah satu komunitas yang paling kaya jenis di lautan dan bahkan juga di dunia (Universitas Terbuka, 2014).
Sebetulnya jenis-jenis binatang karang hidup di lautan di seluruh dunia, termasuk di wilayah kutub dan ugahari (temperate, bermusim empat).  Akan tetapi hanya hewan karang hermatipik yang bisa menghasilkan terumbu, dan karang ini hidup terbatas di wilayah tropis.  Salah satu sebabnya ialah karena karang hermatipik hidup bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan (dinoflagellata) di dalam sel-sel tubuhnya.  Kehidupan simbiotik yang dikenal sebagai zooxanthellae ini memerlukan sinar matahari yang cukup sepanjang tahun untuk berfotosintesis, dan lingkungan yang relatif hangat dengan suhu optimal perairan sekitar 23-250C (http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ mmpi5104/ f_dskrip_tk.htm).
Konektivitas
a.   Integrasi migrasi biota
Migrasi biota laut merupakan suatu hubungan yang penting dan nyata antara terumbu karang dan ekosistem estuaria. Ada dua kategori migrasi biota, yaitu:
-          Migrasi jangka pendek untuk makan
Tipe migrasi ini umumnya dilakukan oleh biota-biota dewasa. Ada dua strategi migrasi makan, yaitu: (1) Edge feeders merupakan biota yang memanfaatkan suatu sistem habitat untuk berlindung, namun berkelana jauh dari sistemnya untuk mencari makan; dan (2) Tipe migratory feeders memiliki jarak migrasi yang relative jauh dan memiliki waktu tertentu dalam melakukan kegiatannya.
-          Migrasi daur hidup antara sistem yang berbeda
Tipe migrasi ini sering dijumpai pada spesies-spesies ikan dan udang yang diketahui melakukan pemijahan dan pembesaran larva di hutan mangrove atau padang lamun yang tertunya melewati ekositem estuaria. Hal ini dimungkinkan oleh tersedianya banyak ruang berlindung, kaya akan sumber makanan, dan kondisi lingkungan perairan yang lebih statis dibandingkan terumbu karang. Lambat laun biota tersebut tumbuh dan menjadi besar, sehingga ruang berlindung yang tersedia sudah tidak memadai lagi dan mereka pun bermigrasi ke perairan yang lebih dalam seperti terumbu karang atau laut lepas.
b.   Interaksi spesies biota
Biota yang hidup di ekosistem estuari umumnya adalah percampuran antara yang hidup endemik, artinya yang hanya hidup di estuari, dengan mereka yang berasal dari laut dan beberapa yang berasal dari perairan tawar, khususnya yang mempunyai kemampuan osmoregulasi yang tinggi. Bagi kehidupan banyak biota akuatik komersial, ekosistem estuari merupakan daerah pemijahan dan asuhan. Kepiting, tiram dan banyak ikan komersial merupakan hewan estuari. Udang niaga yang memijah di laut lepas membesarkan larvanya di ekosistem ini dengan memanfaatkannya sebagai sumber makanan.
KESIMPULAN
1.      Dari segi ekologis, ekosistem terumbu karang mempunyai keterkaitan dengan ekosistem estuaria. Hal ini disebabkan karena terumbu karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan lautan. Berbagai dampak kegiatan manusia dan mahluk hidup serta perubahan faktor fisik dan kimia lingkungan yang ada di ekosistem estuaria akan menimbulkan dampak pula pada ekosistem terumbu karang. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas dan ekosistem terumbu karang.
2.      Dari segi biota, sebagian besar biota penghuni ekosistem estuaria adalah biota yang berasal dari ekosistem terumbu karang dan laut. Bagi banyak biota akuatik, ekosistem estuari merupakan daerah mencari makan, pemijahan dan asuhan. Keterkaitan ekosistem antara ekosistem estuaria dan terumbu karang menciptakan suatu variasi habitat yang mempertinggi keanekaragaman jenis organism.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto R.H., 2012.  Hubungan Ekologis dan Biologis yang terjadi antara Mangrove, Lamun, dan Terumbu Karang. http://fisheries90.blogspot.com/2012/06/hubungan-ekologis-dan-biologis-yang.html
http://geographylovers.files.wordpress.com/2011/05/ekologi-laut-tropis1.pdf
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_peranan_estuaria.htm
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_tipe_trumbu.htm
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_Keanekaragaman_tk.htm
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5104/f_dskrip_tk.htm
Kusumastanto T., Adrianto L., Damar A., 2012. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka, Tangerang Selatan.
Nybakken, J.W.  1988.  Biologi Laut: suatu pendekatan ekologis.  Alih bahasa H. Muh. Eidman dkk.  Penerbit Gramedia, Jakarta.
Universitas Terbuka, 2014. Materi Inisiasi 3 “Ekosistem Estuaria”. http://student.ut.ac.id/
Universitas Terbuka, 2014. Materi Inisiasi 4 “Ekosistem Terumbu Karang”. http://student.ut.ac.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar