DAYA SAING PRODUK PERIKANAN MENUJU PASAR BEBAS
A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan
ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara
berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas
produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan
nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan
pembangunan ekonomi.
Pada tahun
1960-an kondisi perekonomian Indonesia, Malaysia, Taiwan, Korea dan China tidak
jauh berbeda, namun pada tahun 2013 telah terdapat kesenjangan pendapatan per
kapita yang tinggi antar negara tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu
pendapatan per kapita penduduk Indonesia menduduki peringkat terendah. Berdasarkan
latar belakang tersebut perlu dilakukan pengkajian mengenai: faktor penyebab
kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar negara, dan cara mengejar ketertinggalan
pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta upaya-upaya peningkatan daya saing produk
perikanan menuju pasar bebas ASEAN.
B.
PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dikaji dalam paper
ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi penyebab kesenjangan
pertumbuhan antar negara?
2. Jelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi
Indonesia lebih lambat dari negara ASEAN lainnya?
3. Bagaimana cara mengejar ketertinggalan
pertumbuhan ekonomi Indonesia?
4. Bagaimana daya saing produk perikanan
menuju pasar bebas ASEAN?
C.
LANDASAN TEORI
Teori
Pertumbukan Ekonomi Klasik
Menurut Sadono Sukirno (2005): Pandangan Adam
Smith Adam Smith merupakan ahli ekonomi yang pertama kali mengemukakan
kebijksanaan laissez-faire, dan merupakan ahli ekonomi yang banyak berfokus
pada permasalahan pembangunan. Inti dari proses pertumbuhan ekonomi menurut
Smith dibagi menjadi dua aspek utama yaitu pertumbuhan output total dan
pertumbuhan penduduk.
Mengenai peranan penduduk dalam pembangunan ekonomi, Smith berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar, maka akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Perkembangan spesialisasi dan pembagian kerja akan mempercepat proses pembangunan ekonomi karena adanya spesialisasi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mendorong perkembangan teknologi.
Mengenai peranan penduduk dalam pembangunan ekonomi, Smith berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar, maka akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Perkembangan spesialisasi dan pembagian kerja akan mempercepat proses pembangunan ekonomi karena adanya spesialisasi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mendorong perkembangan teknologi.
Sedangkan pandangan David Ricardo mengenai proses
pertumbuhan ekonomi tidak jauh berbeda dengan pendapat Adam Smith yang berfokus
pada laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan output. Selain itu Ricardo juga
mengungkapkan adanya keterbatasan faktor produksi tanah yang bersifat tetap
sehingga akan menghambat proses pertumbuhan ekonomi. Proses pertumbuhan ekonomi
menurut David Ricardo dalam buku Sadono Sukirno (2005) yaitu:
1.
Pada permulaannya jumlah penduduk
rendah dan kekayaan alam masih melimpah sehingga para pengusaha memperoleh
keuntungan yang tinggi. Karena pembentukan modal tergantung pada keuntungan,
maka laba yang tinggi tersebut akan diikuti dengan pembentukan modal yang
tinggi pula. Pada tahap ini maka akan terjadi kenaikan produksi dan peningkatan
permintaan tenaga kerja.
2.
Pada tahapan kedua, karena jumlah
tenaga kerja diperkerjakan bertambah, maka upah akan naik dan kenaikan upah
tersebut akan mendorong pertambahan penduduk. Karena luas tanah tetap, maka
makin lama tanah yang digunakan mutunya akan semakin rendah. Akibatnya, setiap
tambahan hasil yang diciptakan oleh masingmasing pekerja akan semakin
berkurang. Dengan semakin terbatasnya jumlah tanah yang dibutuhkan, maka harga
sewa lahan akan semakin tinggi. Hal ini akan mengurangi keuntungan pengusaha
yang menyebabkan pengusaha tersebut mengurangi pembentukan modal dan menurunkan
permintaan tenaga kerja yang berakibat pada turunnya tingkat upah.
3.
Tahap ketiga ditandai dengan
menurunnya tingkat upah dan pada akhirnya akan berada pada tingkat minimal.
Pada tingkat ini, perekonomian akan mencapai stationary state. Pembentukan
modal baru tidak akan terjadi lagi karena sewa tanah yang sangat tinggi
menyebabkan pengusaha tidak memperoleh keuntungan.
Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan
ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sadono Sukirno, 2005).
Persamaannya adalah : Y = f(K, L, R, T)
Y
= tingkat pertumbuhan ekonomi
K
= jumlah barang modal yang tersedia dan digunakan
L
= jumlah dan kualitas tenaga kerja yang digunakan
R
= jumlah dan jenis kekayaan yang digunakan
T
= tingkat teknologi yang digunakan
Pandangan Robert Malthus dalam teorinya, Malthus
mengemukakan penduduk akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dimana pertambahan
penduduk meningkat secara deret ukur sedangkan pertambahan bahan makanan
meningkat secara deret hitung. Seperti halnya David Ricardo, Malthus berbeda
pendapat dengan Smith yang belum menyadari hukum hasil yang semakin berkurang,
perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi karena dapat
memperluas pasar.
Sedangkan Ricardo dan Malthus, perkembangan penduduk yang
berjalan dengan cepat akan memperbesar jumlah hingga menjadi dua kali lipat
dalam satu generasi sehingga dapat menurunkan kembali tingkat pembangunan
ekonomi ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini, pekerja akan menerima
upah yang sangat minim atau upah subsisten (Sadono Sukirno, 2005).
Teori
Pertumbuhan Ekonomi Menurut Neoklasik
Teori ini dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970) dan T.W
Swan (1956). Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi
kapital, kemajuan teknologi dan besarnya output yang saling berinteraksi. Teori
ini menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya subtitusi antara
kapital dan tenaga kerja. Hal ini memungkinkan fleksibilitas dalam rasio modal
output dan rasio modal-tenaga kerja. Teori Solow- Swan melihat bahwa dalam
banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga campur
tangan pemerintah tidak diperlukan. Campur tangan pemerintah hanya sebatas pada
kebjakan fiskal dan moneter (Tarigan, 2005).
Dalam hal ini, peranan teori ekonomi Neo Klasik tidak
terlalu besar dalam menganalisis pembangunan daerah karena teori ini tidak
memiliki dimensi spasial yang diinginkan. Namun,demikian, teori ini memberikan
dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan dan
mobilitas faktor produksi. Artinya sistem perekonomian akan mencapai
keseimbangan alamiahnya jika modal bisa mengatur tanpa pembatasan. Oleh karena
itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang
berupah rendah (Arsyad, 1999).
Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan Neo
Klasik Solow memakai fungsi agregat standar (Todaro dan Stepehen C. Smith, 2006)
:
Y
= Produk Domestik Bruto
K
= stok modal fisik dan modal
manusia
L
= tenaga kerja non terampil
A
= konstanta yang merefleksikan
tingkatan tekonologi dasar
eµt
= melambangkan tingkat kemajuan
teknologi
a
= melambangkann elastisitas output
terhadap model, yaitu persentase kenaikan PDB yang bersumber dari 1% penambahan modal fisik
dan modal manusia.
Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik Tradisional,
pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3 (tiga) faktor
yaitu kenaikan kualitas dan kuantitas tenaga kerja, penambahan modal (tabungan
dan investasi) dan penyempurnaan teknologi (Todaro dan Stepehen C. Smith,
2006).
Teori
Pertumbuhan Baru (New Growth Theory).
Teori ini memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis
pertumbuhan yang bersifat endogen. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari
dalam sistem ekonomi. Teori ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi lebih
ditentukan oleh sistem produksi, bukan berasal dari luar sistem. Kemajuan
bidang teknologi merupakan hal yang endogen, pertumbuhan merupakan bagian dari
keputusan dalam pendapatan apabila modal yang tumbuh bukan hanya modal fisik
saja tapi menyangkut modal manusia.
Akumulasi modal merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi.
Definisi modal/kapital diperluas dengan mamasukan model ilmu pengetahuan dan
modal sumber daya manusia. Perubahan teknologi bukan sesuatu yang berasal dari
luar model atau endogen tapi teknologi merupakan dari proses pertumbuhan
ekonomi. Dalam teori pertumbuhan endogen, peran investasi dalam modal fisik dan
modal manusia turut menentukan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tabungan dan
investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (Mankiw,
2003).
D. PEMBAHASAN
Faktor Penyebab Kesenjangan Pertumbuhan Antar Negara
Beberapa
faktor yang menyebab kesenjangan pertumbuhan antar negara, diantaranya adalah:
(1) kesenjangan kemiskinan, (2) kondisi fisik geografis Indonesia yang luas dan
kurang lancarnya mobilisasi barang dan jasa, (3) jebakan fiskal, (4) kurang
meratanya pembangunan, (5) hambatan budaya, (6) geopolitik, (7) kurangnya
inovasi, dan (8) jebakan demografi (perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi
ketenagakerjaan). Faktor-faktor tersebut sejalan dengan pendapat Sjafrizal
(2012) dan Arsyad (1999).
Menurut
Sjafrizal (2012): Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan
antar wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :
1.
Perbedaan
kandungan sumber daya alam. Perbedaan kandungan sumber daya alam akan
mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan
kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang
tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang
mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah
lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat
memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya
saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan
cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
2.
Perbedaan
kondisi demografis. Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan
dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan,
perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan
kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.
Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat
setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai
produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong
peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan
kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
3.
Kurang
lancarnya mobilitas barang dan jasa. Mobilitas barang dan jasa meliputi
kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah
(transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang
lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain
yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan
cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses
pembangunannya.
4.
Konsentrasi
kegiatan ekonomi wilayah. Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada
suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah
yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan
penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
5.
Alokasi
dana pembangunan antar wilayah. Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah
maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih
banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah
akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan
oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah
merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta.
Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil
produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi
pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan
cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Menurut
Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (1999) mengemukakan 8 faktor yang
menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang
berkembang, yaitu:
1.
Pertambahan penduduk yang tinggi
yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;
2.
Inflasi di mana pendapatan uang
bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi
barang-barang;
3. Ketidakmerataan
pembangunan antar daerah;
4. Investasi
yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari
tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang
berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;
5. Rendahnya
mobilitas sosial;
6. Pelaksanaan
kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan hargaharga
barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;
7. Memburuknya
nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam
perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elastisan
permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara sedang
berkembang; dan
8. Hancurnya
industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga,
dan lain-lain.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dibandingkan Negara
ASEAN Lainnya
Dengan
menggunakan teori endogen yang disampaikan Mankiw
(2003), maka dapat dirumuskan beberapa penyebab yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih lambat
dari negara ASEAN lainnya, diantaranya:
1.
Masih rendahnya sistem produksi
Rendahnya
system produksi antara lain dipengaruhi oleh: skala usaha yang masih didominasi
UMKM, dan kehati-hatian pihak perbankan dan lembaga keuangan untuk mengeluarkan
kredit usaha.
2.
Belum optimalnya penguasaan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
Hal ini
dapat dilihat pada: (1) belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang
menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan
pengguna; lembaga keuangan modal ventura dan start-up capital yang mendukung
pembiayaan inovasi-inovasi baru belum terbangun dan masih lemahnya sinergi
kebijakan iptek, pendidikan, dan industri yang berakibat pada rendahnya
kontribusi iptek nasional di sektor produksi yang ditunjukkan oleh rendahnya
efisiensi dan produktifitas, serta minimnya kandungan teknologi dalam produk
industri nasional; (2) belum berkembangnya budaya iptek di kalangan masyarakat
karena pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta
daripada sekadar memakai, lebih suka membuat daripada sekadar membeli, serta
lebih suka belajar dan berkreasi dari pada sekadar menggunakan teknologi
seadanya; (3) belum optimalnya peran iptek dalam mengatasi degradasi fungsi
lingkungan hidup yang ditunjukkan oleh masih lemahnya peran iptek dalam
mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam.
3.
Masih rendahnya investor dalam
negeri.
Sampai
dengan tahun 2011, Kantor Pusat Informasi Pasar Modal (PIPM) mencatat pasar
modal di Indonesia sebanyak 63 % dikuasai oleh investor asing, sementara untuk
investor yang ada di dalam negeri hanya mengambil andil sekitar 37 % atau
kurang dari 1 % dari seluruh penduduk Indonesia.
4.
Belum optimalnya peningkatan sumber
daya manusia dan penyerapan tenaga kerja
Masalah ketenagakerjaan
dalam pembangunan Indonesia hingga kini masih merupakan tantangan yang harus
dihadapi dan diselesaikan, mengingat semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja
baru yang memasuki pasar kerja. Hal ini berkaitan dengan upaya penyediaan dan
penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan mutu tenaga kerja serta upaya
perlindungan tenaga kerja.
Cara Mengejar Ketertinggalan Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi Indonesia, antara lain:
1. Optimalisasi
pengelolaan kekayaan sumber daya alam, dengan tetap memperhatikan
kelestariaannya.
2. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan industry dan globalisasi,
karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia.
3. Mendorong
perekonomian melalui investasi sebagai alat pembentukan modal dan peningkatan
produksi. Investasi yang didorong tidak hanya di pusat tapi juga harus dapat
menarik investasi ke daerah. Hal ini dimaksudkan agar percepatan pembangunan
ekonomi dapat merata, tidak hanya terfokus di pusat saja.
4. Pemerintah
daerah perlu memetakan potensi daerah yang dimiliki yang bisa menjadi daya
tarik investasi. Daya tarik investasi menjadi penting agar pemerintah daerah
mampu menyusun strategi dan perencanaan investasi daerah yang efisien.
Daya Saing Produk Perikanan Menuju Pasar Bebas ASEAN
Dalam
menghadapi pasar bebas ASEAN pada era pasar bebas regional dan menuju pasar
bebas internasional, perlu dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya
saing produk perikanan, diantaranya:
1.
Pengembangan
upaya-upaya dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produksi baik dari
segi kuantitas maupun kualitas. Produk perikanan budidaya Indonesia saat ini
telah menjadi salah satu produk perdagangan global yang sangat dibutuhkan dan
diperhitungkan. Indonesia sebagai negara produsen perikanan budidaya terbesar
di dunia setelah China.
2.
Peningkatan
produksi dan daya saing produk perikanan harus diikuti dengan standar kualitas
produk sekaligus peningkatan efisiensi usaha perikanan. Kualitas produk
perikanan budidaya hanya dapat dijaga melalui sistem pengawasan yang efektif
dan efisiensi usaha budidaya hanya dapat diperoleh melalui integrasi usaha yang
dapat dilakukan melalui pembentukan kelompok budidaya yang kuat, penerapkan
sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) maupun Cara Pembenihan Ikan
yang Baik (CPIB) yang saat ini mampu menjaga kualitas produk budidaya baik
benih maupun konsumsi.
3.
Penyesuaian,
persiapan dan perbaikan regulasi baik secara kolektif maupun individual (reformasi
regulasi);
4.
Peningkatan
kualitas sumber daya manusia baik dalam birokrasi maupun dunia usaha ataupun
professional;
5.
Penguatan
posisi usaha skala menegah, kecil, dan usaha pada umumnya;
6.
Penguatan
kemitraan antara publik dan sektor swasta;
7.
Menciptakan
iklim usaha yang kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi
8.
Pengembangan
sektor-sektor prioritas yang berdampak luas dan komoditi unggulan;
9.
Penyediaan
kelembagaan dan permodalan yang mudah diakses oleh pelaku usaha perikanan dari
berbagai skala.
10. Perbaikan dukungan infrastruktur,
transportasi atau logistik, perangkat hukum, penyediaan energi, dan
pengembangan industri terpadu.
E.
KESIMPULAN
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi Indonesia, antara lain: (a) optimalisasi pengelolaan kekayaan sumber
daya alam, dengan tetap memperhatikan kelestariaannya; (b) peningkatan kualitas
sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan industry dan globalisasi; (c) mendorong
perekonomian melalui investasi sebagai alat pembentukan modal dan peningkatan
produksi; dan (d) pemerintah daerah perlu memetakan potensi daerah yang
dimiliki yang bisa menjadi daya tarik investasi.
Dalam
menghadapi pasar bebas ASEAN pada era pasar bebas regional dan menuju pasar
bebas internasional, perlu dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya
saing produk perikanan, diantaranya: (1) pengembangan upaya-upaya dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan produksi baik dari segi kuantitas maupun
kualitas; (2) peningkatan produksi dan daya saing produk perikanan yang diikuti
dengan standar kualitas produk sekaligus peningkatan efisiensi usaha perikanan;
(3) penyesuaian, persiapan dan perbaikan regulasi baik secara kolektif maupun
individual (reformasi regulasi); (4) peningkatan kualitas sumber daya manusia
baik dalam birokrasi maupun dunia usaha ataupun professional; (5) penguatan
posisi usaha skala menegah, kecil, dan usaha pada umumnya; (6) penguatan
kemitraan antara publik dan sektor swasta; (7) penciptaan iklim usaha yang
kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi; (8) pengembangan sektor-sektor
prioritas yang berdampak luas dan komoditi unggulan; (9) penyediaan kelembagaan
dan permodalan yang mudah diakses oleh pelaku usaha perikanan dari berbagai
skala; dan (10) perbaikan dukungan infrastruktur, transportasi atau logistik,
perangkat hukum, penyediaan energi, dan pengembangan industri terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad,
Lincoln. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
YKPN Yogyakarta.
Mankiw,
N. Gregory. 2003. Teori Makro Ekonomi Terjemahan, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Sadono
Sukirno, 2005. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sjafrizal.
2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Tarigan,
Robinson, 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Bumi Aksara
Todaro,
Michael P dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar