Selasa, 18 Juli 2017

Sejahterakah Nelayan Kita?

Sejahterakah Nelayan Kita?

Nenek moyangku seorang pelaut..

Sepenggal bait lagu tersebut rasanya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Banyak pula yang mengamini bahwa nenek moyang kita, adalah seorang pelaut yang tangguh dan pemberani.

Dilihat dari bentuknya pun negara kita ini, Indonesia, adalah negara maritim yang berada dalam kawasan atau teritorial laut yang sangat luas dan terdiri dari banyaknya pulau-pulau. Potensi bawah laut yang dimiliki oleh Indonesia pun sangat luar biasa indahnya.

Namun, sudahkah kita menjaga laut di negara kita ini dengan sebaik mungkin?

Jika lirik lagu nenek moyangku seorang pelaut tersebut tidak asing lagi di telinga kalian, siapakah tokoh yang pantas untuk dijadikan pahlawan seperti nenek moyang yang ada di dalam lirik lagu tersebut yang cocok pada masa kini? Sebagian dari kalian mungkin menjawab “Susi Pudjiastutilah.”

Saya sebenarnya setuju juga sih dengan jawaban tersebut. Tetapi, apakah ada yang ingat dengan para pekerja yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau biota yang ada di laut yang disebut dengan nelayan? Mereka juga tak kalah penting dan menurut saya pantas disebut sebagai penurus nenek moyang yang ada dalam lirik lagu tersebut.

Tanggal 6 April merupakan Hari Nelayan Nasional dan di setiap daerah memiliki tradisi sendiri yang berbeda untuk merayakan hari tersebut. Misalnya adalah perayaan Hari Nelayan Nasional di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Mereka mengadakan upacara yang meriah sebagai bentuk syukur mereka.

Bila di Sukabumi dilakukan perayaan yang meriah, berbeda dengan yang dilakukan oleh mahasiswa BEM KEMA FPIK Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Forum Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Kajian Sains (Fortifikasi) dalam acara Aksi Hari Nelayan pada Hari Nelayan Nasional 6 April 2017, yang diselenggarakan di Brooklyn Barat Gerbang Lama, Unpad.

Mereka melakukan aksi orasi dan membagikan makanan gratis berupa shrimp roll dan siomay ikan kepada rekan-rekan mahasiswa yang sudah mengisi atau menuliskan aspirasi mereka pada tempat yang disediakan. “Acara aksi hari nelayan ini merupakan gerakan aksi dan inisiatif yang muncul sebagai bentuk respon mahasiswa dalam menanggapi permasalahan kekayaan laut Indonesia dan kesejahteraan nelayan dengan cara yang akomodatif, kolaboratif dan kreatif,” ujar Rizmi Danurahman (20), selaku Project Supervisor.

Tujuan dari orasi pada acara ini menurut penuturan Rizmi, berusaha untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat bagaimana kehidupan dan kesejahteraan yang nelayan alami sekarang ini. “Karena mereka merupakan pionir-pionir penting untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang notabennya akan membawa negara Indonesia menuju kemakmuran bagi sosial, politik, ekonomi, maupun teknologi kedepannya nanti, dan dari acara Aksi Hari Nelayan ini, output-nya adalah masyarakat menjadi suka makan ikan. Karena sekarang ini kita melihat banyak masyarakat banyak yang lebih memilih ayam ketimbang ikan. Padahal, ikan merupakan sumber protein yang banyak dan bisa menjadi salah satu alternatif makanan pokok di Indonesia,” kata Rizmi dengan semangat.

Memang kebanyakan dari kita masih lebih memilih ayam dan malas untuk makan ikan dengan alasan malas karena banyak tulangnya dan ayam lebih praktis untuk dimakan. Ada juga yang beralasan tidak bisa untuk memakan ikan karena baunya yang amis.

Dengan jawaban Rizmi yang seperti itu saya pun bertanya mengenai Jatinangor yang jauh dari laut ini, bagaimana menurutnya agar khususnya mahasiswa dan masyarakat sekitar jadi gemar makan ikan? Sedangkan dapat diketahui bahwa kebanyakan di Jatinangor itu yang dijual adalah ayam.

Jika ada warung seafood pun biasanya tidak segar lagi. Rizmi pun merespons, “Dengan jauhnya Unpad atau Jatinangor dari laut bisa diakali dengan adanya distribusi pakan. Bisa pula diadakan penyuluhan bagaimana cara yang benarnya dalam mengirim ikan kemudian bagaiamana cara mengolahnya,” jelas Rizmi.

Terlepas dari acara-acara tersebut, faktanya nelayan di Indonesia masih banyak yang belum sejahtera dan miskin. Nelayan saat ini masih kurang diperhatikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Padahal dengan adanya nelayan negara kita menjadi maju, masa kita tidak mau untuk memajukan kesejahteraan nelayan?

Berikut adalah salah satu jawaban dari Sekertaris Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Dr. Atikah Nurhayati, SP., MP. . Dia mengatakan pnilaian pemerintah sudah baik atau tidak dalam memperlakukan nelayan Indonesia dapat dilihat dari indikator sosial ekonomi nelayan yang masih rentan dalam siklus kemiskinan secara struktural dibandingkan dengan kultural.

Atikah melanjutkan, kebijakan pemerintah belum mampu mengatur sistem bagi hasil yang berlaku di nelayan, sehingga masih menimbulkan “gap” antara pihak yang diuntungkan dengan yang dirugikan, sehingga diperlukan sosialisasi mengenai undang-undang bagi hasil bagi nelayan dengan melibatkan ketua adat atau tokoh masyarakat.

Kebijakan pemerintah, kata dia, belum berpihak kepada nelayan dalam aspek permodalan, masih sulitnya akses nelayan kepada lembaga keuangan formal, sehingga nelayan lebih memilih kepada lembaga keuangan non formal denga tingkat bunga diatas rata-rata lembaga keuangan formal, sehingga diperlukan regulasi lembaga keuangan khusus untuk nelayan. Kebijakan pemerintah belum sepenuhnya memberikan jaminan sosial dan keselamatan melaut bagi nelayan, masih banyak kasus nelayan yang melintasi batas wilayah NKRI akibat ketidaktahuan nelayan terhadap batas wilayah.

Sedangkan untuk alat tangkap dan jenis kapal yang dimiliki oleh nelayan di Indonesia masih relatif terbatas. Berikut adalah tanggapan dari Noir P. Purba, M.Sc, Dosen Ilmu Kelautan dan Peneliti di KOMITMEN Research Group.

“Melihat luasnya perairan Indonesia (70 % lautan) dan heteroginitas ikan di Indonesia, tentu alat dan kapasitas kapal perlu dikembangkan," kata Noir.

Bantuan kapal pada tahun 2017 sekitar 2000 kapal, ujar Noir, masih belum mampu memenuhi mengeksploitasi perairan baik di Hindia maupun Pasifik. Demikian juga dengan alat tangkap yang harus dimodifikasi atau diperbaharui dikarenakan kondisi perairan Indonesia yang kompleks dan merupakan alur migrasi ikan.

"Nelayan Indonesia membutuhkan teknologi yang lebih mumpuni dalam menangkap ikan. Nelayan Indonesia sangat kurang dalam penangkapan ikan di zona eksklusif dikarenakan ketiadaan alat tangkap dan kapal yang baik. Walaupun zona upwelling di Indonesia sangat banyak, namun ikan yang didapat tidak lebih banyak karena pada saat upwelling, angin muson tenggara juga berhembus kuat yang mengakibatkan gelombang tinggi,” ujar Noir.

Dengan melihat potensi laut yang besar di Indonesia ini, menurut Atikah, potensi yang harus dikembangkan oleh nelayan adalah peningkatan kemampuan dalam menentukan zonasi tangkapan yang aman dan tidak melewati batas wilayah NKRI, kemampuan dalam menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, kemampuan dalam penangangan hasil tangkapan (post harvest strategy) sehingga memiliki nilai tambah (added value) produk perikanan tangkap.

Dapat disimpulkan bahwa edukasi perlu diberikan kepada nelayan agar semakin makmur dan peralatan untuk menangkap ikan di Indonesia harus diperbaharui lagi. Jangan lupa pula untuk mengonsumsi makan ikan. “Smooth sea never made a skillful sailor. Quotes ini sangat cocok untuk nelayan Indonesia yang pantang menyerah,” ujar Noir.

 

Bukan Obat Kuat, Daging Penyu Justru Berbahaya Buat Kesehatan

Daging penyu diyakini sebagai penambah vitalitas. Namun, hasil survei terbaru yang dilakukan Pusat Penelitian Sumberdaya Perairan Pasifik (P2SP2) dan Universitas Papua mematahkan anggapan tersebut.

Hasil survei yang didukung Conservation International (CI) Indonesia tersebut justru menegaskan mengkonsumsi daging penyu tidak menambah vitalitas, dan justru berpotensi membawa berbagai penyakit kronis bagi mereka yang secara rutin memakannya.

Hasil penelitian itu disampaikan Ricardo Tapilatu, Dosen Biologi Kelautan dan Konservasi, Universitas Papua di Papua Barat, beberapa waktu lalu

Survei sumberdaya penyu laut di Kabupaten Kaimana tersebut dilakukan P2SP2 pada bulan Maret 2016 sampai Oktober 2016. Survei itu menyatakan terdapat 7 jenis penyu di dunia, 6 jenis penyu di antaranya berada di Indonesia dan 4 jenis penyu dapat ditemukan di Papua Barat, antara lain penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang, dan penyu belimbing yang pergerakannya menyebar ke Aru, Kei, Kaimana, dan Fakfak.

Daerah survei yang dilakukan di Kaimana berada Teluk Etna (Lakahia dan Ombanariki) dan Pulau Venu dengan menggunakan metode wawancara kepada tokoh masyarakat, nelayan setempat dan pemutaran film tentang penyu.

Ricardo menyatakan, “Terjadi penurunan jumlah penyu secara drastis. Salah satu contoh adalah penyu belimbing yang pada tahun 2008 ada sekitar 15.000 sarang per tahun, menurun jadi 2.000 sarang per tahun di tahun 2011. Tahun lalu tercatat hanya ada 1.500 sarang per tahun.”

Penurunan jumlah penyu terjadi karena beberapa faktor. Selain predator seperti babi, biawak, elang dan hiu, kondisi lingkungan juga sangat mempengaruhi, seperti suhu pasir yang tinggi dan air pasang.

Ricardo menegaskan, ancaman terbesar bagi penyu adalah perilaku manusia. Penggunaan alat kerja nelayan yang dapat mengancam kelangsungan hidup penyu seperti penggunaan kail pancing yang tertelan penyu dan tersangkut jaring nelayan. Fakta lain juga membuktikan bahwa sampah plastik banyak menyebabkan kematian pada penyu yang tidak sengaja mengkonsumsi sampah plastik.

Berbahaya bagi kesehatan

Hasil penelitian menemukan bahwa kandungan logam berat pada telur penyu hijau dan penyu sisik dari Pulau Venu melebihi batas aman untuk dikonsumsi oleh manusia. Terdapat paling tidak 8 kandungan zat berbahaya pada telur penyu tersebut antara lain: merkuri, kadmium, arsen, timah, seng, mangaan, besi dan tembaga. Mengkonsumsi telur penyu berbahaya bagi kesehatan karena berdampak pada gangguan syaraf, penyakit ginjal, kanker hati, serta pengaruh pada kehamilan dan janin.

Pada presentasi tersebut Ricardo menampilkan tabel yang menggambarkan jumlah kandungan logam berat tersebut. Baik pada penyu hijau maupun penyu sisik, kandungan merkuri, kadmium dan arsen sudah melebihi ambang batas untuk dikomsumsi oleh manusia.

Hal ini terjadi karena penyu merupakan binatang yang berumur panjang, dan hidupnya berpindah-pindah. Karena penyu melakukan kontak dengan laut tercemar untuk jangka waktu yang lama, makanan yang tercemar dan terkontaminasi dikonsumsi oleh penyu sehingga binatang ini pun terkontaminasi unsur-unsur logam berat dan terakumulasi dalam tubuhnya. Daging, organ, darah, dan telurnya terindikasi mengandung parasit, bakteria, termasuk biotoksin dan zat pencemar seperti logam berat.

Ricardo menambahkan, “Memang penyu bisa kawin sampai 6 jam, tetapi itu bukan berarti bahwa memakan mereka juga membuat kita menjadi kuat.” Semakin banyak daging penyu yang dikonsumsi, semakin tinggi kandungan logam berat yang masuk ke dalam tubuh kita. Sebuah kasus kematian mendadak belum lama ini dialami oleh satu keluarga di Raja Ampat yang ternyata secara rutin mengkonsumsi penyu.

Wakil Bupati Kabupaten Kaimana, Ismail Sirfefa menegaskan, perlu ada sosialisasi masalah ini kepada masyarakat sekaligus mengajak masyarakat untuk menjaga lingkungan dan menjaga spesies penyu di kabupaten ini. "Masyarakat harus berhenti mengkonsumsi penyu,” paparnya.

Penyu berperan cukup penting bagi konservasi lingkungan laut. Sebagai contoh penyu hijau merupakan spesies kunci yang memakan lamun sehingga kesuburan lamun meningkat. Sedangkan penyu sisik mengkonsumsi sponges dan ikut menjaga kesuburan sponges.

“Kedatangan penyu untuk melepaskan telurnya di pantai berpasir bisa merupakan indikator baik-buruknya lingkungan pantai itu. Hanya perairan dan pantai yang tidak tercemar serta tidak rusak ekosistemnya yang menjadi tujuan kedatangan penyu,” demikian ditambahkan oleh Victor Nikijuluw, Marine Program Director Conservation International Indonesia.

Salah satu komitmen yang disepakati bersama dalam diskusi ini adalah pentingnya menjaga lingkungan dan perairan di wilayah Kabupaten Kaimana serta mengembangkan wisata yang ramah penyu untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. 

Mengenal Kitosan di Cangkang Rajungan

Mengenal Kitosan di Cangkang Rajungan

Sehabis makan rajungan, biasanya cangkangnya akan dibuang. Tapi tahukah kamu bahwa cangkang rajungan ini mengandung senyawa bernama kitosan, yang ternyata sangat bermanfaat? Cangkang rajungan yang mengandung kitosan bisa diolah menjadi minuman pencegah kanker.

Sebagai negara maritim, perairan Indonesia banyak mengahasilkan hasil laut yang melimpah, salah satunya ialah rajungan. Biasanya, nelayan akan memisahkan daging dan cangkang rajungan. Daging rajungan akan mereka jual dan cangkang langsung dibuang tanpa diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Saat Dr. Emma Rochima, SPi., M.Si dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran melakukan survei ke daerah Cirebon, di sana banyak limbah rajungan yang tidak termanfaatkan. Emma pun mengolah limbah rajungan tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat, selain untuk mengatasi permasalahan limbah dan menambah penghasilan nelayan, ia juga memanfaatkan limbah tersebut menjadi minuman kesehatan.

Limbah cangkang rajungan diolah menjadi kitosan. Kitosan adalah suatu senyawa polikationik bermuatan positif yang terdiri dari gugus asetil glukosa dan gugus tamin. Rantai gula yang bisa mengikat muatan-muatan negatif, sehingga muatan-muatan negatif tersebut bisa diikat dan akhirnya melemah.
“Sebetulnya kitosan bukan hanya dari rajungan tetapi ada juga pada udang, jamur, dan lain-lain,” ujarnya.

Kitosan bisa dimanfaatkan dalam berbagai bidang yaitu untuk bidang kedokteran yang bermanfaat sebagai penyalut luka atau menjadi benang jahit. Sedang di bidang pertanian bermanfaat sebagai biopestisida, pengawetan ikan fillet agar tetap segar, suplemen diet, penurun lemak, penjernih air karena kitosan bisa mengikat logam-logam, bisa menjadi daya imunitas seseorang.

Dr. Emma adalah ahli di bidang ilmu pangan sehingga limbah cangkang rajungan yang diteliti bisa ia aplikasikan pada makanan. Karena selama ini kitosan biasa digunakan pada bidang kedokteran dan pertanian. “Saya membuat kitosan dalam bentuk minuman agar seseorang yang mengkonsumsinya tidak merasa sedang meminum obat. Minuman tersebut berfungsi untuk mecegah penyakin kanker payudara,” ungkapnya.

Dr. Emma melakukan uji coba in vitro dan in vivo minuman itu pada tikus. Ketika seekor tikus diberi minuman kitosan, ternyata tikus tersebut memiliki volume kanker yang lebih kecil. “Melihat penelitian itu, akan memiliki prospek yang bagus di kemudian hari,” ungkap perempuan berkerudung ini.

Saat ini Dr. Emma tengah membuat ukuran kitosan menjadi lebih kecil atau disebut ukuran nano. Sebelumnya kitosan tersebut berukuran makro. Ada macam-macam bentuk dari kitosan yaitu tepung, plek, dan teh, lembaran.

Cara mengolah kitosan menjadi minuman adalah dengan membuat formulasi kemudian kitosan dibuat menjadi jelly dan dimasukan ke dalam formulasi teh, vitamin c, dan lain-lain. Banyaknya kitosan dalam cangkang rajungan sekitar 30 persen. Misalnya cangkang rajungan seberat 1 kg maka kitosan yang didapat sekitar 300 gram.

Ccara mengonsumsi minuman kesehatan tersebut janganlah terlalu banyak karena kitosan meresap atau mengikat muatan-muatan yang negatif dalam tubuh. Ketika seseorang meminum kitosan terlalu banyak, bukannya sehat malahan zat-zat yang lain juga bisa terikat oleh kitosannya. “Jangan minum lebih dari 250 ml per hari,” kata dia.

Namun, minuman kesehatan tersebut belum dipasarkan karena masih di dalam tahapan uji laboratorium. Dr. Emma akan megadakan uji konsumen, efek yang dirasakan pada manusia tidak langsung terasa berbeda halnya dengan yang terjadi pada tikus. Pada tikus langsung terlihat efeknya tetapi jika pada manusia membutuhkan waktu yang cukup lama, juga tergantung pada tubuh seseorang, reaksinya ada yang cepat dan lambat.

Berbagai kendalanya yang dihadapi oleh Dr. Emma yaitu pengolahan menjadi kitosan membutuhkan instalasi yang cukup lengkap, pengelolaan air limbahnya, jadi terkadang dari mulai cangkang basah, kering, membuat kitosan membutuhkan waktu yang panjang. Pengolahan cangkang menjadi kitosan tidak meninggalkan limbah (zero waste) karena buangan dari proses-proses menjadi kitosan dimanfaatkan kembali menjadi hal yang berguna kembali.

Penelitiannya dilakukan bekerja sama dengan Dikti, nelayan di Cirebon, Pusat Penelitian Nano Teknologi. Ke depannya ia akan bekerjasama dengan industri.

Dengan adanya penelitan ini diharapkan bisa menjadi bagian dari upaya menyehatkan masyarakat, mencari solusi permasalahan dengan minuman antikanker. “Siapa tahu orang-orang yang memiliki penyakit kanker payudara bisa sembuh dengan mengkonsumsi minuman ini,” ujarnya.

 

Senin, 17 Juli 2017

KKP Gagalkan Penyelundupan Insang Pari Manta

KKP Gagalkan Penyelundupan Insang Pari Manta


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berhasil melaksanakan operasi tangkap tangan atas pemanfaatan bagian tubuh dari spesies ikan dilindungi berupa insang kering pari manta senilai Rp156 miliar di Lamongan, Jawa Timur, pada Rabu (5/7). Demikian disampaikan Direktur Jenderal PSDKP, Eko Djalmo Asmadi, di Jakarta, Jumat (7/7).

“Sebagai aksi nyata melindungi sumber daya kelautan dan perikanan, kami berhasil menggagalkan perdagangan spesies yang dilindungi yang merupakan salah satu kekayaan laut, spesies langka, yang juga sekaligus menjadi warisan alam di Indonesia,” ungkap Eko.

Eko menambahkan, dalam operasi tangkap tangan yang juga didukung oleh lembaga konservasi Wildlife Crime Unit – Wildlife Conservation Society (WCU-WCS) tersebut, Tim Direktorat Jenderal PSDKP berhasil mengamankan barang bukti berupa 80 (delapan puluh) tapis insang pari manta atau dapat disetarakan dengan 16 ekor ikan pari manta.

Selanjutnya, Eko menjelaskan bahwa dalam proses pemeriksaan di lokasi kejadian, tim juga telah melakukan pengembangan pemeriksaan di tempat pengolahan ikan serta tempat-tempat penyimpanan lainnya yang diduga terdapat bagian-bagian ikan pari manta atau ikan yang dilindungi lainnya. Dalam pengembangan tersebut, tim berhasil menemukan tulang ikan campuran (diduga pari manta dan hiu) sebanyak 53 karung dan tulang yang masih dalam proses pengeringan sekitar 7 karung. Total berat tulang ikan tersebut sekitar 2.170 kilogram. Tim kemudian mengambil sampel tulang ikan untuk dilakukan uji DNA guna memastikan apakah tulang tersebut merupakan bagian dari ikan yang termasuk dilindungi.

Menurut Eko, pari manta telah ditetapkan sebagai jenis ikan yang dilindungi oleh negara melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4/KEPMEN-KP/2014. Artinya, sejak tahun 2014 penangkapan dan perdagangan pari manta dan bagian-bagian tubuhnya merupakan kegiatan yang dilarang dan dapat dikenakan sanksi hukum.

Pasalnya, keberadaan pari manta memiliki manfaat ekonomi yang besar, sebab keelokan dan keindahan pari manta mampu menarik perhatian para wisatawan mancanegara dan lokal. Berdasarkan hasil kajian, wisata penyelaman pari manta di Nusa Penida, Komodo, Raja Ampat, dan Sangalaki memiliki nilai ekonomi sekitar Rp245 miliar per tahun. Dengan demikian dapat dikatakan pari manta telah menjadi aset jasa kelautan lewat kegiatan pariwisata bahari. Contohnya, untuk daerah tujuan wisata bahari yang sudah berkembang seperti di Nusa Penida-Bali, 1 ekor pari manta dapat menyumbangkan nilai ekonomi sebesar Rp9,75 miliar selama hidupnya. Angka ini jauh lebih besar bila dibandingkan jika pari manta dijual dalam bentuk insang kering yang nilainya sekitar Rp2 Juta per kg.

Setidaknya sejak ditetapkannya peraturan menteri pada tahun 2014, Ditjen PSDKP telah menangani 14 kasus serupa di beberapa daerah, antara lain Indramayu, Jawa Barat; Lombok, Timur Nusa Tenggara Barat; Banten; Surabaya, Jawa Timur; Banyuwangi, Jawa Timur; Lembata, Nusa Tenggara Timur; dan Bali.



Dihubungi terpisah via telepon, Kasubag Humas Polres Flores Timur Iptu Erna Romakia, membenarkan penangkapan HS saat transaksi tengah malam di Hotel Lestari, Larantuka tersebut. Menurut Erna, total barang bukti yang diamankan dari pelaku sekitar 25 kg, hanya setelah dipilah, insang pari manta yang disita sekitar 13 kg. Selebihnya jenis biasa yang dicampur. “Penangkapan tersebut dilakukan setelah pihaknya mendapat informasi adanya transaksi mencurigakan. Saat ini, tersangka beserta barang bukti diamankan di Polres Flores Timur, NTT.”

Erna menjelaskan, pelaku mengaku memiliki jaringan di luar NTT. Penangkapan ini, merupakan pengembangan dari kasus di Surabaya. “Kasus pertama ini ditangani Unit II Krimsus yang dipimpin Aiptu Nyoman Karwadi. Setelah masa penyidikan 30 hari, akan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Larantuka dan selanjutnya disidang di Pengadilan Negeri Larantuka.”

Menurut Erna, umumnya, masyarakat di Lamakera adalah nelayan. Dari wilayah ini pari manta yang dibawa pelaku berasal. Lemahnya sosialisasi membuat nelayan masih menangkap jenis yang sebenarnya sudah dilindungi ini. Karena, sebelum aturan perlindungan pari manta ada, masyarakat sudah biasa menangkapnya. “Kedepan, kami akan bekerja sama dengan Dinas Perikanan Larantuka untuk mengadakan sosialisasi dan bila masih ada pelanggaran akan dilakukan penindakan hukum.”
Pari manta merupakan spesies ikan pari yang lebar tubuhnya dari ujung sirip dada hingga ke ujung sirip lainnya dapat mencapai 6 – 8 meter. Beratnya ada yang mencapai tiga ton dan dapat hidup hingga usia 20 tahun. Meski begitu, reproduksinya rendah, ikan ini hanya dapat melahirkan satu anak dalam rentang waktu dua tahun.

Di Indonesia, terdapat dua jenis pari manta yang dilindungi yaitu pari manta karang (Manta alfredi) dan pari manta oseanik (Manta birostris). Perburuan pari manta yang terus meningkat dengan pasar tujuannya Tiongkok, membuat IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan kedua jenis ini dalam kategori Rentan.

Berdasarkan catatan WCU, unit kerja anti perdagangan satwa liar WCS, penangkap ini merupakan kasus ke-13. Dari semua kasus, hanya kasus di Serang saja yang tidak diproses hukum meski ada barang bukti 3 kg insang pari manta.

 

Aturan KKP Jadikan Sektor Perikanan Lebih Menjanjikan

Aturan KKP Jadikan Sektor Perikanan Lebih Menjanjikan

 
Aksi demonstrasi mengatasnamakan nelayan yang berlangsung pada (11/7) di depan halaman Istana Negara tidak lantas menjadi sebuah kekhawatiran bagi pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Aturan-aturan yang diberlakukan KKP oleh berbagai kalangan dinilai sudah sepenuhnya benar dan sesuai dengan semangat Nawa Cita dalam mewujudkan Laut sebagai Masa Depan Bangsa. Bahkan mendapat pengakuan dunia internasional, dan menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pengelolaan kelautan dan perikanan berkelanjutan dan mengutamakan kepentingan rakyat. Beberapa indikasi pun menunjukan kebijakan KKP sudah berjalan dengan baik bahkan menjadikan sektor perikanan ini kembali hidup dan lebih menjanjikan. 
 
Hampir dua dekade ribuan kapal asing bebas melanglang buana di tiap sudut perairan Indonesia. Mereka bahu membahu mengeruk kekayaan laut Indonesia, menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Bukan tidak dilarang, tapi memang ada peraturan pemerintah kala itu, yang membebaskan mereka masuk dan mencuri ikan.

Memasuki era baru, dimana Presiden Joko Widodo memprioritaskan sektor kelautan dan perikanan sebagai visi bangsa Indonesia ke depan. Presiden mengangkat Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam kabinet kerja. Selain memiliki track record yang baik, Ia dikenal memiliki gebrakan yang sangat tegas dalam mengambil keputusan. Satu yang akan menjadi sejarah Indonesia adalah menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan. Meski kebijakan Menteri Susi –ada yang bilang- tidak pro bisnis, tapi kenyataannya, kebijakan tersebut pro masyarakat yang justru membantu nelayan kecil lepas dari cengkraman para tengkulak maupun pengusaha perikanan berwajah mafia.

Kesejahteraan nelayan meningkat, dengan naiknya stok ikan nasional dari 7,3 juta ton tahun 2013 menjadi 9,9 juta ton tahun 2015 dan naik lagi menjadi 12,5 juta ton pada 2016 (Kajiskan). Peningkatan ini terjadi karena laju pertumbuhan subsektor perikanan selalu lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional (Produk Domestik Bruto) dan jika dibandingkan dengan semua sektor penghasil barang. Subsektor perikanan juga lebih tinggi daripada subsektor induknya, yakni pertanian. Selain itu, Nilai Tukar Nelayan (NTN) juga meningkat 5 sampai 7 persen dan nilai tukar usaha perikanan (NTUP) meningkat 20 persen (pidato MKP Halal Bihalal 10 Juli 2017). Pada Mei 2017 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis naiknya daya beli nelayan. Nilai Tukar Nelayan (NTN) naik sebesar 0,30 persen.

Selain penenggelaman kapal ikan, Menteri Susi juga memberlakukan sejumlah aturan terkait kelautan dan perikanan. Sebut saja pelarangan penangkapan benih lobster dan rajungan melalui Permen KP nomor 1 Tahun 2015. Tujuan pemerintah menerbitkan permen tersebut bukanlah melarang penangkapan benih lobster untuk dibudidaya. Hanya saja, jika diijinkan mengambil benih lobster, masyarakat akan kembali mengekspor benih lobster ke negara lain. Vietnam sering diuntungkan jika mendapat pasokan benih lobster dari Indonesia. Angka ekspor Vietnam 1.000 ton per tahun, sementara Indonesia hanya dapat ekspor 300 ton per tahun. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan melarang ekspor bibit lobster dan lebih mendorong ekspor lobster dewasa agar bernilai tambah dan berkelanjutan terhadap populasi lobster di laut Indonesia. Peraturan pelarangan penangkapan benih lobster disambut baik masyarakat.

Pada Juni lalu, masyarakat Lombok membakar alat tangkap benih lobster yang biasa disebut “pocongan” untuk menunjukkan komitmen tidak akan menangkap benih lobster lagi. Kiranya pemerintah tidak lepas tangan, pemerintah juga memberi solusi bagi eks penangkap benih lobster, seperti melakukan pelatihan budidaya ikan bawal bintang dan rumput laut yang digelar pada Selasa 11 Juli di Lombok dan akan dilakukan pendampingan dalam menjalankan bisnis barunya.

Selain itu, Menteri Susi menertibkan kapal angkut ikan hidup melalui Permen KP Nomor 32 Tahun 2016 tentang Kapal Pengangkutan Ikan Hidup. Bukan bermaksud untuk menyulitkan, melalui permen tersebut pemerintah ingin pengusaha perikanan mengekspor langsung hasil usahanya dan tentunya meminimalisir kapal asing masuk, entah itu sebagai kapal penangkap ikan maupun kapal angkut ikan.
Selain dua poin di atas, peraturan Menteri Susi yang menuai banyak kontroversi adalah pelarangan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, melalui implementasi Permen KP Nomor 2 Tahun 2015 yang diperbaharui dengan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap di WPP NRI tersebut. Sebut saja pukat tarik, pukat hela, termasuk cantrang mulai dilarang. Jika ditelisik pada puluhan tahun ke belakang, penggunaan cantrang tidak pernah dilarang karena masih digunakan secara manual, dimana penarikan dilakukan langsung oleh tangan nelayan, serta mayoritas yang menggunakan adalah kapal-kapal kecil. Berkembangnya zaman, cantrang pun dimodifikasi sedemikian rupa dan digunakan oleh kapal-kapal penangkap ikan yang memiliki Gross Ton besar. Penggunaan cantrang pada kapal besar inilah yang mengeruk seluruh dasar lautan, sehingga merusak ekosistem laut.

Beberapa kali aturan pelarangan penggunaan cantrang menuai demo dan penolakan masyarakat yang -kebanyakan- digawangi oleh pengusaha perikanan dan pemilik kapal-kapal besar. Dengan alasan belum ada kesiapan dari pihak nelayan maupun pengusaha perikanan dan pemilik kapal, pemerintah pun selalu melonggarkan aturan. Pemerintah pusat melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, agar mendampingi pemilik kapal cantrang yang ingin mengubah alat tangkap serta mempermudah, mempercepat, dan menyederhanakan proses perizinan dan penerbitan dokumen kapal dan awaknya (SIPI dan SIKPI) juga memfasilitasi sharing diskusi terkait permodalan.

Ini merupakan sebagian kecil potret industri perikanan. Polemik soal cantrang memang seharusnya tidak perlu dikupas lagi. Pemerintah harus berani menyelamatkan nasib jutaan nelayan, dibanding harus menuruti tuntutan ratusan pengusaha perikanan -yang menyogok sana sini- demi mengisi kantungnya sendiri.

Para pelaku usaha perikanan seyogyanya dapat mengikuti peraturan pemerintah yang sedang berlaku. Menciptakan tata kelola industri perikanan yang baik, tata kelola perairan Indonesia yang lestari butuh waktu dan proses. Mengutip kalimat Menteri Kelautan dan Perikanan terdahulu Sarwono Kusumaatmadja, “Membenahi tata kelola lautan Indonesia seperti orang sakit yang harus minum obat pahit. Pasti ada penolakan, ketidakmauan, tapi kita harus minum obatnya agar cepat sembuh.”

Adapun terkait aksi demonstrasi yang dilakukan kemarin di depan Istana Merdeka, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat melakukan Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI sempat mengutarakan tanggapannya. Menurutnya, alasan utama aksi demontrasi tersebut dikarenakan ada pihak pihak yang tidak suka dengan kebijakannya, namun menurutnya hal itu tidak boleh mendiskreditkan hasil pekerjaan KKP yang sudah menunjukkan hasil yang sangat baik.

 

Larang Nelayan Tangkap Benih Lobster, KKP Berikan Bantuan Alih Profesi

Larang Nelayan Tangkap Benih Lobster, KKP Berikan Bantuan Alih Profesi

 

Pemerintah menyadari bahwa implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah NKRI pasti akan memberikan dampak ikutan yang akan mempengaruhi ekonomi masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah telah menyiapkan antisipasi atas dampak ikutan tersebut, dengan memberikan kompensasi berupa dukungan untuk kegiatan usaha pembudidayaan ikan, dengan mengalokasikan anggaran senilai Rp50 miliar untuk usaha budidaya ikan.
Kompensasi ini berupa dukungan sarana budidaya ikan untuk 2.246 RTP eks penangkap benih lobster masing-masing di Kab. Lombok Tengah sebanyak 873 RTP, Kab. Lombok Timur 1.074 dan Lombok Barat sebanyak 229 RTP. Paket yang disediakan senilai Rp20 – 22 juta. Sebanyak 728 paket untuk budidaya rumput laut; 655 paket untuk budidaya ikan bawal bintang; 580 paket budidaya ikan kerapu; 209 paket budidaya lele; 40 paket budidaya bandeng; budidaya udang vaname 20 paket; dan 14 paket budidaya nila; serta 71 unit perahu untuk sarana angkut rumput laut.
“Bantuan per satu RTP karena anggaran yang terbatas. Untuk anak, bapak, satu kegiatan dibuat dalam satu kelompok. Verifikasi syaratnya adalah pertama, penangkap lobster; kedua, mereka ingin kembali ke kegiatan semula. Kalau mereka terpaksa, dari awal sudah tidak kita data,” ujar Slamet pada Rabu (12/7).
Bantuan akan didistribusikan dalam waktu dekat
KKP melalui DJPB kini sudah mulai melakukan bimbingan teknis/pelatihan teknis budidaya di semua lokasi. Setelah dilakukan pelatihan bantuan sarana dan prasarana budidaya akan segera didistribusikan dalam waktu dekat. Dengan dukungan ini diharapkan tahap awal masyarakat akan meraup keuntungan masing-masing Rp2-3 juta per bulan.
Guna memastikan program ini berjalan baik, KKP akan memfasilitasi penguatan kapasitas SDM yaitu berupa pendampingan teknis, pasca panen (diversifikasi produk), dan manajemen usaha, serta jaminan pasar.
Pemerintah mengajak semua pihak terutama masyarakat mulai belajar memahami sejak dini pentingnya aspek keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya kelautan perikanan kita. Pemanfaatan sumberdaya harus dilakukan secara terukur, arif, dan bijaksana.
“Semuanya memang butuh proses. Tidak ada nelayan, awalnya mau berpindah langsung (dapat keuntungan) seperti menangkap lobster. Jadi ini wajar. Kalau disuruh memilih menangkap lobster atau berpindah ke budidaya, mereka (nelayan) lebih senang menangkap lobster, kita tahu itu. Tapi kita ingin mengembalikan lagi. Kenapa? Produksi rumput laut jauh menurun, produksi ikan semua jadi menurun. Nah ini proses. Pertama-tama, mungkin seperti itu, tapi tingkat keberhasilan sampai jaminan pasarnya nanti sudah kita rencanakan dari Perindo dan Perinus. Bahkan kalau ingin mengembangkan usahanya sudah kita siapkan,” tandas Slamet.

KKP Berikan Pelatihan Alih Profesi Eks Penangkap Benih Lobster Lombok
“Kita ketahui dari berbagai macam sumber, pernyataan bahwa nelayan penangkap lobster itu menolak bantuan itu sebetulnya tidak benar. Penerima atau masyarakat yang masih ada di sana tidak menolak sama sekali. Dan ini dilakukan oleh beberapa oknum saja yang mereka tergabung dari penadah, penyalur, atau pun eksportir, atau mungkin hal-hal lain yang ada di sana. Masyarakat yang sudah komitmen, sudah membacakan ikrar sampai saat ini masih komit,” ungkap Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto pada konferensi pers di Kantor Gubernur NTB, Rabu (12/7).
Hal serupa diungkapkan Wakil Gubernur NTB Muhammad Nuh. Pada kesempatan yang sama, Ia menyatakan pihaknya telah menyerahkan bantuan sarana dan prasarana kepada nelayan. Menurutnya, nelayan telah berikrar dan berkomitmen tidak akan menangkap benih lobster lagi. Bahkan, beberapa waktu lalu secara simbolis nelayan telah mengangkat dari laut dan membakar “pocongan” yang dijadikan alat penangkap benih lobster.
“Kita daerah destinasi wisata, lautnya harus tidak tercemar, lautnya harus indah, dan harus lestari. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sampai saat ini masih berkomitmen. Bukannya menolak, kita bahkan kalau ada yang belum atau kurang, nanti kita akan minta ke Bu Menteri untuk menambah bantuan melalui berbagai program-program pemberdayaan dan alat-alat. Ini masih bertahap,” kata Muhammad Nuh.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah NKRI merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam menjamin kelestarian sumber daya alam kelautan dan perikanan untuk kepentingan ekonomi lebih besar secara jangka panjang. Aturan ini mengatur larangan penangkapan lobster bertelur dan/atau ukuran berat kurang atau sama dengan 200 gram atau lebar karapas kurang dari atau sama dengan 8 cm.
Slamet menambahkan, aturan tersebut dilatarbelakangi fenomena eksploitasi benih lobster di alam secara tak terkendali, secara nyata telah menyebabkan penurunan stok sumberdaya lobster di perairan Indonesia. Eksploitasi benih secara tidak terkendali akan memutus siklus hidup lobster, sehingga generasi yang akan datang tidak akan mampu merasakan nilai ekonomi sumberdaya lobster.
“Jadi pemerintah membuat peraturan bukan semata-mata untuk mematikan usaha masyarakat. Pemerintah justru ingin menyelamatkan kepentingan yang lebih besar, yaitu bagaimana menyelamatkan sumberdaya lobster agar nilai ekonominya bisa dinikmati secara jangka panjang,” tambah Slamet.
Slamet mengatakan, Lombok merupakan aset terbesar sumberdaya lobster di dunia, untuk itu penting menjaga kelestarian aset ini, sehingga siklus kehidupan lobster bisa berjalan secara normal. Pemerintah mencoba untuk menata pola pemanfaatan sumberdaya lobster ini agar di satu sisi nilai ekonomi bisa dirasakan, dan di sisi lain kelestariannya tetap terjaga.
Setidaknya 4 juta ekor benih lobster per tahun keluar dari NTB dengan tujuan utama ke Vietnam dengan nilai ekonomi yang sangat besar. Eksportasi benih lobster ini justru menguntungkan negara lain, sementara Indonesia tidak bisa merasakan nilai tambah apa-apa. Disisi lain, penjualan lobster dalam bentuk benih sebenarnya memberikan keuntungan yang minim, dibandingkan penjualan ukuran konsumsi.
“Kalau menangkap lobster yang 200 gram ke atas, harganya lebih tinggi lagi karena per kilo bisa sampai Rp500-600 ribu. Kita ingin masyarakat menangkap lobster yang besar-besar lagi. Dulu ekspor Indonesia itu luar biasa besar, tetapi setelah yang kecil (benih lobster) ditangkap, produksinya menurun, tidak ada lagi. Sebetulnya menangkap yang gede-gede jauh lebih menguntungkan daripada menangkap yang kecil,” terang Slamet.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Menteri Susi Pudjiastuti. Menurutnya, kekayaan lobster Indonesia tidak dinikmati oleh masyarakat Indonesia, melainkan negara lain, sebut saja Vietnam. Akibat dukungan ekspor benih lobster dari Indonesia, angka ekspor lobster Vietnam mencapai 1.000 ton per tahun, sedangkan Indonesia hanya 300 ton per tahun. “Nelayan menangkap benih lobster, dijual dengan harga murah, dan dikirim ke sana. Makanya kita larang. Mending benih lobsternya dibesarkan dulu agar harganya mahal, dan dijual oleh nelayan kita sehingga bukan Vietnam lagi yang menikmati keuntungannya,” ungkap Menteri Susi beberapa waktu lalu.
Sebagai gambaran, tahun 2015 setidaknya sebanyak 1,9 juta ekor penyelundupan benih lobster berhasil digagalkan, dengan nilai ekonomi diperkirakan menyampai Rp98,3 miliar. Sedangkan berdasarkan data BKIPM Mataram, dalam rentang tahun 2014, total benih lobster yang keluar dari NTB tercatat 5,6 juta ekor dengan nilai mencapai Rp130 miliar.
KKP Pastikan Tak Ada Eks Penangkap Benih Lobster di Lombok Tolak Program Bantuan Usaha Budidaya
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan masyarakat eks penangkap benih lobster siap terima bantuan kompensasi bagi usaha budidaya ikan. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto mengatakan hal tersebut setelah melakukan investigasi dan bertemu langsung dengan masyarakat dan elemen terkait. Slamet memastikan bahwa masyarakat yang telah terverifikasi sebagai calon penerima bantuan tidak ada satupun yang menolak mengembalikan bantuan yang akan diberikan.
Hal tersebut menangkis isu yang berkembang terkait penolakan bantuan oleh masyarakat eks Penangkap benih lobster di 3 (tiga) Kabupaten yakni Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Timur beberapa hari ini.
Kepala desa Mertak Kec. Pujut, Haji Bangun, menegaskan bahwa tidak satupun warga masyarakat yang menolak menerima bantuan. Ia menyatakan heran dengan adanya isu penolakan yang berkembang. Dirinya dan warga masyarakat justru menunggu bantuan terealisasi dalam waktu dekat.
“Kami dengan senang hati dan berterima kasih atas bantuan yang akan diberikan, harapannya usaha budidaya akan berjalan sukses, sehingga ekonomi kami kembali bangkit,” ungkapnya di sela sela kegiatan Bimtek budidaya ikan di Desa Mertak, Kec. Pujut-Lombok Tengah.
Demikian halnya, Amaq Mita, eks penangkap benih lobster di Teluk Grupuk, menyatakan bahwa dirinya siap menerima program bantuan untuk budidaya dan tetap berkomitmen untuk memegang teguh ikrar bersama untuk menghentikan penangkapan benih lobster dan beralih ke usaha budidaya ikan.
“Kami semua berharap pemerintah tidak membatalkan bantuan usaha budidaya ini, dan tetap memperhatikan keberlanjutan usaha budidaya ikan yang akan kami geluti. Intinya kami semua sepakat untuk mensukseskan program yang telah digagas ibu Susi,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya beredar di beberapa media nasional bahwa masyarakat menolak program yang ditawarkan Pemerintah Pusat, bahkan berhembus kabar akan melakukan aksi unjuk rasa menolak pemberlakuan Permen KP Nomor 56 tahun 2016.
Ditambahkan bahwa berdasarkan hasil investigasi jajaran Kepolisian Polda NTB dan informasi yang dihimpun beberapa pihak, isu terkait penolakan bantuan KKP merupakan provokasi yang sengaja dihembuskan beberapa oknum, di mana di belakangnya ada peran dari pihak-pihak pengusaha besar (mafia eksportir) yang berafiliasi dengan jaringan importir di luar negeri.
“Ada upaya konsolidasi penggalangan rencana provokasi yang dilakukan beberapa oknum yang diduga kuat difasilitasi oleh pengusaha, namun hingga saat ini tidak ada laporan indikasi pengerahan massa seperti isu yang beredar. Saat ini aparat tengah mengidentifikasi oknum tersebut,” ungkap Heri, Kanit Intel Polsek Kuta-Lombok Tengah.
Sebelumnya dalam keterangan persnya Wakil Gubernur NTB, Muhammad Amin mengatakan bahwa isu terkait penolakan bantuan disinyalir hanya dilakukan sebagian kecil nelayan saja. Ia menegaskan Pemerintah Propinsi NTB akan bebar-benar memperhatikan nasib eks Penangkap benih lobster.
“Waktu penyerahan bantuan secara simbolis tidak ada yang menolak,” tandasnya usai pelantikan Panitia Penyelengaraan Ibadah Haji (PPIH), Jumat (7/7).
Jajaran Polda NTB Siap Kawal Program KKP
Untuk menjamin kesuksesan proses penyaluran bantuan, Pemerintah Propinsi NTB akan berkoordinasi dengan jajaran Polda NTB dalam hal ini Polairud Polda NTB untuk mengawal proses penyaluran bantuan.
Polda NTB menyatakan siap membantu pemerintah termasuk mengawal proses pengalihan profesi masyarakat dari penangkap benih lobster ke usaha budidaya ikan. “Kami mengajak semua pihak untuk mentaati aturan pemerintah. Kami tidak ingin ada masyarakat yang tersangkut pidana, oleh karenanya mari kita sepakat untuk menghentikan aktivitas penangkapan benih lobster,” Tegas Kapolsek Kuta, Iptu Akmal Novial Reza, saat memberikan arahan di depan ratusan masyarakat di Teluk Bumbang