Aturan KKP Jadikan Sektor Perikanan Lebih Menjanjikan
Aksi demonstrasi mengatasnamakan nelayan
yang berlangsung pada (11/7) di depan halaman Istana Negara tidak
lantas menjadi sebuah kekhawatiran bagi pemerintah, khususnya
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Aturan-aturan yang
diberlakukan KKP oleh berbagai kalangan dinilai sudah sepenuhnya benar
dan sesuai dengan semangat Nawa Cita dalam mewujudkan Laut sebagai Masa
Depan Bangsa. Bahkan mendapat pengakuan dunia internasional, dan
menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pengelolaan kelautan dan
perikanan berkelanjutan dan mengutamakan kepentingan rakyat. Beberapa
indikasi pun menunjukan kebijakan KKP sudah berjalan dengan baik bahkan
menjadikan sektor perikanan ini kembali hidup dan lebih menjanjikan.
Hampir dua dekade ribuan kapal asing
bebas melanglang buana di tiap sudut perairan Indonesia. Mereka bahu
membahu mengeruk kekayaan laut Indonesia, menjadi ladang bisnis yang
menggiurkan. Bukan tidak dilarang, tapi memang ada peraturan pemerintah
kala itu, yang membebaskan mereka masuk dan mencuri ikan.
Memasuki era baru, dimana Presiden Joko
Widodo memprioritaskan sektor kelautan dan perikanan sebagai visi bangsa
Indonesia ke depan. Presiden mengangkat Susi Pudjiastuti sebagai
Menteri Kelautan dan Perikanan dalam kabinet kerja. Selain memiliki
track record yang baik, Ia dikenal memiliki gebrakan yang sangat tegas
dalam mengambil keputusan. Satu yang akan menjadi sejarah Indonesia
adalah menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan. Meski kebijakan
Menteri Susi –ada yang bilang- tidak pro bisnis, tapi kenyataannya,
kebijakan tersebut pro masyarakat yang justru membantu nelayan kecil
lepas dari cengkraman para tengkulak maupun pengusaha perikanan berwajah
mafia.
Kesejahteraan nelayan meningkat, dengan
naiknya stok ikan nasional dari 7,3 juta ton tahun 2013 menjadi 9,9 juta
ton tahun 2015 dan naik lagi menjadi 12,5 juta ton pada 2016
(Kajiskan). Peningkatan ini terjadi karena laju pertumbuhan subsektor
perikanan selalu lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional
(Produk Domestik Bruto) dan jika dibandingkan dengan semua sektor
penghasil barang. Subsektor perikanan juga lebih tinggi daripada
subsektor induknya, yakni pertanian. Selain itu, Nilai Tukar Nelayan
(NTN) juga meningkat 5 sampai 7 persen dan nilai tukar usaha perikanan
(NTUP) meningkat 20 persen (pidato MKP Halal Bihalal 10 Juli 2017). Pada
Mei 2017 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis naiknya daya beli
nelayan. Nilai Tukar Nelayan (NTN) naik sebesar 0,30 persen.
Selain penenggelaman kapal ikan, Menteri
Susi juga memberlakukan sejumlah aturan terkait kelautan dan perikanan.
Sebut saja pelarangan penangkapan benih lobster dan rajungan melalui
Permen KP nomor 1 Tahun 2015. Tujuan pemerintah menerbitkan permen
tersebut bukanlah melarang penangkapan benih lobster untuk dibudidaya.
Hanya saja, jika diijinkan mengambil benih lobster, masyarakat akan
kembali mengekspor benih lobster ke negara lain. Vietnam sering
diuntungkan jika mendapat pasokan benih lobster dari Indonesia. Angka
ekspor Vietnam 1.000 ton per tahun, sementara Indonesia hanya dapat
ekspor 300 ton per tahun. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan
melarang ekspor bibit lobster dan lebih mendorong ekspor lobster dewasa
agar bernilai tambah dan berkelanjutan terhadap populasi lobster di laut
Indonesia. Peraturan pelarangan penangkapan benih lobster disambut baik
masyarakat.
Pada Juni lalu, masyarakat Lombok
membakar alat tangkap benih lobster yang biasa disebut “pocongan” untuk
menunjukkan komitmen tidak akan menangkap benih lobster lagi. Kiranya
pemerintah tidak lepas tangan, pemerintah juga memberi solusi bagi eks
penangkap benih lobster, seperti melakukan pelatihan budidaya ikan bawal
bintang dan rumput laut yang digelar pada Selasa 11 Juli di Lombok dan
akan dilakukan pendampingan dalam menjalankan bisnis barunya.
Selain itu, Menteri Susi menertibkan
kapal angkut ikan hidup melalui Permen KP Nomor 32 Tahun 2016 tentang
Kapal Pengangkutan Ikan Hidup. Bukan bermaksud untuk menyulitkan,
melalui permen tersebut pemerintah ingin pengusaha perikanan mengekspor
langsung hasil usahanya dan tentunya meminimalisir kapal asing masuk,
entah itu sebagai kapal penangkap ikan maupun kapal angkut ikan.
Selain dua poin di atas, peraturan
Menteri Susi yang menuai banyak kontroversi adalah pelarangan alat
penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, melalui implementasi Permen
KP Nomor 2 Tahun 2015 yang diperbaharui dengan Permen KP Nomor 71 Tahun
2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap di WPP
NRI tersebut. Sebut saja pukat tarik, pukat hela, termasuk cantrang
mulai dilarang. Jika ditelisik pada puluhan tahun ke belakang,
penggunaan cantrang tidak pernah dilarang karena masih digunakan secara
manual, dimana penarikan dilakukan langsung oleh tangan nelayan, serta
mayoritas yang menggunakan adalah kapal-kapal kecil. Berkembangnya
zaman, cantrang pun dimodifikasi sedemikian rupa dan digunakan oleh
kapal-kapal penangkap ikan yang memiliki Gross Ton besar. Penggunaan
cantrang pada kapal besar inilah yang mengeruk seluruh dasar lautan,
sehingga merusak ekosistem laut.
Beberapa kali aturan pelarangan
penggunaan cantrang menuai demo dan penolakan masyarakat yang
-kebanyakan- digawangi oleh pengusaha perikanan dan pemilik kapal-kapal
besar. Dengan alasan belum ada kesiapan dari pihak nelayan maupun
pengusaha perikanan dan pemilik kapal, pemerintah pun selalu
melonggarkan aturan. Pemerintah pusat melakukan koordinasi dengan
pemerintah daerah, agar mendampingi pemilik kapal cantrang yang ingin
mengubah alat tangkap serta mempermudah, mempercepat, dan
menyederhanakan proses perizinan dan penerbitan dokumen kapal dan
awaknya (SIPI dan SIKPI) juga memfasilitasi sharing diskusi terkait
permodalan.
Ini merupakan sebagian kecil potret
industri perikanan. Polemik soal cantrang memang seharusnya tidak perlu
dikupas lagi. Pemerintah harus berani menyelamatkan nasib jutaan
nelayan, dibanding harus menuruti tuntutan ratusan pengusaha perikanan
-yang menyogok sana sini- demi mengisi kantungnya sendiri.
Para pelaku usaha perikanan seyogyanya
dapat mengikuti peraturan pemerintah yang sedang berlaku. Menciptakan
tata kelola industri perikanan yang baik, tata kelola perairan Indonesia
yang lestari butuh waktu dan proses. Mengutip kalimat Menteri Kelautan
dan Perikanan terdahulu Sarwono Kusumaatmadja, “Membenahi tata kelola
lautan Indonesia seperti orang sakit yang harus minum obat pahit. Pasti
ada penolakan, ketidakmauan, tapi kita harus minum obatnya agar cepat
sembuh.”
Adapun terkait aksi demonstrasi yang
dilakukan kemarin di depan Istana Merdeka, Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti saat melakukan Rapat Kerja bersama Komisi IV
DPR RI sempat mengutarakan tanggapannya. Menurutnya, alasan utama aksi
demontrasi tersebut dikarenakan ada pihak pihak yang tidak suka dengan
kebijakannya, namun menurutnya hal itu tidak boleh mendiskreditkan hasil
pekerjaan KKP yang sudah menunjukkan hasil yang sangat baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar