Senin, 30 April 2018

Teknologi Pembenihan Ikan Hias Botia (Chromobotia macracanthus bleeker) di Lingkungan Terkontrol

DESKRIPSI TEKNOLOGI

Manfaat Teknologi
Teknologi pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) ditujukan untuk produksi benih ukuran komersial (± 2 inchi) secara buatan melalui rangsangan hormonal di lingkungan yang terkontrol, sehingga diharapkan bermanfaat dalam peningkatan produksi benih ikan hias Botia hasil budidaya. Penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia secara nasional diharapkan dapat mendukung program peningkatan produksi benih ikan hias Botia untuk membuka lapangan kerja bagi pembudidaya skala rumah tangga (HSRT) sebagai bahan eksport dan untuk konservasi ikan.
PENGERTIAN/DEFINISI
Yang dimaksud dengan pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) di lingkungan terkontrol adalah serangkaian kegiatan pembenihan dimana segala aspek di dalamnya seperti pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang gonad, penyuntikkan hormon, pengeluaran (stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi), penetasan (inkubasi) telur, perawatan larva, perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan adanya campur tangan manusia yang dilakukan di lingkungan budidaya secara terkontrol serta dimonitor secara periodik. Kegiatan ini dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok, untuk mengembangkan teknologi pembenihan ikan hias Botia.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis Penerapan Teknologi
Mengingat bahwa teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol merupakan satu rangkaian teknologi pembenihan, maka keberhasilan penerapan teknologi ini sangat tergantung pada segala aspek yang ada di dalamnya seperti : pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang gonad, penyuntikkan hormon, pengeluaran (stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi), penetasan (inkubasi) telur, perawatan larva, perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air.
Uraian lengkap SOP
Secara umum, masyarakat dalam hal ini pembudidaya telah mengetahui mengenai apa itu kegiatan pembenihan ikan. Namun demikian untuk kegiatan pembenihan dari hasil budidaya seperti ikan hias Botia, mereka masih belum mengetahuinya. Teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol, merupakan serangkaian kegiatan pembenihan dimana segala aspek di dalamnya seperti pemeliharaan induk, seleksi induk yang matang gonad, penyuntikkan hormon, pengeluaran (stripping) telur dan sperma, pembuahan (fertilisasi), penetasan (inkubasi) telur, perawatan larva, perawatan benih, dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan adanya campur tangan manusia yang dilakukan di lingkungan budidaya secara terkontrol serta dimonitoring secara periodik. Adanya campur tangan manusia ini dikarenakan pembenihan ikan ini belum bisa dilakukan secara alami dan masih menggunakan rangsangan hormonal. Sedangkan lingkungan terkontrol dimaksudkan berupa lingkungan yang diatur untuk mengurangi pengaruh dari lingkungan luar yang dapat mengganggu keberhasilan kegiatan pembenihan sehingga dapat meningkatkan produksi dalam pembenihan ikan hias Botia dari hasil budidaya.
Cara Penerapan Teknologi
1. Pemilihan Lokasi Pembenihan
Lokasi pemeliharaan hendaknya dibangun di wilayah bebas banjir, cukup air (kualitas dan kuantitas) dan kondisi tenang.
2. Persiapan wadah
Wadah induk ikan hias Botia di tempatkan dalam kondisi ruangan yang agak gelap hanya menggunakan lampu penerangan 5 watt, warna kuning. Pemeliharaan induk ikan hias Botia menggunakan sistem resirkulasi, satu set sistem pemeliharaan ini terdiri dari 4 komponen yaitu wadah pemeliharaan induk, filter biologi dan filter fisik yang terdiri dari masing-masing satu filter serta bak penampungan air. Wadah pemeliharaan induk Botia terdiri dari dua unit bak kanvas bulat, masing-masing untuk memelihara induk Botia asal Sumatera dan Kalimantan. Wadah pemeliharaan induk Botia di tempatkan pada ruangan berukuran 10 x 5 m yang terdiri dari 2 kanvas 1 berdiameter 3,70 m, tinggi 0,7 m dan kapasitas menampung air sebanyak 3.500 liter. Kanvas 2 berdiameter 3,0 m, tinggi 0,7 m dan kapasitas menampung air sebanyak 1.600 liter. Bak filter pertama berbentuk silinder dengan garis tengah 2 m, tinggi 2,30 m dan berkapasitas dapat menampung air sebanyak 2.300 liter. Bak filter pertama hanya di isi dengan dakron. Bak filter ke dua mempunyai ukuran 2 × 1,2 × 1 m dengan kapasitas tampung air sebanyak 2.000 liter dan 3 hanya di isi dengan bioball dan kulit kerang. Selain itu dilengkapi dengan bak penampung air keluar yang mempunyai ukuran 0,6 × 0,5 × 1 m dengan kapasitas tampung air sebanyak 300 liter. 3 Wadah pemeliharaan induk ikan Botia dengan sistem resirkulasi dapat dilihat pada Gambar 1.
3. Pengelolaan Induk
Adaptasi induk dari alam
Induk yang pertama kali ditangkap dari alam harus diadapatasikan atau dikarantinakan dengan lingkungan budidaya terlebih dahulu selama 14 - 21 hari. Wadah yang digunakan adaptasi berupa akuarium kaca berukuran 0,8 × 0,4 × 0,4 m dengan kepadatan sebanyak 5 – 8 ekor/akuarium 3 dengan sistem resirkulasi, dilengkapi aerasi, heater dan penutup akuarium serta di seluruh bagian sisi akuarium ditutup plastik warna hitam. Hal ini bertujuan agar ikan tidak mudah stres akibat gangguan dari lingkungan luar, suhu air tetap stabil dan menghindari ikan loncat keluar. Selanjutnya dilakukan pencegahan (preventif) terhadap penyakit yang mungkin timbul akibat dari
Akuarium akarantina pasca transportasi. Pencegahan biasanya dilakukan dengan perendaman dalam larutan 10 ppm formalin atau 20 ppm larutan anti biotik (Oxytetracyclin atau OTC). Perlakuan ini dilakukan tiga hari sekali selama minggu pertama. Selain itu dilakukan pergantian air sebanyak 100% pada saat pencegahan yang ke-2 kalinya. Wadah akuarium untuk karantina dapat dilihat pada Gambar 2 .
Penebaran induk
Penebaran induk dilakukan setelah ikan telah menjalani adaptasi atau karantina selama 14–21 hari dan sudah dipastikan sehat. Penebaran induk dilakukan dengan aklimatisasi terlebih dahulu yaitu dengan menyesuaikan suhu air pada wadah baru, apabila suhu telah sama maka ikan akan keluar dengan sendirinya. Induk ikan Botia yang dipelihara di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BP2BIH) Depok berjumlah 125 ekor dengan rincian induk ikan Botia asal Sumatera 66 ekor yang dipelihara di kanvas 1 dan 59 ekor induk ikan Botia asal Kalimantan yang dipelihara di kanvas 2. Pemeliharaan induk jantan dan betina pada masing-masing asal daerah tidak dipisahkan.
Pakan Induk
Pakan yang diberikan pada induk ikan Botia berupa cacing tanah (Lumbricus sp.) dengan frekuensi pemberian pakan satu kali per hari pada pukul 15.00-16.00 WIB hingga kenyang (ad libitum). Foto pakan induk Botia berupa cacing tanah dapat dilihat pada Gambar 3 .
Kematangan gonad
Pengamatan kematangan gonad dilakukan setiap bulan. Melihat kematangan gonad bisa dilakukan dengan cara Gambar 3. Foto pakan induk botia visual yaitu dengan melihat ciri-ciri sekunder seperti bagian perut induk ikan Botia. Induk betina yang telah matang gonad perutnya membesar dan buncit serta apabila diraba akan terasa lembek dan halus. Akan tetapi terkadang tidak semua perut yang gendut berisi telur, adakalanya itu adalah lemak. Untuk memastikannya dilanjutkan dengan metode kanulasi atau kateterisasi yaitu dengan cara mengambil sampel telur menggunakan kateter. Sampel telur yang telah didapat dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah Gambar 4. Induk matang diisi dengan larutan fisiologis sebanyak 0,3 ml. Telur yang berada di cawan petri kemudian diamati menggunakan mikrosop binokuler dengan perbesaran 25 kali. Diameter telur yang sudah dapat dipijahkan berkisar 1,02 – 1,08 mm, berwarna kuning ke abu-abuan atau hijau keabu-abuan, tidak banyak cairan lemak,
Pengamatan terhadap kematangan gonad induk jantan dilakukan dengan cara pengurutan (stripping) pada bagian perut ke arah genital dan mengeluartkan cairan putih susu yang disebut sperma. Selanjutnya sperma disedot dengan syringe tanpa jarum yang telah berisi larutan fisiologis sebanyak 0,4 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tube serta disimpan di coolbox yang berisi batu es. Sperma yang telah diambil kemudian diamati secara visual dan mikroskopis. Secara visual, sperma dikatakan sudah matang jika warnanya putih susu dan kental, dan secara mikroskopis memiliki tingkat motilitas tinggi (>80%).
Pengelolaan Kualitas Air Pada Pemeliharaan Induk
Pengelolaan kualitas air pada kegiatan pemeliharaan induk menggunakan sistem resirkulasi yang terpadu dimana terdiri atas filter biologis, fisik dan kimia. Filter biologis ini menggunakan bioball dan kulit kerang yang berfungsi sebagai penempelan bakteri nitrifikasi seperti Nitrosomonas. Selain itu, kulit kerang mengandung kitin yang mampu mengubah air yang bersifat asam menjadi netral. Untuk monitoring kualitas air dilakukan pengukuran terhadap parameter fisika dan kimia yang terdiri atas pengukuran suhu, pH, DO, amoniak dan nitrit. Metode pengukuran suhu dilakukan sehari dua kali pada pukul 08.00 dan 16.00 WIB dengan menggunakan termometer digital dan dilakukan pencatatan suhu pada kertas data. Sedangkan untuk pengukuran kualitas air berupa parameter kimia dilakukan setiap satu minggu sekali, baik itu pengukuran DO, pH, amoniak dan nitrit dengan alat pengukur. Penyiponan dilakukan setiap hari pada dasar bak kanvas untuk membersihkan kotoran dan sisa pakan. Selang yang digunakan berdiameter 1,5 cm sepanjang 8 m yang ujungnya diberi paralon PVC berdiameter 1 inchi dengan panjang 1,5 m, dengan bagian bawah diberi lubang untuk saluran penyerapan kotoran. Kemudian dilakukan pergantian air sebanyak 5 – 10% per hari. Pada bak penampungan air keluar diberi lubang sesuai dengan tinggi air yang diinginkan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga volume dan tinggi air tetap stabil.
4. Pemijahan Dengan Rangsangan Hormonal
Perangsangan pemijahan ikan secara hormonal dilakukan dengan menyuntikan hormon tertentu ke tubuh ikan. Hormon tersebut masuk ke dalam sistem sirkulasi darah ikan dan ketika mencapai organ target (gonad) akan langsung bekerja dan mempengaruhi organ tersebut. Dengan demikian, perangsangan pemijahan secara hormonal ini merupakan bypass cara kerja hormon dalam sistem reproduksi ikan. Perangsangan pemijahan ikan secara hormonal ini sangat bermanfaat antara lain; 1). Memijahkan ikan yang sistem saraf pusatnya sulit dipengaruhi oleh sinyal lingkungan, 2). Memijahkan ikan di luar musim pemijahan (out season), terutama pada ikan yang mengenal musim pemijahan tertentu. Ikan Botia merupakan salah satu contoh ikan yang belum bisa memijah secara alami dalam lingkungan buatan dikarenakan belum diketahuinya sinyal lingkungan apa yang bisa mempengaruhi saraf pusat. Sehingga keberhasilan pemijahannya masih dengan pemijahan buatan dengan rangsangan hormonal.
Persiapan wadah pemijahan
Sebelum dilakukan pemijahan, induk hasil seleksi ditempatkan pada wadah akuarium pemberokan dengan ukuran 100x30x40 cm dan akuarium tersebut disekat menjadi tiga bagian. 3 Akuarium pemberokan dirancang sistem resirkulasi dengan suhu media airnya 25-26 C. Untuk o menjaga ketenangan supaya ikan tidak stres, akuarium ini ditutup dengan plastik warna hitam.
Jenis hormon
Pemijahan ikan hias Botia di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias (BP2BIH) Depok dilakukan dengan cara pemijahan buatan (induced breeding) menggunakan stimulasi hormon berupa HCG (Human Chorionic Gonadotropin) dan hormon sintetik merk Ovaprim produk dari Syndel Kanada yang berisikan gonadotropin dan antidopamin. HCG berfungsi untuk menghomogenkan ukuran telur dan Ovaprim berfungsi untuk merangsang ovulasi serta spermiasi.
Dosis hormon
Dosis hormon yang digunakan dalam pemijahan ikan hias Botia untuk betina yaitu, HCG 500 IU/kg bobot induk dan Ovaprim 0,6 ml/kg bobot induk. Induk jantan hanya disuntik satu kali dengan Ovaprim 0,6 ml/kg bobot induk.
Penyuntikan
Perbandingan ikan yang digunakan dalam pemijahan antara induk betina dan jantan yang matang gonad adalah 1 : 2. Stimulasi hormon yang diberikan pada induk betina dilakukan dua kali penyuntikan. Penyuntikan pertama biasanya dilakukan pada malam hari pukul 24.00 WIB dengan HCG dan penyuntikan kedua dilakukan setelah interval 24 jam dari penyuntikan pertama menggunakan Ovaprim secara intramuscular. Sedangkan penyuntikan induk jantan dilakukan satu kali menggunakan ovaprim dengan selang waktu 15 jam dari penyuntikan pertama pada induk betina secara intramuskular.
Pengeluaran (stripping) telur dan sperma
Waktu Penentuan selang waktu antara penyuntikan hormon dan pengambilan sel telur merupakan faktor kunci dalam keberhasilan teknik reproduksi yang melibatkan dorongan hormonal untuk memicu ovulasi dan pembuahan buatan pada ikan. Pengambilan sel telur yang tertunda atau telat setelah ovulasi akan membuat sel telur menjadi terlalu matang yang bisa menyebabkan derajat pembuahan rendah, meningkatkan jumlah embrio yang rusak serta menurunkan kelangsungan hidup embrio dan larva. Istilah selang waktu sering disebut “waktu laten”. Waktu laten yaitu antara penyuntikan hormon terakhir dan ovulasi berkorelasi negatif dengan suhu air. Pada ikan hias Botia dengan suhu media air pada saat penyuntikan sekitar 25-26 C, waktu latennya berkisar 9-15 jam.o
Pemeriksaan GVBD (Germinal Vesicle Break Down)
Setelah penyuntikan Ovaprim, proses pematangan oocyt mencakup migrasi inti sel telur ke ujung atau tepi oocyt dan pecahnya inti sel telur (Germinal Vesicle Break Down). Untuk mengetahuinya dilakukan dengan menaruh sampel telur dari hasil kanulasi dalam larutan serra. Komposisi larutan serra terdiri atas alkohol 70%, formalin 40% dan asam asetat dengan perbandingan (6:3:1). Larutan serra mampu melisiskan lapisan chorion (cangkang telur) sehingga inti telur dapat terlihat jelas di bawah mikroskop binokuler.
Pemeriksaan stadium inti telur harus cepat dan tidak lebih dari 5 menit. Hal ini dikarenakan larutan serra yang digunakan dapat menyebabkan telur menjadi larut setelah 10 menit sehingga inti telur tidak terlihat. Setelah GVBD, oocyt menjadi matang dan siap untuk keluar dari folikel (ovulasi), kemudian oocyt tersebut menjadi sel telur (ovum), siap untuk pembuahan. Biasanya pada ikan hias Botia setelah migrasi inti mencapai posisi GVBD, maka waktu ovulasi dapat diprediksi sekitar 2 jam ke depan.
Pengeluaran (stripping) sperma dan telur Pengambilan sperma dilakukan dengan cara pengurutan (stripping) dibagian perut ikan. Pada saat diurut pelan-pelan, yang pertama keluar biasanya urine yang berupa cairan bening. Urine dikeluarkan terlebih dahulu sampai habis dan lubang genital di lap sampai kering. Hal ini dilakukan agar sperma tidak tercampur dengan urine yang akan dapat mengurangi aktifitas sperma. Setelah sperma keluar, sperma disedot dengan syringe tanpa jarum yang berisi larutan fisiologis sebanyak 0,4 ml. Kemudian sperma dimasukkan ke dalam tube ukuran 10 ml dan disimpan di coolbox. Cara pengeluaran telur dari induk betina sama dengan pengeluaran sperma pada induk jantan, yaitu dengan cara pengurutan (stripping). Apabila sudah waktunya ovulasi, pengurutan akan terasa mudah dan ringan. Sedangkan bila terasa berat, berarti induk belum siap untuk ovulasi. Dalam pengurutan induk betina juga harus dihindari masuknya air ke dalam telur sebelum telur dibuahi oleh sperma. Karena bila telur tercampur dengan air, maka lubang mycropile pada telur akan segera tertutup. Hal ini menyebabkan telur tidak dapat dibuahi.
Sebelum dilakukan proses pengeluaran telur, induk dianestesi menggunakan larutan phenoxy ethanol dengan dosis 0,3 ppm. Pengurutan dilakukan secara perlahan dan telur ditampung di cawan plastik. Setelah telur keluar, kemudian ditimbang agar dapat mengetahui berat telur yang terovulasi. Kisaran berat telur yang terovulasi untuk ikan Botia selama ini antara 22,2-37 g yang berasal dari induk dengan bobot 101-217,6 g. Sampel telur dengan berat tertentu ditimbang dan dihitung jumlahnya untuk mengetahui berat telur per butir. Caranya yaitu dengan membagi berat sampel dan jumlah sampel telur. Nilai berat telur ikan Botia per butir berkisar antara 0,89-1,09 mg. Untuk mengetahui jumlah telur total yang dihasilkan dilakukan pembagian antara berat telur total yang diperoleh dengan berat telur per butir. Kisaran jumlah telur total yang terovulasi untuk ikan Botia selama ini antara 22.524 - 41.573 butir. Foto pengeluaran telur dapat dilihat pada Gambar 7.
Pembuahan (fertilisasi)
Pembuahan atau fertilisasi dilakukan secara buatan dengan mencampurkan sperma ke dalam wadah yang berisi telur. Perbandingan jumlah sperma dengan telur kira-kira 1 ml sperma untuk 5 gram telur. Telur yang telah dicampur dengan sperma digoyang-goyangkan secara perlahan selama 1 menit hingga tercampur merata, kemudian dimasukkan air mineral agar sperma aktif untuk membuahi telur. Goyang-goyang lagi
Pembilasan dengan air mineral (kanan) terbuahi, kemudian dicuci sebanyak 3 kali dengan air mineral sampai bersih dari sisa- sisa sperma dan kotoran. Setelah dilakukan pembuahan, telur disampling untuk mengetahui jumlah telur yang terbuahi (FR) dan jumlah telur yang menetas menjadi larva (HR). Langkah kerja yang dilakukan yakni mengambil sampel telur kira-kira 100 butir dan dimasukkan ke dalam basket plastik dan kemudian diletakkan di atas mesin goyang atau bioblock scientific. Nilai derajat pembuahan (FR) selama ini berkisar antara 58,5 - 100%.
Penetasan (inkubasi) telur
 Penetasan (inkubasi) telur Telur hasil fertilisasi kemudian diinkubasi menggunakan corong penetasan. Suhu di dalam ruang inkubasi telur berkisar antara 2526oC. Corong penetasan terbuat dari fibberglass dengan diameter 30 cm dan tinggi 45 cm yang dimasukkan ke dalam hapa dari kain trililin berukuran 100 × 50 × 50 cm3 yang diletakkan di dalam
Hapa diikat di sebuah transek berbentuk persegi panjang yang terbuat dari pipa PVC berdiametar 1 inchi. Untuk penyangga corong digunakan styrofoam sehingga corong penetasan selalu ada di permukaan air. Kegiatan selanjutnya dilakukan penebaran telur. Penebaran telur tiap corong penetasan sekitar 2-5 g. Dalam penebaran telur, aliran air dalam corong dimatikan terlebih dulu yang berfungsi untuk mencegah telur keluar dari corong inkubasi. Penebaran dilakukan secara hati-hati menggunakan sendok (centong nasi) yang terbuat dari plastik. Setelah telur ditebar ke corong penetasan, air dialirkan dengan debit diatur agar telur berputar secara perlahan dan halus. Telur yang dibuahi akan terlihat berwarna bening transparan. Sedangkan telur yang tidak dibuahi akan terlihat berwarna putih susu dan pudar. Telur yang telah dibuahi akan menetas setelah 14 - 19 jam pada suhu air 25-26 C. Setelah telur menetas, kemudian dihitung nilai derajat o penetasannya. Derajat penetasan adalah presentase jumlah telur yang menetas baik secara normal maupun abnormal dibandingkan jumlah telur yang terbuahi. Perhitungan derajat penetasan ini dilakukan setelah telur menetas secara keseluruhan. Nilai derajat penetasan (HR) pada ikan hias Botia berkisar antara 51,78-92,20%. Larva yang baru menetas memiliki panjang 5 – 6 mm dengan kuning telur berbentuk memanjang.
 Perkembangan Embrio Pengamatan embriogenesis dilakukan agar diketahui perkembangan telur setelah dibuahi hingga menetas. Perkembangan embriogenesis ikan Botia, setelah dibuahi adalah sebagai berikut : Fase Pembelahan Waktu 2 sel 41 menit 4 sel 1 jam 10 menit 8 sel 1 jam 12 menit 16 sel 1 jam 15 menit 32 sel 1 jam 32 menit Morula 2 jam 48 menit Blastula 4 jam 58 menit gastrula awal 8 jam 3 menit embrio awal 16 jam 8 menit Menetas 20 jam 24 menit Panen Larva Larva dipanen setelah berumur 7 hari dengan menggunakan seser dan dibantu dengan cahaya senter sehingga mempermudah dalam pengambilan larva Botia. Saluran air masuk dan aerasi dimatikan, lalu corong penetasan diangkat dari hapa sehingga larva terlihat jelas. Selanjutnya dasar hapa diangkat perlahan-lahan ke atas untuk mempersempit ruang gerak larva dan memudahkan dalam pemanenan. Larva diambil menggunakan seser dengan mata saringan berukuran 1 mm dan dimasukkan ke dalam baskom plastik. Kemudian larva dihitung dan dimasukkan ke basket plastik yang berukuran 300 ml. Setiap basket plastik menampung 100 ekor larva. Larva yang telah dihitung ditebar ke dalam akuarium ukuran 80 × 40 × 40 cm dengan 3 sistem resirkulasi, dan terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi suhu selama 5 menit. Aklimatisasi dilakukan dengan cara memasukkan wadah yang berisi larva ke dalam akuarium dan dibiarkan larva keluar dengan sendirinya dengan apabila wadah dimiringkan.
Pemeliharaan Larva sampai Benih
Pemeliharaan larva dari umur 7-8 hari selama 1,5 bulan akan menghasilkan benih Botia dengan ukuran 1,2-1,5 cm.
 Wadah pemeliharaan
Wadah yang digunakan berupa akuarium ukuran 80x40x40 cm 3 dengan sistem resirkulasi. Sebelum digunakan akuarium dibersihkan dan didesinfektan.
 Penebaran larva
Penebaran larva dilakukan setelah larva berumur 7-8 hari, larva ditebar dengan kepadatan 5 ekor/L. Sebelum ditebar, dilakukan aklimatisasi atau penyesuaian suhu yang biasanya sekitar 30 menit. Aklimatisasi dilakukan dengan cara memasukan wadah berisi larva ke dalam akuarium, setelah suhu air dalam wadah sama dengan suhu akuarium kemudian wadah dimiringkan dan secara perlahan akan keluar larva dengan sendirinya ke dalam akuarium. Suhu di dalam ruangan ini berkisar antara 28-30 C.o
 Pemberian Pakan
Larva diberi pakan berupa nauplii Artemia setelah berumur 4-5 hari. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 5-7 kali sehari yaitu pada jam 08.00, 10.00, 12.00, 14.00 dan 16.00 WIB, kemampuan pakan benih Botia sekitar 30 ekor naupli artemia/hari (individu/hari). Memasuki bulan kedua, pakan yang diberikan berupa kombinasi nauplii Artemia dengan bloodworm (cacing darah) (larva Chironomus sp). Setelah satu atau dua minggu pembesaran biasanya ukuran ikan menjadi tidak seragam. Pada saat inilah diperlukan adanya sortase atau gradding ukuran.
 Grading dan Sampling Pertumbuhan
Kegiatan grading dimaksudkan untuk menggelompokkan ikan berdasarkan ukuran. Selain itu juga untuk mengetahui jumlah ikan dan kelangsungan hidup ikan selama pemeliharaan. Waktu sampling dilakukan pada pagi atau sore hari, yang bertujuan untuk menghindari adanya fluktuasi suhu yang membuat ikan stres. Benih ikan Botia diserok menggunakan seser berukuran sedang secara hati-hati dan perlahan, kemudian ditampung di atas bak plastik bundar yang telah dilapisi dengan kain trililin. Setelah itu disediakan baskom plastik empat buah, diisi sedikit air dan dilakukan sortasi ke dalam 3 ukuran, yakni small (0,8-1,0 cm), medium (1,0-1,3 cm) dan large (> 1,3 cm). Persentase ukuran S, M dan L dalam satu populasi biasanya 44,20%; 47,91% dan 7,89%. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup ikan pada pemeliharaan ini sekitar 74,71%. Benih ikan Botia yang telah disortir dicatat ke dalam buku laporan sortir dan benih siap untuk ditebar ke dalam akuarium baru. Kegiatan lain pada saat grading adalah sampling pertumbuhan yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan larva baik itu dari segi panjang standar dan bobot dari larva yang dipelihara. Sampel larva Botia yang diukur sebanyak 30 ekor diambil secara acak.
Pemeliharaan Benih
Pemeliharaan benih lanjutan sampai ukuran benih siap jual. Keluaran dari kegiatan ini adalah didapatkan benih ukuran jual yaitu 4,2-5,0 cm dengan lama pemeliharaan 5-6 bulan. Wadah pemeliharaan
 Wadah yang digunakan berupa bak beton yang dikeramik dengan ukuran 3x1,5x0,8 m3 dengan sistem resirkulasi dan dilengkapi aerasi. Air setelah diputar selama 14 hari dengan merendamkan pakan pelet ke dalamnya yang berfungsi untuk merangsang bakteri tumbuh pada bahan filter. Air tersebut dapat digunakan apabila kadar NH3 dan NO2 tidak dapat terdeteksi dengan alat.
 Penebaran benih
 Benih yang ditebar terlebih dahulu diaklimatisasi dengan cara merendam baskom plastik yang berisi benih ke dalam bak tersebut selama 10 menit. Kemudian baskom plastik dimiringkan ke dalam air pemeliharaan secara perlahan dan benih dibiarkan keluar dengan sendirinya. Tiap bak memiliki kapasitas tampung sebanyak 5.000 ekor dengan ukuran 2 inchi atau 5 cm.
Pemberian Pakan
Benih diberi pakan berupa bloodworm beku yang dilakukan 3 kali sehari yakni pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00 WIB. Pemberian pakan dengan bloodworm dilakukan secara ad satiation atau sekenyangnya. Sebelum diberikan, bloodworm beku direndam dalam air bersih selama ± 10 menit. Setelah mencair lalu dicuci dengan air bersih berulangulang, ditiriskan baru diberikan ke benih ikan Botia. Sortase Benih Kegiatan penyortiran benih mempunyai fungsi yang sama dan tahapan kerja yang sama pula dengan kegiatan penyortiran larva. Kegiatan penyortiran ini dilakukan karena ukuran ikan sudah tidak seragam. Pada saat kegiatan penyortiran, dilakukan juga penghitungan tingkat kelangsungan hidupnya. Sampai tahap pemeliharaan benih, tingkat kelangsungan hidupnya mencapai 65%.
Panen benih
Ikan yang telah dipelihara selama 5-6 bulan rata-rata sudah mencapai ukuran 4,2-5,0 cm. Tingkat kelangsungan hidup ikan sampai panen sekitar 50%. Ikan yang akan dipanen terlebih dulu dipuasakan untuk menghilangkan sisa metabolisme yang menyebabkan amoniak serta karbondioksida meningkat. Pemanenan ikan dengan cara penyerokkan menggunakan seser yang berukuran besar, kemudian ikan dimasukkan ke dalam baskom plastik untuk dilakukan penyortiran. Sebelum ikan disortir, plastik packing terlebih dahulu disiapkan (biasanya rangkap dua). Ujung plastik bagian bawah diikat dengan karet yang bertujuan untuk menghilangkan sudut mati dan pergerakan ikan menjadi lebih luas. Ke dalam plastik diisikan air sebanyak dua liter, lalu ikan yang telah diserok kemudian disortir berdasarkan ukuran yakni 4,2-5,0 cm dan dimasukkan ke kantong plastik serta diberi oksigen murni (rasio air : oksigen adalah 1:3). Yang perlu diperhatikan bahwa sebelum oksigen murni dimasukkan, udara bebas yang berada di dalam plastik harus dikeluarkan. Jumlah ikan tiap kantong plastik sebanyak 65 ekor dan diberi label jumlah ikan per kantong.
Pengelolaan Kualitas Air Pada Pemeliharaan Larva dan Benih
Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan penyiponan yang dilakukan dua kali sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Penggunaan selang sipon harus diganti untuk setiap resirkulasi yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menghindari dan mencegah penyebaran penyakit apabila resirkulasi yang satu terserang penyakit. Setelah melakukan penyiponan, diisi kembali dengan mengalirkan air tandon melalui kran sebanyak 5 – 10% dari volume air akuarium. Air yang masuk ke dalam bak keramik harus terlebih dahulu disterilisasi dengan sinar UV. Selain itu, pengukuran suhu dilakukan setiap hari yakni pada pagi dan sore hari. Sedangkan pengukuran DO, pH, Amoniak dan nitrat dilakukan satu minggu sekali yang biasanya dilakukan pada hari Rabu.
Sebagaimana diketahui bahwa suhu di habitatnya berkisar 25-30°C, pH berkisar 5-8 , DO berkisar 6-9, NH3 berkisar 0-0,2 mg/L dan NO2 berkisar 0-0,1 mg/L.
Pencegahan dan Pengobatan Penyakit  Pencegahan Penyakit  Dalam mengantisipasi datangnya penyakit dalam pemeliharaan ikan hias Botia, BP2BIH Depok menerapkan system biosecurity yang diterapkan untuk pekerja dan peralatan yang digunakan. Pada area pintu masuk disediakan semacam bak kecil berisi air desinfektan untuk sterilisasi kaki, kemudian juga disediakan alkohol teknis untuk sterilisasi tangan. Untuk peralatan yang digunakan, seperti selang sipon, serok, baskom plastik dan centong harus disediakan pada masing-masing unit resirkulasi dan setelah digunakan harus direndam kembali di larutan desinfektan. Untuk menjaga suhu tidak fluktuatif, pada pemeliharaan larva dan benih digunakan alat pemanas ruangan. Perlakuan air menggunakan lampu UV pada masing-masing unit resirkulasi. Selain itu juga dilakukan penyiponan air setiap pagi dan sore sebanyak 1 % dari volume air akuarium.  Pengobatan Penyakit Jenis penyakit yang sering menyerang benih Botia adalah white spot yang berasal dari parasit Ichtyopthirius multifilis. Parasit ini menyerang di bagian luar tubuh ikan seperti kulit dan sirip serta ditandai dengan adanya bintik putih yang dapat dilihat secara kasat mata. Apabila tidak ditindaklanjuti dengan serius dapat berakibat kematian. Sedangkan untuk pengobatannya dengan perendaman menggunakan larutan Oksitetrasiklin 20 ppm dan formalin 10 ppm selama 3 hari sekali. Selama pengobatan ikan tidak diberika makan. Jumlah Kaji Terap di Beberapa Daerah Tahun 2012 : Pendederan larva hingga benih ikan hias Botia di Musi Banyuasin Sumatera Selatan dan Kasongan Kalimantan Tengah Dalam kegiatan ini telah dilakukan transfer teknologi pendederan larva hingga benih ikan hias Botia ke stakeholder di Musi Banyuasin dan Kasongan. Data keberhasilan kegiatan pendederan ini dapat dilihat pada Tabel 3., dan Tabel 4.
Dalam kegiatan ini telah memperlihatkan hasil seperti :
A. Untuk Kasongan : Sudah dilakukan sampling induk dan ada yang matang gonad 2 ekor (TKG II dan TKG III) dan 1 ekor (keluar sperma, tapi masih sedikit). Sudah dilakukan tagging induk, pembuatan resirkulasi inkubasi, resirkulasi pemberokan induk dan perbaikan akuarium resirkulasi perawatan larva hingga benih.
B. Untuk Musibanyuasin : Sudah dilakukan sampling induk dan ada yang matang gonad 2 ekor (sudah keluar sperma dan yang lain masih kosong). Sudah dilakukan tagging induk, perbaikan tandon inkubasi, dan resirkulasi induk.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
 Botia merupakan komoditas favorit untuk ekspor dan sebagai komoditas penghela dalam setiap ekspor ikan jenis lain dari Indonesia.
 Dapat dilakukan pemijahan sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh musim seperti yang terjadi di habitatnya aslinya.
 Menghasilkan produk berupa benih ikan Botia hasil budidaya, dimana kedepannya produk hasil budidayalah yang direkomendasikan untuk memenuhi permintaan ekspor, seiring menurunnya jumlah hasil tangkapan akibat kerusakan habitatnya dan adanya tangkapan yang berlebih. Hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 44/M-DAG/PER/7/2012 tentang Barang Dilarang Ekspor. Barang dibidang perikanan dan kelautan yang dilarang ekspor itu yaitu ; ex. 0301.11.10.00 : Benih ikan Botia hidup (Botia macracantha) ukuran panjang kurang dari 2,5 cm; dan ex. 0301.11.99.10 : Ikan Botia hidup (Botia macracantha) ukuran panjang di atas 15 cm.
 Teknologi pembenihan ikan hias Botia (ChromoBotia macracanthus Bleeker) di lingkungan terkontrol mempunyai keunggulan yaitu dapat mengatur supplai dan harga.
 Usaha pembenihan ikan Botia dapat dilakukan dalam skala rumah tangga dengan jumlah benih yang dipelihara menurut kemampuan pengelolanya, dan dapat membuka lapangan pekerjaan dan penghasilan.
WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN, DAERAH YANG DIREKOMENDASIKAN
Penelitian awal yang berupa upaya domestikasi sehingga dihasilkan induk Botia yang terdomestikasi dengan kriteria yaitu; bisa hidup, tumbuh dan bisa berkembang biak di lingkungan budidaya telah dilakukan antara tahun 2005 – 2008 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok dengan bekerja sama dengan Institut de Recherché pour le Developpement (IRD) Perancis. Penelitian dan pengembangan tahap produksi massal; dengan kegiatan berupa : uji produksi benih skala massal, uji pemasaran benih hasil budidaya ke pasar internasional dan analisa ekonomi dalam siklus produksi telah dilakukan antara tahun 2009-2011 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok dengan bekerja sama dengan Institut de Recherché pour le Developpement (IRD) Perancis. Penelitian dan pengembangan tahap produksi massal lanjutan berupa perbaikan teknologi pembenihan ikan hias Botia supaya lebih efisien serta kegiatan transfer teknologi untuk penerapan teknologi di masyarakat melalui kegiatan diseminasi telah dilakukan tahun 20122013 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok; di Dinas Perikanan Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan dan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kasongan Kalimantan Tengah.
Lokasi wilayah yang direkomendasikan untuk penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia dengan lingkungan terkontrol adalah daerah asal ikan
Botia seperti Sumatera dan Kalimantan. Pemilihan lokasi di daerah asal ikan Botia diperkirakan kondisi lingkungan pemeliharaan sudah sesuai untuk ikan Botia. Selain itu untuk aplikasi teknologi pendederan larva hingga benih dalam sistem resirkulasi dapat dilakukan di berbagai daerah bahkan di daerah yang kurang akan sumber daya air sekalipun, mengingat teknologi resirkulasi mempunyai kelebihan yaitu bisa hemat air.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Sangat kecil kemungkinan dampak negatif dari aplikasi teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol, karena hampir semua bahan yang digunakan relatif aman. Hanya saja untuk penggunaan obat-obatan yang bersifat antibiotik seperti oksitetrasiklin harus ada perbaikan manajemen dalam pembuangannya, dikarenakan jika dibuang begitu saja ke perairan bisa membahayakan organisme yang ada.
KELAYAKAN FINANSIAL DAN ANALISA USAHA
Biaya Investasi
Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat awal membuka usaha dan memiliki umur teknis lebih dari 1 tahun. Total biaya investasi budidaya ikan Botia berdasarkan analisa usaha yang telah diperhitungkan sebesar Rp.1.561.963.000,-. Rincian biaya investasi dari pembenihan ikan Botia dapat dilihat pada tabel berikut. Total Biaya A Pengadaan induk 5.400.000 B Tanah dan Pembangunan gedung 1.160.850.000 C Tandon air 6.000.000 D Sarana dan prasarana produksi artemia 9.575.000 E Sarana dan prasarana pemeliharaan induk F Sarana dan prasarana reproduksi. inkubasi. larva G Sarana dan prasarana pemeliharaan larva 65.100.000 39.350.000 100.500.000 H Sarana dan prasarana pemeliharaan benih I Sarana dan prasarana listrik 100.438.000 16.250.000 J Sarana dan prasarana keamanan K Sarana dan prasarana laboratorium 40.000.000 14.500.000 L Sarana dan prasarana transportasi 2.000.000 M Sarana dan prasarana kantor 2.000.000 Total 1.561.963.000 Biaya Penyusutan Biaya penyusutan merupakan alokasi dari biaya investasi setiap tahun berdasarkan umur teknis. Total biaya penyusutan budidaya ikan Botia yaitu sebesar Rp. 114.320.010. Rincian biaya penyusutan dari budidaya ikan Botia dapat dilihat pada tabel berikut. A Pengadaan induk B Tanah dan Pembangunan gedung C Tandon air D Sarana dan prasarana produksi artemia E Sarana dan prasarana pemeliharaan induk F Sarana dan prasarana reproduksi. inkubasi. larva G Sarana dan prasarana pemeliharaan larva H Sarana dan prasarana pemeliharaan benih I Sarana dan prasarana listrik J Sarana dan prasarana keamanan K Sarana dan prasarana laboratorium L Sarana dan prasarana transportasi M Sarana dan prasarana kantor Total 900.000 61.017.500 433.333 782.500 8.433.333 3.935.000 14.562.000 9.283.962 3.250.000 4.000.000 1.600.000 350.000 200.000 114.320.010 Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan jika hanya ada kegiatan produksi. Rincian biaya variabel dapat dilihat pada tabel berikut. 1 Konsumsi pemijahan 1.220.000 2 Pakan larva 25.450.000 3 Pakan benih 31.679.567 4 Transportasi 1.100.000 5 Tenaga untuk ruang inkubasi 6.689.837 6 Tenaga untuk gedung pemeliharaan larva dan benih 14.348.837 Total Biaya Tetap 96.153.605 Diketahui data per siklus (6 bulan) sebagai berikut : Keterangan Persentase Jumlah per siklus Jumlah telur 242.647 Fertilization rate (FR) 85% 206.250 Hachip Rate (HR) 80% 165.000 Survival Rate (sampai ukuran jual ) 35% 57.800 Jika satu siklus diperlukan waktu 6 bulan, maka dalam satu tahun bisa dilakukan 2 siklus. Benih hasil produksi bisa dijual ke pasar lokal dan pasar ekspor. PASAR LOKAL Produksi benih 1 tahun = 57.800 ekor x 2 siklus = 115.600 ekor Harga jual = Rp. 3.500 Penerimaan = Jumlah panen x Harga jual = 115.600 ekor x Rp. 3.500 = Rp. 404.600.000,Keuntungan Keuntungan yang diperoleh dari satu siklus produksi (1 tahun) pembenihan ikan Botia dapat dihitung dengan perhitungan sebagai berikut: Keuntungan = Penerimaan – ( Biaya tetap + Biaya variabel ) = Rp. 404.600.000 – (Rp. 210.473.615+ Rp. 96.153.605) = Rp. 97.972.780,- Keuntungan yang diperoleh dari satu tahun produksi pembenihan adalah Rp. 97.972.780,Revenue Cost Ratio R/C merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan produksi. R/C ratio = Penerimaan Biaya tetap + Biaya variabel = Rp.404.600.000,- Rp.210.473.615+ Rp.96.153.605 = 1,3 Efisiensi usaha (R/C Ratio) pembenihan Botia adalah biaya yang dikeluarkan Rp. 1 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 0,3. Break Even Point (BEP) BEP digunakan untuk mengetahui batas nilai volum produksi suatu usaha mencapai titik impas (tidak untung, tidak rugi). BEP(Rp)  BiayaTetap 1 BiayaVaria bel Penerimaan BEP(Rp)  Rp.210.473.615 1 Rp.96.153.605 Rp.404.600.000 = Rp. 276.067.176,- BEP(ekor) BiayaTetap  harga  BiayaVariabel Jumlahproduksi BEP(ekor)  Rp.210.473.615 3.500 Rp.96.153.605 115.600 = 78.882 ekor Berdasarkan nilai diatas usaha pembenihan Botia akan mengalami titik impas jika nilai penjualan sudah mencapai Rp. 276.067.176,- dan saat penjualan sebanyak 78.882 ekor. Pay Back Periode (PP) Digunakan untuk mengetahui waktu tingkat pengembalian investasi yang telah ditanam pada suatu usaha. Investasi awal PP = x 1 thn Keuntungan PP = 1.561.963. x 1 thn PP = 15,94 tahun Maka waktu pengembalian modal usaha pembenihan Botia adalah selama 15,94 tahun. Harga Pokok Penjualan (HPP) Harga pokok penjualan merupakan dasar dalam menentukan harga jual benih. Harga pokok penjualan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : HPP = Total biaya produksi : Kapasitas produksi HPP = Rp. 306.627.220 : 115.600 ekor HPP = PASAR EKSPOR Rp. 2.652,- SR benih 1 tahun = 57.800 ekor x 2 siklus = 115.600 ekor Harga jual = Rp. 8.000 Penerimaan = Jumlah panen x Harga jual = 115.600 ekor x Rp. 8.000 = Rp. 924.800.000 Keuntungan Keuntungan yang diperoleh dari dua siklus produksi (1 tahun) pembenihan ikan Botia dapat dihitung dengan perhitungan sebagai berikut: Keuntungan = Penerimaan – ( Biaya tetap + Biaya variabel ) = Rp. 924.800.000 – (Rp. 210.473.615+ Rp. 96.153.605) = Rp. 618.172.780 Keuntungan yang diperoleh dari satu tahun produksi pembenihan adalah Rp. 618.172.780,- Revenue Cost Ratio R/C merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan produksi. R/C ratio = Penerimaan Biaya tetap + Biaya variabel = Rp.924.800.000,- Rp.210.473.615+ Rp.96.153.605 = 3,01 Efisiensi usaha (R/C Ratio) pembenihan Botia adalah biaya yang dikeluarkan Rp. 1 akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 2,01. Break Even Point (BEP) BEP digunakan untuk mengetahui batas nilai volum produksi suatu usaha mencapai tittik impas (tidak untung, tidak rugi). BEP(Rp)  BiayaTetap 1 BiayaVaria bel Penerimaan BEP(Rp)  Rp.210.473.615 1 Rp.96.153.605 Rp.924.800.000 = Rp. 234.877.374,- BEP(ekor) BiayaTetap  harga  BiayaVariabel Jumlahproduksi BEP(ekor)  Rp.210.473.615 8.000 Rp.96.153.605 115.600 = 29.363 ekor Berdasarkan nilai diatas usaha pembenihan Botia akan mengalami titik impas pada jika nilai penjualan sudah mencapai Rp. 234.877.374,- dan saat penjualan sebanyak 29.362 ekor. Pay Back Periode (PP) Digunakan untuk mengetahui waktu tingkat pengembalian investasi yang telah ditanam pada suatu usaha.
Investasi awal
PP = x 1 thn
Keuntungan
PP = 1.561.963. x 1 thn PP = 2,52 tahun Maka waktu pengembalian modal usaha pembenihan Botia adalah selama 2,52 tahun. Harga Pokok Penjualan (HPP) Harga pokok penjualan merupakan dasar dalam menentukan harga jual benih. Harga pokok penjualan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : HPP = Total biaya produksi : Kapasitas produksi HPP = Rp. 302.692.220 : 115.600 ekor HPP = Rp. 2.618,44
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Hampir semua bahan dalam penerapan teknologi pembenihan ikan hias Botia di lingkungan terkontrol merupakan produk dalam negeri, kecuali untuk hormon (HCG dan Ovaprim) masih impor.
Sumber:
Priyadi A., Permana A., Ginanjar R., Satyani D., 2013. Teknologi Pembenihan Ikan Hias Botia (Chromobotia macracanthus bleeker) di Lingkungan Terkontrol. Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Refined Carrageenan (RC) Kualitas Food Grade dari Euchema cottoni

DESKRIPSI TEKNOLOGI

Teknologi ini ditujukan untuk memperoleh karaginan murni yang memenuhi persyaratan kualitas sebagai bahan pangan (food grade). Penggunaan karaginan murni (RC) adalah khusus untuk produk makanan, baik sebagai bahan baku atau bahan tambahan, atau sebagai bahan fungsional seperti pada produk jelly transparan (sebagai pembentuk gel), minuman (sebagai penjernih), permen jelly (sebagai pembentuk gel), es krim (sebagai pelembut dan penstabil), sirup (sebagai pengental).
Refined carrageenan (RC) dapat diproduksi menggunakan bahan baku rumput laut maupun menggunakan produk setengah jadi, yaitu ATC atau SRC. Teknologi ini sudah dikaji terap dan diberikan dalam beberapa kali pelatihan. Hasil ekstraksi refined karaginan yang diperoleh sudah memenuhi kualitas yang dipersyaratkan oleh konsumen atau pemasok bahan aditif produk pangan. Karaginan murni yang dihasilkan teknologi ini mempunyai kekuatan gel di atas 1.200 g/cm2, kadar air maksimal 12%, rendemen minimal 27% dari rumput laut kering, viskositas 20 – 150 cP, pH 6 -7, dengan tepung karaginan yang tidak berwarna dan larutan transparan, yang tidak berbau bila dilarutkan.
PENGERTIAN
Produk refined carrageenan (RC) adalah produk karaginan murni yang sudah memenuhi standar food grade, yang dibuat dari rumput laut Eucheuma cottonii, melaui proses pencucian, ekstraksi menggunakan alkali, netralisasi, penyaringan,dan pengendapan, sehingga menjadi bubuk karaginan.
RINCIAN DAN APLIKASI TEKNIS
Persyaratan Teknis
Untuk menerapkan teknologi ini diperlukan rumput laut Eucheuma cottonii, atau bahan setengah jadi berupa ATC atau SRC; dan bahan-bahan kimia seperti KOH, celit dan KCl teknis yang dapat diperoleh di toko kimia. Selain itu juga dibutuhkan peralatan seperti alat ekstraktor, filter press, KCl food grade dan alat penepung dengan spesifikasi tertentu.
Spesifikasi filter press : - Tipe manual Chamber plates filter press - Model : UN-M114-H057 - S/No: 0110720/12 - Hydraulic Ram Model : S5-53 - Hydraulic pump model : P1-B - Filter plate (chamber) : 11 pcs; 470 mm x 470 mm - Overall dimension : 2050 (L) x 1190 (H) x 980 (W) (in mm) - Empty weight : 775 kg - Kapasitas : 57 L - Ketebalan : 32 mm - Tekanan filtrasi : sampai 15 kg/cm2 - Filter plate : Lenser Germany, polipropilen homo- polimer; terdiri dari 9 buah chamber plat; 1 buah chamber head dan 1 buah chamber end plat - bahan saringan : polipropilen, berat 340 g/m air permeability 10 L/dm /menit2 2 Spesifikasi double jacket : - Kapasitas alat ekstraktor 1.000 L - Burner merk RIELLO; Daya 0,33 kW; type 482 Ti - Pompa sirkulasi : daya 0,37 kW, Type CR5-2A-FGJ-A-E-HUBE; model A 96448706P20321; merk Grundfos - Bahan stainless steel - Dilengkapi pengaduk : 1: 30 gear box; motor daya 1,1 kW; 3 phase
Rincian teknologi
Persiapan bahan baku
Bila diproses dari bahan baku rumput laut, rumput laut tersebut harus dipisahkan menurut jenisnya, dan membuang jenis yang bukan E. cottonii. Benda-benda asing seperti koral, kerang, tali rafia, plastik, potongan kayu dan lain-lainnya juga harus dibuang. Pencucian dilakukan menggunakan drum washer dengan kapasitas 50 Kg. Prinsip kerja alat ini adalah mencuci rumput laut dengan air mengalir. Untuk membersihkan rumput laut dari kotoran berupa pasir, garam dan sisa-sisa tali, dibutuhkan waktu selama 30 menit. Dengan debit air 2 Liter/menit, kebutuhan air untuk pencucian tersebut adalah 60 liter.
Ekstraksi karaginan
Rumput laut yang sudah bersih diproses menggunakan KOH 8% dengan perbandingan rumput laut dan larutan KOH (1:6) pada suhu 60-70 C selama 2 jam, lalu di netralisasi menggunakan air o tawar kemudian diekstrak kembali dengan air pada suhu 90 oC selama 2 jam dengan rasio rumput laut dan air (1:20). Hasil ekstraksi dipisahkan dengan filter press, filtrat yang diperoleh didinginkan sampai suhu 35 C lalu diendapkan dengan penambahan KCl 1% dengan rasio filtrat dan larutan o KCl (1:2). Apabila bahan baku yang digunakan adalah produk setengah jadi, maka bahan tersebut tinggal diekstraksi dengan air pada suhu 90 C selama 2 jam, diteruskan dengan proses berikutnya o seperti pada proses menggunakan bahan baku rumput laut.
Pengeringan
Endapan yang diperoleh kemudian dikeringkan secara alami yaitu dengan sinar matahari. Pengeringan membutuhkan waktu 2-3 hari sampai kadar air berkisar 12-14%. Peralatan yang dibutuhkan dalam proses pengeringan adalah nampan-nampan berukuran 1x1 meter. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, namun mutu pengeringan yang dihasilkan relatif baik, biaya murah serta tidak memerlukan peralatan yang banyak dan mahal. Sebaliknya pengeringan mekanis (mesin pengering) lebih mahal namun memberikan keuntungan berupa tidak adanya pengaruh cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai kebutuhan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat dikontrol.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI
- Meskipun teknologi ini menggunakan peralatan yang dapat dibuat di Indonesia dan caraprosesnya sederhana, namun dari pertimbangan ekonomis lebih tepat diterapkan pada skala industri - Bahan baku mudah diperoleh, karena Indonesia merupakan penghasil rumput laut Eucheuma cottonii tertinggi di dunia - Biaya produksi lebih murah dibandingkan dengan produksi RC menggunakan teknolog i yang saat ini dikembangkan secara komersial, yaitu menggunakan alkohol (IPA) - Limbah dari ekstraksi refined karaginan ini adalah selulosa dan tanah diatomae yang aman terhadap lingkungan dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan filler pada kertas dan papan partikel. Teknologi pemanfaatan limbah RC ini sudah tersedia.
WAKTU DAN LOKASI REKOMENDASI
Penelitian sudah dimulai sejak tahun 2008 pada skala laboratorium, yang dilanjutkan ke skala yang lebih besar. Tahap Pengembangan dilakukan pada tahun 2010 dengan melakukan beberapa kali pengolahan. Tahun 2011 dan 2012 sudah dilakukan pelatihan kepada pengguna. Wilayah pengembangan usaha produksi SRC yang direkomendasikan adalah tempat penghasil rumput laut Eucheuma cottonii seperti Bali, Sulawesi Selatan, NTT, Sulawesi Utara dan wilayah tersebut harus memiliki sumber air tawar.
KEMUNGKINAN DAMPAK NEGATIF
Kemungkinan dampak negatif dari teknologi ini hampir tidak ada, kalaupun ada yaitu hasil pencucian alkali yang bisa mengganggu ekosistem lingkungan. Namun hal ini bisa diatasi dengan netralisasi terlebih dahulu sebelum dibuang. Caranya dengan membuat bak-bak penampungan terhadap limbah lalu ditambah asam lemah, setelah pH netral lalu dialirkan ke pembuangan limbah. Sedangkan bila menggunakan iso propil alkohol (IPA), limbah IPA dapat mencemari lingkungan.
KELAYAKAN FINANSIAL
Analisis ekonomi dilakukan untuk produksi dengan kapasitas 80 kg rumput laut kering per hari, jumlah hari kerja 25 hari per bulan , volume produksi 27% dari total bahan baku yang digunakan, jumlah produk yang dihasilkan 467 kemasan per tahun, dengan berat per kemasan 25 kg. Penjualan pada tahun pertama diasumsikan sebesar 80% atau sebanyak 374 kemasan, dan meningkat pada tahun kedua dan seterusnya menjadi 90 % atau sebanyak 420 kemasan. Harga pokok per kemasan dihitung dari total biaya produksi pada tahun pertama dibagi dengan jumlah produk yang dihasilkan pada tahun pertama, yaitu 11.675 kg. Harga jual produk adalah Rp 230.000.-,/kemasan, dengan margin keuntungan adalah sekitar 50%.
Biaya produksi dan investasi yang meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya operasional pabrik, dan biaya operasional kantor yang diperlukan pada tahun pertama adalah Rp 1.438.599.594, dengan biaya operasional per tahun : Rp 434.900.000.- yang meliputi biaya produksi, tenaga kerja, pemeliharaan, utilitas kantor dan penyusutan. Biaya operasional diasumsikan sama dari tahun pertama sampai tahun kelima. Break Even Point atau titik impas pada tahun pertama adalah Rp 322.336.869,- dengan jumlah karaginan murni terjual minimal 9.331,2 kg. Pada tahun berikutnya, nilai BEP adalah Rp 375.170.331 atau minimal 10.498 kg produk terjual. Dari proyeksi penjualan, jumlah unit terjual sudah di atas BEP sehingga perusahaan telah mendapat untung. Waktu yang dibutuhkan untuk kembali modal, saat penerimaan pendapatan sama dengan biaya yang dikeluarkan, adalah sekitar 1 tahun 11 bulan.
TINGKAT KOMPONEN DALAM NEGERI
Komponen atau material dalam proses produksi RC semuanya berasal dari dalam negeri. Bahan–bahan yang dibutuhkan tersebut adalah rumput laut Eucheuma cottonii, KOH, celit sebagai absorben selulosa dan air tawar, sedangkan peralatan untuk ekstraksi adalah buatan dalam negeri, seperti alat ekstractor double jacket berbahan stainless steel, filter press, bak penampung berkapasitas 250 liter untuk menampung filtrat.
FOTO DAN SPESIFIKASI
SPESIFIKASI
Refined karaginan hasil ekstraksi rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan teknologi yang direkomendasikan adalah seperti pada Tabel berikut :
Sumber:
Peranginangin R., dan Darmawan M., 2013. Refined Carrageenan (RC) Kualitas Food Grade dari Euchema cottonii. Buku Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan – Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

GERAKAN VAKSINASI IKAN