Senin, 27 Februari 2017

Budidaya Laut

Budidaya laut kian jadi buah bibir di kalangan komunitas pelaku budidaya perikanan. Dirasa memiliki potensi yang besar saja belum cukup membawa sektor marikultur Indonesia berkembang. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, potensi lahan marikultur Indonesia mencapai 12,1 juta hektar,namun yang baru dimanfaatkan hanya 2,36%-nya.
 
Belum Terintegrasi
Ketua Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) Effendy mengungkapkan,salah satu tantangan dalam pengembangan marikultur di Indonesia yakni belum terintegrasinya antara lokasi budidaya dengan processing/pengolahan. ”Budidaya laut kita tidak tersentral masih terpencar, antara lokasi produksi dengan processing jaraknya jauh, sehingga biaya transportasinya masih tinggi ini menyebabkan harga jual ikan kita di luar menjadi kurang bersaing,” ujar Effendy.Ia berharap pemerintah bisa duduk bersama untuk merancang sentra budidaya dan processing yang terintegrasi agar semua hasil panen pembudidaya bisa terserap.
 
Dia mengungkapkan sepanjang 2016 faktanya banyak pembudidaya kerapu yang koleps (bangkrut) karena ikannya tidak bisa terjual. Hal ini terjadi karena pembudidaya kesulitan memperoleh pasar dan kendala pengangkutan ikan akibat adanya pembatasan aturan di Permen KP No 15/2016. ”Awalnya Men KP Susi mengharapkan Perum Perikanan Indonesia (Perindo)bisa membantu dengan mengangkut ikan yang tidak terserap,tapi karena tak kunjung datang, akhirnya pembudidaya gak sanggup bertahan dan koleps, akibatnya banyak KJA/Keramba Jaring Apung kerapu jadi mangkrak,” ungkap Effendy.
 
Sebagai informasi terkait Permen KP No 15/2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan revisi yakni dari sisi ukuran kapal angkut ikan yang semula hanya boleh maksimal 300 GT menjadi 500 GT. Selain itu juga perubahan jumlah pelabuhan muat singgah yang dulunya hanya 1 sekarang diizinkan 4 pelabuhan. Dan frekuensi operasi kapal dari 6 kali setahun menjadi maksimal 12 kali dalam setahun.
 
Sekalipun sudah ada revisi Permen KP No 15/2016, Effendy tetap berharap pemerintah bisa memikirkan pembangunan kawasan budidaya laut yang terintegrasi. Hal ini agar kejadian kolepsnya pembudidaya akibat ikannya tidak terangkut tidak akan terjadi lagi. ”Kalau untuk meningkatkan produksi budidaya itu hal yang gampang, saya yakin pembudidaya kita mampu, sekarang yang penting pasarnya harus jelas, nah untuk itu perlu dibuat industri marikultur yang terintegrasi,” ujar Effendy.
 
Tidak hanya tantangan dari segi regulasi dan kebijakan saja yang banyak disoroti, masalah infrastruktur juga masih menjadi momok di marikultur. Esther SatyonoDirektur Utama PT Indonesia Mariculture Industries (IMI)berharap pemerintah bisa mendukung pelaku usaha dari sisi infrastruktur untuk bisa mengembangkan marikultur nasional.
 
”Kita butuh infrastruktur yang memadai, yang paling utama itu listrik dan air di lokasi budidaya, juga transportasi pengangkutan kita masih mahal dan sulit, belum lagi cold chain juga belum memadai dari sisi jumlah dan peralatannya, ini semua harus diperbaiki kalau mau industri marikultur Indonesia maju,” ungkap Esther. 
 
Setali tiga uang dengan Esther dan Effendy, Wajan Sudja Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) mengungkapkan, kendala utama pengembangan marikultur Indonesia adalah aspek pemasaran yang tidak ditunjang infrastruktur yang baik. ”Bahkan banyak di luar Jawa Bali sama sekali belum ada infrastrukturnya, sehingga menyebabkan biaya ekonominya tinggi, yakni biaya produksi maupun pengangkutan untuk budidaya laut masih besar,” ujar Wajan.
 
Ia juga mengatakan selain infrastruktur, masih banyak juga yang harus dikembangkan seperti induk-induk dan benih selektif hasil breeding yang saat ini jumlahnya belum memadai. Begitu juga produksi vaksin untuk ikan laut yang belum banyak tersedia di pasar. 
 
Termasuk peralatan budidaya yang hingga kini masih banyak yang impor. ”Hal ini semuanya harus kita perbaiki kalau mau memajukan industri marikultur nasional termasuk meningkatkan jumlah produksinya,” tutur Wajan Sudja.
 
Produksi Rendah
Menggenjot produksi bagi pembudidaya laut bukanlah hal yang sulit, namun faktanya produksi budidaya kita masih jauh dari potensi yang dimiliki.  Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) KKP Slamet Soebjakto mengungkapkan, saat ini potensi lahan marikultur Indonesia total mencapai 12,1 juta hektar hektar namun yang baru dimanfaatkan hanya 2,36% atau sekitar 285 ribu hektar saja.  ”Kita akan terus mengembangkan sektor marikultur karena potensinya masih sangat besar, dan ini prospeknya sangat baik kedepannya,” ujar Slamet saat Refleksi dan Outlook DJPB (29/12) lalu.
 
DJPB mengklaim saat ini (Hingga Desember 2016) produksi budidaya perikanan mencapai 15,8 juta ton, sebagaian besar produksi masih dari komoditas rumput laut, untuk ikan masih sekitar 5 juta ton saja dan itupun sebagian besar produksi masih dari udang dan ikan air tawar. Jumlah produksi dari budidaya laut angkanya masih sangat kecil.
 
Sebagai salah satu upaya meningkatkan produksi, DJPB tahun 2017 ini membuat program pengembangan budidaya offshore (lepas pantai) di 3 lokasi yakni di Sabang, Karimun Jawa, dan Pangandaran. Slametmenargetkan produksi budidaya dari 3 lokasi ini mencapai 2.400 ton. ”Kami buat percontohan budidaya lepas pantai untuk mendorong pelaku melakukan hal serupa,”ujar Slametmengajak.
 
Selain mengembangkan budidaya offshore tahun ini DJPB juga akan merevitalisasi KJA yang masih mangkrak/belum terisi sebanyak 200 paket. Revitalisasi dilakukan agar animo masyarakat untuk mengembangkan sektor budidaya laut meningkat.
 
Dongkrak Produksi
Sejumlah pelaku mengakui potensi marikultur Indonesia masih sangat besar namun belum tergarap semua. Andi J Sunadim General ManagerPT Gani Arta Dwitunggal (produsen keramba jaring apung HDPE) berulang–ulang mengatakan, Indonesia memiliki panjang garis pantai sekitar 95.000 km dan merupakan yang terbesar ke dua di dunia setelah Kanada namun sayang produksi budidayanya masih sangat rendah. ”Produksi Cina saja sudah mencapai 39 juta ton ikan per tahun dengan nilai 60 miliar USD, harusnya dengan potensi lahan budidaya yang lebih besar, produksi kita bisa lebih dari Cina minimal sama lah,” ujar Andi.
 
Masih bicara seputar potensi, seperti Andi, Esther juga melihat, sektor marikultur memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan pasalnya lahan budidaya darat  akan semakin terkikis dengan semakin banyaknya jumlah penduduk, kebutuhan air tawar juga meningkat, padahal kebutuhan pangan protein masyarakat juga meningkat. ”Mau tidak mau untuk tetap memproduksi ikan nantinya kita pasti akan lebih banyak mengembangkan budidaya laut, toh kita punya laut yang sangat luas, dan pulau-pulau yang banyak,” ungkap Esther.
 
Potensi marikultur sudah ia lirik sejak 2004 lalu, diawali dengan budidaya kerapu kemudian pada 2008, Esther mengembangkan usaha budidaya barramundi/kakap putih. Budidayalaut yang dikembangkan Esther di Kepulauan Riau dengan luasan lahan mencapai 40 hektardan merupakan salah satu perusahaan marikultur terbesar di Indonesia. Sayangnya perusahaan marikultur yang sebesar PT IMI  masih dalam hitungan jari, sehingga belum mampu mendongkrak produksi budidaya laut Indonesia.
 
Ikut angkat bicara Yuliana Pembudidaya asal Brebes yang juga pengurus Hipilindo, menurutnya menekuni budidaya harus kreatif dan mampu melihat peluang. Baginya budidaya sebaiknya tidak hanya satu komoditas saja. Saat ini Yuliana menerapkan sistem polikultur untuk rumput laut, bandeng, kepiting, kerang darah, dan nila. ”Kita tidak bisa satu komoditas saja pola polikultur bisa diterapkan untuk memperoleh banyak pendapatan, bahkan saya juga budidaya kerapu di KJA selain budidaya polikultur di eks tambak

Pengelolaan Air pada Budidaya Udang

Serangan penyakit pada udang masih menjadi momok yang menakutkan bagi para petambak hingga saat ini. Sepanjang tahun ini saja, penyakit white feces (kotoran putih) masih menjadi kendala para pembudidaya.
 
Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Agus Priyono mengungkapkan bahwa kesehatan udang erat kaitannya dengan kualitas lingkungan budidaya. Pada lingkungan yang ideal, udang yang dipelihara di tambak cenderung bebas dari serangan penyakit. “Penyakit itu gak ada kalo lingkungan bagus,” ujarnya.
 
Hal tersebut juga diakui pula oleh Kepala Laboratorium PT Central Proteinaprima (CPP) Heni Budi Utari. Menurutnya, faktor penting yang berpengaruh terhadap penyebaran penyakit pada udang adalah kondisi lingkungan. Air yang menjadi media budidaya udang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. “Budidaya udang atau budidaya ikan itu sama dengan budidaya air. Jadi kita harus memelihara air,” jelasnya.
 
Berdasarkan pengalamannya berkunjung dari satu tambak ke tambak lain, Heni mendapati bahwa kebanyakan petambak di Indonesia masih melakukan budidaya yang not clean (tidak bersih). Not clean yang Heni maksud mengacu pada banyaknya bakteri vibrio yang terkandung dalam media budidaya.
 
Oleh karenanya, Heni sangat menekankan kepada para petambak untuk memperhatikan media budidaya. “Pemeliharaan air dapat dilakukan dengan melakukan kontrol rutin. Terutama untuk mengetahui kondisi alga yang ada di alam air,” tuturnya.
 
Menurut Heni saat ini sudah tersedia mikroskop dengan harga yang relatif murah bagi petambak.  Sehingga alat sampling kualitas lingkungan ini harusnya tidak lagi menjadi kendala bagi pembudidaya.
 
 
Keseimbangan Lingkungan
Menurut Heni, hal yang paling mudah diamati dalam kegiatan budidaya udang adalah perubahan air. Indikasi adanya penyakit seperti white feces juga dapat dilihat dari adanya penurunan kualitas air seperti nilai DO (kadar oksigen) dan alkali menjadi rendah, serta fluktuasi pH (tingkat keasaman) yang cukup tinggi. “Sebenarnya pH itu cara menunjukan di situ terjadi sesuatu. Sangat sederhana. Tapi kita juga perlu paramter lain,” ujar Heni.
 
Lebih lanjut Heni menjelaskan, penurunan kualitas air disebabkan oleh ketidakseimbangan bakteri dan plankton. Kedua mikroorganisme tersebut memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan kualitas air. Bakteri pengurai berfungsi untuk menguraikan limbah organik yang terlarut. 
 
Sementara itu, plankton juga merupakan faktor biologis yang harus diperhatikan. Heni menjelaskan, selain karena kelebihan pemberian pakan (over feeding) yang menyebabkan meningkatnya limbah organik, white feces juga dipicu oleh ketidakstabilan plankton yang drop.
 
Pengamatan plankton dapat dilakukan dengan sangat mudah menggunakan botol bekas, kata Heni. Jika air budidaya yang dimasukan ke dalam botol selama 30 menit tidak mengalami perubahan, maka tidak terjadi apa-apa. Sedangkan jika air menjadi bening. Maka plankton di perairan sudah mati.
 
Jika plankton dalam media budidaya terindikasi drop, maka perlu dilakukan upaya penumbuhan plankton kembali. Penumbuhan plankton dapat dilakukan dengan pembersihan dasar tambak dari padatan organik yang bersifat toksik. “Kalau dia bersihinnya rutin, gak akan dropnya (plankton) besar,” jelas Heni.
 
Upaya selanjutnya menurut Heni adalah manajemen pakan agar tidak berlebih dan mengatur kecukupan oksigen di dalam media budidaya. Karena oksigen penting dalam perombakan bahan organik.
 
 
Penerapan IPAL
Selain menjaga keseimbangan kualitas air selama budidaya, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi wabah penyakit pada udang adalah pengolahan limbah yang baik. Pelopor tambak udang supra intensif, Hasanuddin Atjo mengungkapkan bahwa produktivitas tambak yang menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tambak yang tidak memerhatikan IPAL.

Peralihan Alat Tangkap Yang Lebih Ramah Lingkungan

Kebijakan yang dikeluarkan tentunya menuai konsekuensi baik itu posisitf maupun negatif. Hal ini dialami sejumlah nelayan nusantara yang sementara waktu berhenti melaut karena tak boleh lagi menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Menyusuri langsung ke lapangan, belum lama ini TROBOS Aqua menyambangi Pelabuhan Perikanan Tegal (Jawa Tengah).
 
Terlihat 3 orang mengobrol di atas sebuah kapal yang merapat di Pelabuhan Perikanan Tegal. Informasi dari petugas pelabuhan, mereka merupakan nelayan dari kapal cantrang (pukat hela) yang tidak beroperasi semenjak pelarangan armada cantrang diterapkan. Mereka kebanyakan menganggur, alat penangkap ikan tidak sedikit yang beralih mata pencaharian.
 
Kapal-kapal yang berhenti beroperasi tidak hanya satu atau dua armada saja,  melainkan sudah membentuk jajaran di sepanjang pelabuhan. Hal yang sama juga diamati TROBOS Aqua di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, Serang, Banten. Kapal-kapal tersebut bahkan sudah tidak terlihat siapa penghuninya, seperti ditinggalkan untuk berkarat begitu saja.
 
 
Pelarangan Cantrang
Sala satu nelayan cantrang asal Pati Jawa Tengah, Sugiyono mengeluhkan,  “Cantrang itu sudah ada sejak dulu. Di Tuban, Jawa Timur, tempat saya lahir, setidaknya sudah tujuh generasi mengoperasikan cantrang. Di saat pemerintah belum memperhatikan nelayan, disana nelayan berupaya sendiri, berkreasi sendiri untuk menangkap ikan. Mengingat hal ini ya sedih.”
 
Tidak itu saja, miris ujar Sugiyono jika kapal cantrang harus ditelantarkan begitu saja bila mengingat biaya yang harus dikeluarkan. “Biaya modal awal beli kapalnya sedikitnya bisa puluhan juta rupiah, lalu sekarang sudah harus dilarang. Kalau mau operasi otomatis harus ganti alat tangkap atau ganti kapal keseluruhan dengan biaya sedikitnya Rp 40 juta. Dari mana uangnya?,” terang pria yang menjadi nelayan semenjak 1985 ini sambil menghela napas.
 
Sugiyono beroperasi dengan kapal cantrang yang berukuran 5 GT (Gross Ton) dengan ukuran jaring pukat mencapai 1.500 m. “Dengan alat ini, Anak Buah Kapal (ABK) kita bisa mencapai 8 orang, dengan biaya operasional Rp 150 ribu - Rp 200 ribu per sekali trip. Sedangkan sebelum melaut 1 orang ABK sudah dapat uang rokok Rp 60 - 70 ribu. Habis melaut kami sistem bagi hasil 50 - 50,” ucapnya.
 
Yang jadi masalah, tambah Sugiyono, kalau harus ganti alat seperti jaring, pemerintah pun sudah bisa membantu dengan jaring yang seukuran 500 m dan hanya bisa dioperasikan 2 - 3 ABK. “Belum lagi, kami ini tidak tahu cara mengoperasikannya. Tidak menguasai caranya, sedangkan cantrang sudah kami kuasai sejak lulus Sekolah Dasar (SD),” imbuhnya.
 
Dilemanya alat tangkap cantrang yang merupakan jenis pukat merupakan alat tangkap paling efektif untuk menangkap ikan. Dan diamini Sugiyono, alat tangkap cantrang merupakan alat tangkap yang tidak mengenal musim. “Di saat musim sulit pun, tetap ada ikan yang tertangkap, seperti kuniran dan kurisi,” jelas Ketua Kelompok Usaha Bersama Mina Lestari ini.
 
Belum lagi efek berganda ke masyarakat sekitar. Sugiyono mengungkap, jika cantrang dilarang, setidaknya tidak hanya nelayan saja yang kehilangan pekerjaan. “Namun juga kuli-kuli yang terlibat. Mulai dari kuli angkut, kuli sampah, kuli bandul, bisa sekitar 60 orang terlibat disitu. Janda-janda nelayan juga banyak menggantungkan hidup dari sini, yakni dari ikan-ikan sedekah nelayan,” imbuhnya.
 
 
Penurunan Tangkapan
Sekalipun dikatakan efektif untuk menangkap ikan, alat penangkap ikan penggunaan cantrang dalam jangka panjang menimbulkan efek negatif bagi lingkungan. Dan hal ini diakui oleh Supani, nelayan aren (pukat kecil) asal Batang, Jawa Tengah bahwa pukat atau cantrang memang merugikan lingkungan dimana alat tersebut beroperasi. Contohnya, dia ucapkan, ada penurunan jumlah tangkap yang sudah terasa sejak dua tahun terakhir. Otomatis, pendapatan pun mengalami penurunan.
 
Padahal, ucap Supani, cantrang pun baru ada sejak tujuh tahun terakhir. “Makanya kita merasa alat ini merusak ekosistem laut. Secara visual bisa terlihat, banyak karang yang ikut terseret masuk ke dalam pukat ketika alat kita operasikan,” ungkapnya. Dari sini, dia pun menyadari untuk mengganti alat tangkap.
 
Hal senada juga disampaikan Arifin, nakhoda kapal bagan asal Serang, Banten, penurunan jumlah tangkapan ikan juga tergantung banyak faktor. “Setahu saya ya cantrang atau pukat itu merusak terumbu karang sehingga ikan bisa punah. Alat penangkap ikan sepengalaman saya, ikan itu ya tergantung musim. Seperti angin barat sekarang, cuaca jadi masalah dan gelombang besar, nelayan tidak melaut dan hasil tangkapan otomatis berkurang. Belum lagi ketika terang bulan, biasanya ikan yang tertangkap itu sedikit,” tutur yang biasanya melaut bersama 4 orang ABK dengan operasi harian.
 
Tambah Arifin, alat tangkap bagan ini menggunakan waring (sejenis jaring) sebagai alat tangkap yang digantung 15 m dari permukaan air dan pengoperasiannya menunggu ikan yang datang. Pengoperasiannya di malam hari dimana nelayan menggunakan alat bantu penangkapan, seperti lampu untuk menarik ikan. Ikan yang tertangkap biasanya teri, kembung, tongkol, dan cumi.
 
Belum lagi, terang Arifin, faktor penambangan pasir yang berada di sekitar kawasan penangkapan. Amrul, Kepala Syahbandar PPN Karangantu mengatakan, adanya pengerukan pasir untuk reklamasi, khususnya di wilayah Pontang, Serang, Banten merugikan nelayan karena tidak adanya pengaturan cara pengerukan pasir. “Pasir diambil secara acak, yang otomatis memeratakan proses pengadukan perairan. Hal ini otomatis mengganggu kehidupan ikan yang pengaruhnya juga terhadap penangkapan ikan oleh nelayan,” ucap Amrul.
 
 
Keberlanjutan
Program keberlanjutan lingkungan ini, jelas Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Muchtar, selaras untuk meningkatkan keekonomian nelayan sehingga bisa berpengaruh pada kesejahteraan nelayan kedepan. Terkait cantrang pihaknya dapatkan data di berbagai wilayah itu lebih dari 5000 unit yang beroperasi. Dengan 3.198 unit berukuran dibawah 10 GT. “Dan untuk membantu nelayan ini, dari 2015 lalu sudah sekitar 2091 kapal kita fasilitasi untuk penggantian alat penangkapan ikan,” kata Zulficar.
 
Sedangkan, lanjutnya, untuk kapal berukuran 10 - 30 GT difasilitasi untuk mengakses permodalan melalui gerai permodalan untuk penggantian alat atau melakukan kegiatan penangkapan ikan. “Melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau kredit mikro lainnya. Sejauh ini, total sudah 219 permintaan yang diproses

Program Kerjasama KKP-USAID

Ada 3 fokus program utama yang digarap US Agency for International Development (USAID) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui program hibah senilai USD 40 juta.  
 
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSKP) Nilanto Perbowo pada acara peluncuran program dan penandatanganan kerjasama digelar pada, Kamis (16/2) Ballroom GMB III KKP merinci ketiga fokus program itu. 
 
Pertama pengelolaan 6 juta Hektare habitat kritis kelautan dan perikanan. Kedua, pembangunan dan dukungan terhadap 15 Kawasan Konservasi Laut (KKL). Ketiga peningkatan produktivitas perikanan, keamanan pangan dan gizi, dan mata pencaharian yang berkelanjutan di 13 kabupaten di Maluku Utara, Maluku dan Papua Barat.
 
Nilanto Perbowo menambahkan, Program Konservasi Laut dan Perikanan Berkelanjutan USAID terdiri dari 5 proyek, yaitu SEA, NOAA, SNAPPER, INTERPOL, dan OCEANS. 
 
“KKP berharap dapat melanjutkan kemitraan dengan Pemerintah Amerika Serikat. Program ini akan membantu menjawab tantangan penting dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di tiga provinsi yang menjadi fokus kerja,” ungkap Nilanto.
 
Nilai tambah dan Penguatan Pasar
Pengenalan program USAID Marine Conservation and Sustainable Fisheries dilanjutkan dengan penandatanganan MoU antara Director of Environment Office USAID/ RDMA Alfred Nakatsuma dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja tentang The Oceans and Fisheries Partnership (USAID Oceans).
 
“Kita ingin meningkatkan minat pelaku usaha untuk berinvestasi di industri pengolahan hasil perikanan dan pengembangan kemitraan, utamanya di lokasi-lokasi pengembangan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT),” jelas Sjarief.
 
Tujuannya, lanjut Sjarief, untuk meningkatkan nilai tambah, tingkat konsumsi dalam negeri, dan nilai ekspor ke berbagai negara tujuan pasar utamanya untuk 9 komoditas. Diantaranya udang, tuna, rumput laut, cakalang, rajungan/kepiting, pelagis kecil, ikan demersal, bandeng dan tilapia. 
 
Program yang diteken Direktur Misi USAID Erin McKee, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSKP) Nilanto Perbowo ini mendukung upaya Indonesia dalam meningkatkan pengelolaan perikanan berkelanjutan dan konservasi keanekaragaman hayati laut

Pengelolaan Pesisir

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rancangan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefenisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak antara batas sempadan kearah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari daratan.
Wilayah pesisir memilikinilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan.
Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi “nilai” wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir.
Wilayah pesisir dan laut sebagai ekosistem yang dinamis memiliki karakteristik yang sangat unik. Keunikan wilayah ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana. Secara biofisik wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas (upland) dengan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu eksosistem pesisir, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas (upland) suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara bijaksana akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut.
b. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. Terdapat keterkaitan langsung yang sangat komplek antara proses-proses dan fungsi lingkungan dengan pengguna sumberdaya alam.
c. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlihan dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya. Pada hal sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.
d. Baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu hamparan pesisir hanya digunakan untuk satu peruntukan, seperti tambak, maka akan lebih rentan, jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukan.
d. Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Pada hal setiap sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran over eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini, yang pada gilirannya dapat menimbulkan suatu tragedi bersama (open tragedy).
Pengelolaan  pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999). Pengelolan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang mengakibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu harus manperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari 3 tahap utama, yaitu perencanaan, implementasi dan monitoring/evaluasi.  dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang mengakibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya.

Mangrove di pesisir

Secara umum  terdapat tiga komponen pokok yang harus diperhatikan dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya dan sumberdaya alam pesisir dan laut umumnya yaitu; diantaranya aktifitas sosial (Social processes), ekonomi (Economic processes) dan sumberdaya alam itu sendiri (Natural processes). Ketiga komponen ini saling terikat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dari aspek sosial-ekonomi, budaya dan estetika manusia membutuhkan sumberdaya alam untuk dapat meneruskan kehidupannya, disisi lain keberadaan atau kelestarian sumberdaya alam (SDA) khususnya pesisir dan laut sangat tergantung pada aktifitas manusia sebagai pengguna (User) utama dari sumberdaya alam ini.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan masyarakat berarti memberikan kemampuan dan memandirikan masyarakat. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya.
Permasalahan Utama dan Tujuan Pengelolaan Ekosistem Mangrove 
Sebagai suatu ekosistem hutan, mangrove sejak lama telah diketahui memiliki berbagai fungsi ekologis, disamping manfaat ekonomis yang bersifat nyata, yaitu menghasilkan kayu yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagaimana halnya dalam pengelolaan SDA lain yang bermanfaat ganda, ekonomis dan ekologis, masalah utama yang dihadapi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah menentukan tingka pengelolaan yang optimal, dipandang dari kedua bentuk manfaat (ekonomi dan ekologi tersebut).
Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem SDA, yaitu :
a.   Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula.
b.  Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya.
c.  Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi.
Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan.
b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak.
c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik.
Kendala dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove
a.  Kendala Aspek Teknis
1. Kondisi habitat yang tidak begitu ramah, yakni tanah yang anaerob dan labil dengan salinitas yang relatif tinggi apabila dibandingkan dengan tanah mineral, adanya pengaruh pasang surut dan sedimentasi serta abrasi pada berbagai lokasi tertentu.
2. Adanya pencampuran komponen ekosistem akuatik (ekosistem laut) dan ekosistem daratan, yang mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih kmpleks. Hal ini mengharuskan kecermatan yang tinggi dalam menerapkan pengelolaan mengingat beragamnya sumber daya hayati yang ada pada umumnya relatif peka terhadap gangguan, dan adanya keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan tipe ekosistem produktif lainnya di suatu kawasan pesisir (padang lamun, terumbu karang, estuaria).
3. Kawasan pantai dimana mangrove berada umumnya mendukung populasi penduduk yang ccukup tinggi, tetapi dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang rendah.
b.  Kendala Aspek Kelembagaan
Dalam pengelolaan wilayah pesisir beberapa kendala aspek kelembagaan diantaranya adalah :
1. Tata ruang kawasan pesisir di banyak lokasi belum tersusun secara baik, bahkan ada yang belum sama sekali.
2. Status kepemilikan bahan dan tata batas yang tidak jelas.
3. Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan kawasan dan sumber daya mangrove
4. Belum jelasnya wewenng dan tanggung jawab berbagai stake holder yang terkait
5. Masih lemahnya law enforcement dari peraturan perundangan yang sudah ada
6. Masih lemahnya koordinasi di antara berbagai instansi yang berkompeten dalam pengelolaan mangrove
7. Praktek perencanaan, pelaksanaa dan pengendalian dalam pengelolaan mangrove belum banyak mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat  yang berkepentingan dengan kawasan tersebut.
Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga bentuk kegiatan pokok, yakni :
a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatannya dapat dikendalikan dengan penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).
b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan pantai/sungai, dll)
c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang tepat guna.

Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove melalui pemberdayaan masyarakat
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove, sedikitnya terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah protection and rehabilitation of mangrove forest. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi (conservation area), dan sebagai bentuk sabuk hijau (green belt) di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Selama ini sudah banyak program-program dijalankan pemerintah sebagai upaya merehabilitasi kawasan hutan mangrove yang merupakan salah satu semberdaya alam (SDA) yang memiliki nilai ekologis dan juga ekonomis tinggi, namun sebagian besar usaha ini tidak berkelanjutan/berkesinambungan dan pada akhirnya berujung pada suatu kegagalan. Untuk itu pola pengelolaan yang selama ini digunakan pemerintah yang cenderung bersifat dari atas ke bawah (top down) harus segera di modifikasi atau dirubah yaitu dengan mencoba melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain memberi kesempatan kepada masyarakat (Human system) sekitar kawasan untuk turut berpartisipasi dalam upaya pengelolaan dan pengawasan ini.
Perlu diketahui juga bahwa di wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahan yang bukan kawasan hutan mangrove dan biasanya dikelola oleh masyarakat setempat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya. Untuk itu pola pengelolaan dan pengawasan ekosistem mangrove yang bersifat partisipatif merupakan salah satu solusi yang tepat. Dalam upaya pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut dalam hal ini termasuk di dalamnya huta mangrove dilakukan melalui berbagai macam strategi diantaranya : strategi persuasif, edukatif dan fasilitatif.
Strategi Persuasif
Strategi persuasif dilakukan dalam bentuk pembinaan-pembinaan. Kegiatan pembinaan merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran dari kelompok sasaran terhadap pesan yang disampaikan. Materi pembinaan meliputi penyuluhan tentang pentingnya hutan mangrove dan pelestariannya, pengelolaan tambak yang ramah lingkungan serta pentingnya organisasi/kelompok masyarakat.
Strategi Edukatif 
Strategi edukatif dilakukan dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Melalui pelatihan diharapkan dapat meningkatkan ketrampilan kelompok sasaran terhadap suatu aspek tertentu. Kegiatan pelatihan yang telah dilakukan adalah peningkatan pemahaman dan ketrampilan kelompok sasaran di bidang rehabilitasi mangrove seperti seleksi buah, pembibitan dan penanaman; pelatihan peningkatan pemahaman dan ketrampilan di bidang perikanan, yaitu budidaya udang tambak ramah lingkungan dan budidaya bandeng; pelatihan pengembangan kemampuan dalam pengelolaan kelompok, seperti administrasi, pengelolaan keuangan, kepengurusan dan aturan main pelaksanaan program.
Strategi Fasilitatif
Strategi fasilitatif dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan usaha yang merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi mangrove. Bantuan usaha yang diberikan umumnya berkaitan dengan program rehabilitasi mangrove, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu bantuan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi kelompok sasaran.  
Secara keseluruhan ketiga strategi pengembangan partisipasi masyarakat yang dilakukan berkontribusi atau berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan (rehabilitasi) mangrove. Strategi pembinaan yang dilakukan dapat dilihat sebagai upaya untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan nilai ekosistem mangrove, sehingga perlu dilestarikan. Strategi pelatihan dapat dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan (rehabilitasi) mangrove serta menjaganya. Strategi bantuan usaha dapat dilihat sebagai upaya untuk membantu usaha/ekonomi masyarakat.
Hidayati (1999) menyatakan bahwa salah satu langkah yang dapat dilakukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengelolaan berbasiskan masyarakat adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Disebutkan dalam pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan lima unsur dalam implementasinya, yaitu: (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan tujuan utama adalah memberikan alternatif usaha yang secara sosial-ekonomi menguntungkan dan secara ekologi ramah terhadap lingkungan, (2) memberikan akses kepada masyarakat seperti akses terhadap informasi, akses terhadap harga dan pasar, akses terhadap pengawasan, penegakan dan perlindungan hukum serta akses terhadap sarana dan prasarana pendukung lainnya, (3) menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan nilai sumberdaya ekosistem sehingga pelestariannya sangat diperlukan, (4) menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga, mengelola dan melestarikan sumberdaya/ekosistem, dan (5) menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya/ekosistem. Sejalan dengan hal tersebut, Bengen (2001) menyebutkan bahwa masalah pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. 
Tanpa adanya upaya pemeliharaan atau perlindungan secara berkesinambungan yang melibatkan partisipasi masyarakat (Human system) di sekitar kawasan, maka upaya pengelolan ekosistem mangrove kecil kemungkinannya akan berhasil. Untuk itu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengembangkan partisipasi masyarakat di sekitar kawasan agar terlibat secara aktif dalam kegiatan pengelolaan ekosistem ini, serta memperoleh manfaat dari keterlibatan tersebut. Disisi lain, secara ekonomis melibatkan masyarakat dalam sistem pengelolaan dan pengawasan ini juga memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik itu masyarakat di sekitar kawasan Mangrove yang umumnya relatif miskin dan juga pemerintah yang bertindak sebagai institusi pengelola.  Dengan demikian strategi yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove ini selain mencapai tujuan konservasi hutan Mangrove juga harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan tersebut. 
PENUTUP
Potensi ekonomi ekosistem mangrove berasal dari tiga sumber yaitu flora, fauna, dan jasa lingkungan dari ekosistem mangrove tersebut. Disamping menghasilkan bahan dasar untuk industri. Ekosistem mangrove menyediakan berbagai jenis produk dan jasa yang berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional, maupun nasional serta sebagai penyangga sistem kehidupan masyarakat sekitar hutan. Semua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut jika keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai sumberdaya renewable dan penyangga sistem kehidupan jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove berlangsung tanpa gangguan.
Dalam pengelolaan hutan mangrove, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah dengan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Oleh karena itu , persepsi atau sudut pandang masyarakat mengenai keberadaan hutan mangrove perlu untuk diarahkan kepada cara pandang betapa pentingnya sumberdaya hutan mangrove tersebut. Salah satu caranya adalah pengelolaan yang berbasis masyarakat melalui aplikasinya dengan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada hakikatnya pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk menempatkan masyarakat menjadi lebih proaktif dalam menentukan arah kemajuan dalam komunitasnya sendiri. Artinya program pemberdayaan tidak bisa hanya dilakukan dalam satu siklus saja dan berhenti pada suatu tahapan tertentu, akan tetapi harus terus berkesinambungan dan kualitasnya terus meningkat dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. 
Pemeliharaan atau perlindungan secara berkesinambungan yang melibatkan partisipasi masyarakat (Human system) di sekitar kawasan, tidak akan berhasil berjalan dengan baik bila tidak diimbangin dengan upaya yang maksimal. Oleh karena itu, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengembangkan partisipasi masyarakat di sekitar kawasan agar terlibat secara aktif dalam kegiatan pengelolaan ekosistem ini, serta memperoleh manfaat dari keterlibatan tersebut. Disisi lain, secara ekonomis melibatkan masyarakat dalam sistem pengelolaan dan pengawasan ini juga memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik itu masyarakat di sekitar kawasan Mangrove yang umumnya relatif miskin dan juga pemerintah yang bertindak sebagai institusi pengelola.  Dengan demikian strategi yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove ini selain mencapai tujuan konservasi hutan Mangrove juga harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan tersebut.
Strategi ini  tidak semata-mata hanya meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan Mangrove serta kemampuan dalam mengelolanya, namun juga memberdayakan kehidupan sosial ekonomi mereka yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pada akhirnya akan sebagai salah satu cara untuk menanggulangin kemiskinan yang biasa terjadi pada masyarakat pesisir

IUU FISHING DI INDONESIA

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan duapertiga wilayahnya merupakan laut, sudah barang tentu laut memiliki arti penting bagi bangsa dan Negara Indonesia. Minimal terdapat 4 (empat) faktor penting yaitu:
- Laut sebagai sarana pemersatu wilayah NKRI
- Laut sebagai sarana transportasi dan komunikasi
- Laut sebagai sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi
- Laut sebagai medium pertahanan (untuk proyeksi kekuatan).
Oleh karena itu Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar dalam hal keamanan maritim yang tujuannya harus diarahkan untuk mencapai serta untuk menciptakan beberapa kondisi yang aman baik dari ancaman pelanggaran wilayah dari pihak luar, aman dari bahaya navigasi pelayaran, aman dari eksploitasi illegal sumber daya alam serta pencemaran lingkungan dan tentu saja aman dari tindakan pelanggaran hukum.
Penangkapan berlebih atau overfishing sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia. Masalah overfishing juga dialami Indonesia yang merupakan negara dengan dua per tiga bagian dari wilayah perairan atau laut dengan garis pantai terpanjang di dunia. Akibat aktifitas overfishing, sumber daya laut seperti ikan akan mengalami deplesi atau penyusutan atau penurunan sumberdaya biota tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan solusi tepat untuk mengatasi overfishing efek ini. Bagaimana pun juga permasalahan overfishing ini harus segera diatasi agar keberlanjutan sumberdaya ikan di Indonesia tetap dapat terjamin dengan baik. 
Stabilitas Keamanan
Kegiatan illegal fishing menyebabkan beberapa Kejahatan atau pelanggaran di laut Indonesia yang sering terjadi adalah:
- Pelanggaran batas wilayah laut NKRI oleh kapal asing.
- Tindakan kejahatan langsung dan tidak langsung yang mengancam merugikan kepentingan rakyat dan Negara Indonesia, meliputi: pembajakan, perompakan, dan pencurian terhadap kekayaan negara dilaut (tambang, ikan dan sumber daya laut lainnya).
- Tindakan kejahatan apapun yang dilaksanakan lewat media laut/perairan Indonesia seperti penyelundupan BBM, kayu dan barang-barang lainnya.
Dalam masalah keamanan dan pertahanan di laut, Indonesia menghadapi persoalan besar yaitu :
- Perbatasan laut dengan 10 negara tetangga yang belum ada kesepakatan batas-batas yang jelas, bahkan berpotensi menimbulkan konflik antar Negara
- Belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengontrol seluruh perairan untuk menanggulangi kejahatanan trans nasional seperti terorisme, penyelundupan senjata api, penyelundupan manusia, illegal fishing dan sebagainya.
Jangkauan coverage area kapal patroli adalah luasan wilayah laut (Nautical Mil Persegi) yang dapat dicapai oleh komposisi kapalkapal patroli dalam pengamanan di sektor-sektor kamla sepanjang tahun. Semakin besar jangkauan coverage area yang didapat dari komposisi penugasan kapal patroli maka artinya kapal kapal patroli akan semakin sering menjelajah berpatroli di laut Nusantara untuk pengamanan, sehingga semakin mampu mendeteksi dan menangkap kejahatan dan pelanggaran laut wilayah yurisdiksi nasional Indonesia. Melihat kondisi keuangan serta anggaran pemerintah saat ini sangat tidak mungkin untuk merealisasikan hal tersebut. Maka langkah yang paling tepat adalah melakukan pengoptimalan jumlah armada yang ada sehingga dapat diperoleh sistem kendali operasi yang efektif dan efisien.
Ekonomi

Hal ini belum dikaitkan dari sudut pandang ekonomi dimana terdapat beberapa fakta empiris yang menjadi perhatian khusus berkaitan dengan keamanan yaitu :
- Alur pelayaran transit Selat Malaka dewasa ini dilewati oleh 60.000 kapal berbagai jenis per tahun, merupakan sepertiga volume perdagangan dunia dengan jumlah US$ 390 milyar.
- Selat Lombok, dilewati 3.900 kapal per tahun dengan nilai US$ 40 milyar.
-Selat Sunda dilintasi 3.500 kapal per tahun dengan nilai US$ 5 milyar.
- Jika seandainya ketiga selat ini ditutup, kerugian akibat pengalihan rute akan mencapai US$ 8 milyar per tahun.
- Tahun 2015 ekonomi China, India, dan Jepang akan sebesar dua kali Amerika Serikat dan empat kali Eropa (US$ 19,8 trilyun, US$ 14 trilyun dan US$ 11,6 trilyun).
- Tahun 2050 ekonomi Cina, India, dan Jepang akan sebesar dua kali AS dan empat kali Eropa.
IUU Fishing ini telah secara nyata merugikan ekonomi Indonesia. Negara ini telah kehilangan sumber devisa negara yang semestinya bisa menghidupi kesejahteraan masyarakatnya, namun nyatanya justru dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok tertentu baik dari dalam maupun luar negeri. Faktor- kekayaan sumber daya alam Indonesia telah membuat cukong-cukong asing yang bekerjasama dengan oknum lokal, menggaruk hasil kekayaan alam kita. Tidak tanggung-tanggung, kerugian Negara yang diakibatkan kejahatan bidang perikanan ini mencapai angka yang luar biasa.
Menurut Data Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (DKP), pada tahun 2005 jumlah pelanggaran yang ditangani DKP 174 kasus, tahun 2006 naik menjadi 216 kasus, sementara hingga September 2007 sudah ada 160 kapal ikan liar yang diproses secara hukum. Dari barang bukti kasus-kasus illegal fishing yang didapat jajaran DKP, rata-rata potensi kerugian negara mencapai antara Rp 1-Rp 4 miliar per kapal.
Politik
Persoalan illegal fishing merupakan sumber utama terjadinya ketegangan tidak hanya diantara komunitas namun juga antar negara. Kegiatan illegal fishing diperairan negara tetangga yang dilakukan kapal-kapal pukat (trawlers) Thailand sering menimbulkan ketegangan diantara Thailand dengan negara-negara tetangga, khususnya dengan Malaysia, Myanmar dan Indonesia. Karena melibatkan kelompok nelayan dari berbagai negara, maka IUU Fishing ini tentu akan sangat rentan terhadap konflik yang lebih luas yaitu perselisihan antar negara. Dan kondisi itu akan semakin meningkat, mengingat sebagian besar negara-negara yang terlibat enggan untuk membentuk kerjasama regional untuk memberantas kegiatan illegal tersebut.
Negara yang bersangkutan sepertinya tiadak mau dipersalahkan dan tidak mau dilibatkan. Mereka merasa bahwa laut meruapakan tempat terbuka (open access) dimana melibatkan lalu lintas yang sangat padat sehingga sulit untuk mendeteksi dari mana mereka berasal. Di Indonesia, hal ini semakin diperparah dengan angkatan laut dan penegakan hukum yang lemah sehingga semakin terbukanya kesempatan untuk terjadinya IUU Fishing di wilayah kedaulatan negara. Permasalahan ini sebenarnya bisa sedikit dihindari apabila setiap negara mau menjalin kerja sama regional untuk bersama-sama memberantas kegiatan IUU Fishing.
Sosial
Bagi Indonesia IUU Fishing menjadi perhatian utama, karena hal ini terjadi setiap hari di perairan Indonesia. Dikawasan Asia Tenggara, sektor perikanan menjadi salah satu sumber utama bagi ketahanan pangan di kawasan. Motif ekonomi sering menjadikan alasan bagi eksplorasi besar-besaran terhadap sumber daya perikanan, yang pada gilirannya, menjadikan sebagai penyebab utama bagi berkurangnya secara drastis terhadap persediaan ikan di Asia Tenggara. Persoalan ini akan berpengaruh buruk terhadap kelangsungan hidup lebih dari 100 juta jiwa. Hal ini juga telah menyebabkan sengketa diantara para nelayan lokal dengan para pemilik kapal pukat dan juga diantara para nelayan tradisional antar negara.
Berkurangnya persediaan ikan diperairan Indonesia sebagai akibat illegal fishing yang dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal pukat, juga telah memaksa para nelayan tradisional Indonesia terlibat dalam kegiatan illegal fishing diperairan Australia, yang menyebabkan timbulnya permasalahan diantara kedua negara. Dampak secara langsung tidak hanya dirasakan oleh para nelayan, tetapi juga para karyawan pabrik, terutama pabrik-pabrik pengolahan ikan. Di Tual dan Bejina misalnya, sejak beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan asing tersebut, maka seluruh perusahaan industri pengolahan ikan tidak beroperasi lagi, dan akibat lebih lanjut sudah dapat ditebak apa yang terjadi, yaitu PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) para karyawan pabrik pengolahan ikan. Karena tidak ada lagi bahan baku tangkapan ikan yang diolah oleh perusahaan. Ini terjadi karena semua tangkapan ikan oleh kapal asing tersebut telah ditransfer ke kapal yang lebih besar di tengah laut istilahnya 'trans-shipment' dan hal ini jelas-jelas telah melanggar peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16 Tahun 2006 yang mewajibkan seluruh hasil tangkapan ikan diturunkan dan diolah di darat.
Lingkungan

Dari segi lingkungan, telah terjadi kerusakan yang permanen, karena menyebabkan ekosistem dan biota laut menjadi terganggu, akibat penggunaan alat penangkap ikan skala besar (Pukat Harimau dan Trawl) yang tidak sesuai dengan ketentuan dan keadaan kelautan kita. Dan yang pasti adalah semakin menipisnya sumber daya ikan di perairan Arafuru, karena hampir 3 tahun terjadi kegiatan penangkapan ikan secara semena-mena dan bersifat eksploitatif.