Budidaya laut kian jadi buah bibir di kalangan komunitas pelaku
budidaya perikanan. Dirasa memiliki potensi yang besar saja belum cukup
membawa sektor marikultur Indonesia berkembang. Data Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, potensi lahan marikultur
Indonesia mencapai 12,1 juta hektar,namun yang baru dimanfaatkan hanya
2,36%-nya.
Belum Terintegrasi
Ketua Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) Effendy
mengungkapkan,salah satu tantangan dalam pengembangan marikultur di
Indonesia yakni belum terintegrasinya antara lokasi budidaya dengan processing/pengolahan. ”Budidaya laut kita tidak tersentral masih terpencar, antara lokasi produksi dengan processing jaraknya
jauh, sehingga biaya transportasinya masih tinggi ini menyebabkan harga
jual ikan kita di luar menjadi kurang bersaing,” ujar Effendy.Ia
berharap pemerintah bisa duduk bersama untuk merancang sentra budidaya
dan processing yang terintegrasi agar semua hasil panen pembudidaya bisa terserap.
Dia mengungkapkan sepanjang 2016 faktanya banyak pembudidaya kerapu
yang koleps (bangkrut) karena ikannya tidak bisa terjual. Hal ini
terjadi karena pembudidaya kesulitan memperoleh pasar dan kendala
pengangkutan ikan akibat adanya pembatasan aturan di Permen KP No
15/2016. ”Awalnya Men KP Susi mengharapkan Perum Perikanan Indonesia
(Perindo)bisa membantu dengan mengangkut ikan yang tidak terserap,tapi
karena tak kunjung datang, akhirnya pembudidaya gak sanggup bertahan dan koleps, akibatnya banyak KJA/Keramba Jaring Apung kerapu jadi mangkrak,” ungkap Effendy.
Sebagai informasi terkait Permen KP No 15/2016, Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) telah melakukan revisi yakni dari sisi ukuran kapal
angkut ikan yang semula hanya boleh maksimal 300 GT menjadi 500 GT.
Selain itu juga perubahan jumlah pelabuhan muat singgah yang dulunya
hanya 1 sekarang diizinkan 4 pelabuhan. Dan frekuensi operasi kapal dari
6 kali setahun menjadi maksimal 12 kali dalam setahun.
Sekalipun sudah ada revisi Permen KP No 15/2016, Effendy tetap berharap
pemerintah bisa memikirkan pembangunan kawasan budidaya laut yang
terintegrasi. Hal ini agar kejadian kolepsnya pembudidaya akibat ikannya
tidak terangkut tidak akan terjadi lagi. ”Kalau untuk meningkatkan
produksi budidaya itu hal yang gampang, saya yakin pembudidaya kita
mampu, sekarang yang penting pasarnya harus jelas, nah untuk itu perlu dibuat industri marikultur yang terintegrasi,” ujar Effendy.
Tidak hanya tantangan dari segi regulasi dan kebijakan saja yang banyak
disoroti, masalah infrastruktur juga masih menjadi momok di marikultur.
Esther SatyonoDirektur Utama PT Indonesia Mariculture Industries
(IMI)berharap pemerintah bisa mendukung pelaku usaha dari sisi
infrastruktur untuk bisa mengembangkan marikultur nasional.
”Kita butuh infrastruktur yang memadai, yang paling utama itu listrik
dan air di lokasi budidaya, juga transportasi pengangkutan kita masih
mahal dan sulit, belum lagi cold chain juga belum memadai dari
sisi jumlah dan peralatannya, ini semua harus diperbaiki kalau mau
industri marikultur Indonesia maju,” ungkap Esther.
Setali tiga uang dengan Esther dan Effendy, Wajan Sudja Ketua Asosiasi
Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) mengungkapkan, kendala utama
pengembangan marikultur Indonesia adalah aspek pemasaran yang tidak
ditunjang infrastruktur yang baik. ”Bahkan banyak di luar Jawa Bali sama
sekali belum ada infrastrukturnya, sehingga menyebabkan biaya
ekonominya tinggi, yakni biaya produksi maupun pengangkutan untuk
budidaya laut masih besar,” ujar Wajan.
Ia juga mengatakan selain infrastruktur, masih banyak juga yang harus
dikembangkan seperti induk-induk dan benih selektif hasil breeding yang saat ini jumlahnya belum memadai. Begitu juga produksi vaksin untuk ikan laut yang belum banyak tersedia di pasar.
Termasuk peralatan budidaya yang hingga kini masih banyak yang impor.
”Hal ini semuanya harus kita perbaiki kalau mau memajukan industri
marikultur nasional termasuk meningkatkan jumlah produksinya,” tutur
Wajan Sudja.
Produksi Rendah
Menggenjot produksi bagi pembudidaya laut bukanlah hal yang sulit,
namun faktanya produksi budidaya kita masih jauh dari potensi yang
dimiliki. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) KKP Slamet
Soebjakto mengungkapkan, saat ini potensi lahan marikultur Indonesia
total mencapai 12,1 juta hektar hektar namun yang baru dimanfaatkan
hanya 2,36% atau sekitar 285 ribu hektar saja. ”Kita akan terus
mengembangkan sektor marikultur karena potensinya masih sangat besar,
dan ini prospeknya sangat baik kedepannya,” ujar Slamet saat Refleksi
dan Outlook DJPB (29/12) lalu.
DJPB mengklaim saat ini (Hingga Desember 2016) produksi budidaya
perikanan mencapai 15,8 juta ton, sebagaian besar produksi masih dari
komoditas rumput laut, untuk ikan masih sekitar 5 juta ton saja dan
itupun sebagian besar produksi masih dari udang dan ikan air tawar.
Jumlah produksi dari budidaya laut angkanya masih sangat kecil.
Sebagai salah satu upaya meningkatkan produksi, DJPB tahun 2017 ini membuat program pengembangan budidaya offshore (lepas
pantai) di 3 lokasi yakni di Sabang, Karimun Jawa, dan Pangandaran.
Slametmenargetkan produksi budidaya dari 3 lokasi ini mencapai 2.400
ton. ”Kami buat percontohan budidaya lepas pantai untuk mendorong pelaku
melakukan hal serupa,”ujar Slametmengajak.
Selain mengembangkan budidaya offshore tahun ini DJPB juga
akan merevitalisasi KJA yang masih mangkrak/belum terisi sebanyak 200
paket. Revitalisasi dilakukan agar animo masyarakat untuk mengembangkan
sektor budidaya laut meningkat.
Dongkrak Produksi
Sejumlah pelaku mengakui potensi marikultur Indonesia masih sangat besar namun belum tergarap semua. Andi J Sunadim General ManagerPT
Gani Arta Dwitunggal (produsen keramba jaring apung HDPE)
berulang–ulang mengatakan, Indonesia memiliki panjang garis pantai
sekitar 95.000 km dan merupakan yang terbesar ke dua di dunia setelah
Kanada namun sayang produksi budidayanya masih sangat rendah. ”Produksi
Cina saja sudah mencapai 39 juta ton ikan per tahun dengan nilai 60
miliar USD, harusnya dengan potensi lahan budidaya yang lebih besar,
produksi kita bisa lebih dari Cina minimal sama lah,” ujar Andi.
Masih bicara seputar potensi, seperti Andi, Esther juga melihat, sektor
marikultur memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan
pasalnya lahan budidaya darat akan semakin terkikis dengan semakin
banyaknya jumlah penduduk, kebutuhan air tawar juga meningkat, padahal
kebutuhan pangan protein masyarakat juga meningkat. ”Mau tidak mau untuk
tetap memproduksi ikan nantinya kita pasti akan lebih banyak
mengembangkan budidaya laut, toh kita punya laut yang sangat luas, dan pulau-pulau yang banyak,” ungkap Esther.
Potensi marikultur sudah ia lirik sejak 2004 lalu, diawali dengan
budidaya kerapu kemudian pada 2008, Esther mengembangkan usaha budidaya barramundi/kakap
putih. Budidayalaut yang dikembangkan Esther di Kepulauan Riau dengan
luasan lahan mencapai 40 hektardan merupakan salah satu perusahaan
marikultur terbesar di Indonesia. Sayangnya perusahaan marikultur yang
sebesar PT IMI masih dalam hitungan jari, sehingga belum mampu
mendongkrak produksi budidaya laut Indonesia.
Ikut angkat bicara Yuliana Pembudidaya asal Brebes yang juga pengurus
Hipilindo, menurutnya menekuni budidaya harus kreatif dan mampu melihat
peluang. Baginya budidaya sebaiknya tidak hanya satu komoditas saja.
Saat ini Yuliana menerapkan sistem polikultur untuk rumput laut,
bandeng, kepiting, kerang darah, dan nila. ”Kita tidak bisa satu
komoditas saja pola polikultur bisa diterapkan untuk memperoleh banyak
pendapatan, bahkan saya juga budidaya kerapu di KJA selain budidaya
polikultur di eks tambak