Senin, 27 Februari 2017

Budidaya Laut

Budidaya laut kian jadi buah bibir di kalangan komunitas pelaku budidaya perikanan. Dirasa memiliki potensi yang besar saja belum cukup membawa sektor marikultur Indonesia berkembang. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, potensi lahan marikultur Indonesia mencapai 12,1 juta hektar,namun yang baru dimanfaatkan hanya 2,36%-nya.
 
Belum Terintegrasi
Ketua Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) Effendy mengungkapkan,salah satu tantangan dalam pengembangan marikultur di Indonesia yakni belum terintegrasinya antara lokasi budidaya dengan processing/pengolahan. ”Budidaya laut kita tidak tersentral masih terpencar, antara lokasi produksi dengan processing jaraknya jauh, sehingga biaya transportasinya masih tinggi ini menyebabkan harga jual ikan kita di luar menjadi kurang bersaing,” ujar Effendy.Ia berharap pemerintah bisa duduk bersama untuk merancang sentra budidaya dan processing yang terintegrasi agar semua hasil panen pembudidaya bisa terserap.
 
Dia mengungkapkan sepanjang 2016 faktanya banyak pembudidaya kerapu yang koleps (bangkrut) karena ikannya tidak bisa terjual. Hal ini terjadi karena pembudidaya kesulitan memperoleh pasar dan kendala pengangkutan ikan akibat adanya pembatasan aturan di Permen KP No 15/2016. ”Awalnya Men KP Susi mengharapkan Perum Perikanan Indonesia (Perindo)bisa membantu dengan mengangkut ikan yang tidak terserap,tapi karena tak kunjung datang, akhirnya pembudidaya gak sanggup bertahan dan koleps, akibatnya banyak KJA/Keramba Jaring Apung kerapu jadi mangkrak,” ungkap Effendy.
 
Sebagai informasi terkait Permen KP No 15/2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan revisi yakni dari sisi ukuran kapal angkut ikan yang semula hanya boleh maksimal 300 GT menjadi 500 GT. Selain itu juga perubahan jumlah pelabuhan muat singgah yang dulunya hanya 1 sekarang diizinkan 4 pelabuhan. Dan frekuensi operasi kapal dari 6 kali setahun menjadi maksimal 12 kali dalam setahun.
 
Sekalipun sudah ada revisi Permen KP No 15/2016, Effendy tetap berharap pemerintah bisa memikirkan pembangunan kawasan budidaya laut yang terintegrasi. Hal ini agar kejadian kolepsnya pembudidaya akibat ikannya tidak terangkut tidak akan terjadi lagi. ”Kalau untuk meningkatkan produksi budidaya itu hal yang gampang, saya yakin pembudidaya kita mampu, sekarang yang penting pasarnya harus jelas, nah untuk itu perlu dibuat industri marikultur yang terintegrasi,” ujar Effendy.
 
Tidak hanya tantangan dari segi regulasi dan kebijakan saja yang banyak disoroti, masalah infrastruktur juga masih menjadi momok di marikultur. Esther SatyonoDirektur Utama PT Indonesia Mariculture Industries (IMI)berharap pemerintah bisa mendukung pelaku usaha dari sisi infrastruktur untuk bisa mengembangkan marikultur nasional.
 
”Kita butuh infrastruktur yang memadai, yang paling utama itu listrik dan air di lokasi budidaya, juga transportasi pengangkutan kita masih mahal dan sulit, belum lagi cold chain juga belum memadai dari sisi jumlah dan peralatannya, ini semua harus diperbaiki kalau mau industri marikultur Indonesia maju,” ungkap Esther. 
 
Setali tiga uang dengan Esther dan Effendy, Wajan Sudja Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) mengungkapkan, kendala utama pengembangan marikultur Indonesia adalah aspek pemasaran yang tidak ditunjang infrastruktur yang baik. ”Bahkan banyak di luar Jawa Bali sama sekali belum ada infrastrukturnya, sehingga menyebabkan biaya ekonominya tinggi, yakni biaya produksi maupun pengangkutan untuk budidaya laut masih besar,” ujar Wajan.
 
Ia juga mengatakan selain infrastruktur, masih banyak juga yang harus dikembangkan seperti induk-induk dan benih selektif hasil breeding yang saat ini jumlahnya belum memadai. Begitu juga produksi vaksin untuk ikan laut yang belum banyak tersedia di pasar. 
 
Termasuk peralatan budidaya yang hingga kini masih banyak yang impor. ”Hal ini semuanya harus kita perbaiki kalau mau memajukan industri marikultur nasional termasuk meningkatkan jumlah produksinya,” tutur Wajan Sudja.
 
Produksi Rendah
Menggenjot produksi bagi pembudidaya laut bukanlah hal yang sulit, namun faktanya produksi budidaya kita masih jauh dari potensi yang dimiliki.  Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) KKP Slamet Soebjakto mengungkapkan, saat ini potensi lahan marikultur Indonesia total mencapai 12,1 juta hektar hektar namun yang baru dimanfaatkan hanya 2,36% atau sekitar 285 ribu hektar saja.  ”Kita akan terus mengembangkan sektor marikultur karena potensinya masih sangat besar, dan ini prospeknya sangat baik kedepannya,” ujar Slamet saat Refleksi dan Outlook DJPB (29/12) lalu.
 
DJPB mengklaim saat ini (Hingga Desember 2016) produksi budidaya perikanan mencapai 15,8 juta ton, sebagaian besar produksi masih dari komoditas rumput laut, untuk ikan masih sekitar 5 juta ton saja dan itupun sebagian besar produksi masih dari udang dan ikan air tawar. Jumlah produksi dari budidaya laut angkanya masih sangat kecil.
 
Sebagai salah satu upaya meningkatkan produksi, DJPB tahun 2017 ini membuat program pengembangan budidaya offshore (lepas pantai) di 3 lokasi yakni di Sabang, Karimun Jawa, dan Pangandaran. Slametmenargetkan produksi budidaya dari 3 lokasi ini mencapai 2.400 ton. ”Kami buat percontohan budidaya lepas pantai untuk mendorong pelaku melakukan hal serupa,”ujar Slametmengajak.
 
Selain mengembangkan budidaya offshore tahun ini DJPB juga akan merevitalisasi KJA yang masih mangkrak/belum terisi sebanyak 200 paket. Revitalisasi dilakukan agar animo masyarakat untuk mengembangkan sektor budidaya laut meningkat.
 
Dongkrak Produksi
Sejumlah pelaku mengakui potensi marikultur Indonesia masih sangat besar namun belum tergarap semua. Andi J Sunadim General ManagerPT Gani Arta Dwitunggal (produsen keramba jaring apung HDPE) berulang–ulang mengatakan, Indonesia memiliki panjang garis pantai sekitar 95.000 km dan merupakan yang terbesar ke dua di dunia setelah Kanada namun sayang produksi budidayanya masih sangat rendah. ”Produksi Cina saja sudah mencapai 39 juta ton ikan per tahun dengan nilai 60 miliar USD, harusnya dengan potensi lahan budidaya yang lebih besar, produksi kita bisa lebih dari Cina minimal sama lah,” ujar Andi.
 
Masih bicara seputar potensi, seperti Andi, Esther juga melihat, sektor marikultur memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan pasalnya lahan budidaya darat  akan semakin terkikis dengan semakin banyaknya jumlah penduduk, kebutuhan air tawar juga meningkat, padahal kebutuhan pangan protein masyarakat juga meningkat. ”Mau tidak mau untuk tetap memproduksi ikan nantinya kita pasti akan lebih banyak mengembangkan budidaya laut, toh kita punya laut yang sangat luas, dan pulau-pulau yang banyak,” ungkap Esther.
 
Potensi marikultur sudah ia lirik sejak 2004 lalu, diawali dengan budidaya kerapu kemudian pada 2008, Esther mengembangkan usaha budidaya barramundi/kakap putih. Budidayalaut yang dikembangkan Esther di Kepulauan Riau dengan luasan lahan mencapai 40 hektardan merupakan salah satu perusahaan marikultur terbesar di Indonesia. Sayangnya perusahaan marikultur yang sebesar PT IMI  masih dalam hitungan jari, sehingga belum mampu mendongkrak produksi budidaya laut Indonesia.
 
Ikut angkat bicara Yuliana Pembudidaya asal Brebes yang juga pengurus Hipilindo, menurutnya menekuni budidaya harus kreatif dan mampu melihat peluang. Baginya budidaya sebaiknya tidak hanya satu komoditas saja. Saat ini Yuliana menerapkan sistem polikultur untuk rumput laut, bandeng, kepiting, kerang darah, dan nila. ”Kita tidak bisa satu komoditas saja pola polikultur bisa diterapkan untuk memperoleh banyak pendapatan, bahkan saya juga budidaya kerapu di KJA selain budidaya polikultur di eks tambak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar