Serangan penyakit pada udang masih menjadi momok yang menakutkan bagi
para petambak hingga saat ini. Sepanjang tahun ini saja, penyakit white feces (kotoran putih) masih menjadi kendala para pembudidaya.
Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), Agus Priyono mengungkapkan bahwa kesehatan udang erat
kaitannya dengan kualitas lingkungan budidaya. Pada lingkungan yang
ideal, udang yang dipelihara di tambak cenderung bebas dari serangan
penyakit. “Penyakit itu gak ada kalo lingkungan bagus,” ujarnya.
Hal tersebut juga diakui pula oleh Kepala Laboratorium PT Central
Proteinaprima (CPP) Heni Budi Utari. Menurutnya, faktor penting yang
berpengaruh terhadap penyebaran penyakit pada udang adalah kondisi
lingkungan. Air yang menjadi media budidaya udang harus dipelihara
dengan sebaik-baiknya. “Budidaya udang atau budidaya ikan itu sama
dengan budidaya air. Jadi kita harus memelihara air,” jelasnya.
Berdasarkan pengalamannya berkunjung dari satu tambak ke tambak lain,
Heni mendapati bahwa kebanyakan petambak di Indonesia masih melakukan
budidaya yang not clean (tidak bersih). Not clean yang Heni maksud mengacu pada banyaknya bakteri vibrio yang terkandung dalam media budidaya.
Oleh karenanya, Heni sangat menekankan kepada para petambak untuk
memperhatikan media budidaya. “Pemeliharaan air dapat dilakukan dengan
melakukan kontrol rutin. Terutama untuk mengetahui kondisi alga yang ada
di alam air,” tuturnya.
Menurut Heni saat ini sudah tersedia mikroskop dengan harga yang relatif murah bagi petambak. Sehingga alat sampling kualitas lingkungan ini harusnya tidak lagi menjadi kendala bagi pembudidaya.
Keseimbangan Lingkungan
Menurut Heni, hal yang paling mudah diamati dalam kegiatan budidaya
udang adalah perubahan air. Indikasi adanya penyakit seperti white feces
juga dapat dilihat dari adanya penurunan kualitas air seperti nilai DO
(kadar oksigen) dan alkali menjadi rendah, serta fluktuasi pH (tingkat
keasaman) yang cukup tinggi. “Sebenarnya pH itu cara menunjukan di situ
terjadi sesuatu. Sangat sederhana. Tapi kita juga perlu paramter lain,”
ujar Heni.
Lebih lanjut Heni menjelaskan, penurunan kualitas air disebabkan oleh
ketidakseimbangan bakteri dan plankton. Kedua mikroorganisme tersebut
memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan kualitas air.
Bakteri pengurai berfungsi untuk menguraikan limbah organik yang
terlarut.
Sementara itu, plankton juga merupakan faktor biologis yang harus
diperhatikan. Heni menjelaskan, selain karena kelebihan pemberian pakan (over feeding) yang menyebabkan meningkatnya limbah organik, white feces juga dipicu oleh ketidakstabilan plankton yang drop.
Pengamatan plankton dapat dilakukan dengan sangat mudah menggunakan
botol bekas, kata Heni. Jika air budidaya yang dimasukan ke dalam botol
selama 30 menit tidak mengalami perubahan, maka tidak terjadi apa-apa.
Sedangkan jika air menjadi bening. Maka plankton di perairan sudah mati.
Jika plankton dalam media budidaya terindikasi drop, maka perlu
dilakukan upaya penumbuhan plankton kembali. Penumbuhan plankton dapat
dilakukan dengan pembersihan dasar tambak dari padatan organik yang
bersifat toksik. “Kalau dia bersihinnya rutin, gak akan dropnya
(plankton) besar,” jelas Heni.
Upaya selanjutnya menurut Heni adalah manajemen pakan agar tidak
berlebih dan mengatur kecukupan oksigen di dalam media budidaya. Karena
oksigen penting dalam perombakan bahan organik.
Penerapan IPAL
Selain menjaga keseimbangan kualitas air selama budidaya, upaya lain
yang dapat dilakukan untuk mengurangi wabah penyakit pada udang adalah
pengolahan limbah yang baik. Pelopor tambak udang supra intensif,
Hasanuddin Atjo mengungkapkan bahwa produktivitas tambak yang
menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan tambak yang tidak memerhatikan IPAL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar