Senin, 27 Februari 2017

Pengelolaan Air pada Budidaya Udang

Serangan penyakit pada udang masih menjadi momok yang menakutkan bagi para petambak hingga saat ini. Sepanjang tahun ini saja, penyakit white feces (kotoran putih) masih menjadi kendala para pembudidaya.
 
Direktur Kesehatan Ikan dan Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Agus Priyono mengungkapkan bahwa kesehatan udang erat kaitannya dengan kualitas lingkungan budidaya. Pada lingkungan yang ideal, udang yang dipelihara di tambak cenderung bebas dari serangan penyakit. “Penyakit itu gak ada kalo lingkungan bagus,” ujarnya.
 
Hal tersebut juga diakui pula oleh Kepala Laboratorium PT Central Proteinaprima (CPP) Heni Budi Utari. Menurutnya, faktor penting yang berpengaruh terhadap penyebaran penyakit pada udang adalah kondisi lingkungan. Air yang menjadi media budidaya udang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. “Budidaya udang atau budidaya ikan itu sama dengan budidaya air. Jadi kita harus memelihara air,” jelasnya.
 
Berdasarkan pengalamannya berkunjung dari satu tambak ke tambak lain, Heni mendapati bahwa kebanyakan petambak di Indonesia masih melakukan budidaya yang not clean (tidak bersih). Not clean yang Heni maksud mengacu pada banyaknya bakteri vibrio yang terkandung dalam media budidaya.
 
Oleh karenanya, Heni sangat menekankan kepada para petambak untuk memperhatikan media budidaya. “Pemeliharaan air dapat dilakukan dengan melakukan kontrol rutin. Terutama untuk mengetahui kondisi alga yang ada di alam air,” tuturnya.
 
Menurut Heni saat ini sudah tersedia mikroskop dengan harga yang relatif murah bagi petambak.  Sehingga alat sampling kualitas lingkungan ini harusnya tidak lagi menjadi kendala bagi pembudidaya.
 
 
Keseimbangan Lingkungan
Menurut Heni, hal yang paling mudah diamati dalam kegiatan budidaya udang adalah perubahan air. Indikasi adanya penyakit seperti white feces juga dapat dilihat dari adanya penurunan kualitas air seperti nilai DO (kadar oksigen) dan alkali menjadi rendah, serta fluktuasi pH (tingkat keasaman) yang cukup tinggi. “Sebenarnya pH itu cara menunjukan di situ terjadi sesuatu. Sangat sederhana. Tapi kita juga perlu paramter lain,” ujar Heni.
 
Lebih lanjut Heni menjelaskan, penurunan kualitas air disebabkan oleh ketidakseimbangan bakteri dan plankton. Kedua mikroorganisme tersebut memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan kualitas air. Bakteri pengurai berfungsi untuk menguraikan limbah organik yang terlarut. 
 
Sementara itu, plankton juga merupakan faktor biologis yang harus diperhatikan. Heni menjelaskan, selain karena kelebihan pemberian pakan (over feeding) yang menyebabkan meningkatnya limbah organik, white feces juga dipicu oleh ketidakstabilan plankton yang drop.
 
Pengamatan plankton dapat dilakukan dengan sangat mudah menggunakan botol bekas, kata Heni. Jika air budidaya yang dimasukan ke dalam botol selama 30 menit tidak mengalami perubahan, maka tidak terjadi apa-apa. Sedangkan jika air menjadi bening. Maka plankton di perairan sudah mati.
 
Jika plankton dalam media budidaya terindikasi drop, maka perlu dilakukan upaya penumbuhan plankton kembali. Penumbuhan plankton dapat dilakukan dengan pembersihan dasar tambak dari padatan organik yang bersifat toksik. “Kalau dia bersihinnya rutin, gak akan dropnya (plankton) besar,” jelas Heni.
 
Upaya selanjutnya menurut Heni adalah manajemen pakan agar tidak berlebih dan mengatur kecukupan oksigen di dalam media budidaya. Karena oksigen penting dalam perombakan bahan organik.
 
 
Penerapan IPAL
Selain menjaga keseimbangan kualitas air selama budidaya, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi wabah penyakit pada udang adalah pengolahan limbah yang baik. Pelopor tambak udang supra intensif, Hasanuddin Atjo mengungkapkan bahwa produktivitas tambak yang menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tambak yang tidak memerhatikan IPAL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar