Kebijakan yang dikeluarkan tentunya menuai konsekuensi baik itu
posisitf maupun negatif. Hal ini dialami sejumlah nelayan nusantara yang
sementara waktu berhenti melaut karena tak boleh lagi menggunakan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan. Menyusuri langsung ke lapangan,
belum lama ini TROBOS Aqua menyambangi Pelabuhan Perikanan Tegal (Jawa
Tengah).
Terlihat 3 orang mengobrol di atas sebuah kapal yang merapat di
Pelabuhan Perikanan Tegal. Informasi dari petugas pelabuhan, mereka
merupakan nelayan dari kapal cantrang (pukat hela) yang tidak beroperasi
semenjak pelarangan armada cantrang diterapkan. Mereka kebanyakan
menganggur, alat penangkap ikan tidak sedikit yang beralih mata
pencaharian.
Kapal-kapal yang berhenti beroperasi tidak hanya satu atau dua armada
saja, melainkan sudah membentuk jajaran di sepanjang pelabuhan. Hal
yang sama juga diamati TROBOS Aqua di Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Karangantu, Serang, Banten. Kapal-kapal tersebut bahkan sudah
tidak terlihat siapa penghuninya, seperti ditinggalkan untuk berkarat
begitu saja.
Pelarangan Cantrang
Sala satu nelayan cantrang asal Pati Jawa Tengah, Sugiyono
mengeluhkan, “Cantrang itu sudah ada sejak dulu. Di Tuban, Jawa Timur,
tempat saya lahir, setidaknya sudah tujuh generasi mengoperasikan
cantrang. Di saat pemerintah belum memperhatikan nelayan, disana nelayan
berupaya sendiri, berkreasi sendiri untuk menangkap ikan. Mengingat hal
ini ya sedih.”
Tidak itu saja, miris ujar Sugiyono jika kapal cantrang harus
ditelantarkan begitu saja bila mengingat biaya yang harus dikeluarkan.
“Biaya modal awal beli kapalnya sedikitnya bisa puluhan juta rupiah,
lalu sekarang sudah harus dilarang. Kalau mau operasi otomatis harus
ganti alat tangkap atau ganti kapal keseluruhan dengan biaya sedikitnya
Rp 40 juta. Dari mana uangnya?,” terang pria yang menjadi nelayan
semenjak 1985 ini sambil menghela napas.
Sugiyono beroperasi dengan kapal cantrang yang berukuran 5 GT (Gross
Ton) dengan ukuran jaring pukat mencapai 1.500 m. “Dengan alat ini, Anak
Buah Kapal (ABK) kita bisa mencapai 8 orang, dengan biaya operasional
Rp 150 ribu - Rp 200 ribu per sekali trip. Sedangkan sebelum melaut 1
orang ABK sudah dapat uang rokok Rp 60 - 70 ribu. Habis melaut kami
sistem bagi hasil 50 - 50,” ucapnya.
Yang jadi masalah, tambah Sugiyono, kalau harus ganti alat seperti
jaring, pemerintah pun sudah bisa membantu dengan jaring yang seukuran
500 m dan hanya bisa dioperasikan 2 - 3 ABK. “Belum lagi, kami ini tidak
tahu cara mengoperasikannya. Tidak menguasai caranya, sedangkan
cantrang sudah kami kuasai sejak lulus Sekolah Dasar (SD),” imbuhnya.
Dilemanya alat tangkap cantrang yang merupakan jenis pukat merupakan
alat tangkap paling efektif untuk menangkap ikan. Dan diamini Sugiyono,
alat tangkap cantrang merupakan alat tangkap yang tidak mengenal musim.
“Di saat musim sulit pun, tetap ada ikan yang tertangkap, seperti
kuniran dan kurisi,” jelas Ketua Kelompok Usaha Bersama Mina Lestari
ini.
Belum lagi efek berganda ke masyarakat sekitar. Sugiyono mengungkap,
jika cantrang dilarang, setidaknya tidak hanya nelayan saja yang
kehilangan pekerjaan. “Namun juga kuli-kuli yang terlibat. Mulai dari
kuli angkut, kuli sampah, kuli bandul, bisa sekitar 60 orang terlibat
disitu. Janda-janda nelayan juga banyak menggantungkan hidup dari sini,
yakni dari ikan-ikan sedekah nelayan,” imbuhnya.
Penurunan Tangkapan
Sekalipun dikatakan efektif untuk menangkap ikan, alat penangkap ikan
penggunaan cantrang dalam jangka panjang menimbulkan efek negatif bagi
lingkungan. Dan hal ini diakui oleh Supani, nelayan aren (pukat kecil)
asal Batang, Jawa Tengah bahwa pukat atau cantrang memang merugikan
lingkungan dimana alat tersebut beroperasi. Contohnya, dia ucapkan, ada
penurunan jumlah tangkap yang sudah terasa sejak dua tahun terakhir.
Otomatis, pendapatan pun mengalami penurunan.
Padahal, ucap Supani, cantrang pun baru ada sejak tujuh tahun terakhir.
“Makanya kita merasa alat ini merusak ekosistem laut. Secara visual
bisa terlihat, banyak karang yang ikut terseret masuk ke dalam pukat
ketika alat kita operasikan,” ungkapnya. Dari sini, dia pun menyadari
untuk mengganti alat tangkap.
Hal senada juga disampaikan Arifin, nakhoda kapal bagan asal Serang,
Banten, penurunan jumlah tangkapan ikan juga tergantung banyak faktor.
“Setahu saya ya cantrang atau pukat itu merusak terumbu karang sehingga ikan bisa punah. Alat penangkap ikan sepengalaman saya, ikan itu ya tergantung
musim. Seperti angin barat sekarang, cuaca jadi masalah dan gelombang
besar, nelayan tidak melaut dan hasil tangkapan otomatis berkurang.
Belum lagi ketika terang bulan, biasanya ikan yang tertangkap itu
sedikit,” tutur yang biasanya melaut bersama 4 orang ABK dengan operasi
harian.
Tambah Arifin, alat tangkap bagan ini menggunakan waring (sejenis
jaring) sebagai alat tangkap yang digantung 15 m dari permukaan air dan
pengoperasiannya menunggu ikan yang datang. Pengoperasiannya di malam
hari dimana nelayan menggunakan alat bantu penangkapan, seperti lampu
untuk menarik ikan. Ikan yang tertangkap biasanya teri, kembung,
tongkol, dan cumi.
Belum lagi, terang Arifin, faktor penambangan pasir yang berada di
sekitar kawasan penangkapan. Amrul, Kepala Syahbandar PPN Karangantu
mengatakan, adanya pengerukan pasir untuk reklamasi, khususnya di
wilayah Pontang, Serang, Banten merugikan nelayan karena tidak adanya
pengaturan cara pengerukan pasir. “Pasir diambil secara acak, yang
otomatis memeratakan proses pengadukan perairan. Hal ini otomatis
mengganggu kehidupan ikan yang pengaruhnya juga terhadap penangkapan
ikan oleh nelayan,” ucap Amrul.
Keberlanjutan
Program keberlanjutan lingkungan ini, jelas Plt Direktur Jenderal
Perikanan Tangkap Zulficar Muchtar, selaras untuk meningkatkan
keekonomian nelayan sehingga bisa berpengaruh pada kesejahteraan nelayan
kedepan. Terkait cantrang pihaknya dapatkan data di berbagai wilayah
itu lebih dari 5000 unit yang beroperasi. Dengan 3.198 unit berukuran
dibawah 10 GT. “Dan untuk membantu nelayan ini, dari 2015 lalu sudah
sekitar 2091 kapal kita fasilitasi untuk penggantian alat penangkapan
ikan,” kata Zulficar.
Sedangkan, lanjutnya, untuk kapal berukuran 10 - 30 GT difasilitasi
untuk mengakses permodalan melalui gerai permodalan untuk penggantian
alat atau melakukan kegiatan penangkapan ikan. “Melalui skema Kredit
Usaha Rakyat (KUR) atau kredit mikro lainnya. Sejauh ini, total sudah
219 permintaan yang diproses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar