Senin, 27 Februari 2017

Peralihan Alat Tangkap Yang Lebih Ramah Lingkungan

Kebijakan yang dikeluarkan tentunya menuai konsekuensi baik itu posisitf maupun negatif. Hal ini dialami sejumlah nelayan nusantara yang sementara waktu berhenti melaut karena tak boleh lagi menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Menyusuri langsung ke lapangan, belum lama ini TROBOS Aqua menyambangi Pelabuhan Perikanan Tegal (Jawa Tengah).
 
Terlihat 3 orang mengobrol di atas sebuah kapal yang merapat di Pelabuhan Perikanan Tegal. Informasi dari petugas pelabuhan, mereka merupakan nelayan dari kapal cantrang (pukat hela) yang tidak beroperasi semenjak pelarangan armada cantrang diterapkan. Mereka kebanyakan menganggur, alat penangkap ikan tidak sedikit yang beralih mata pencaharian.
 
Kapal-kapal yang berhenti beroperasi tidak hanya satu atau dua armada saja,  melainkan sudah membentuk jajaran di sepanjang pelabuhan. Hal yang sama juga diamati TROBOS Aqua di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, Serang, Banten. Kapal-kapal tersebut bahkan sudah tidak terlihat siapa penghuninya, seperti ditinggalkan untuk berkarat begitu saja.
 
 
Pelarangan Cantrang
Sala satu nelayan cantrang asal Pati Jawa Tengah, Sugiyono mengeluhkan,  “Cantrang itu sudah ada sejak dulu. Di Tuban, Jawa Timur, tempat saya lahir, setidaknya sudah tujuh generasi mengoperasikan cantrang. Di saat pemerintah belum memperhatikan nelayan, disana nelayan berupaya sendiri, berkreasi sendiri untuk menangkap ikan. Mengingat hal ini ya sedih.”
 
Tidak itu saja, miris ujar Sugiyono jika kapal cantrang harus ditelantarkan begitu saja bila mengingat biaya yang harus dikeluarkan. “Biaya modal awal beli kapalnya sedikitnya bisa puluhan juta rupiah, lalu sekarang sudah harus dilarang. Kalau mau operasi otomatis harus ganti alat tangkap atau ganti kapal keseluruhan dengan biaya sedikitnya Rp 40 juta. Dari mana uangnya?,” terang pria yang menjadi nelayan semenjak 1985 ini sambil menghela napas.
 
Sugiyono beroperasi dengan kapal cantrang yang berukuran 5 GT (Gross Ton) dengan ukuran jaring pukat mencapai 1.500 m. “Dengan alat ini, Anak Buah Kapal (ABK) kita bisa mencapai 8 orang, dengan biaya operasional Rp 150 ribu - Rp 200 ribu per sekali trip. Sedangkan sebelum melaut 1 orang ABK sudah dapat uang rokok Rp 60 - 70 ribu. Habis melaut kami sistem bagi hasil 50 - 50,” ucapnya.
 
Yang jadi masalah, tambah Sugiyono, kalau harus ganti alat seperti jaring, pemerintah pun sudah bisa membantu dengan jaring yang seukuran 500 m dan hanya bisa dioperasikan 2 - 3 ABK. “Belum lagi, kami ini tidak tahu cara mengoperasikannya. Tidak menguasai caranya, sedangkan cantrang sudah kami kuasai sejak lulus Sekolah Dasar (SD),” imbuhnya.
 
Dilemanya alat tangkap cantrang yang merupakan jenis pukat merupakan alat tangkap paling efektif untuk menangkap ikan. Dan diamini Sugiyono, alat tangkap cantrang merupakan alat tangkap yang tidak mengenal musim. “Di saat musim sulit pun, tetap ada ikan yang tertangkap, seperti kuniran dan kurisi,” jelas Ketua Kelompok Usaha Bersama Mina Lestari ini.
 
Belum lagi efek berganda ke masyarakat sekitar. Sugiyono mengungkap, jika cantrang dilarang, setidaknya tidak hanya nelayan saja yang kehilangan pekerjaan. “Namun juga kuli-kuli yang terlibat. Mulai dari kuli angkut, kuli sampah, kuli bandul, bisa sekitar 60 orang terlibat disitu. Janda-janda nelayan juga banyak menggantungkan hidup dari sini, yakni dari ikan-ikan sedekah nelayan,” imbuhnya.
 
 
Penurunan Tangkapan
Sekalipun dikatakan efektif untuk menangkap ikan, alat penangkap ikan penggunaan cantrang dalam jangka panjang menimbulkan efek negatif bagi lingkungan. Dan hal ini diakui oleh Supani, nelayan aren (pukat kecil) asal Batang, Jawa Tengah bahwa pukat atau cantrang memang merugikan lingkungan dimana alat tersebut beroperasi. Contohnya, dia ucapkan, ada penurunan jumlah tangkap yang sudah terasa sejak dua tahun terakhir. Otomatis, pendapatan pun mengalami penurunan.
 
Padahal, ucap Supani, cantrang pun baru ada sejak tujuh tahun terakhir. “Makanya kita merasa alat ini merusak ekosistem laut. Secara visual bisa terlihat, banyak karang yang ikut terseret masuk ke dalam pukat ketika alat kita operasikan,” ungkapnya. Dari sini, dia pun menyadari untuk mengganti alat tangkap.
 
Hal senada juga disampaikan Arifin, nakhoda kapal bagan asal Serang, Banten, penurunan jumlah tangkapan ikan juga tergantung banyak faktor. “Setahu saya ya cantrang atau pukat itu merusak terumbu karang sehingga ikan bisa punah. Alat penangkap ikan sepengalaman saya, ikan itu ya tergantung musim. Seperti angin barat sekarang, cuaca jadi masalah dan gelombang besar, nelayan tidak melaut dan hasil tangkapan otomatis berkurang. Belum lagi ketika terang bulan, biasanya ikan yang tertangkap itu sedikit,” tutur yang biasanya melaut bersama 4 orang ABK dengan operasi harian.
 
Tambah Arifin, alat tangkap bagan ini menggunakan waring (sejenis jaring) sebagai alat tangkap yang digantung 15 m dari permukaan air dan pengoperasiannya menunggu ikan yang datang. Pengoperasiannya di malam hari dimana nelayan menggunakan alat bantu penangkapan, seperti lampu untuk menarik ikan. Ikan yang tertangkap biasanya teri, kembung, tongkol, dan cumi.
 
Belum lagi, terang Arifin, faktor penambangan pasir yang berada di sekitar kawasan penangkapan. Amrul, Kepala Syahbandar PPN Karangantu mengatakan, adanya pengerukan pasir untuk reklamasi, khususnya di wilayah Pontang, Serang, Banten merugikan nelayan karena tidak adanya pengaturan cara pengerukan pasir. “Pasir diambil secara acak, yang otomatis memeratakan proses pengadukan perairan. Hal ini otomatis mengganggu kehidupan ikan yang pengaruhnya juga terhadap penangkapan ikan oleh nelayan,” ucap Amrul.
 
 
Keberlanjutan
Program keberlanjutan lingkungan ini, jelas Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Muchtar, selaras untuk meningkatkan keekonomian nelayan sehingga bisa berpengaruh pada kesejahteraan nelayan kedepan. Terkait cantrang pihaknya dapatkan data di berbagai wilayah itu lebih dari 5000 unit yang beroperasi. Dengan 3.198 unit berukuran dibawah 10 GT. “Dan untuk membantu nelayan ini, dari 2015 lalu sudah sekitar 2091 kapal kita fasilitasi untuk penggantian alat penangkapan ikan,” kata Zulficar.
 
Sedangkan, lanjutnya, untuk kapal berukuran 10 - 30 GT difasilitasi untuk mengakses permodalan melalui gerai permodalan untuk penggantian alat atau melakukan kegiatan penangkapan ikan. “Melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau kredit mikro lainnya. Sejauh ini, total sudah 219 permintaan yang diproses

Tidak ada komentar:

Posting Komentar