Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting
ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rancangan Undang-undang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefenisikan wilayah pesisir
sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan
ekosistem laut yang terletak antara batas sempadan kearah darat sejauh
pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari
daratan.
Wilayah pesisir memilikinilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan
potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir
dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir
ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara
berkelanjutan.
Transisi antara daratan dan lautan di
wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat
produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap
manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan
pembangunan sosial-ekonomi “nilai” wilayah pesisir terus bertambah.
Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan
yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai
kepentingan yang ada di wilayah pesisir.
Wilayah pesisir dan laut sebagai
ekosistem yang dinamis memiliki karakteristik yang sangat unik. Keunikan
wilayah ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana. Secara biofisik wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Secara empiris terdapat
keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam
kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas (upland)
dengan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu eksosistem
pesisir, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan
kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di
lahan atas (upland) suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak
dilakukan secara bijaksana akan merusak tatanan dan fungsi ekologis
kawasan pesisir dan laut.
b. Dalam suatu kawasan pesisir,
biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.
Terdapat keterkaitan langsung yang sangat komplek antara proses-proses
dan fungsi lingkungan dengan pengguna sumberdaya alam.
c. Dalam suatu kawasan pesisir, pada
umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang
memiliki keterampilan/keahlihan dan kesenangan (preference)
bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani
rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga
dan sebagainya. Pada hal sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk
mengubah kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah
mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan.
d. Baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use)
adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang
menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu hamparan pesisir hanya
digunakan untuk satu peruntukan, seperti tambak, maka akan lebih rentan,
jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa peruntukan.
d. Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access).
Pada hal setiap sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan
keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran over eksploitasi
sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di
kawasan ini, yang pada gilirannya dapat menimbulkan suatu tragedi
bersama (open tragedy).
Pengelolaan pesisir terpadu
dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan
serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya.
Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor ekologis, hirarki
pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and
Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999). Pengelolan wilayah pesisir secara
terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang
dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan
ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek
pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan
wilayah pesisir sekurangnya mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu
dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral di wilayah
pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration).
Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar
interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang
mengakibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi teknik, sosiologi, hukum, dan
lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir
pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin
secara kompleks dan dinamis.
Wilayah pesisir yang tersusun dari
berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak
berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem
akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga
dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang
terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans).
Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan bahwa pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu harus manperhatikan segenap
keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat
mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan tersebut perlu
diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi mengingat bahwa suatu
pengelolaan terdiri dari 3 tahap utama, yaitu perencanaan, implementasi
dan monitoring/evaluasi. dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan)
serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini
maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya mengandung 3
dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.
Keterpaduan secara sektoral di
wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration).
Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar
interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang
mengakibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi teknik, sosiologi, hukum, dan
lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir
pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin
secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai
macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri
sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan
menimpa pula ekosistem lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar