Kamis, 30 Juni 2016

Pemberdayaan sebagai Proses Sosial

Pemberdayaan sebagai Proses Sosial Telah kita ketahui bersama bahwa kekurangmampuan adalah masalah sosial, dan bertolak belakangan dengan masalah perseorangan yakni kekurangan uang tunai atau hal-hal lain. Kita harus membedakan tingkat sosial dan tingkat individu, dalam analisa, observasi, dan dalam intervensi kita. Kelompok masyarakat adalah organisasi sosial, dan bukan seorang individu. Bahkan jauh melebihi koleksi individu. Ini adalah suatu kesatuan yang melebihi individu-individu yang menyusunnya pada waktu tertentu. Mudah utuk melihat dan berinteraksi dengan seorang individu. Sebaliknya, sebuah “kelompok masyarakat,” adalah model ilmiah, seperti atom atau tata surya, yang dapat dilihat kebanyakan hanya sebagian saja, tapi tidak secara keseluruhan. Sebuah kelompok masyarakat tidak bertingkah laku seperti seorang individu. Terkadang kita menganggap dan membicarakan suatu kelompok masyakat seperti seorang individu, tetapi ia lebih seperti bagian kecil sosial daripada seorang individu manusia. Kita dapat membuat individu-individu menjadi lebih kuat (secara fisik dan psikologis) dan kita bisa membuat kelompok masyarakat menjadi lebih kuat (kemampuan, kekayaan, kekuasaan); namun semua ini tidak sama. 

Dalam pekerjaan penyuluh sebagai penggerak, kita harus berhati-hati untuk menghindari prediksi dan asumsi tentang kelompok masyarakat seakan-akan mereka adalah individu, pemikiran, manusia. Memang mudah, tapi salah jika kita berpikir seperti itu. Sementara kita sebagai penyuluh, dapat melihat para individu, dapat bekerja dengan para individu, sasaran kita kitalah kelompok masyarakat, sebuah organisasi sosial, yang tidak dapat kita lihat dalam totalitasnya, dan dengannya kita harus bekerja secara langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, untuk menjadi berhasil dalam memberdayakan kelompok masyarakat, kita perlu mengerti dasar dari organisasi sosial, tingkat sosial, dan masyarakat. Juga penting bagi kita untuk mengetahui tentang hubungan antara individu, atau para individu, dan kelompok masyarakat, dan masyarakat. Namun perlu diingat bahwa sosiologi tidak bisa sangat tepat dan sangat prediktif seperti, contohnya ilmu kimia atau astronomi, karena faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial terlalu banyak. 

Hal ini juga semakin susah karena sebagai organisasi sosial, seperti kelompok masyarakat atau organisasi non-profit, adalah suatu susunan, sebuah model, yang tidak dapat kita lihat secara langsung. Bagaimanapun juga, kita sebagai penyuluh perlu untuk belajar lebih banyak tentang pkitangan sosial, dan untuk mengembangkan bakat-bakat dalam mengerti elemen-elemen sosial yang dibuka oleh indikator-indikator yang dapat dilihat, termasuk tingkah laku para individu, statistik sosial dan ekonomi, kejadian-kejadian tertentu, dan data demografis. Untuk membantu kita melakukannya, ada dua modul yang mengidentifikasi enam belas elemen dari pemberdayaan. Ada yang terfokus terutama pada pengembangan kemampuan sebuah organisasi dan yang lain terfokus terutama pada mengukur meningkatnya (atau menurunnya) kemampuan sebuah kelompok masyarakat. Keenambelas elemen tersebut, yang kebanyakan tidak dapat dilihat kecuali melalui karakteristik daripada para individu, akan membantu kita untuk secara berhati-hati dan dengan mendetail melihat proses pemberdayaan sebagai sebuah proses sosial. 

Memberdayakan sebuah komunitas kelompok masyarakat bukanlah sesuatu yang biasa kita lakukan kepada kelompok masyarakat. Karena proses pemberdayaan, atau pengembangan kemampuan, adalah proses sosial, hal itu adaah sesuatu yang harus dialami oleh kelompok masyarakat itu sendiri. Bahkan para anggota kelompok masyarakat, sebagai individu, tidak bisa mengembangkan kelompok masyarakat mereka, ini adalah proses pertumbuhan daripada kelompok masyarakat secara kesatuan, secara internal, sebagai suatu organisme (organisme besar atau organisme sosial). Mencoba untuk memaksa pertumbuhan dan perubahan social disebut teknik sosial dan memiliki efek-efeknya, tapi biasanya efek-efeknya jauh dari apa yang kita inginkan. Penyuluh perlu menstimulasi kelompok masyarakat untuk mengambil tindakan. Dengan mengerjakan kegiatan, kelompok masyarakat akan menjadi lebih berdaya, mengembangkan kemampuan yang lebih. Tindakan yang diambil penyuluh adalah kunjungan dan pelatihan untuk komunitas kelompok masyarakat agar menjadi lebih kuat. Kita sudah mengetahui sebelumnya bahwa seseorang harus berjuang untuk menjadi lebih kuat.

Metode dasar dari seorang penyuluh sebagai penggerak kelompok masyarakat pertama-tama adalah untuk menentukan apa yang diinginkan oleh suatu kelompok masyarakat sebagai suatu kesatuan, lalu memandunya dalam berjuang untuk mencapainya. Pihak luar tidak bisa memutuskan apa yang kelompok masyarakat inginkan. Para anggota kelompok masyarakat harus menyetujui apa yang mereka semua sangat inginkan. Itu adalah alasan pertama dari beberapa alasan mengapa mereka perlu ikut serta dalam pengambilan keputusan; bahwa partisipasi diperlukan terlebih dahulu untuk menentukan apa yang paling mereka inginkan. Gagas pendapat adalah salah satu dari beberapa teknik yang harus dikuasai penyuluh untuk menguraikan prioritas mereka. Jika dilakukan dengan benar, ini adalah proses yang menentukan pilihan bersama, bukan pilihan dari sebagian orang, atau faksi dominan. Selanjutnya adalah keputusan strategi, atau jalur mana yang akan diikuti agar mencapai tujuan yang diutamakan. 

Selain itu, ada cara-cara yang berbeda untuk memilih sebuah strategi, tapi semakin ia menunjukkan kemauan kelompok masyarakat secara kesatuan, semakin berlaku cara itu. Partisipasi anggota kelompok sangat penting untuk keberhasilan. Kegiatan apapun itu, harus ada masukan dan hasil produksi. Masukan adalah bahan-bahan yang diasup ke dalam kegiatan. Hasil produksi atau output adalah sebuah sasaran jika direalisasikan. 

Sementara beberapa masukan atau input bisa datang dari para donor dari luar, termasuk pemerintah, tapi kelompok masyarakat sendiri, para anggotanya juga harus memberikan pengorbanan. Sama halnya dengan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, penyuluh perlu menganjurkan agar mereka juga memberikan kontribusi berupa bahan sebagai masukan. Monitoring juga merupakan elemen penting dari sebuah kegiatank, tapi terkadang terlewati. Kelompok masyarakat juga harus ikut serta dalam mengawasi kegiatan tersebut. Para anggota tidak diperbolehkan meninggalkannya hanya kepada pihak luar dan pelaksana untuk melihat apakah kegiatan berjalan sesuai rencana. Dalam proses melaksanakan kegiatan, para anggota kelompok masyarakat dapat mengidentifikasi kemampuan-kemampuan mereka yang kurang. Ini bisa mencakup bidang akuntansi, peliputan atau teknis. Jika penyuluh bisa membantu mereka mendapatkan pelatihan kemampuan-kemampuan itu, maka dapat sekalian mengajari anggota untuk aktif keikutsertaannya dalam pelatihan tersebut. 

Sesuai kutipan bahwa “Cara terbaik orang untuk belajar adalah dengan “melakukan” daripada mendengarkan pengajaran atau menyimak presentasi”. Bagimana dengan penyuluh? Penyuluh bisa berkontribusi pada satu atau beberapa komunitas kelompok masyarakat untuk menjadi lebih kuat. Juga, dengan membina dan mengajarkan metode-metode dan teknik-teknik usaha kegiatan kelompok kepada mereka, penyuluh dapat berkontribusi secara tidak langsung kepada kelompok masyarakat lainnya untuk menjadi lebih kuat. Secara tidak langsung mungkin juga bisa mempengaruhi peraturan-peraturan legislatif dan pemerintahan lokal dengan cara berkontribusi kepada lingkungan dan kelompok-kelompok masyarakat yang kuat dan mandiri. Sementara semakin banyak komunitas kelompok masyarakat menjadi lebih kuat, negara pun akan mendapatkan keuntungan.(NDK107). Sumber: Bartle, P, PhD. 2007. Community Empowerment Collective Module. Diterjemahkan oleh Bessie Utomo Lucas. (http://cec.vcn.bc.ca)

Penyuluh sebagai Penyemangat Sosial Budaya

Penyuluh sebagai Penyemangat Sosial Budaya 

 Semangat sosial budaya dalam hal membentuk partisipasi komunitas dan kemandirian telah memacu dan mengatur sebuah komunitas. Hal ini berarti bahwa organisasi sosial dari sebuah komunitas telah berubah, walaupun hanya sedikit. Dalam kondisi seperti ini peran penyuluh sebagai agen perubah sosial atau katalisator sangat diperlukan mengingat suatu komunitas atau kelompok masyarakat butuh seorang “penyemangat”. Mungkin akan berbahaya apabila kita ingin merubah sesuatu dimana hal tersebut tidak kita ketahui. Oleh karena itulah tanggung jawab dari seorang penyuluh untuk mempelajari sesuatu dari ilmu antropologi dan sosiologi. Seorang penyuluh yang berperan sebagai penyemangat harus memahami beberapa bagian penting dari subjeknya (masyarakat). 

Hal penting untuk seorang penyemangat adalah menjaga harmonisasi hubungan antara dimensi-dimensi budaya yang membentuk sebuah komunitas. Sementara ahli sosial mungkin tidak menyetujui mengenai kebiasaan dari hubungan tersebut, seluruhnya akan setuju kalau karakteristik dasar dari sebuah komunitas (dan komunitas di dalam masyarakat) adalah hubungan antara dimensi-dimensi budaya tersebut. Sebuah komunitas, seperti institusi sosial lainnya, tidaklah hanya sebuah kumpulan dari orang-orang, melainkan merupakan sekumpulan dari hubungan, sifat dan sikap dari para anggotanya. 

Oleh karena itu, penyuluh harus tetap mempertahankan elemen yang penting dari suatu komunitas masyarakat. Selain estetika, budaya juga berisi berbagai hal, termasuk aksi dan kepercayan dimana manusia sebagai makhluk belajar yang membuat mereka menjadi manusia seutuhnya. Budaya termasuk pembelajaran tingkah laku, tetapi bukan hal-hal yang diturunkan secara genetik. Budaya dikomunikasikan dengan symbol, bukan dengan genetik. Sementara beberapa budaya dipelajari sedari kecil, dan lainnya dipelajari pada saat dewasa. 

Sementara itu, penyuluh-lah yang mempromosikan perubahan budaya dan juga menyebarkan proses pembelajaran akan ide baru dan tingkah laku. Kemampuan mengajari kepada masyarakat yang dewasa itu butuh teknik dan metode-metode yang tepat. Selama proses mobilisasi dan membina suatu komunitas, seorang penyuluh harus selalu dapat melihat apa yang terjadi dalam masyarakat secara keseluruhan, bertolak belakang apabila hal itu terjadi pada individu. Sebuah komunitas dapat juga dilihat sebagai suatu organisme. Mereka akan terus hidup dan berfungsi walaupun manusia didalam nya datang dan pergi, sama juga lahir dan mati. Sama seperti sel yang hidup, tumbuhan atau hewan, mereka bergantung pada faktor pembentuk mereka, jadi sebuah institusi, sebuah pola perilaku, atau komunitas, berpangaruh terhadap individu didalamnya. Sebagai contoh, sebuah kepercayaan dipercayai olah seseorang, tapi kepercayaan itu dapat tetap ada meskipun orang pertama yang mempercayainya telah lama meninggal. 

Hal ini merupakan sebuah sistem, bukanlah sistem anorganis seperti mesin, bukanlah sistem anorganis seperti pohon, tapi merupakan sistem yang dibangun atas dasar pembelajaran ide-ide dan perilaku dari manusia. Walaupun sebuah masyarakat merupakan sebuah sistem budaya (di dalamnya melebihi manusianya) janganlah beranggapan bahwa sebuah komunitas merupakan suatu kesatuan yang harmonis, melainkan tidak. Masyarakat penuh akan perselisihan, pergulatan dan konflik, atas dasar perbedaan jenis kelamin, kepercayaan, akses terhadap kesehatan, etnik, kelas, tingkat pendidikan, pendapatan kepemilikan modal bahasa dan banyak lainnya. 

Dalam rangka mempopulerkan partisipasi masyarakat dan pengembangan, merupakan salah satu tugas dari penyuluh untuk membawa faktor-faktor tadi menjadi satu, mengajarkan toleransi dan semangat kesatuan dan mengabaikan perbedaan dalam komunitas masyarakat. Penyuluh penting untuk tahu bagaimana sebuah sistem bekerja dan bagaimana merespon terhadap perubahan. Seluruh budaya (atau organisasi sosial) memiliki beberapa dimensi. Seperti dimensi fisik dari panjang, lebar, tinggi dan waktu, dimensi budaya mungkin beragam, tapi dari pengertian semua sama. Ada enam dimensi budaya atau sosial. Hal ini berlaku untuk setiap sistem dari pembelajaran nilai dan perilaku. Berbagai dimensi dari budaya adalah: Teknologi, Ekonomi, Politik, Institutional (sosial), nilai-estetika, dan konsep kepercayaan. Kita tidak bisa “melihat” sebuah dimensi budaya atau sosial, sama seperti kamu melihat seseorang. Setiap individu memiliki ke enam dimensi dari budaya tersebut. Untuk menjadi peka akan budaya, seorang penyuluh haruslah dapat menganalisa ke enam dari dimensi budaya tersebut, dan hubungan antaranya, walaupun hanya dapat dinilai per individu, bukan berdasarkan dimensi tersebut. Perubahan Kebudayaan Dimensi teknologi dari budaya merupakan modal dimana merupakan alat dan kemampuan, dan cara terbaik untuk manghadapi lingkungan. 

Itu merupakan perpaduan antara kemanusiaan dan alam. Bukan alat fisik semata yang membuat dimensi teknologi dari budaya, tapi merupakan pembelajaran ide dan perilaku yang membuat manusia bisa menciptakan, menggunakan dan mengajarkan sesamanya mengenai alat tersebut. Dimensi ekonomi dari budaya berarti banyak hal dan berbagai arti dari produksi dan alokasi dari sumberdaya barang dan jasa yang berguna (kesehatan), baik itu melalui pemberian, kebijakan, barter, perdagangan ataupun alokasi negara. Bukanlah faktor riil seperti uang yang membentuk dimensi ekonomi dari budaya, melainkan berbagai ide-ide, nilai dan perilaku yang memberikan tambahan nilai dari uang (dan hal lain) oleh manusia yang menciptakan sistem ekonomi yang mereka gunakan. Kesejahteraan bukanlah semata-mata uang, sama seperti kekurangmampuan bukanlah semata-mata kurangnya uang. Dimensi politik dari budaya mempunyai banyak cara dan berarti mengalokasikan kekuatan dan pengambilan keputusan. 

Hal ini tidak sama dengan idiologi, dimana memiliki dimensi nilai. Ini termasuk. tapi tidak terbatas pada suatu tipe pemerintahan dan sistem. Ini berarti juga bagaimana seseorang dalam ruang lingkup kecil membuat keputusan pada saat mereka tidak mempunyai pemimpin. Seorang penyuluh harus dapat mengenali tipe-tipe pemimpin dalam komunitas. Beberapa memiliki kewenangan tradisional, beberapa memiliki karisma dalam personalitasnya. Pada saat bekerja dalam komunitas masyarakat, penyuluh harus dapat mengembangkan kekuatan yang ada dan sistem pengambilan keputusan untuk membuat kesatuan didalam komunitas. 

 Dimensi institusi sosial dari budaya dibuat dari cara orang berperilaku, berinteraksi sesamanya, bereaksi, dan apa yang diharapkan dari reaksi orang lain. Untuk penyuluh atau seorang yang menjadi penggerak harus tahu mengenai institusi lokalnya, apa yang menjadi perbedaan peran antara pria dan wanita, apa bentuk interaksi sosial yang terjadi. Sedangkan dimensi nilai estetika dari budaya merupakan struktur dari ide-ide, kadang paradoks, ketidakpastian atau kontradiksi, yang dimiliki seseorang mengenai baik atau buruk, cantik dan jelek, benar atau salah, dan apa yang menjadi penjelasan mereka mengenai hal tersebut. Dimensi konsep kepercayaan dari budaya juga merupakan struktur dari ide-ide, kadang kontradiksi, yang dimiliki manusia mengenai alam semesta, dunia sekitar mereka, peran mereka didalamnya, sebab dan akibat, dan kebiasaan, etika dan waktu. 

Penyuluh perlu menyadari kepercayaan apa yang umum di masyarakat. Untuk menjadi katalisator yang efektif, seorang penyuluh harus membuat saran dan menyarankan sebuah tindakan yang tidak melanggar kepercayaan umum, dan harus konsisten, dan setidaknya pantas untuk kepercayaan yang ada. Hal penting yang harus diingat adalah untuk setiap komunitas, setiap masyarakat, setiap institusi, setiap interaksi antara individu, memiliki elemen dari budaya, dan juga termasuk dimensi budaya tersebut. Semua ini dipelajari sejak lahir. Untuk penyuluh dan pihak yang berhubungan dengan kegiatan pengembangan, bagian penting dalam semua proses ini adalah keterkaitan antara masing-masing dimensi sosial. Untuk mengubah salah satu dimensi akan berakibat pada dimensi yang lain. 

Mempelajari cara baru dalam melakukan sesuatu akan membutuhkan proses pembelajaran lagi terhadap nilai dan persepsi yang baru pula. Untuk mengabaikan keterkaitan tersebut pada saat mengenalkan teknologi baru tersebut adalah sangat beresiko sebab hasil yang tidak diinginkan atau tidak diharapkan dapat terjadi. Keterkaitan antara dimensi-dimensi budaya adalah mudah namun tidak mudah untuk di prediksi. Seorang penyuluh harus segera sadar bahwa kita secara berkala perlu melakukan penelitian, analisa, berbagi ide, membaca dan menghadiri pelatihan atau seminar dalam masyarakat. Dengan bekerja pada suatu komunitas, seorang penyuluh dapat banyak belajar dan lebih memahami budaya setempat dan dinamika dalam dimensi-dimensi social budaya mereka. (NDK107). Sumber Bartle, P, PhD. 2007. Community Empowerment Collective Module. Diterjemahkan oleh Ahmad Yunus AWS. (http://cec.vcn.bc.ca)

Mengenal “MASAMO”, Lele Asal Mojokerto

Mengenal “MASAMO”, Lele Asal Mojokerto

Permintaan global terhadap ikan dan produk perikanan lainnya dalam sepuluh tahun terakhir meningkat, terutama setelah munculnya wabah penyakit sapi gila, flu burung, serta penyakit kuku dan mulut. Disamping itu, sekarang ini sedang terjadi perubahan kecenderungan konsumsi dunia dari protein hewani ke protein ikan. Komoditi perikanan merupakan komoditi ekspor dimana kebutuhan ikan dunia meningkat rata-rata 5 persen per tahun. Kebutuhan ikan dunia pada tahun 1999 berjumlah 126 juta ton per tahun dengan kenaikan rata-rata 2,8 juta ton per tahun. Tujuh puluh persen nilai tersebut dikonsumsi untuk pangan. 

Dalam tahun 2004, kebutuhan ikan dunia sudah mencapai 140 juta ton. Lebih lanjut, diketahui bahwa kebutuhan ikan segar dunia naik mencapai 45 persen (FAO). Dari jumlah tersebut, market share Indonesia hanya 3,57 persen. Namun bila dibandingkan antara yang terjadi di negara-negara maju dengan di Indonesia, tingkat konsumsi ikan rata-rata per kapita per tahun di Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Malaysia berturut-turut adalah 80, 70, 65, 60, 35, dan 30 kg. Sedangkan tingkat konsumsi ikan rata-rata bangsa Indonesia pada tahun 1997 sebesar 19,05 kg/orang/tahun, dan pada tahun 2001 konsumsi ikan rata-rata nasional meningkat menjadi 22,27 kg/kapita per tahun. Dengan demikian pada tahun 2001 di Indonesia saja dibutuhkan 4,4 juta ton ikan. Dengan penduduk sekitar 220 juta jiwa dan cenderung akan terus bertambah, Indonesia menjadi negara terpadat dan terbesar nomor empat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Angka ini memberikan gambaran yang nyata bahwa kebutuhan pangan akan terus meningkat. 

Konsumsi ikan pada masa mendatang diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan otak. Sebagaimana gambaran di atas, konsumsi ikan di Indonesia dalam periode tahun 1997 sampai dengan 2001 meningkat yaitu dari 19,05 kg per kapita per tahun menjadi 22,27 kg per kapita per tahun. Dengan adanya peningkatan rata-rata sebesar 2,67 persen per tahun, kecenderungan peningkatan konsumsi ikan juga terlihat sampai tahun-tahun mendatang. Permintaan benih lele nasional telah meningkat dari 156 juta ekor pada tahun 1999 menjadi 360 juta ekor pada tahun 2003 atau meningkat rata-rata sebesar 46% per tahun. Kebutuhan benih lele hingga akhir tahun 2009 diperkirakan mencapai 1.95 miliar ekor, oleh sebab itu pembenihan lele adalah usaha yang sangat prospek untuk kedepannya. 

Alasan utama sebagian besar masyarakat melakukan budidaya ikan lele antara lain adalah perputaran uang untuk usaha lebih cepat dengan rentabilitas relatif tinggi, risiko budidaya relatif kecil, serta kecenderungan pola makan masyarakat yang bergeser pada bahan pangan yang sehat, aman dan tidak berdampak negatif terhadap kesehatan menjadi stimulan bagi peningkatan permintaan ikan termasuk ikan lele. Kualitas induk lele di Indonesia yang sudah sangat menurun, membuat waktu budidaya semakin lama serta kualitas benihnya pun kurang bagus. Hal itu tidak terlepas dari kualitas induk. Induk lele saat ini kebanyakan keturunan strain dumbo, lele hibrida yang diintroduksi pada 1986. 

Nyaris tanpa introduksi strain baru dalam waktu 15 tahun, kecuali Sangkuriang pada 2004, penurunan kualitas genetik induk pun tidak terelakkan karena banyak terjadi perkawinan sedarah (inbreeding). Akibatnya Lele semakin panjang umur budidayanya, semakin rentan terhadap perubahan iklim, tingkat stresnya semakin tinggi, kemudian efisiensi pakannya semakin rendah. Seperti diketahui, kualitas lele Dumbo yang ada saat ini telah jauh menurun dibanding ketika pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1985. Penurunan kualitas tersebut terindikasi dari lele dumbo yang kini gampang terserang penyakit, survival rate benih lele rendah, efisiensi pakan rendah di sisi pembesaran serta laju pertumbuhannya yang lambat. 

Lele Masamo merupakan hasil pengumpulan sifat berbagai plasma nutfah lele dari beberapa negara. Antara lain, lele asli Afrika, lele Afrika yang diadaptasi di Asia, Clarias macrocephalus/ bighead catfish yang merupakan lele Afrika dan di kohabitasi di Thailand, dan lele dumbo (brown catfish), sehingga total ada 7 strain lele yang digunakan. Lele Afrika dikenal memiliki kecepatan pertumbuhan dan ketahanan tubuh yang tinggi. Sedangkan lele Afrika yang telah mengalami kohabitasi domestik di Asia/ Asia Tenggara memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan dan tahan terhadap penyakit lokal. Selain itu ada juga strain yang memiliki produktivitas telur tinggi (spawning rate) dan ada pula yang lebih tinggi efisiensi pakannya. Matahari Sakti telah mendirikan unit pembenihan lele dengan tujuan untuk menghasilkan lele unggul yang kemudian selanjutnya dikenal sebagai lele Masamo. PT Matahari Sakti hanya mendistribusikan induk dan benih lele Masamo saja. Lele Masamo yang beredar sekarang sudah generasi kedua. Benih sebar yang diperuntukkan bagi budidaya pembesaran konsumsi atau yang umum disebut Final Stock (FS) dari breeding Masamo, memiliki sifat bertubuh besar, rakus makan tapi tetap efisien, keseragaman tinggi, stress tolerance tinggi, ketahanan penyakit tinggi, dan sifat kanibal rendah. Untuk sifat induk atau Parent Stock (PS) ditambah dengan spawning rate yang tinggi. 

Lele Masamo memiliki ciri khas fisik cukup berbeda dengan lele Dumbo, Sangkuriang dan Phyton yang lebih dulu beredar. Kepala ikan lele Masamo lebih lonjong, menyerupai sepatu pantofel model lama. Sirip (patil) lebih tajam, badan lebih panjang dan berwarna kehitaman. Ketika stres, muncul warna keputih-putihan atau keabu-abuan. Terdapat bintik seperti tahi lalat di sekujur tubuh masamo yang berukuran besar, memiliki tonjolan di tengkuk kepala, serta bentuk kepala lebih runcing. Pada induk, tonjolan di tengkuk terlihat nyata. Sangat berbeda dengan induk jenis lain, sehingga jenis lele Masamo tak mungkin bisa dipalsukan. Tetapi saat masih berukuran benih, secara fisik lele Masamo susah dibedakan dengan benih lele varietas lain. Bedanya dapat dilihat pada sifat. 

Masamo lebih agresif dan nafsu makan lebih kuat. Sehingga jika manajemen pakan tidak bagus bisa berakibat pada kanibalisme. Karena itu benih Masamo hanya dipasarkan kepada pembudidaya pembesaran yang serius, bukan yang tradisional. Lele ini dinilai lebih unggul dibanding dengan jenis lele lain karena dirasakan lebih tahan terhadap berbagai penyakit serta mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan mampu bertahan di iklim yang ekstrim, dagingnya pun lebih enak jika dibandingkan dengan jenis lele lain. Selain itu kelebihan lele Masamo dibanding strain sangkuriang/ paiton/ phyton/ dumbo adalah lebih cepat besar (rakus), panen lebih cepat sehingga untung lebih banyak, semakin irit pakan sehingga pengeluaran jadi lebih kecil dan untung pun menjadi lebih banyak. Namun sayang ikan Lele jenis masamo belum digunakan secara umum oleh pembenih di Indonesia. 

Oleh sebab itu usaha pembenihan lele masamo ini seyogyanya wajib dikembangkan untuk membantu memenuhi kekurangan benih lele yang unggul dan berkualitas dan meningkatkan produktifitas ikan lele nasional. Budidaya ikan lele masamo khususnya pembenihan pada saat ini memang harus ditingkatkan, karena : 
1) budidaya ikan lele Masamo layak untuk dijalankan, 
2) kebutuhan nasional akan benih lele yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, 
3) daya tarik petani yang tinggi terhadap jenis ikan lele yang baru, 
4) jumlah petani pembenih yang masih sedikit, 
5) kualitas benih di pasaran yang kurang bagus dilihat dari kecepatan pertumbuhan dan ketahanannya terhadap serangan penyakit. 

Oleh karena itu, dalam proses breeding ini unit pembenihan lele Masamo di Mojokerto mendapat supervisi dari BBPBAT Sukabumi serta pakar dari kalangan akademik dan universitas. Hingga 2011 tak kurang dari 5 strain unggul ikan lele sedang dikembangkan hatchery Masamo di Mojokerto. Proses pengembangan tersebut masih terus dilanjutkan agar kualitas lele Masamo menjadi lebih baik lagi. (NDK107). Sumber Rangkuman: Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK). 2010. Budidaya Pembesaran Ikan Lele. Bank Indonesia. Ro’uf, M.A., Taif, M., Reni, F., dan Shofiatun. 2013. “MASAMO” Benih Lele Berkualitas dan Tahan Banting. Fakultas Pertanian, Fakultas Akuntansi dan Fakultas Ekonomi Universitas Wahid, Semarang.

Bagaimana membentuk Kelompok?

Bagaimana membentuk Kelompok? Sebuah kelompok berarti beberapa orang (minimal lima orang) yang datang bersama dengan dasar bebas atau sukarela, dan dengan semangat kerjasama yang diekspresikan dengan saling mencintai dan saling memandu, saudara perempuan/ laki-laki, keadilan dan kejujuran; untuk bekerja bersama dengan tujuan meraih keuntungan sosial dan ekonomi. Pembentukan kelompok bertujuan untuk peningkatan penghasilan. Dibutuhkan kelompok untuk mengatur dan memandu kegiatan, (b) untuk mempromosikan dan mendorong investasi dan tabungan, 
(c) untuk pelatihan anggota dalam keahlian yang diperlukan, dan 
(d) untuk menyalurkan dana yang dibutuhkan untuk usaha kecil pribadi. 

Banyak alasan mengapa orang-orang bersedia bergabung dalam suatu kelompok, diantaranya adalah: Dalam sebuah kelompok, anggota mempunyai akses untuk mendapatkan barang dan pelayanan yang lebih mudah daripada mereka memiliki usaha sendiri, Anggota kelompok secara bersama-sama memanfaatkan sumberdaya yang langka, milik pribadi dan mereka mengaturnya sendiri dengan tujuan untuk bertarung melawan kemiskinan, kelangkaan makanan, ketidakberdayaan seseorang secara individu untuk melawan tekanan pasar, pengangguran dan harga diri yang rendah, Kelompok dapat belajar tentang usaha perikanan bersama-sama, meningkatkan keahlian seperti manajemen usaha dan pemecahan masalah, Kelompok berguna sebagai mekanisme penerima sumberdaya dari Pemerintah dan institusi pengembangan lainnya Melalui kelompok, anggota dapat mengurangi kelalaian melalui pengambilan resiko bersama dan mampu menyediakan saluran untuk informasi. 

Oleh karena itu tugas penyuluh sebagai penggerak di masyarakat adalah untuk meningkatkan motivasi dan tindakan komunitas masyarakat serta kelompok agar mengetahui arti dari mengumpulkan upaya dalam memecahkan masalah yang terlihat mustahil dipecahkan dengan upaya sendiri, namun secara sukarela akan memberikan upaya mereka di dalam kelompok. 

Alasan utama pembentukan sebuah kelompok adalah interaksi fisik yang didasarkan atas suatu kebutuhan atau masalah. Semakin tinggi tingkatan seseorang untuk berbagi aktivitas mereka akan semakin berinteraksi dan semakin tinggi kemungkinan mereka untuk membentuk sebuah kelompok. Interaksi memungkinankan seseorang untuk menemukan minat, kesukaan dan ketidaksukaan, sikap atau perasaan yang umum. 

Ada faktor lain yang mendorong pembentukan kelompok, seperti: Pendekatan fisik: Orang-orang yang tinggal di desa yang sama akan membentuk satu kelompok daripada orang-orang yang tinggal di desa lain, Ketertarikan fisik: Individu yang saling tertarik secara fisik satu dengan yang lain akan cenderung membentuk kelompok, misalnya anak-anak muda yang penuh semangat, Penghargaan: Terpuasnya kebutuhan ekonomi dan sosial, Dukungan sosial: mungkin diberikan oleh anggota kelompok di saat kritis. Dalam membentuk sebuah kelompok untuk meningkatkan penghasilan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni: Keanggotaan harus bersifat terbuka dan sukarela Tidak ada campur tangan dengan politik dan agama Anggota harus bersama merasakan bahwa mereka ingin membentuk sebuah kelompok untuk meraih tujuan mereka Kelompok haruslah dikontrol secara demokratis oleh anggota umum Anggota harus diinformasikan dan diberitahu. 

Keahlian dan sikap pribadi penyuluh, sebagai penggerak, dalam membentuk sebuah kelompok juga sangat penting. Sebagai penggerak, seorang penyuluh membutuhkan: Kesabaran: Orang-orang cenderung untuk berubah secara perlahan; jangan mencoba untuk terlalu mempercepat proses Empati: Penyuluh membutuhkan pengertian tentang anggota masyarakat dan masalah-masalah yang dihadapi mereka; kemampuan untuk melihat dari segi pandang mereka Pengetahuan Bisnis: Penyuluh membutuhkan pengertian bisnis secara cermat tentang aktifitas kelompok di masa yang akan datang, dan kemampuan untuk menjelaskannya secara sederhana Komitmen: Penyuluh harus yakin secara cermat tentang nilai tindakan yang dilakukan dan kemauan untuk melakukannya sebaik-baiknya Nyata: Penyuluh harus dapat memberikan bantuan secara nyata Menghormati: Masyarakat mungkin miskin tetapi mereka tidaklah bodoh dan recent the “big master” dan mungkin mempunyai kecenderungan untuk ingin tahu “tentang semuanya”; pendekatan Kejujuran dan Integritas: Sebagai penggerak, reputasi seorang penyuluh merupakan modal terpenting Membentuk sebuah kelompok membutuhkan waktu dan keahlian. Penyuluh harus melakukan kunjungan secara berkala ke masyarakat dimana kelompok tersebut dibentuk dan memberikan waktu untuk berbincang-bincang dengan mereka dan mencoba untuk mengenal mereka lebih jauh. Kesuksesan dan kelanjutan kelompok sangat sulit untuk dibentuk.

Langkah-langkah dibawah ini sebaiknya dilakukan untuk mengetahui ketertarikan orang-orang untuk membentuk sebuah kelompok dalam masyarakat: Melakukan pertemuan dengan Pejabat Daerah dan Tetua Masyarakat (Pendekatan dengan ketua daerah, dan tetua masyarakat untuk memperkenalkan program dan meminta untuk melakukan sebuah pertemuan dengan seluruh anggota masyarakat yang tertarik) Melakukan pertemuan dengan anggota masyarakat (Melakukan pertemuan dengan anggota masyarakat untuk mendiskusikan misi secara keseluruhan; apa yang ingin dilakukan, kelompok seperti apa yang ingin dibentuk) Melakukan pertemuan dengan Anggota yang Tertarik (Menentukan tanggal lain untuk bertemu dengan anggota (pria dan wanita) dari masyarakat yang tertarik dan mau berpartisipasi dalam program. Catat nama, alamat, umur dan aktifitas yang mereka lakukan termasuk tingkatan aktifitas) 

Syarat-syarat Keanggotaan Kelompok: 
Anggota dari sebuah kelompok mungkin terdiri dari kedua jenis kelamin, minimal 18 tahun, dengan tujuan yang umum (misal untuk menjadi wiraswastawan bebas), 
terikat dalam aktitifas yang sama atau berhubungan, dan 
berkemauan untuk berkumpul dan bekerja bersama. 

Sebuah kelompok dapat lebih aktif dan kuat jika anggotanya telah terikat dalam suatu aktifitas, dapat menerima anggota kelompok lain, bertanggung jawab, mengerti dan berbagi tujuan untuk mengentaskan kemiskinan, jujur dan berperilaku baik serta bekerja keras. Menghindari orang-orang dengan karakteristik yang dapat menyebabkan kerusakan dan kegagalan sebuah kelompok seperti pemabuk, memiliki ketagihan obat-obatan, penghutang buruk, pemalas dan tidak jujur. Sebagai penyuluh, bukan tugas kita untuk mendikte siapa yang seharusnya dan tidak seharusnya tergabung dalam kelompok. Penyuluh hanya perlu membimbing kelompok dalam pembentukannya saja. Orang-orang dengan karakteristik negatif cenderung untuk meninggalkan pembentukan kelompok dan mereka yang memiliki atribut yang positif cenderung untuk bergabung. Ketika ada anggota yang komplain karena mereka tidak diikutkan dalam suatu Kelompok, maka penyuluh secara mudah dapat mengatakan alasannya adalah karena mereka tidak disetujui sebagai anggota kelompok setelah dilakukan rapat kelompok. Sumber: Bartle, P, PhD. 2007. Community Empowerment Collective Module. Diterjemahkan oleh Arny Wahyuni. (http://cec.vcn.bc.ca)

“NAJAWA” Ikan Mas Merah Varietas Unggul Asal Yogyakarta

“NAJAWA” Ikan Mas Merah Varietas Unggul Asal Yogyakarta Guna lebih memperkaya jenis dan varietas Ikan Mas yang beredar di masyarakat, telah dihasilkan Ikan Mas Merah Najawa sebagai jenis ikan baru hasil domestikasi yang dilakukan oleh Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam rangka menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya serta peningkatan produksi, pendapatan, dan kesejahteraan pembudidaya ikan, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melepas Ikan Mas Merah Najawa ke masyarakat yang tertuang dalam Kepmen No. 41/Kepmen KP/2014, tanggal 22 Juli 2014. najawa jantan Induk Najawa Jantan najawa betina Induk Najawa Betina Secara taksonomi, ikan mas Najawa masuk dalam kerajaan Animalia; filum Chordata; kelas Actinopterygii; ordo Cypriniformes; famili Cyprinidae; genus Cyprinus dan spesies Cyprinus carpio L.

Keunggulan yang dimiliki ikan ini adalah memiliki warna merah, mempunyai deskripsi yang baik dan lengkap yang meliputi morfologi, fisiologi, daya hasil, daya adaptasi, mutu hasil, dan sifat-sifat lain yang dianggap perlu, serta tersedia induk untuk pengembangan dan perbanyakan lebih. Dari segi ketahanan terhadap penyakit, ikan mas Najawa tahan terhadap bakteri sebesar LD50 (cfu) dan tahan Aeromonas hydrophilla sebesar 3,16 x 106. Memiliki kualitas daging (bagian edible) pada Dressing Precentage 53,72% dan ketebalan daging 32,9%. Sedangkan hasil uji proksimat Protein sebesar 17,758 ± 0,866, Lemak sebesar 0,428 ± 0,246, Abu sebesar 1,383 ± 0,119, Air sebesar 78,938 ± 0,891 dan Karbohidrat sebesar 1,493 ± 0,891. 

Ikan Mas Merah Najawa merupakan ikan Mas yang dimiliki oleh Balai Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan Cangkringan Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta sejak tahun 1970 kemudian dilakukan perbanyakan dan seleksi hingga tahun 2013. Sebagai salah satu ikan varietas unggul nasional. Nama Ikan Mas Merah Najawa adalah pemberian dari Bapak Gubernur dari kepanjangan “Mina Jogja Istimewa”. Diperkirakan, ikan jenis ini memiliki jarak kekerabatan yang jauh dengan ikan mas jenis lain.

Berdasarkan karakteristik genetik dengan uji DNA, ikan mas merah ini sangat jauh kekerabatannya dengan ikan mas Rajadanu, Majalaya, Sinyonya, Wildan dan Sutisna. Jadi bisa dikatakan ikan ini masih benar-benar murni jenisnya dan berasal dari daerah Cangkringan. Ikan Mas Merah Najawa memiliki ciri khas warna merah menyala dan bentuk tubuh bulat memanjang. Maka tak heran jika ikan mas merah dewasa bisa tumbuh seberat 4 kilogram dan panjangnya bisa mencapai 50 centimeter. Sejak 2010 hingga 2013 dilakukan domestikasi.

Ikan ini diuji karakteristiknya, baik pertumbuhan, produksi dan ketahanannya terhadap penyakit. Setelah diajukan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, ikan mas merah Cangkringan lolos uji pada November 2013. Hingga mendapatkan legalitas dari pemerintah sebagai ikan varietas unggul nasional. Ikan Mas Merah Najawa telah mendapatkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor Nomor : 41/Kepmen KP/2014, tanggal 22 Juli 2014. Budidaya Ikan Mas Najawa dilakukan melalui 2 tahapan yaitu penggelondongan dan pembesaran. Penggelondongan merupakan tahap memelihara benih ukuran 3 – 5 cm hingga berukuran 9 – 12 cm dengan pemeliharaan selama 2 bulan. Pemanenan dilakukan setelah waktu pembesaran 3 bulan saat rata-rata bobot mencapai 300 gram. Permintaan Ikan Mas Najawa mengalami penaikan seiring dengan bertambahnya pembudidaya Ikan Mas Najawa.

Ikan Mas Najawa banyak disukai masayarakat karena karena warnanya yang menarik selain itu semakin tingginya kesadaran masyarakat dalam pemenuhan gizi. Analisis usaha budidaya ikan ini pada kolam seluas 400 m2 dg padat tebar 25 ekor/m2 selama 4 bulan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 11.150.000,00. Karakteristik Induk induk betina yakni mencapai dewasa dan matang gonad pertama kali pada umur 12 bulan, awal mencapai dewasa pada ukuran bobot 1 kg dengan awal mencapai dewasa pada ukuran panjang 37,23 ± 1,76 cm. Fekunditas telur 110.000 ± 14.525 butir untuk induk berukuran 2 kg dengan ukuran telur 1,28 ± 0,11 mm diameter telur bagian terpanjang.

Sedangkan karakteristik induk jantan yakni mencapai dewasa dan matang gonad pertama kali pada umur 8 bulan, awal mencapai dewasa pada ukuran bobot 0,5 kg. Awal mencapai dewasa pada ukuran panjang 33,10 ± 1,46 cm. Saat ini tersedia induk betina sebanyak 96 ekor, calon induk betina 98 ekor, induk jantan (Sukabumi) 54 ekor dan calon induk jantan 65 ekor.

Adapun Karakteristik Meristik, Karakteristik Morfometrik, ikan mas Najawa dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 dibawah ini: Tabel 1. Karakteristik Meristik No Parameter Nilai 1 Jumlah sungut (pasang) 2 2 Sirip Ø Dorsal (D) D.I.16-19 Ø Pectoral (P) P.I.12-14 Ø Ventral (V) V.8-10 Ø Caudal (C) C.18-20 Ø Anal (A) A.I.5-6 3 Panjang standar (cm) 32,90 ± 1,61 Panjang kepala (cm) 10,58 ± 0,80 Jarak mata kanan – kiri (cm) 5,38 ± 0,51 Tinggi pangkal ekor (cm) 5,60 ± 0,69 Panjang sirip ekor (cm) 15,3 ± 1,15 Tebal badan (cm) 6,45 ± 0,36 Diameter mata (cm) 1,23 ± 0,05 Tinggi badan (cm) 12,10 ± 0,48 Jumlah linealateralis (buah) 32-35 Bobot badan (gram) 2.317,74 ± 875,83 Tabel 2. Karakteristik Morfometrik No Parameter Jantan Betina 1 Panjang kepala (cm) 10,54 ± 0,97 13,23 ± 1,01 2 Panjang standar (cm) 41,92 ± 3,63 50,57 ± 3,32 3 Panjang total (cm) 45,88 ± 4,35 55,53 ± 4,14 4 Tinggi badan (cm) 12,41 ± 1,14 15,69 ± 1,49 5 Tebal badan (cm) 7,52 ± 0,80 11,23 ± 2,33 6 Bobot badan (kg) 1,55 ± 0,56 2,91 ± 0,50 7 Panjang kepala: panjang standar (%) 25,21 26,16 8 Tinggi badan: panjang standar (%) 29,66 31,07 9 Tebal badan: panjang standar (%) 17,98 22,21 10 Bobot badan: panjang standar (%) 3,60 5,75 Sumber: Kepmen Nomor 41/Kepmen-KP/2014 tentang Pelepasan Ikan Mas Merah Najawa (KR Jogja dalam http://www.bibitikan.net/najawa-ikan-mas-merah-varietas-unggulan-asal-cangkringan/)

Serangan White Feces Disease pada Udang

Serangan White Feces Disease pada Udang 

Kemunculan penyakit White Feces Disease (WFD) atau yang biasa dikenal dengan “Berak Putih” sangat meresahkan pembudidaya udang dan belum diketahui seluk beluknya. Padahal penyakit ini adalah salah satu penyakit yang harus diwaspadai dan segera ditangani. Hal ini karena sekitar 3 – 5 tahun yang lalu di Negara Vietnam dan Thailand setelah ditemukan WFD, tidak lama kemudian muncullah Early Mortality Syndrome (EMS) yang menumbangkan produksi udang di kedua Negara tersebut. Berdasarkan identifikasi bakteri yang pernah dilakukan di Laboratorium milik Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, pada hepatopankreas, usus dan hemolimp udang yang terserang WFD, ditemukan Vibrio algynoliticus dan Vibrio parahaemolyticus. 

Sebenarnya pada udang yang sehat pun kedua jenis bakteri ini juga ditemukan pada hepatopankreas dan usus (tidak pada hemolimp), hanya saja jumlahnya tidak sebanyak pada udang yang sakit. Diduga sementara bakteri Vibrio yang sudah ada dalam tubuh udang tersebut berubah menjadi pathogen pada saat mendominasi lingkungan dan masuk melalui makanan yang dikonsumsi udang pada media (air) yang mengandung kedua bakteri tersebut. Berikut adalah beberapa penampakan hepatopankreas udang yang terkena White Feces Disease (WFD) di Kabupaten Tuban, seperti yang disampaikan dalam seminar yang diadakan oleh Shrimp Club Indonesia. Picture1hh Hepatopankreas berwarna putih dan lembek Picturdde1 Kondisi Hepatopankreas udang sehat (Kiri) dan udang terserang WFD (Kanan) Sebelum serangan WFD terjadi, air tambak berwarna cenderung hijau pekat, hijau gelap dan terkadang terjadi juga pada tambak yang airnya berwarna cokelat. Serangan juga ditemukan pada tambak yang mengalami perubahan warna air secara mendadak dari hijau ke cokelat atau sebaliknya. Warna hijau pada air tambak menunjukkan dominasi plankton jenis Chlorophyceae. Perubahan dari hijau cerah ke hijau gelap atau bahkan ke arah biru menunjukkan pergeseran dominasi Blue Green Algae (BGA) yang sangat membahayakan udang. Ada juga kasus pada air yang berwarna cokelat tua kemerahan akibat dominasi Dinoflagellata. Kehadiran BGA, Dinoflagellata dan mikroorganisme lain di tambak juga dipengaruhi oleh rasio senyawa yang mengandung unsur Nitrogen dan Phosphor (N/P ratio). 

Disaat fluktuasi kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/ DO) dan keasaman (pH) melebar, nafsu makan udang menurun dan sudah dipastikan bahwa jumlah bakteri Vibrio meningkat. Udang akan berubah memucat atau keputihan dan seringkali ditemui kekakuan pada tubuh udang. Penyebabnya adalah keracunan toxin BGA dandinoflagellata. Saat udang melemah itulah, diduga Vibrio yang populasinya telah “meledak” lebih mudah menginfeksi organ dalam udang sehingga timbul WFD. Beberapa laporan dari jurnal ilmiah memaparkan temuan awal kejadian WFD diawali dari salinitas air tambak 3 – 5 permil (‰). Kasus banyak terjadi pada tambak dengan kepadatan udang tinggi, sisa pakan tinggi, suhu lebih dari 320C dan kadar bahan organik tinggi. Sementara itu kematian tinggi terjadi saat oksigen terlarut kurang dari 3 mg/l (ppm) dan alkalinitas (kesadahan) kurang dari 80 mg/l (ppm). 

Saat itu akan terlihat feces udang berwarna putih melayang di permukaan air tambak. Perlu dilakukan penanganan Blue Green Algae yang artinya kita memanajemen air di tambak, agar BGA tidak muncul kembali. BGA ini akan dominan jika di tambak terdapat banyak kista BGA, N/P ratio 5 – 10, potensial redoks lumpur kurang dari -150mV, Total Organik Material (TOM) tinggi serta oksigen terlarut rendah. BGA mengambil unsur Nitrogen (N) dari udara, bukan dari air. Sebagai plankton perintis, BGA sebenarnya tidak bisa dibasmi tuntas karena membentuk kista. Parahnya, kista BGA ini dapat menempel bahkan masuk ke pori-pori semen, tanah dan tongkat kincir air. Hal ini karena kista terbuat dari karbonat, sehingga tidak akan bisa ditembus oleh klorin namun bisa ditembus oleh asam.

Oleh sebab itu, beberapa pembudidaya udang telah menggunakan asam kuat yang murah seperti HCL untuk membunuh sisa kista BGA pada saat persiapan tambak. Hingga saat ini penyebab WFD belum ditemukan.  

Perlakuan yang disarankan dari beberapa riset dan pengalaman di lapangan adalah 
(1) menurunkan padat tebar udang sehingga otomatis akan menurunkan sisa kandungan bahan organik; 
(2) meningkatkan kualitas air tambak, khususnya kadar oksigen terlarut agar lebih dari 3 mg/l (ppm) dan alkalinitas lebih dari 80 mg/l (ppm); 
(3) menyediakan luasan tambak untuk tandon air guna menyelamatkan kualitas air demi kelangsungan budidaya udang di tambak; dan 
(4) menggunakan probiotik selektif (mengandung bakteri tertentu). 

Contohnya menggunakan probiotik Bacillus subtilis yang terbukti mampu menekan pertumbuhan bakteri Vibrio. Berbeda pendapat, salah satu manajer farm tambak di Banyuwangi mengatakan bahwa pada kasus WFD udang mati selain karena serangan infeksi, juga karena toxin BGA. Toxin itu sendiri adalah protein, maka perlu dilawan juga dengan protein. Caranya adalah meningkatkan protein terlarut dalam air dengan meningkatkan N/P ratio menggunakan pupuk ZA (Zwavelzuur Ammonia). 

Penambahan Ammonium dari ZA tidak berbahaya karena udang itu tahan 30 ppm Nitrit, tidak seperti ikan yang hanya tahan 1 ppm. Pembudidaya tidak perlu takut dengan unsur Nitrogen, sebab jika sebaliknya malah akan menimbulkan masalah karena saat Nitrogen dibawah 0,5 ppm justru air tidak stabil jumlah plankton akan menurun. Jika Nitrogen turun berlebihan akibat over probiotik, maka udang akan moulting (ganti cangkang) dan mengalami soft shell (cangkang lunak). 

Hal ini karena bakteri Bacillus sp. mengeluarkan enzim Dekalsinasi. Over populasi Bacillus sp mengakibatkan enzim Dekalsinasi terlarut dalm air berlebihan sehingga mengganggu pembentukan cangkang pada udang. Disimpulkan bahwa ketidakstabilan kualitas air-lah pemicu booming-nya White Feces Disease. Namun itu bukanlah penyebab sebenarnya karena hanya merupakan representasi dari pola budidaya di tambak yang diterapkan. 

Petambak udang di Indonesia masih memiliki pola pikir bertambak secara reaktif yakni melakukan sesuatu kalau terjadi sesuatu sehingga dipengaruhi oleh kondisi tambak itu sendiri. Padahal seharusnya lebih mampu berprinsip prevensi, yaitu merencanakan apa yang diinginkan untuk tambak kita dan usaha apa saja yang harus dilakukan. Dengan kata lain kita melakukan upaya pencegahan untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi di tambak kita. Sebagai informasi saat ini telah ada obat-obatan untuk mencegah dan mengobati penyakit WFD ini, diantaranya adalah Pondstar-M yang memenuhi unsur yang dibutuhkan udang dalam proses pra, masa, serta pasca moulting, sehingga udang mempunyai ketahanan yang sempurna, serta mampu mencegah dan mengobati penyakit berak putih/ white feces, Soft Shell Syndrome dan meningkatkan Immunitas udang secara keseluruhan, sehingga udang mempunyai ketahanan terhadap serangan berbagai penyakit. Produk ini mengandung unsur mineral Na, Ca, Mg, Cl, I, S. dalam senyawa khusus yang seimbang. 

Selain itu juga mengandung C organik dan Sebagai penyeimbang produk. Pencegahan penyakitnya dengan cara pemberian sekali dalam sehari 3 gr/kg pakan, diberikan pada saat jam pakan yang paling cepat nafsu makannya. Sedangkan pengobatannya dengan pemberian 3 kali sehari 6 – 10 gr/kg pakan dengan catatan pakan diberikan 80% agar obat cepat terkonsumsi. Proses pengobatan selama 5 – 6 hari, sudah menunjukkan tanda- tanda perbaikan, setelah 9 hari baru 98% kesembuhan tercapai berlanjut peningkatan konsumsi pakan. Cara pemakaiannya yakni untuk 1 kg pakan, ambil 6-10 gr, tambahkan air 150 ml diaduk sampai rata, kemudian campurkan ke pakan serata mungkin, lalu biarkan kering angin. Hal ini dilakukan 30 menit sebelum pemberian pakan. Bertambak secara modern memerlukan rancangan tingkat produksi berdasar daya dukung (carrying capacity), sistem teknologi yang digunakan dan faktor resiko yang harus dipastikan sebelum melakukan persiapan tambak. 

Dengan demikian manajemen tambak dan standar prosedur operasional, mulai dari persiapan tambak, panen hingga tebar kembali dapat disusun dengan tepat dan faktor resiko diantisipasi lebih awal. (NDK107). sumber: Trobos Aqua: 15 Februari – 14 Maret 2015 https://pondstar.wordpress.com/ http://marjokotriwahyudi.blogspot.co.id/

Peluang dan Tantangan Budidaya Ikan Lele

Peluang dan Tantangan Budidaya Ikan Lele 

Seiring dengan meningkatnya permintaan ikan lele ukuran konsumsi oleh masyarakat, maka usaha budidaya ikan ini terus tumbuh dan berkembang. Dengan penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa dan dikaitkan dengan naiknya permintaan ikan sebagai salah satu bahan makanan sehat yang digemari, maka secara langsung memberikan peluang bagi pelaku utama dan pelaku usaha yang berkecimpung dalam budidaya ikan lele.

Akan tetapi masyarakat butuh ikan lele yang dibudidayakan dengan tata kelola budidaya yang benar, baik dari proses persiapan kolam hingga pascapanen. Dalam hal ini perlu campur tangan penyuluh perikanan dan instansi terkait untuk mensosialisasikan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) kepada pelaku utama dan pelaku usaha budidaya ikan lele. Berbeda dengan beberapa jenis ikan air tawar lain, pembesaran ikan lele cukup singkat karena dengan menebar benih ukuran 3-5 cm saja maka lele dapat dipanen dalam waktu 2,5 bulan. Usaha budidaya lele juga tidak membutuhkan lahan usaha yang luas, sebab di lahan terbatas pun dapat kita manfaatkan untuk budidaya lele seperti menggunakan kolam yang beralaskan terpal atau HDPE/ LDPE. 

Sumber air juga tidak terlalu sulit sebab dapat menggunakan air sumur atau air dari PDAM. Budidaya lele saat ini tidaklah sulit sebab sudah ada teknologi budidaya yang berkembang di masyarakat pembudidaya diantaranya dengan cara alami (natural water system), teknologi bioflok atau dapat juga dengan menggunakan probiotik untuk mempertahankan kualitas air tetap terjaga dengan baik. Produktivitas budidaya ikan lele saat ini dalam kondisi stabil. 

Untuk pembudidaya yang melakukan budidaya di kolam tanah menggunakan padat tebar 50-100 ekor/m2, di kolam beton padat tebar dapat mencapai 250 ekor/m2 dan bahkan saat ini berkembang dengan kolam bulat diameter 2,5 meter dengan dasar plastik terpal. Dengan teknologi budidaya terkini, pelaku utama bahkan ada yang menebar hingga kepadatan 500-1000 ekor/m3. Namun jika ingin melakukan padat tebar tinggi seperti hal tersebut, kita harus dapat memahami pengendalian kualitas air. Harga ikan lele selalu bervariasi tergantung di wilayah mana ikan ini dibudidayakan. 

Di Jawa Barat harga ikan lele berkisar Rp. 15.000 – 16.000 per kg size konsumsi 8-12 ekor per kg. Di Surabaya dengan ukuran yang sama dengan harga Rp. 13.500 – 14.000 per kg. Sedangkan di Manado harga ikan lele konsumsi sudah mencapai kisaran Rp. 22.000 – 25.000 per kg. Biaya pokok produksi berkisar Rp. 10.000 – 12.000. Artinya pembudidaya masih memperoleh margin keuntungan diatas 25%. Dalam budidaya ikan lele juga menghadapi tantangan. Sekitar 15 tahun yang lalu, memelihara ikan lele membutuhkan waktu sekitar 60 hari dengan capaian size yang sama. Namun saat ini memelihara ikan lele membutuhkan waktu lebih panjang yakni 2,5 – 3 bulan. Mundurnya waktu pemeliharaan ikan lele lebih utama disebabkan oleh faktor menurunnya kualitas genetik. Kehadiran lele strain Sangkuriang dan Masamo yang secara konsisten berbenah di pengelolaan broodstock (calon induk) sangat membantu budidaya lele. Yang lebih penting adalah pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah membuat terobosan dalam hal perbaikan genetik ikan budidaya. Hanya pemerintah yang memiliki fasilitas, ahli genetika dan punya dana untuk melakukan penelitian. Jika pemerintah tidak melakukan inovasi dan terobosan baru, bisa saja membudidayakan ikan akan lebih lama. Semakin lama budidaya ikan, maka akan semakin memberikan beban biaya produksi. 

Citra ikan lele memang tidak sebagus ikan air tawar lainnya seperti ikan nila, ikan mas, ikan gurami, ikan patin dan beberapa lainnya. Namun dengan kehadiran para pengusaha muda yang membudidayakan lele telah membuat citra lele semakin bagus. Oleh sebab itu tinggal pemerintah melalui penyuluh perikanan di setiap daerah perlu turun lapangan agar dapat mengetahui sejauh mana para pembudidaya menguasai teknologi budidaya ikan lele. Selain itu dapat juga mengajak pelaku utama agar mau melibatkan probiotik dan pemantauan kualitas air. Penyuluh perlu menegur bahkan melarang jika ada pelaku utama atau pelaku usaha yang melakukan cara budidaya ikan lele yang tidak sesuai pedoman Cara Budidaya Ikan yang Baik dan Benar (CBIB). 

 Tantangan berikutnya adalah harga ikan yang fluktuatif. Sebenarnya ini adalah kaitannya dengan supply dan demand. Jika pasokan barang berlimpah maka akan mempengaruhi harga pasar (cenderung harga murah), demikian sebaliknya. Hal ini juga rutin hanya terjadi pada bulan-bulan tertentu, seringnya di bulan Juni – Juli karena masyarakat mengutamakan belanja terkait pendidikan. Jika pada saat harga ikan turun, pelaku utama budidaya ikan lele yang konsisten akan tetap bekerja. Tetapi bagi pembudidaya yang usaha budidaya lele hanya sebagai sambilan, biasanya beristirahat sementara namun nantinya akan kembali aktif. Oleh karena itu, pembudidaya diharapkan tetap harus memiliki jiwa kewirausahaan, yakni tahan uji, penuh perhitungan, berani mengambil resiko dan mengelola usaha budidaya secara benar dengan berpedoman pada CBIB dan memiliki perencanaan yang matang.

Rabu, 29 Juni 2016

Geliat Lele MUTIARA di Tanah Air

Geliat Lele MUTIARA di Tanah Air'

Ikan lele merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya air tawar yang diprioritaskan pengembangan produksinya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka mendukung pencapaian peningkatan produksi perikanan budidaya. Budidaya ikan lele telah lama berkembang di Indonesia, diawali dengan menggunakan spesies ikan lele lokal. Indonesia memiliki cukup banyak spesies ikan lele. Hingga saat ini terdapat 17 spesies ikan lele lokal Indonesia yang telah diidentifikasiIkan. Diantara spesies-spesies ikan lele lokal Indonesia tersebut, Clarias batrachus merupakan spesies yang telah lama berhasil dibudidayakan, mulai teknologi pembenihan hingga pembesarannya diikuti oleh Clarias meladerma. 

Namun demikian, secara umum spesies-spesies ikan lele lokal tersebut memiliki laju pertumbuhan yang rendah dan tidak toleran terhadap patogen, sehingga budidayanya tidak berkembang. Sejarah Introduksi Lele di Indonesia Selain spesies-spesies ikan lele lokal tersebut, introduksi spesies ikan lele dari luar negeri ke Indonesia juga telah dilakukan. Introduksi tersebut diawali dengan introduksi spesies ikan lele Afrika, yakni Clarias gariepinus Burchell pada tahun 1985 dari Belanda ke Universitas Brawijaya, Malang. Pada tahun 1985 juga telah terjadi introduksi ikan lele Afrika melalui Taiwan yang dilakukan oleh PT Cipta Mina Sentosa di Jakarta, yang selanjutnya populer sebagai ikan lele Dumbo. Selanjutnya, introduksi spesies ikan lele Afrika Clarias gariepinus tersebut banyak dilakukan, baik secara langsung maupun melalui negara-negara lain. Introduksi spesies ikan lele yang lain adalah spesies ikan lele Indochina (Asia), yakni Clarias macrocephalus Gunther pada tahun 2010 dari Thailand yang dilakukan oleh PT Matahari Sakti di Mojokerto, Jawa Timur. Spesies ikan lele Clarias macrocephalus tersebut masih dalam tahap domestikasi dan riset di hatchery ikan lele PT. Matahari Sakti. Spesies ikan lele Afrika Clarias gariepinus merupakan spesies ikan lele yang sangat potensial sebagai komoditas perikanan budidaya. 

Hal ini dikarenakan spesies ikan lele Afrika tersebut memiliki banyak keunggulan, antara lain: 
•Daya adaptasinya tinggi sehingga bersifat kosmopolitan, yakni dapat hidup di daerah tropis hingga subtropis, dapat hidup di daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, di perairan tawar hingga sedikit payau, 
•Dapat hidup dalam air yang kualitas dan kuantitasnya terbatas, 
•Dapat hidup dalam perairan yang beroksigen rendah dan memanfaatkan gas oksigen langsung dari udara, •Pemakan segala (omnivora) yang oportunis, memiliki jenis makanan yang berspektrum luas, termasuk limbah pertanian, rumah tangga dan industri makanan, 
•Efisiensi pemanfaatan pakannya tinggi, sehingga laju pertumbuhannya tinggi, jauh melebihi pertumbuhan spesies-spesies ikan lele lokal Asia, 
•Relatif tahan terhadap patogenitas, 
•Tahan terhadap padat penebaran yang tinggi maupun terhadap stress, 
•Berfekunditas tinggi sehingga mendukung dalam produksi massalnya, 
•Mudah memijah secara alami dan buatan, 
•Dapat dipijahkan sepanjang tahun, 
•Harganya relatif tinggi, dapat dijual dalam kondisi hidup, 
•Rasa dagingnya enak dan dapat diterima serta diminati oleh konsumen. Introduksi spesies ikan lele Afrika Clarias gariepinus ke Indonesia telah banyak dilakukan. 
Namun sayangnya, introduksi-introduksi tersebut hampir tidak pernah tercatat dalam dokumentasi ataupun laporan-laporan ilmiah, sehingga ketidakjelasan riwayat, silsilah dan status strain-strain tersebut seringkali membuat kebingungan diantara para pelaku budidaya di lapangan. 

Strain-strain spesies ikan lele Afrika hasil introduksi di Indonesia tersebut selanjutnya populer dan dikenal dengan nama-nama tertentu, yakni: 
1. Lele DUMBO: diintroduksi oleh PT Cipta Mina Sentosa di Jakarta pada tahun 1985 melalui Taiwan. Budidayanya dengan cepat segera berkembang luas, tetapi dikarenakan kurangtepatnya manajemen induk, maka mutu genetisnya telah mengalami penurunan, ditandai dengan penurunan laju pertumbuhannya serta ketidakberaturan morfologisnya (cacat). Karena mutu genetisnya telah menurun serta tidak jelasnya silsilah dan status ikan lele dumbo yang saat ini berada di masyarakat, maka budidaya strain ikan lele tersebut mulai kurang diminati. 
2. Lele PAITON: diintroduksi melalui Thailand pada tahun 1998 oleh Charoen Pokphand Group dan ditempatkan di hatchery PT. Surya Windu Pertiwi di daerah Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Perkembangan budidayanya cukup pesat di daerah Jawa Timur. Pengembangan selanjutnya dilakukan oleh Model Pembenihan Ikan Lele (MPIL) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur di Mojokerto. 
3. Lele CP atau Lele SUPER ’99: sama dengan ikan lele paiton, diintroduksi melalui Thailand pada tahun 1998 oleh Charoen Pokphand Group dan ditempatkan di hatchery PT. Central Pangan Pertiwi di daerah Pabuaran, Subang, Jawa Barat. Pengembangan budidayanya dikerjasamakan dengan Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (BALITKANWAR) Sukamandi. Strain ikan lele ini pernah populer di kalangan pembudidaya ikan lele di Jawa Barat. Diproduksi hingga sekitar tahun 2005, kemudian terhenti. Stok induk yang tersisa berada di salah satu pembudidaya ikan lele di daerah Karawang, Jawa Barat. Saat ini mulai digunakan untuk kegiatan produksi kembali di Pabuaran oleh PT. Central Pangan Bahari. 
4. Lele MASAMO: diintroduksi melalui Thailand pada tahun 2010 oleh PT. Matahari Sakti ke Mojokerto, Jawa Timur. Masamo merupakan singkatan dari “Matahari Sakti Mojokerto”. Budidaya strain ikan lele ini berkembang pesat di daerah Jawa Timur serta mulai berkembang ke daerah-daerah lain, seperti Tabanan (Bali), Jawa Tengah, Yogyakarta dan daerah-daerah yang lain. Pesatnya perkembangan tersebut dikarenakan para pembudidaya mengakui keunggulan tingginya laju pertumbuhannya. Saat ini strain ikan lele MASAMO telah mencapai generasi kedua (F2). 
5. Lele MESIR: diintroduksi dari Mesir pada tahun 2007 oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Tetapi, upaya pengembangan strain ikan lele ini masih kurang dan stok calon-calon induk yang ada kurang mendapat perhatian, sehingga selanjutnya upaya penelitian dan pengembangannya (domestikasi) dilakukan oleh Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi dan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Saat ini ikan lele tersebut telah mencapai generasi kedua (F2). 
6. Lele KENYA: diintroduksi dari Kenya pada tahun 2011 oleh BBPBAT Sukabumi melalui program pertukaran dengan ikan lele sangkuriang. Hingga saat ini strain ikan lele ini masih dalam upaya domestikasi dan upaya ke arah pemuliaan. 
7. Lele BELANDA: diintroduksi dari Belanda pada tahun 1985 ke Malang, Jawa Timur melalui kerjasama antara Agricultural University of Wageningen dengan Universitas Brawijaya. Tetapi, setelah berakhirnya kerjasama tersebut kurang mendapat perhatian. Saat ini stok induk yang tersisa berada di Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Kepanjen, Malang, Jawa Timur yang merupakan UPT Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, sebagian kecil juga ada di pembudidaya ikan lele di daerah Kediri, Jawa Timur serta di daerah Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Namun demikian, terdapat kemungkinan stok-stok tersebut telah tercampur dengan strain-strain ikan lele Afrika yang lain, terutama dengan ikan lele dumbo dan paiton. Selain itu, strain ikan lele Belanda juga pernah diintroduksi dari hatchery perusahaan milik Belanda di Kenya oleh BBPBAT Sukabumi pada tahun 2011. Saat ini strain ikan lele tersebut masih dalam tahap domestikasi dan upaya ke arah pemuliaan. 
8. Lele SANGKURIANG: merupakan hasil persilangan balik (backcrossbred) antara jantan ikan lele dumbo generasi keenam (F6) dengan betina generasi kedua (F2) yang selanjutnya jantan hasil silang balik tersebut kembali disilangbalikkan dengan betina F2 sehingga dihasilkan strain ikan lele sangkuriang yang dirilis oleh BBPBAT Sukabumi pada tahun 2004 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.26/MEN/2004. Secara umum, ikan lele sangkuriang lebih unggul daripada stok-stok ikan lele dumbo yang ada di masyarakat pembudidaya. Saat ini ikan lele sangkuriang yang disebarkan merupakan generasi keempat (F4). 
9. Lele PHYTON: merupakan hasil persilangan (crossbred) antara betina ikan lele CPdengan jantan ikan lele dumbo yang dilakukan oleh kelompok pembudidaya ikan lele di Pandeglang, Banten di bawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang. 
10. Lele SANGKURIANG 2: merupakan benih sebar hasil persilangan antara betina ikan lele sangkuriang dengan jantan ikan lele CP yang dihasilkan oleh BBPBAT Sukabumi, telah dirilis berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/KEPMEN-KP/2013. 
11. Lele MANDALIKA: merupakan benih sebar hasil persilangan antara betina ikan lele SANGKURIANG dengan jantan ikan lele masamo yang dihasilkan oleh Balai Benih Ikan (BBI) Batu Kumbung, Nusa Tenggara Barat, telah dirilis berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/KEPMEN-KP/2014. 
12. Lele SUKHOI: serupa dengan ikan lele mandalika, merupakan hasil persilangan antara betina ikan lele sangkuriang dengan jantan ikan lele masamo yang dihasilkan oleh Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang. 
13. Lele MASAMO Generasi Kedua dan Lele BURMA: merupakan hasil pemuliaan strain ikan lele masamo hasil introduksi dari Thailand (generasi pertama) melalui persilangan dengan strain-strain ikan lele yang lain. Meskipun terdapat banyak strain ikan lele Afrika di Indonesia, para pembudidaya masih mengeluhkan bahwa strain-strain tersebut belum memenuhi harapan, karena belum ada strain yang benar-benar memiliki keunggulan performa budidaya secara menyeluruh (lengkap). 

Beberapa strain memiliki keunggulan performa pertumbuhan yang cepat, tetapi variasi ukurannya masih tinggi. Beberapa strain yang lain memiliki variasi ukuran yang relatif rendah, tetapi pertumbuhannya lambat dan efisiensi pakannya rendah. Belum lagi permasalahan ketahanan terhadap penyakit yang masih rendah. Oleh karena itulah, upaya pemuliaan untuk menghasilkan strain baru ikan lele Afrika yang memiliki keunggulan performa budidaya secara lengkap masih perlu dilakukan. 

Kehadiran Lele MUTIARA Untuk memperkaya jenis dan varietas Ikan Lele yang beredar di masyarakat, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menghasilkan Ikan Lele Mutiara sebagai jenis ikan baru yang merupakan hasil kegiatan pemuliaan Ikan Lele melalui hasil kegiatan pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Sukamandi. 

Diharapkan lele mutiara akan menjadi komoditas unggul baru dalam perikanan budidaya guna menunjang peningkatan produksi perikanan budidaya serta peningkatan produksi Ikan Lele nasional, pendapatan, dan kesejahteraan pembudidaya ikan. Oleh karena itu sejak tahun 2010 melalui Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi sebagai unit pelaksana teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, melakukan penelitian pemuliaan ikan lele Afrika. Upaya pemuliaan ikan lele Afrika tersebut dilakukan melalui program seleksi individu dengan target karakter utama berupa peningkatan laju pertumbuhan bobot. Upaya pemuliaan tersebut diawali pada tahun 2010 melalui koleksi, karakterisasi dan evaluasi populasi-populasi induk pembentuk, dilanjutkan dengan pembentukan populasi dasar sintetis pada tahun 2011, pembentukan populasi generasi pertama pada tahun 2012, pembentukan populasi generasi kedua pada tahun 2013 dan pembentukan populasi generasi ketiga pada tahun 2014. 

Rangkaian kegiatan penelitian seleksi individu tersebut telah menghasilkan peningkatan pertumbuhan dari generasi ke generasi. Populasi generasi ketiga telah mengalami peningkatan pertumbuhan bobot secara kumulatif sebesar 50,64% dibandingkan populasi dasarnya, sehingga dinilai layak untuk dirilis (dilepas) sebagai strain baru ikan lele unggul. Populasi generasi ketiga ikan lele hasil pemuliaan BPPI Sukamandi tersebut telah dinyatakan lulus pada Penilaian Pelepasan Jenis/ Varietas tanggal 27 Oktober 2014, dengan nama ikan lele MUTIARA (“Mutu Tinggi Tiada Tara”). Hasil karakterisasi dan evaluasi performa menunjukkan bahwa ikan lele mutiara memiliki keunggulan performa budidaya yang lengkap sesuai dengan harapan para pembudidaya, antara lain: 
1.Laju pertumbuhan tinggi: 20-70% lebih tinggi daripada benih-benih lain. 
2.Lama pemeliharaan singkat: lama pembesaran 45-50 hari pada kolam tanah dari benih tebar berukuran 5-7 cm atau 7-9 cm. 
3.Keseragaman ukuran relatif tinggi: tahap produksi benih diperoleh 80-90% benih siap jual dan pemanenan pertama pada tahap pembesaran tanpa sortir diperoleh ikan lele ukuran konsumsi sebanyak 70-80%. 
4.Rasio konversi pakan (FCR = Feed Conversion Ratio) relatif rendah: 0,5-0,8 pada pendederan dan 0,6-1,0 pada pembesaran. 
5.Daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi: sintasan (SR = Survival Rate) 60-70% pada infeksi bakteri Aeromonas hydrophila (tanpa antibiotik). 
6.Toleransi lingkungan relatif tinggi: suhu 15-35oC, pH 5-10, amoniak < 3 mg/l, nitrit < 0,3 mg/l, salinitas 0-10 ‰. 
7.Toleransi terhadap stres relatif tinggi. 
8.Produktivitas relatif tinggi: produktivitas pada tahap pembesaran 15-70% lebih tinggi daripada benih-benih strain lain. 
9.Proporsi daging relatif tinggi. 
10.Porsi keuntungan usaha pada tahap pembesaran 200-900% lebih tinggi daripada benih-benih strain lain. 

Teknologi budidaya ikan lele mutiara di BPPI Sukamandi secara garis besar terdiri dari teknologi pemeliharaan induk, pemijahan (alami dan buatan), pemeliharaan larva, pendederan dan pembesaran. Teknologi pemeliharaan induk merupakan teknik penanganan induk-induk yang akan digunakan dalam proses pemijahan dan terutama berkaitan dengan proses pematangan gonad induk. Teknologi pemijahan merupakan teknik untuk memilih dan memijahkan induk-induk hingga menghasilkan larva, baik melalui proses pemijahan alami maupun buatan. Teknologi pemeliharaan larva dilakukan hingga benih berumur sekitar 16-20 hari, berukuran 1-2 cm, 2-3 cm dan 3-4 cm. Tahap pembenihan pada ikan lele Afrika disebut juga sebagai tahap pendederan pertama. Teknologi pendederan dilakukan selama 4 minggu atau 1 bulan, hingga dominan menjadi benih berukuran 5-7 cm dan 7-9 cm. 
Tahap pendederan pada ikan lele Afrika kadang juga disebut sebagai tahap pendederan kedua. Teknologi pembesaran merupakan teknik pemeliharaan benih hasil pendederan hingga mencapai ukuran konsumsi hingga mencapai ukuran 100-150 gram atau hingga menjadi calon induk. Sebagai strain baru ikan lele Afrika unggul, rilis dan diseminasi ikan lele mutiara ke para pelaku usaha budidaya ikan lele di Indonesia perlu didampingi penyuluh perikanan dengan petunjuk teknis cara budidayanya. 
Namun demikian, teknis budidaya ikan lele mutiara secara garis besar tidak berbeda dari teknis budidaya strain-strain ikan lele Afrika yang lain. Artinya, budidaya ikan lele mutiara tidak memerlukan teknologi maupun persyaratan budidaya yang baru dan bersifat khusus (spesifik), sehingga dapat dengan mudah dilakukan menggunakan teknologi budidaya yang telah ada dan berkembang di masyarakat pembudidaya ikan lele Afrika. 
Oleh karena itu, petunjuk teknis budidaya ikan lele mutiara pada dasarnya hanya merupakan panduan dasar yang berisi prinsip-prinsip dasar (pokok) budidaya ikan lele mutiara hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh BPPI Sukamandi. Oleh karena merupakan teknologi yang standar (dasar), maka sifatnya sederhana dan dapat diterapkan dengan mudah di masyarakat (aplikatif). Dalam penerapannya di masyarakat masih dapat dikembangkan lagi atau dimodifikasi sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih baik lagi. 

sumber: Prosedur Operasional Standar Budidaya Ikan Lele. 2014. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar (LRPTBPAT). Sukamandi. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Lele Mutiara Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI) Sukamandi. 2014. Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 77/Kepmen-KP/2015 tentang Pelepasan Ikan Lele Mutiara.

Tantangan dan Solusi Meningkatkan Produksi Udang Nasional



Tantangan dan Solusi Meningkatkan Produksi Udang Nasional


Sejak 3 tahun terakhir wabah penyakit EMS (Early Mortality Sindrom) menyerang budidaya udang vannamei di Cina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia.  Akibatnya, produksi udang di keempat negara itu pada 2012 turun sebesar 25 – 40 persen. Berdasarkan data Globefish (2014) total volume udang di Cina hingga akhir 2013 kurang dari 1 juta ton, yang mana 600.000 ton berupa udang vannamei. Sedangkan Thailand hanya mampu memproduksi 250.000 ton (50 % lebih rendah dari 2012). Hal ini menyebabkan Thailand menempati urutan ke-5 dalam produksi udang, malah sempat terlempar ke luar peringkat 5 besar.
Segala cara dan pendekatan teknik budidaya pun dilakukan untuk mengatasi wabah penyakit yang berdampak negatif sangat besar ini. Malangnya, sampai sekarang teknologi pencegahan dan penanggulangan wabah EMS belum ditemukan. Sepanjang 2014 produksi udang di keempat negara yang terserang penyakit ini tidak beranjak naik. Walaupun demikian dalam peringkat negara pengekspor udang khusus ke Amerika Serikat (AS), Vietnam masih bisa masuk dalam peringkat 5. Setelah ditelusuri, ternyata udang dari Vietnam yang diekspor ke AS berasal dari India.
Kurang ketatnya pengawasan penggunaan antibiotik di level pembenihan udang disinyalir jadi penyebab munculnya kasus ini. Berdasarkan informasi dari The Federation of Indian Fishery Industries, sejauh ini tidak ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaan antibiotik pada budidaya udang. Chloramphenicol and nitrofurans selama ini masih digunakan oleh pembenihan, pemasok benurdan pembudidaya di India. Beragam tantangan dari negara produsen udang dunia yang merupakan pesaing Indonesia diharapkan bisa menjadi momentum untuk menggenjot produksi. Udang Indonesia tiap tahun produksinya meningkat ditambah lagi sejauh ini Indonesia belum dilaporkan terserang wabah EMS.
Berdasarkan data USA Department of Agriculture nilai ekspor udang asal Indonesia ke pasar Amerika Serikat (AS) pada periode Januari – September 2014 mencapai $ 944,755 juta. Angka ini meningkat 62,4 % atau sebesar $ 363,137 juta dibandingkan periode yang sama pada 2013. Pada Januari – September 2013 nilai ekspor udang Indonesia tercatat $ 581,618 juta.
Sementara dari sisi volume ekspor udang Indonesia juga meningkat. Pada periode Januari – September 2014 volume ekspor udang Indonesia mencapai 160,688 juta pound (1,4 kg). Angka ini meningkat 28,3 % atau sebesar 35,443 juta pound, jika dibandingkan periode yang sama pada 2013. Pada Januari – September 2013 volume ekspor udang Indonesia ke pasar AS sebesar 125,244 juta pound. Secara umum, nilai ekspor udang dari Indonesia mengambil 19 % dari total nilai ekspor udang ke AS. Sementara dari sisi volume mengambil jatah sekitar 17 % dari total volume ekspor udang ke AS. Ekspor udang Indonesia bersaing ketat dengan India dan Vietnam. Peningkatan ekspor udang ke AS sejalan dengan data Kementerian Kelautan Perikanan, dimana produksi udang Indonesia terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Pada 2011 produksi udang Indonesia 400.385 ton, 2012 meningkat menjadi 457.600 ton, dan 2013 produksi udang meningkat menjadi 639.589 ton, dan target produksi udang 2014 sebesar 660.000 ton. Udang yang diproduksi komposisinya sekitar 60 % vannamei dan 40 % windu.
Meningkatnya produksi udang nasional, salah satunya didorong karena kebanyakan para pelaku pembudidaya udang di Indonesia sudah berpengalaman. Jadi jarang yang merupakan pemain baru. Para pemain pembudidaya udang lama ini sudah teruji ketahanan bisnisnya. Mereka sudah tahu seluk beluk jika menghadapi tantangan teknis seperti penyakit, sehingga permasalahan dapat cepat diatasi. Meskipun produksi udang meningkat, namun seharusnya melihat potensi lahan tambak budidaya yang mencapai 1,22 juta hektar dan baru dimanfaatkan jadi tambak sekitar 600 ribu hektar, produksi udang nasional dapat digenjot lebih dari angka tersebut. Setidaknya terdapat sejumlah tantangan yang jadi penghambat peningkatan produksi udang nasional.
Pertama, kurangnya dukungan infrastruktur di kawasan produksi udang oleh pemerintah. Dari dulu hingga saat ini dalam mengembangkan budidaya udang petambak meminta adanya dukungan listrik dan akses jalan produksi di wilayah tambak dari pemerintah. Sementara itu untuk tekhnik budidaya dan permodalan petambak sudah dapat memenuhi hal tersebut. Sayangnya hingga saat ini petambak udang umumnya berjuang sendiri untuk mengembangkan atau memperluas areal tambak produksi udang. Tak heran jika kemudian produksi udang yang seharusnya dapat lebih cepat tumbuh, menjadi tidak maksimal.
Tantangan kedua yaitu belum ada satu visi misi yang sama antara pembudidaya, pengolah dan eksportir. Pembudidaya selalu ingin meningkatkan produksi dan menjual udang dengan harga setinggi-tingginya, sementara pengolah dan eksportir selalu terkendala harga bahan baku udang yang terlalu tinggi dan pasokannya juga selalu kurang atau dibawah kapasitas produksi. Diharapkan pemerintah mengambil jalan tengah dengan membuat regulasi tata niaga perudangan yang dapat memenuhi kepentingan dari semua pemangku pelaku perudangan nasional. Kita harus sepaham bahwa yang dihadapi adalah persaingan dengan negara produsen lain.
Tantangan ketiga adalah ketidakpastian tata ruang pemanfaatan lahan produksi tambak udang di berbagai daerah. Dengan adanya otonomi daerah kepastian hukum atau regulasi terkait pemanfaatan tata ruang suatu wilayah harus jelas. Jangan sampai terjadi lahan tambak yang sudah berpuluh tahun berproduksi tiba-tiba digusur untuk alih fungsi lainnya. Pemerintah daerah diharapkan sudah punya regulasi terkait tata ruang terkait pemanfaatan kegiatan budidaya perikanan. Dalam regulasi tata ruang tersebut juga dapat dicantumkan aturan pemanfaatan lahan tambak yang harus sesuai kaidah lingkungan. Misalnya penentuan luas wilayah hijauan mangrove yang harus ada pada setiap kawasan tambak produksi udang.
Tantangan keempat, yaitu konsep mandiri yang diimplementasikan secara sempit. Terkait pengembangan budidaya perikanan program yang didorong adalah kemandirian pakan dan beni. Kemandirian itu seharusnya bukan berarti semuanya dibuat sendiri. Misalnya pakan sejauh mana ketersediaan bahan sumber protein alternative pengganti tepung ikan dapat disediakan. Lalu untuk benih, sejauh mana benur produksi indukan hasil domestikasi secara performa mampu menyaingi benur dari indukan impor. Sejauh ini di lapangan dari sisi parameter pertumbuhan saja masih kalah, belum lagi dari sisi ketahanan penyakit. Jika petambak dipaksakan menggunakan benur ini, maka produksi tidak digenjot secara signifikan, belum lagi biaya operasional budidaya bisa membengkak, misalnya karena FCR atau konversi pakan yang lebih tinggi.
Jika semua petambak menggunakan benur produksi induk dalam negeri, bisa saja produksi udang nasional bukannya meningkat malah turun drastis. Demikian halnya penggunaan pakan berbahan baku dari produksi nasional. Oleh karena itu, untuk sampai kemandirian pakan dan benih perlu program jangka panjang. Program ini didukung juga riset yang benar-benar aplikatif.
Tantangan kelima yaitu penyakit. Sejauh ini Indonesia masih dinyatakan bebas EMS (Early Mortality Syndrome). Setiap petambak memiliki cara-caranya tersendiri untuk menerapkan biosekuriti. Semakin baik memahami dan menerapkan konsep tersebut, semakin bisa bertahan. Selama kita disiplin menerapkan biosekuriti maka udang tidak akan terkena penyakit.
Tantangan keenam yaitu strategi pemasaran ekspor udang. Fokus utama yang harus menjadi perhatian terkait hal ini yaitu keamanan pangan, lingkungan dan keberlanjutan. Ketiga faktor tersebut dapat dipantau dengan penerapan sertifikasi baik skala nasional maupun internasional. Dalam hal ini pemerintah punya andil menentukan standar sertifikasi tersebut.
Sumber:
Agus Somamihardja (Ketua Komisi Udang Indonesia)