Mengenal “MASAMO”, Lele Asal Mojokerto
Permintaan global terhadap ikan dan produk perikanan lainnya dalam sepuluh tahun terakhir meningkat, terutama setelah munculnya wabah penyakit sapi gila, flu burung, serta penyakit kuku dan mulut. Disamping itu, sekarang ini sedang terjadi perubahan kecenderungan konsumsi dunia dari protein hewani ke protein ikan. Komoditi perikanan merupakan komoditi ekspor dimana kebutuhan ikan dunia meningkat rata-rata 5 persen per tahun. Kebutuhan ikan dunia pada tahun 1999 berjumlah 126 juta ton per tahun dengan kenaikan rata-rata 2,8 juta ton per tahun. Tujuh puluh persen nilai tersebut dikonsumsi untuk pangan.
Dalam tahun 2004, kebutuhan ikan dunia sudah mencapai 140 juta ton. Lebih lanjut, diketahui bahwa kebutuhan ikan segar dunia naik mencapai 45 persen (FAO). Dari jumlah tersebut, market share Indonesia hanya 3,57 persen.
Namun bila dibandingkan antara yang terjadi di negara-negara maju dengan di Indonesia, tingkat konsumsi ikan rata-rata per kapita per tahun di Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Malaysia berturut-turut adalah 80, 70, 65, 60, 35, dan 30 kg. Sedangkan tingkat konsumsi ikan rata-rata bangsa Indonesia pada tahun 1997 sebesar 19,05 kg/orang/tahun, dan pada tahun 2001 konsumsi ikan rata-rata nasional meningkat menjadi 22,27 kg/kapita per tahun. Dengan demikian pada tahun 2001 di Indonesia saja dibutuhkan 4,4 juta ton ikan. Dengan penduduk sekitar 220 juta jiwa dan cenderung akan terus bertambah, Indonesia menjadi negara terpadat dan terbesar nomor empat di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Angka ini memberikan gambaran yang nyata bahwa kebutuhan pangan akan terus meningkat.
Konsumsi ikan pada masa mendatang diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan otak. Sebagaimana gambaran di atas, konsumsi ikan di Indonesia dalam periode tahun 1997 sampai dengan 2001 meningkat yaitu dari 19,05 kg per kapita per tahun menjadi 22,27 kg per kapita per tahun. Dengan adanya peningkatan rata-rata sebesar 2,67 persen per tahun, kecenderungan peningkatan konsumsi ikan juga terlihat sampai tahun-tahun mendatang.
Permintaan benih lele nasional telah meningkat dari 156 juta ekor pada tahun 1999 menjadi 360 juta ekor pada tahun 2003 atau meningkat rata-rata sebesar 46% per tahun. Kebutuhan benih lele hingga akhir tahun 2009 diperkirakan mencapai 1.95 miliar ekor, oleh sebab itu pembenihan lele adalah usaha yang sangat prospek untuk kedepannya.
Alasan utama sebagian besar masyarakat melakukan budidaya ikan lele antara lain adalah perputaran uang untuk usaha lebih cepat dengan rentabilitas relatif tinggi, risiko budidaya relatif kecil, serta kecenderungan pola makan masyarakat yang bergeser pada bahan pangan yang sehat, aman dan tidak berdampak negatif terhadap kesehatan menjadi stimulan bagi peningkatan permintaan ikan termasuk ikan lele.
Kualitas induk lele di Indonesia yang sudah sangat menurun, membuat waktu budidaya semakin lama serta kualitas benihnya pun kurang bagus. Hal itu tidak terlepas dari kualitas induk. Induk lele saat ini kebanyakan keturunan strain dumbo, lele hibrida yang diintroduksi pada 1986.
Nyaris tanpa introduksi strain baru dalam waktu 15 tahun, kecuali Sangkuriang pada 2004, penurunan kualitas genetik induk pun tidak terelakkan karena banyak terjadi perkawinan sedarah (inbreeding). Akibatnya Lele semakin panjang umur budidayanya, semakin rentan terhadap perubahan iklim, tingkat stresnya semakin tinggi, kemudian efisiensi pakannya semakin rendah. Seperti diketahui, kualitas lele Dumbo yang ada saat ini telah jauh menurun dibanding ketika pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1985. Penurunan kualitas tersebut terindikasi dari lele dumbo yang kini gampang terserang penyakit, survival rate benih lele rendah, efisiensi pakan rendah di sisi pembesaran serta laju pertumbuhannya yang lambat.
Lele Masamo merupakan hasil pengumpulan sifat berbagai plasma nutfah lele dari beberapa negara. Antara lain, lele asli Afrika, lele Afrika yang diadaptasi di Asia, Clarias macrocephalus/ bighead catfish yang merupakan lele Afrika dan di kohabitasi di Thailand, dan lele dumbo (brown catfish), sehingga total ada 7 strain lele yang digunakan. Lele Afrika dikenal memiliki kecepatan pertumbuhan dan ketahanan tubuh yang tinggi. Sedangkan lele Afrika yang telah mengalami kohabitasi domestik di Asia/ Asia Tenggara memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan dan tahan terhadap penyakit lokal. Selain itu ada juga strain yang memiliki produktivitas telur tinggi (spawning rate) dan ada pula yang lebih tinggi efisiensi pakannya.
Matahari Sakti telah mendirikan unit pembenihan lele dengan tujuan untuk menghasilkan lele unggul yang kemudian selanjutnya dikenal sebagai lele Masamo. PT Matahari Sakti hanya mendistribusikan induk dan benih lele Masamo saja. Lele Masamo yang beredar sekarang sudah generasi kedua. Benih sebar yang diperuntukkan bagi budidaya pembesaran konsumsi atau yang umum disebut Final Stock (FS) dari breeding Masamo, memiliki sifat bertubuh besar, rakus makan tapi tetap efisien, keseragaman tinggi, stress tolerance tinggi, ketahanan penyakit tinggi, dan sifat kanibal rendah. Untuk sifat induk atau Parent Stock (PS) ditambah dengan spawning rate yang tinggi.
Lele Masamo memiliki ciri khas fisik cukup berbeda dengan lele Dumbo, Sangkuriang dan Phyton yang lebih dulu beredar. Kepala ikan lele Masamo lebih lonjong, menyerupai sepatu pantofel model lama. Sirip (patil) lebih tajam, badan lebih panjang dan berwarna kehitaman. Ketika stres, muncul warna keputih-putihan atau keabu-abuan. Terdapat bintik seperti tahi lalat di sekujur tubuh masamo yang berukuran besar, memiliki tonjolan di tengkuk kepala, serta bentuk kepala lebih runcing. Pada induk, tonjolan di tengkuk terlihat nyata. Sangat berbeda dengan induk jenis lain, sehingga jenis lele Masamo tak mungkin bisa dipalsukan. Tetapi saat masih berukuran benih, secara fisik lele Masamo susah dibedakan dengan benih lele varietas lain. Bedanya dapat dilihat pada sifat.
Masamo lebih agresif dan nafsu makan lebih kuat. Sehingga jika manajemen pakan tidak bagus bisa berakibat pada kanibalisme. Karena itu benih Masamo hanya dipasarkan kepada pembudidaya pembesaran yang serius, bukan yang tradisional.
Lele ini dinilai lebih unggul dibanding dengan jenis lele lain karena dirasakan lebih tahan terhadap berbagai penyakit serta mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan mampu bertahan di iklim yang ekstrim, dagingnya pun lebih enak jika dibandingkan dengan jenis lele lain. Selain itu kelebihan lele Masamo dibanding strain sangkuriang/ paiton/ phyton/ dumbo adalah lebih cepat besar (rakus), panen lebih cepat sehingga untung lebih banyak, semakin irit pakan sehingga pengeluaran jadi lebih kecil dan untung pun menjadi lebih banyak. Namun sayang ikan Lele jenis masamo belum digunakan secara umum oleh pembenih di Indonesia.
Oleh sebab itu usaha pembenihan lele masamo ini seyogyanya wajib dikembangkan untuk membantu memenuhi kekurangan benih lele yang unggul dan berkualitas dan meningkatkan produktifitas ikan lele nasional.
Budidaya ikan lele masamo khususnya pembenihan pada saat ini memang harus ditingkatkan, karena :
1) budidaya ikan lele Masamo layak untuk dijalankan,
2) kebutuhan nasional akan benih lele yang semakin meningkat dari tahun ke tahun,
3) daya tarik petani yang tinggi terhadap jenis ikan lele yang baru,
4) jumlah petani pembenih yang masih sedikit,
5) kualitas benih di pasaran yang kurang bagus dilihat dari kecepatan pertumbuhan dan ketahanannya terhadap serangan penyakit.
Oleh karena itu, dalam proses breeding ini unit pembenihan lele Masamo di Mojokerto mendapat supervisi dari BBPBAT Sukabumi serta pakar dari kalangan akademik dan universitas. Hingga 2011 tak kurang dari 5 strain unggul ikan lele sedang dikembangkan hatchery Masamo di Mojokerto. Proses pengembangan tersebut masih terus dilanjutkan agar kualitas lele Masamo menjadi lebih baik lagi. (NDK107).
Sumber Rangkuman:
Pola Pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK). 2010. Budidaya Pembesaran Ikan Lele. Bank Indonesia.
Ro’uf, M.A., Taif, M., Reni, F., dan Shofiatun. 2013. “MASAMO” Benih Lele Berkualitas dan Tahan Banting. Fakultas Pertanian, Fakultas Akuntansi dan Fakultas Ekonomi Universitas Wahid, Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar