Rabu, 29 Juni 2016

Tantangan dan Solusi Meningkatkan Produksi Udang Nasional



Tantangan dan Solusi Meningkatkan Produksi Udang Nasional


Sejak 3 tahun terakhir wabah penyakit EMS (Early Mortality Sindrom) menyerang budidaya udang vannamei di Cina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia.  Akibatnya, produksi udang di keempat negara itu pada 2012 turun sebesar 25 – 40 persen. Berdasarkan data Globefish (2014) total volume udang di Cina hingga akhir 2013 kurang dari 1 juta ton, yang mana 600.000 ton berupa udang vannamei. Sedangkan Thailand hanya mampu memproduksi 250.000 ton (50 % lebih rendah dari 2012). Hal ini menyebabkan Thailand menempati urutan ke-5 dalam produksi udang, malah sempat terlempar ke luar peringkat 5 besar.
Segala cara dan pendekatan teknik budidaya pun dilakukan untuk mengatasi wabah penyakit yang berdampak negatif sangat besar ini. Malangnya, sampai sekarang teknologi pencegahan dan penanggulangan wabah EMS belum ditemukan. Sepanjang 2014 produksi udang di keempat negara yang terserang penyakit ini tidak beranjak naik. Walaupun demikian dalam peringkat negara pengekspor udang khusus ke Amerika Serikat (AS), Vietnam masih bisa masuk dalam peringkat 5. Setelah ditelusuri, ternyata udang dari Vietnam yang diekspor ke AS berasal dari India.
Kurang ketatnya pengawasan penggunaan antibiotik di level pembenihan udang disinyalir jadi penyebab munculnya kasus ini. Berdasarkan informasi dari The Federation of Indian Fishery Industries, sejauh ini tidak ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaan antibiotik pada budidaya udang. Chloramphenicol and nitrofurans selama ini masih digunakan oleh pembenihan, pemasok benurdan pembudidaya di India. Beragam tantangan dari negara produsen udang dunia yang merupakan pesaing Indonesia diharapkan bisa menjadi momentum untuk menggenjot produksi. Udang Indonesia tiap tahun produksinya meningkat ditambah lagi sejauh ini Indonesia belum dilaporkan terserang wabah EMS.
Berdasarkan data USA Department of Agriculture nilai ekspor udang asal Indonesia ke pasar Amerika Serikat (AS) pada periode Januari – September 2014 mencapai $ 944,755 juta. Angka ini meningkat 62,4 % atau sebesar $ 363,137 juta dibandingkan periode yang sama pada 2013. Pada Januari – September 2013 nilai ekspor udang Indonesia tercatat $ 581,618 juta.
Sementara dari sisi volume ekspor udang Indonesia juga meningkat. Pada periode Januari – September 2014 volume ekspor udang Indonesia mencapai 160,688 juta pound (1,4 kg). Angka ini meningkat 28,3 % atau sebesar 35,443 juta pound, jika dibandingkan periode yang sama pada 2013. Pada Januari – September 2013 volume ekspor udang Indonesia ke pasar AS sebesar 125,244 juta pound. Secara umum, nilai ekspor udang dari Indonesia mengambil 19 % dari total nilai ekspor udang ke AS. Sementara dari sisi volume mengambil jatah sekitar 17 % dari total volume ekspor udang ke AS. Ekspor udang Indonesia bersaing ketat dengan India dan Vietnam. Peningkatan ekspor udang ke AS sejalan dengan data Kementerian Kelautan Perikanan, dimana produksi udang Indonesia terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Pada 2011 produksi udang Indonesia 400.385 ton, 2012 meningkat menjadi 457.600 ton, dan 2013 produksi udang meningkat menjadi 639.589 ton, dan target produksi udang 2014 sebesar 660.000 ton. Udang yang diproduksi komposisinya sekitar 60 % vannamei dan 40 % windu.
Meningkatnya produksi udang nasional, salah satunya didorong karena kebanyakan para pelaku pembudidaya udang di Indonesia sudah berpengalaman. Jadi jarang yang merupakan pemain baru. Para pemain pembudidaya udang lama ini sudah teruji ketahanan bisnisnya. Mereka sudah tahu seluk beluk jika menghadapi tantangan teknis seperti penyakit, sehingga permasalahan dapat cepat diatasi. Meskipun produksi udang meningkat, namun seharusnya melihat potensi lahan tambak budidaya yang mencapai 1,22 juta hektar dan baru dimanfaatkan jadi tambak sekitar 600 ribu hektar, produksi udang nasional dapat digenjot lebih dari angka tersebut. Setidaknya terdapat sejumlah tantangan yang jadi penghambat peningkatan produksi udang nasional.
Pertama, kurangnya dukungan infrastruktur di kawasan produksi udang oleh pemerintah. Dari dulu hingga saat ini dalam mengembangkan budidaya udang petambak meminta adanya dukungan listrik dan akses jalan produksi di wilayah tambak dari pemerintah. Sementara itu untuk tekhnik budidaya dan permodalan petambak sudah dapat memenuhi hal tersebut. Sayangnya hingga saat ini petambak udang umumnya berjuang sendiri untuk mengembangkan atau memperluas areal tambak produksi udang. Tak heran jika kemudian produksi udang yang seharusnya dapat lebih cepat tumbuh, menjadi tidak maksimal.
Tantangan kedua yaitu belum ada satu visi misi yang sama antara pembudidaya, pengolah dan eksportir. Pembudidaya selalu ingin meningkatkan produksi dan menjual udang dengan harga setinggi-tingginya, sementara pengolah dan eksportir selalu terkendala harga bahan baku udang yang terlalu tinggi dan pasokannya juga selalu kurang atau dibawah kapasitas produksi. Diharapkan pemerintah mengambil jalan tengah dengan membuat regulasi tata niaga perudangan yang dapat memenuhi kepentingan dari semua pemangku pelaku perudangan nasional. Kita harus sepaham bahwa yang dihadapi adalah persaingan dengan negara produsen lain.
Tantangan ketiga adalah ketidakpastian tata ruang pemanfaatan lahan produksi tambak udang di berbagai daerah. Dengan adanya otonomi daerah kepastian hukum atau regulasi terkait pemanfaatan tata ruang suatu wilayah harus jelas. Jangan sampai terjadi lahan tambak yang sudah berpuluh tahun berproduksi tiba-tiba digusur untuk alih fungsi lainnya. Pemerintah daerah diharapkan sudah punya regulasi terkait tata ruang terkait pemanfaatan kegiatan budidaya perikanan. Dalam regulasi tata ruang tersebut juga dapat dicantumkan aturan pemanfaatan lahan tambak yang harus sesuai kaidah lingkungan. Misalnya penentuan luas wilayah hijauan mangrove yang harus ada pada setiap kawasan tambak produksi udang.
Tantangan keempat, yaitu konsep mandiri yang diimplementasikan secara sempit. Terkait pengembangan budidaya perikanan program yang didorong adalah kemandirian pakan dan beni. Kemandirian itu seharusnya bukan berarti semuanya dibuat sendiri. Misalnya pakan sejauh mana ketersediaan bahan sumber protein alternative pengganti tepung ikan dapat disediakan. Lalu untuk benih, sejauh mana benur produksi indukan hasil domestikasi secara performa mampu menyaingi benur dari indukan impor. Sejauh ini di lapangan dari sisi parameter pertumbuhan saja masih kalah, belum lagi dari sisi ketahanan penyakit. Jika petambak dipaksakan menggunakan benur ini, maka produksi tidak digenjot secara signifikan, belum lagi biaya operasional budidaya bisa membengkak, misalnya karena FCR atau konversi pakan yang lebih tinggi.
Jika semua petambak menggunakan benur produksi induk dalam negeri, bisa saja produksi udang nasional bukannya meningkat malah turun drastis. Demikian halnya penggunaan pakan berbahan baku dari produksi nasional. Oleh karena itu, untuk sampai kemandirian pakan dan benih perlu program jangka panjang. Program ini didukung juga riset yang benar-benar aplikatif.
Tantangan kelima yaitu penyakit. Sejauh ini Indonesia masih dinyatakan bebas EMS (Early Mortality Syndrome). Setiap petambak memiliki cara-caranya tersendiri untuk menerapkan biosekuriti. Semakin baik memahami dan menerapkan konsep tersebut, semakin bisa bertahan. Selama kita disiplin menerapkan biosekuriti maka udang tidak akan terkena penyakit.
Tantangan keenam yaitu strategi pemasaran ekspor udang. Fokus utama yang harus menjadi perhatian terkait hal ini yaitu keamanan pangan, lingkungan dan keberlanjutan. Ketiga faktor tersebut dapat dipantau dengan penerapan sertifikasi baik skala nasional maupun internasional. Dalam hal ini pemerintah punya andil menentukan standar sertifikasi tersebut.
Sumber:
Agus Somamihardja (Ketua Komisi Udang Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar