Tantangan dan Solusi Meningkatkan Produksi Udang Nasional
Sejak 3 tahun terakhir wabah penyakit EMS (Early Mortality Sindrom)
menyerang budidaya udang vannamei di Cina, Thailand, Vietnam, dan
Malaysia. Akibatnya, produksi udang di keempat negara itu pada 2012 turun
sebesar 25 – 40 persen. Berdasarkan data Globefish (2014) total volume udang di
Cina hingga akhir 2013 kurang dari 1 juta ton, yang mana 600.000 ton berupa
udang vannamei. Sedangkan Thailand hanya mampu memproduksi 250.000 ton (50 %
lebih rendah dari 2012). Hal ini menyebabkan Thailand menempati urutan ke-5
dalam produksi udang, malah sempat terlempar ke luar peringkat 5 besar.
Segala cara dan pendekatan teknik budidaya
pun dilakukan untuk mengatasi wabah penyakit yang berdampak negatif sangat
besar ini. Malangnya, sampai sekarang teknologi pencegahan dan penanggulangan
wabah EMS belum ditemukan. Sepanjang 2014 produksi udang di keempat negara yang
terserang penyakit ini tidak beranjak naik. Walaupun demikian dalam peringkat
negara pengekspor udang khusus ke Amerika Serikat (AS), Vietnam masih bisa
masuk dalam peringkat 5. Setelah ditelusuri, ternyata udang dari Vietnam yang
diekspor ke AS berasal dari India.
Kurang ketatnya pengawasan penggunaan
antibiotik di level pembenihan udang disinyalir jadi penyebab munculnya kasus
ini. Berdasarkan informasi dari The Federation of Indian Fishery Industries,
sejauh ini tidak ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaan antibiotik pada
budidaya udang. Chloramphenicol
and nitrofurans
selama ini masih digunakan oleh pembenihan, pemasok benurdan pembudidaya di
India. Beragam tantangan dari negara produsen udang dunia yang merupakan
pesaing Indonesia diharapkan bisa menjadi momentum untuk menggenjot produksi.
Udang Indonesia tiap tahun produksinya meningkat ditambah lagi sejauh ini
Indonesia belum dilaporkan terserang wabah EMS.
Berdasarkan data USA Department of
Agriculture nilai ekspor udang asal Indonesia ke pasar Amerika Serikat (AS)
pada periode Januari – September 2014 mencapai $ 944,755 juta. Angka ini
meningkat 62,4 % atau sebesar $ 363,137 juta dibandingkan periode yang sama
pada 2013. Pada Januari – September 2013 nilai ekspor udang Indonesia tercatat
$ 581,618 juta.
Sementara dari sisi volume ekspor udang
Indonesia juga meningkat. Pada periode Januari – September 2014 volume ekspor
udang Indonesia mencapai 160,688 juta pound (1,4 kg). Angka ini meningkat 28,3
% atau sebesar 35,443 juta pound, jika dibandingkan periode yang sama pada
2013. Pada Januari – September 2013 volume ekspor udang Indonesia ke pasar AS
sebesar 125,244 juta pound. Secara umum, nilai ekspor udang dari Indonesia
mengambil 19 % dari total nilai ekspor udang ke AS. Sementara dari sisi volume
mengambil jatah sekitar 17 % dari total volume ekspor udang ke AS. Ekspor udang
Indonesia bersaing ketat dengan India dan Vietnam. Peningkatan ekspor udang ke
AS sejalan dengan data Kementerian Kelautan Perikanan, dimana produksi udang
Indonesia terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Pada 2011 produksi udang
Indonesia 400.385 ton, 2012 meningkat menjadi 457.600 ton, dan 2013 produksi
udang meningkat menjadi 639.589 ton, dan target produksi udang 2014 sebesar
660.000 ton. Udang yang diproduksi komposisinya sekitar 60 % vannamei dan 40 %
windu.
Meningkatnya produksi udang nasional, salah
satunya didorong karena kebanyakan para pelaku pembudidaya udang di Indonesia
sudah berpengalaman. Jadi jarang yang merupakan pemain baru. Para pemain
pembudidaya udang lama ini sudah teruji ketahanan bisnisnya. Mereka sudah tahu
seluk beluk jika menghadapi tantangan teknis seperti penyakit, sehingga
permasalahan dapat cepat diatasi. Meskipun produksi udang meningkat, namun
seharusnya melihat potensi lahan tambak budidaya yang mencapai 1,22 juta hektar
dan baru dimanfaatkan jadi tambak sekitar 600 ribu hektar, produksi udang
nasional dapat digenjot lebih dari angka tersebut. Setidaknya terdapat sejumlah
tantangan yang jadi penghambat peningkatan produksi udang nasional.
Pertama, kurangnya dukungan infrastruktur di
kawasan produksi udang oleh pemerintah. Dari dulu hingga saat ini dalam
mengembangkan budidaya udang petambak meminta adanya dukungan listrik dan akses
jalan produksi di wilayah tambak dari pemerintah. Sementara itu untuk tekhnik
budidaya dan permodalan petambak sudah dapat memenuhi hal tersebut. Sayangnya
hingga saat ini petambak udang umumnya berjuang sendiri untuk mengembangkan
atau memperluas areal tambak produksi udang. Tak heran jika kemudian produksi
udang yang seharusnya dapat lebih cepat tumbuh, menjadi tidak maksimal.
Tantangan kedua yaitu belum ada satu visi
misi yang sama antara pembudidaya, pengolah dan eksportir. Pembudidaya selalu
ingin meningkatkan produksi dan menjual udang dengan harga setinggi-tingginya,
sementara pengolah dan eksportir selalu terkendala harga bahan baku udang yang
terlalu tinggi dan pasokannya juga selalu kurang atau dibawah kapasitas
produksi. Diharapkan pemerintah mengambil jalan tengah dengan membuat regulasi
tata niaga perudangan yang dapat memenuhi kepentingan dari semua pemangku
pelaku perudangan nasional. Kita harus sepaham bahwa yang dihadapi adalah
persaingan dengan negara produsen lain.
Tantangan ketiga adalah ketidakpastian tata
ruang pemanfaatan lahan produksi tambak udang di berbagai daerah. Dengan adanya
otonomi daerah kepastian hukum atau regulasi terkait pemanfaatan tata ruang
suatu wilayah harus jelas. Jangan sampai terjadi lahan tambak yang sudah
berpuluh tahun berproduksi tiba-tiba digusur untuk alih fungsi lainnya.
Pemerintah daerah diharapkan sudah punya regulasi terkait tata ruang terkait
pemanfaatan kegiatan budidaya perikanan. Dalam regulasi tata ruang tersebut
juga dapat dicantumkan aturan pemanfaatan lahan tambak yang harus sesuai kaidah
lingkungan. Misalnya penentuan luas wilayah hijauan mangrove yang harus ada
pada setiap kawasan tambak produksi udang.
Tantangan keempat, yaitu konsep mandiri yang
diimplementasikan secara sempit. Terkait pengembangan budidaya perikanan
program yang didorong adalah kemandirian pakan dan beni. Kemandirian itu
seharusnya bukan berarti semuanya dibuat sendiri. Misalnya pakan sejauh mana
ketersediaan bahan sumber protein alternative pengganti tepung ikan dapat
disediakan. Lalu untuk benih, sejauh mana benur produksi indukan hasil
domestikasi secara performa mampu menyaingi benur dari indukan impor. Sejauh
ini di lapangan dari sisi parameter pertumbuhan saja masih kalah, belum lagi
dari sisi ketahanan penyakit. Jika petambak dipaksakan menggunakan benur ini,
maka produksi tidak digenjot secara signifikan, belum lagi biaya operasional
budidaya bisa membengkak, misalnya karena FCR atau konversi pakan yang lebih
tinggi.
Jika semua petambak menggunakan benur
produksi induk dalam negeri, bisa saja produksi udang nasional bukannya
meningkat malah turun drastis. Demikian halnya penggunaan pakan berbahan baku
dari produksi nasional. Oleh karena itu, untuk sampai kemandirian pakan dan
benih perlu program jangka panjang. Program ini didukung juga riset yang
benar-benar aplikatif.
Tantangan kelima yaitu penyakit. Sejauh ini
Indonesia masih dinyatakan bebas EMS (Early
Mortality Syndrome). Setiap petambak memiliki cara-caranya
tersendiri untuk menerapkan biosekuriti. Semakin baik memahami dan menerapkan
konsep tersebut, semakin bisa bertahan. Selama kita disiplin menerapkan
biosekuriti maka udang tidak akan terkena penyakit.
Tantangan keenam yaitu strategi pemasaran
ekspor udang. Fokus utama yang harus menjadi perhatian terkait hal ini yaitu
keamanan pangan, lingkungan dan keberlanjutan. Ketiga faktor tersebut dapat
dipantau dengan penerapan sertifikasi baik skala nasional maupun internasional.
Dalam hal ini pemerintah punya andil menentukan standar sertifikasi tersebut.
Sumber:
Agus Somamihardja (Ketua Komisi Udang
Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar