Minggu, 06 November 2016

Rehabilitasi Mangrove

Rehabilitasi Mangrove


Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur. Hutan mangrove banyak ditemui di pantai, teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit (Nontji, 1987).
Hutan mangrove di Indonesia sangat banyak dan hampir di setiap kawasan pesisir ataupun daerah estuaria terdapat mangrove. Hutan mangrove merupakan jenis atau tipe hutan yang masih dipengaruhi oleh pasang surut karena pada saat pasang akan tergenang dan pada saat surut akan bebas dari genangan.
Hutan mangrove  membawa dampak yang baik bagi daerah estuaria maupun bagi manusia yang bermukim di sekitar pesisir. Manfaat dari hutan mangrove adalah melindungi pantai dari abrasi, sebagai tempat mencari makan dan berlindung bagi organisme laut maupun darat. Adapun manfaat hutan mangrove bagi manusia adalah sebagai bahan baku untuk bahan bakar, sebagai bahan makanan alternatif, dan sebagainya
Namun seiring berkembangnya zaman dan banyaknya orang yang bermukim di daerah pesisir maka sebagian orang memanfaatkan lahan mangrove sebagai lahan pemukiman dengan cara menebang hutan mangrove dan juga mereka mengekploitasi secara besar-besaran sehingga hutan mangrove semakin berkurang. Oleh karena itu perlu diadakan upaya perbaikan dan pemulihan sehingga mangrove yang ada sekarang tidak semakin berkurang demi masa depan generasi selanjutnya. Pengenalan rehabilitasi mangrove akan memberi motivasi masyarakat dalam menghijaukan kembali pesisir dan pantai.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.03/MENHUT-V/2004 rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis.
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep ini pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove.
Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap utan-hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove sendiri telah dirintis sejak tahun 1960 di kawasan pantai utara Pulau Jawa.
Sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak di pantai utara Pulau Jawa dilaporkan telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman utama Rhizophora spp dan Avicennia spp dengan persentumbuh hasil penanaman berkisar antara 60-70%.
Fungsi dan Peranan Rehabilitasi Mangrove
Rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi lindung, fungsi pelestarian dan fungsi produksi (Kementrian Lingkungan Hidup, 1994).
Program rehabilitasi dan konservasi dimaksudkan untuk memulihkan atau memperbaiki kualitas tegakan yang sudah rusak serta mempertahankannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga fungsi hutan baik sebagai penghasil kayu, penjaga intrusi air laut, abrasi, serta sebagai penyangga kehidupan tetap terjaga (Aqsa, 2010).
Rehabilitasi hutan mangrove merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan mangrove yang merupakan bagian integral dari pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu yang ditempatkan pada kerangka Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit manajemen. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan mangrove yang dimaksud ditujukan untuk memulihkan sumberdaya hutan yang rusak sehingga berfungsi optimal dalam memberikan manfaat kepada seluruh pihak yang berkepentingan, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan pesisir, mendukung kelangsungan industri berbasis sumberdaya mangrove. Tujuan tersebut dapat dicapai jika penanganan kawasan dilakukan secara tepat, adanya kelembagaan yang kuat, dan teknologi rehabilitasi yang tepat guna berorientasi pada pemanfaatan yang jelas (DKP, 2010).
Lokasi penanaman mangrove dapat dilakukan di kawasan hutan lindung, hutan produksi, kawasan budidaya, dan di luar kawasan hutan pada daerah :
  1. Pantai, dengan lebar sebesar 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan yang diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
  2. Tepian sungai, selebar 50 m ke arah kiri dan kanan tepian sungai yang masih terpengaruh air laut.
  3. Tanggul, pelataran dan pinggiran saluran air ke tambak.
Pemilihan jenis mangrove juga harus disesuaikan dengan lahan yang akan direhabilitasi. Beberapa jenis mangrove yang cocok untuk kondisi lahan tertentu menurut Bengen (2006) adalah sebagai berikut :
  1. Bakau (Rhizophora spp.) dapat tumbuh dengan baik pada substrat (tanah) yang berlumpur, dan dapat mentoleransi tanah lumpur-berpasir, dipantai yang agak berombak dengan frekuensi genangan 20-40 kali/bulan. Bakau merah (Rhizophora stylosa) dapat ditanam pada substrat pasir berkoral.
  2. Api-api (Avicennia spp.) lebih cocok ditanam pada substrat pasir berlumpur terutama di bagian terdepan pantai, dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan.
  3. Bogem/Prapat (Sonneratia spp.) dapat tumbuh baik dilolasi bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir dari pinggir pantai ke arah darat, dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan.
  4. Tancang (Bruguiera gymnorrhiza) dapat tumbuh dengan baik pada substrat yang lebih keras yang terletak ke arah darat dari garis pantai dengan frekuensi genangan 30-40 kali/bulan.
Menurut Bengen (2006) dalam proses pembibitan bibit mangrove diusahakan berasal dari lokasi setempat atau lokasi terdekat, disesuaikan dengan kondisi tanahnya. Persemaian dilakukan dilakukan di lokasi tanam untuk penyesuaian dengan lingkungan setempat.
Menurut Bengen (2006), untuk mengatasi hama pada tanaman mangrove sebaiknya dilakukan beberapa cara sebagai berikut :
  • Buah Rhizophora spp. atau Bruguiera spp. yang akan digunakan sebagai bibit, dipilih yang telah cukup matang. Tanda-tanda kematangan buah ditunjukkan oleh keluarnya buah dari tangakai.
  • Buah kemudian disimpan ditempat yang teduh, ditutupi dengan karung goni yang setengah basah selama 5-7 hari. Penyimpanan ini dimaksudkan untuk menghilangkan bau/aroma buah segar yang dimiliki buah mangrove yang sangat disenangi oleh serangga.
Setelah itu buah mangrove siap untuk disemai pada kantong plastik/botol air mineral bekas atau ditanam langsung ke lokasi tanam.
Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menanam langsung buahnya atau melalui persemaian bibit. Penanaman langsung tingkat keberhasilan tumbuhnya rendah (sekitar 20-30%), sedangkan penanaman dengan melalui persemaian bibit tingkat keberhasilan tumbuhnya relatif tinggi (sekitar 60-80%). Untuk memperoleh bibit mangrove yang baik, pengumpulan buah (propagule) dapat dilakukan antara bulan September sampai dengan bulan Maret, dengan karak teristik sebagai berikut :
Bakau/Bakau-bakau (Rhizophora spp.)
  • Buah sebaiknya dipilih dari pohon mangrove yang berusia di atas 10 tahun.
  • Buah yang baik dicirikan oleh hampir lepasnya bongkol dari batang buah.
  • Buah yang sudah matang dari Bakau Besar (R. mucronata) dicirikan oleh warna buah hijau tua atau kecoklatan dengan kotiledon (cincin) yang berwarna kuning; buah Bakau Kecil (R. apiculata) matang ditandai dengan warna buah hijau kecoklatan dan warna kotiledon merah.
Tancang (Bruguiera spp.)
  • Buah dipilih dari pohon yang berumur antara 5-10 tahun.
  • Buahnya dipilih yang sudah matang, dicirikan oleh hampir lepasnya bongkol buah dari batangnya.
Api-api (Avicennia spp.), Bogem (Sonneratia spp), dan Nyirih (Xilocarpus granatum)
  • Buah sebaiknya diambil yang sudah matang, dicirikan oleh warna kecoklatan, agak keras dan bebas dari hama penggerek.
  • Buah lebih baik diambil yang sudah jatuh dari pohon.
Buah disemaikan langsung ke kantong-kantong plastik atau ke dalam botol air mineral bekas yang yang sudah berisi media tanah. Sebelum diisi tanah, bagian bawah kantong plastik atau botol air mineral bekas diberi lubang agar air yang berlebihan dapat keluar. Khusus untuk buah bakau (Rhizophora spp.) dan Tancang (Bruguiera spp.) sebelum disemaikan sebaiknya disimpan dulu di tempat yang teduh dan ditutupi dengan karung basah selama 5-7 hari. Ini bermanfaat untuk menghindari batang bibit dimakan oleh serangga atau ketan pada saat ditanam nanti (Bengen, 2006).
Persemaian bibit mangrove menurut Bengen (2006) dilakukan pada lahan yang lapang dan datar, dekat dengan lokasi tanam. Terendam dengan air pasang, dengan frekuensi lebih kurang 20-40 kali/bulan, sehingga tidak memerlukan penyiraman
Pembuatan bedeng persemian
  1. Ukuran disesuaikan dengan kebutuhan, umumnya berukuran 1x5 m atau 1x10 m dengan tinggi 1 m
  2. Bedeng diberi naungan ringan dari daun nipah atau sejenis.
  3. Media bedengan berasal dari tanah lumpur sekitarnya.
  4. Bedeng berukuran 1x5 m dapat menampung bibit dalam kantong plastik (10x50 cm) atau dalam botol air mineral bekas (500 ml) sebanyak 1200 unit, atau sebanyak 2250 unit untuk bedeng berukuran 1x10 m.
Cara pembibitan mangrove adalah dengan cara buah disemaikan langsung ke kantong-kantong plastik atau ke dalam botol air mineral bekas yang sudah berisi media tanah. Sebelum diisi tanah, bagian bawah kantong plastik atau botol air mineral bekas diberi lubang agar air yang berlebihan dapat keluar. Khusus untuk buah Bakau (Rizophora spp.) dan Tancang (Bruguiera spp.) sebelum disemaikan sebaiknya disimpan dulu di tempat yang teduh dan ditutupi karung basah selam 5-7 hari. Daun muncul setelah 20 hari, setelah berumur 2-3 bulan bibit sudah bisa ditanam di lokasi.
Menurut Bengen (2006) penanaman mangrove dapat dilakukan melalui dua sistem, yaitu : (1) sistem banjar harian, dan (2) sistem tumpang sari, atau lebih dikenal dengan sistem wanamina (silvofishery).
(1) Sistem banjar harian
a. Menggunakan benih
  • Didekat ajir, buat lubang tanam pada saat air surut, dengan kedalaman lubang disesuaikan dengan benih yang akan ditanam. Penanaman benih sebaiknya dilakukan sedalam kurang lebih sepertiga dari panjang benih.
  • Benih ditanam secara tegak, dengan bakal kecambah menghadap ke atas.
b. Menggunakan bibit
  • Buat lubang didekat ajir pada saat air surut, dengan ukuran lebih besar dari ukuran kantong plastik atau botol air mineral bekas.
  • Bibit ditanam secara tegak ke dalam lubang yang telah di buat, dengan melepaskan bibit dari kantong plastik atau botol air mineral secara hati-hati agar tidak merusak akarnya.
  • Sela-sela lubang disekeliling bibit ditimbun dengan tanah sebatas leher akar
c. Jarak tanam tergantung pada tujuan penanaman mangrove, bila untuk perlindungan pantai bibit ditanam ada jarak 1x1 m, tetapi bil untuk produksi digunakan jarak 2x2 m.
d. Jenis tanaman mangrove yang ditanam disesuaikan dengan zonasi ataupun tujuan dari penanaman mangrove di lokasi tersebut. Bila untuk penahan abrasi gunakann jenis bakau (Rhizophora spp.), namun bila untuk penghjauan saja cukup ditanam jenis api-api (Avicennia spp.)
(2) Sistem wanamina (Silvofishery)
Pada prinsipnya penanaman benih atau bibit mangrove dengan sistem wanamina sama seperti pada sistem banjar harian. Perbedaannya adalah pada penanaman mangrove dengan sistem wanamina dibuatkan tambak/kolam dan saluran air untuk membudidayakan sumber daya ikan (ikan, udang, dsb), sehingga terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budidaya sumberdaya ikan (mina).
Secara umum terdapat tiga pola dalam sistem wanamina (Menurut Bengen, 2006), , yaitu;
  • Wanamina dengan pola empang parit, pada pola empang parit lahan untuk hutan mangrove dengan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air.
  • Wamina dengan pola empang parit yang disenpurnakan. Lahan untuk hutan mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah.
  • Wamina dengan pola komplangan. Lahan untuk hutan mangrove dan hutan mangrove terpisah dalam dua hamparan ynag diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang.
Langkah-langkah pemeliharaan mangrove menurut Bengen (2006) adalah sebagai berikut :
Penyiangan dan Penyulaman
Tiga bulan setelah penanaman dilaksanakan pemeriksaan lapangan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan tanaman. Apabila ada tanaman yang mati, harus segera dilaksanakan penyulaman dengan tanaman yang baru.
Pada lokasi penanaman yang agak tinggi atau frekuensi genangan air pasang kurang, perlu mendapat perhatian lebih intensif dalam pemeliharaannya. Hal ini disebabkan pad alokasi tersebut cepat ditumbuhi kembali oleh sejenis pakisan atau Piyai (Acrosthicum aureumi). Jadi apabila kelihatan tumbuhan Piyai mengganggu tumbuhan anakan, perlu segera dilakukan penebasan kembali. Kegiatan penyiangan dan penyulaman ini dilakukan samapai tanaman berumur lima tahun.
Penjarangan
Kegiatan penjarangan diperlukan untuk memberi ruang tumbuh yang ideal bagi tanaman, yaitu agar pertumbuhan tanaman dapat meningkat dan pohon-pohon yang tumbuh sehat dan baik. Hasil penjarangan ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku arang, industri kertas, kayu bakar, bahkan untuk makanan kambing.
Perlindungan tanaman
Mangrove dalam pertumbuhannya mempunyai masa-masa kritis. Oleh karena itu perlindungan tanaman mangrove dari hama yang merusak, mulai dari pembibitan hingga mencapai anakan, perlu dilakukan agar pertumbuhannya dapat berlangsung dengan baik.
Sejak usia pertumbuhan satu tahun, batang mangrove sangat disukai oleh serangga atau ketam/kepiting. Menurut pengalaman 60-70% mangrove akan mati sebelum berusia satu tahun karena digerogoti oleh seranggga atau ketam/kepiting.
Hama lain yang sering menyerang tanaman mangrove pada usia muda adalah kutu lompat (mealy bug). Serangan pleh hama ini dicirikan oleh warna daun tanaman menjadi kuning, kemudian rontok dan tanaman mati. Bila serangan hama ini terjadi sebaiknya tanaman yang terserang dimusnahkan saja agar menghambat penyebarannya pada tanaman lain.
Sumber Rujukan:
  • Aqsa, Muhammad . 2010.Rehabilitasi Dan Konservasi Mangrove Dalam Menunjang Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat Tiworo Http://Mimpi22.Wordpress.Com/2010/10/12/Rehabilitasi-Dan-Konservasi-Mangrove-Dalam-Menunjang-Kawasan-Konservasi-Laut-Daerah-Kkld-Selat-Tiworo/ [Diakses tanggal 12 Oktober 2010]
  • Bengen, Dietriech G. 2006. Pedoman Teknis PENGENALAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE. PKSPL-IPB (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor). Bogor
  • DKP, 2010. Rehabilitasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil http://diskanlut-jateng.go.id/index.php/read/news/detail/62 [Diakses tanggal 12 Oktober 2010]
  • Kementrian Lingkungan Hidup.1994.Pengelolaan Ekosistem Pesisir Dan Lautan (Jalur Hijau Pantai). http://www.menlh.go.id/i/PAPER/HUTAN_MANGROVE. PDF [Diakses tanggal 12 Oktober 2010]
  • Kesemat. 2008. Tahapan Rehabilitasi Mangrove. http://kesemat.blogspot.com/2008/03/tahapanrehabilitasimangrove.html [Diakses tanggal 1 November 2010]
  • Peraturan Menteri Kehutanan No.03/MENHUT-V/2004. Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Mangrove Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar