Minggu, 06 November 2016

vegetasi hutan mangrove

Mangrove merupakan kombinasi antara kata Mangue (bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan Grove (bahasa Ingris) yang berarti belukar (Arief, 2003), selanjutnya menurut Mastaller (dalam Noor, 2006) bahwa “Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno yaitu  mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avecennia”.
Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No.60/Kpts/Dj./1/1978 (dalam Arief, 2003) bahwa “Mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat disepanjang pantai dan muara sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut”. Selanjutnya menurut Kitamura (2003) menyatakan bahwa “Mangrove merupakan tumbuhan tropis dan komunitasnya di daerah pasang surut”. Daearah pasang surut merupakan daerah yang mendapat pengaruh pasang surut dan terletak disepanjang garis pantai, termasuk tepi laut, muara sungai dan teri sungai. 
Berdasarkan uraian tersebut, hutan mangrove dapat dikatakan sebagai  vegetasi pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh beberapa spesies mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, lumpur dan berpasir. Namun demikian tidak semua pantai ditumbuhi mangrove, karena untuk pertumbuhannya memiliki persyaratan, antara lain adalah kondisi pantainya terlindung dan relatif tenang, landai dan mendapat sedimen dari muara sungai.
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut dimana bagian daratnya masih dipengaruhi oleh sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan air lautnya masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi aliran air tawar dan semua kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pencemaran dan sebagainya.
Hutan mangrove sering kali disebut hutan bakau. Bakau sebenarnya hanya salah satu spesies tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu spesies Rhizophora sp yang merupakan spesies yang mendominasi hutan mangrove. Meskipun demikian penggunaan istilah hutan bakau untuk menggambarkan hutan mangrove kurang tepat karena dalam kawasan hutan mangrove terdapat beberapa spesies yang berasosiasi di dalamnya.
              Terdapat beberapa spesies mangrove yang menyusun vegetasi mangrove termasuk dalam genus Rhizophora, Sonneratia, Xylocarpus, Avicennia dan dari suku palma seperti Nypa fructicans (Arief, 2003). Berikut ini beberapa ciri morfologi dari setiap spesies tumbuhan mangrove dengan melihat karakteristik morfologi akar, daun, bunga dan buah yaitu:
1.      Rhizophora mucronata Lamk
        Bakau/Bakau Besar (Black Mangrove). Merupakan salah satu spesies mangrove yang banyak digunakan masyarakat untuk mengambil kayunya sebagai bahan keperluan rumah tangga. Untuk daerah Gorontalo lebih mengenal spesies tumbuhan ini dengan nama Wuwaata Hutihu.
        Bakau merupakan spesies mangrove yang umum dijumpai karena penyebaranya yang luas. Spesies ini dapat tumbuh mencapai 25 meter dan berakar tunjang. Bentuk daunnya lebar dengan panjang mencapai 15-20 cm, berwarna hijau kekuningan, terdapat bercak hitam kecil yang menyebar pada permukaan bawah daun.
        Bunga berwarna putih dengan rangkaian bunga 4-8 kelopak bunga yang terletak diketiak daun dan berukuran kecil. Buahnya berbentuk memanjang dengan ukuran mencapai 50-70 cm dan meruncing pada bagian ujungnya. Kulit batang berwarna coklat sampai abu-abu gelap dengan permukaan yang kasar. Akar berbentuk tongkat yang keluar dari batang dan memiliki lentisel untuk pernapasan (Noor, 2006).
2.      Rhizophora apiculata Blume
        Bakau (Tall Stilted Mangrove), daerah Gorontalo mengenal spesies tanaman ini dengan istilah Wuwaata Boyuhu. Spesies ini dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 15 m pada habitat yang baik dengan sistim perakaran berupa akar tunjang.
        Daun sebelah atas berwarna hijau sampai kuning kehijauan, bagian bawahnya hijau kekuningan dan memiliki bintik-bintik hitam kecil yang menyebar diseluruh permukaan bawah daun. Panjang daun antara 9-18 cm dan berbentuk elips. Bunganya selalu kembar dengan panjang kelopak antara 12-14 mm, lebarnya antara 9-10 mm, berwarna orens kekuningan. Panjang buahnya berkisar antara 20-25 cm berdiameter 1,3-1,7 cm, buah berwarna hijau sampai kecoklatan dan kulit buah kasar (Kitamura, 2003).
3.      Sonneratia alba J.E.Smith./S. Caseolaris (L.) Eng
        Pedada/Bogem (Mangrove Apple). Spesies tanaman ini dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal dengan istilah Tamentao. Tumbuhan mangrove spesies ini yang paling banyak dijumpai adalah Sonneratia alba. Spesies ini biasanya tumbuh bersama dengan Sonneratia caseolaris, sehingga sulit untuk membedakan kedua spesies ini. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan melihat bunganya. Spesies Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 16 meter. Sonneratia caseolaris memiliki akar napas dengan kulit kayu halus dan Sonneratia alba berakar banir dan akar papan dengan kulit kayu halus dan berwarna coklat.
        Susunan daun tunggal bersilang dengan bentuk daun bulat telur sungsang untuk spesies Sonneratia alba dan panjang 10-15 cm sedangkan spesies Sonneratia caseolaris bentuk daunnya jorong dan pajang 4-8 cm.
        Bungan spesies  Sonneratia alba berwarna putih sedangkan Sonneratia caseolaris berwarna merah. Buahnya agak besar dengan lebar 4 cm dan berwarna hijau dengan bentuk seperti bintang dan keras. Kulit batang halus,   berwarna krem sampai coklat dan nampak agak retak-retak dengan berbentuk akar napas, berbentuk kerucut (Kitamura, 2003).
4.      Avicennia marina (Forssk) Vierh
        Api-api (Grey mangrove), dalam bahasa Gorontalo dikenal dengan nama yapi-yapi putih. Spesies mangrove ini umumnya hidup pada sustrat berpasir atau berlumpur tipis. Bertoleransi baik pada salinitas tinggi (salinitas laut), tinggi pohon dapat mencapai 12 meter dengan bentuk akar berupa akar napas.
        Daun bersusun tunggal dan bersilang, bentuk elips dengan ujung daun runcing hingga membulat. Daun pada sisi sebelah atas berwarna hijau sedangkan sisi sebelah bawah berwarna abu-abu keperakan atau putih. Panjang daun berkisar antara 5-11 cm.
        Rangkai bunga 8-11 yang terletak diketiak daun pada pucuk. Bunganya biasanya berwarna kuning hingga orens dengan diameter antara 0,4-0,5 cm. Bentuk buah membulat dengan permukaan halus. Panjang buah 1,5-2,5 cm dan berwarna hijau hingga kuning. Kulit batang halus, berwarna keabu-abuan hingga hijau, (Kitamura, 2003).
5.      Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk.
        Tancang (Large-Leafed Orange Mangrove) dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal dengan nama Songge. Pada kondisi yang baik spesies mangrove ini dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 20-31 meter dengan bentuk akar berupa akar lutut dan banir kecil berasal dari bentukan seperti akar tunjang.
        Daun memiliki panjang antara 8-15 cm, dan lebarnya antara 5-8 cm, daun biasanya berbentuk elips, mengumpul pada ujung tangkai batang, denga warna daun bagian atas hijau kekuningan dengan ujung daun runcing.
        Bunga pada umumnya berwarna merah dan menempel pada buahnya ketika jatuh. Buahnya berwarna hijau dan berbentuk memanjang ramping, dengan panjang berkisar antara 20-31 cm. Kulit kayu berwarna abu-abu tua sampai coklat dengan permukaan kasar, (Noor, 2006).
6.      Crips decandra (Griff) Ding Hou
        Tinggi (Yellow Mangrove), dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal dengan nama Molingkapoto. Spesies mangrove ini apabila berada pada habitat yang cocok/baik dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 3-15 meter dengan bentuk akar berupa akar banir yang berasal dari akar tunjang.
        Bentuk daun bulat telur sungsang dengan panjang 3-6 cm. Daun berwarna hijau mengkilap dengan ujung daun membundar dan letak berlawanan. Bunga berwarna putih hingga coklat berdiametet 0,8-1,2 cm, dengan sepasang benang sari yang terlindung oleh daun bunga. Buah biasanya berwarna hijau hingga hijau kecoklatan dengan bentuk memanjang berdiameter 0,8-0,12 cm dan panjang buah mencapai 15 cm. Kulit kayu berwarna coklat dengan permukaan halus, (Noor, 2006).
7.      Xylocarpus granatum Koen
              Nyirih/siri (Cedar mangrove), dalam bahasa gorontalo tumbuhan ini dikenal dengan nama Antai. Spesies ini dapat tumbuh mencapai lebih dari 8-20 meter dengan bentuk akar berupa akar papan. Daunnya berwarna hijau gelap, bentuk daun elips sampai bulat sungsang (Noor, 2006).
              Susunan daun berpasangan, letak berlawanan dengan ujung membulat. Bunga mempunyai ukuran yang kecil dan berwarna putih susu hingga putih kehijauan. Buah berbentuk bulat dengan diameter berkisar antara 15-20 cm, berwarna coklat kekuningan. Kulit batang agak licin dan berwarna merah kecoklatan dengan permukaan halus (Kitamura, 2003).
              Sebagai ekosistem pantai, hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang rumit karena terkait dengan ekosistem darat dan ekosistem pantai di luarnya  sehingga hutan mangrove dapat dikatakan sebagai interface ecosistem, yang menghubungkan daratan ke arah pedalaman serta dalam pesisir muara (Nybakken dalam Arief, 2003).
Banyak spesies hewan dan jasad renik yang berasosiasi dengan hutan mangrove baik yang terdapat pada lantai hutan maupun yang menempel pada tanaman. Keberadaan spesies hewan dan jasad renik pada ekosistem mangrove yang akan menimbulkan terjadinya proses pertukaran dan asimilasi energi namun hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Hutan mangrove merupakan sumber  bahan organik yang dibutuhkan bagi hewan atau biota yang hidup di ekosistem mangrove. Kawasan mangrove secara nyata menjadi penyedia bahan makanan dan energi bagi kehidupan di pantai tropis, serupa dengan peranan fitoplankton dan berbagai spesies alga di laut (Fortes dalam Arief, 2003).
Hutan mangrove dapat berfungsi secara fisika, kimia, biologi dan ekonomi serta dapat berfungsi sebagai kawasan wisata dan tempat penelitian, pendidikan dan konservasi (Noor, 2006). Fungsi ekonomi dari hutan mangrove adalah kayunya dapat dijadikan sebagai bahan bangunan, bahan bakar, penambakan ikan dan udang. Kulit dijadikan sebagai bahan penyamak, obat-obatan dan sebagai bahan makanan.
Fungsi biologi hutan mangrove sebagai habitat dari berbagai macam kepiting, udang,  ikan, selain itu sebagai tempat bersarangnya burung-burung serta sebagai pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Man dalam Noor, 2006). Fungsi fisik hutan mangrove yaitu sebagai pelindung pantai dan wilayah pesisir dari hempasan gelombang, angin dan badai, sedangkan fungsi hutan mangrove dalam bidang industri, yaitu sebagai penghasil arang berkualitas tinggi disamping sebagai penghasil kayu bakar dan bahan penyamak kulit (Pramudji, 2003).
2.2  Struktur Vegetasi Mangrove
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa spesies yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup serta dinamis (Marsono dalam Irwanto, 2007).
Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan suatu sistem yang selalu berkembang sesuai dengan keadaan habitatnya.
Vegetasi mangrove secara spesifik memperlihatkan adanya pola zonasi. Hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir, atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut air laut (Champman, Bunt dan Williams dalam Noor 2006).
Hutan mangrove terdiri atas berbagai spesies vegetasi. Beberapa spesies mangrove yang dikenal antara lain Tanang Waduk (Rhizophora apicalata BL.) atau bakau putih atau bakau gede, Tanjang Lanang (Rhizophora   mucronata LMK).
Istilah tanjang sebutan khusus untuk Brugiera yang digolongkan dalam famili yang sama dengan Rhizophoraceae, namun dalam lingkungan masyarakat pesisir terjadi salah pengertian karena bercampur dengan istilah daerah atau bahasa daerah. Famili Rhizophoraceae terdiri atas berbagai spesies, yaitu Bruguiera gymnorrhiza (L.), Bruguiera parviflora (L.), Bruguiera sexangula (Lour), Bruguiera hainesii, Bruguiera exsaristata Ding Hou, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou dan Ceriop  tagal (Perr.) CB. Robin, (Arief, 2003).
Beberapa spesies yang masih satu famili, khususnya spesies Rhizophora spp., berbeda dalam hal pertumbuhan akar. Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata tumbuh tegak, sedangkan Rhizophora stylosa perakaran memanjang, rebah dan sedikit menjangkar. Buah Rhizophora apiculata agak pendek dan lurus, yang hampir sama dengan spesies Rhizophora stylosa hanya buah Rhizophora stylosa kurus dan kecil.
            Spesies vegetasi lain adalah dari famili Sonneratiaceae dan dari famili Verbenaceae, yakni Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris,  Sonneratia ovata, Avicenia alba, Avicenia marina, dan Avicenia officinali L.
Vegetasi hutan mangrove tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut air laut yang banyak mengandung lumpur dan pasir. Vegetasi ini mampu hidup dalam genangan air laut dan tanah yang berawa dan mengandung sedikit oksigen. Oleh karena itu vegetasi mangrove dapat menyesuaikan diri dengan genangan air laut dan lumpur dengan cara sebagai berikut :
a.       Untuk mencegah kelebihan kadar garam maka vegetasi mangrove dapat membentuk pori-pori khusus pada daun, batang dan akarnya, sehingga dapat mengeluarkan partikel garam pada saat surut.
b.      Dengan membentuk akar napas vegetasi mangrove dapat bernapas dalam lumpur.
c.       Akar-akar yang menegakan dan menopang tumbuhan pada habitat lumpur.
d.      Mempunyai cara berkecambah yang khas yaitu kecambah terbentuk sewaktu buah masak masih tergantung didahan atau pohon, kemudian jatuh dan tertancap di lumpur secara tegakan lurus pada waktu surut dan dapat terbawa oleh arus laut keberbagai lokasi yang cocok untuk berkecambah pada waktu air pasang.
Kemampuan adaptasi mangrove terhadap lingkungan menunjukan adanya perbedaan vegetasi. Noor (2006) membagi vegetasi mangrove dalam empat zona yakni:
a.       Mangrove terbuka
Mangve ini berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Pada zona ini didominasi oleh Sonnertatia alba, Avecennia marina dan Rhizophora yang merupakan spesies yang mendominansi daerah lumpur bercampur pasir.
b.      Mangrove tengah
Mangrove dibagian ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Dizona ini didominasi oleh spesies Rhizophora.  Namun Samingan menemukan spesies-spesies yang lain Di Karang Agung adalah B.erioptela, B.gymnorrhiza, excoeceria aggalocha, R. Mucronata, Xylocarpus granatum, dan X. mollucensis.
c.       Mangrove payau
Mangrove ini berada disepanjang aliran sungai yang berair payau dan hampir tawar. Di zona ini didominasi oleh spesies Nypa atau Sonneratia.
d.      Mangrove daratan
Mangrove ini berada dizona perairan payau atau hampir tawar dibelakang mangrove hijau yang sebenarnya. Spesies-spesies yang mendominasi zona ini adalah Ficus microcapus, Intsia bijuga, N. fritucans. Lumnitzera racemosa, Pandanus sp., dan Xylocarpus molucensis.
Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang (Danserau dalam Lover, 2009). Struktur vegetasi merupakan dasar yang harus diketahui guna mencapai pengolahan hutan yang lestari. Menurut Kershaw (dalam Onrizal, 2006)  bahwa “Struktur vegetasi merupakan dasar utama kajian ekologi”.
Struktur vegetasi dinyatakan dalam tiga komponen, yaitu  (a) Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan lapisan tumbuhan bawah, herba, semak, dan pohon penyusun vegetasi dalam suatu komunitas, (b) Sebaran horisotal spesies-spesies penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu dan (c) Kelimpahan setiap jenis dalam suatu komunitas (Kershaw dalam Onriza, 2006).
Menurut Ewusie (dalam Utami, 2010) bahwa “Vegetasi suatu komunitas dapat diukur secara kualitatif maupun secara kuantitatif”. Selanjutnya menurut Gopal dan Bhardwaj (dalam Indriyanto, 2006) bahwa “Struktur vegetasi tumbuhan memiliki sifat kualitatif  dan kuantitatif”. Ciri kualitatif  yang terpenting pada komunitas antara lain adalah susunan flora dan fauna serta pelapisan berbagai unsur dalam komunitas. Ciri kuantitatifnya meliputi beberapa parameter yang dapat diukur seperti densitas, dominansi dan Frekuensi.
Menurut Indriyanto (2006) bahwa “Parameter kuantitatif yang digunakan untuk analisis vegetasi anatara lain; densitas, frekuensi, luas penutupan,indeks nilai penting, perbandingan nilai penting, indeks dominansi, indeks keanekaragaman, indeks kesamaan, dan homogenitas suatu komunitas”.
Kerapatan/densitas adalah jumlah individu suatu spesies tumbuhan dalam suatu luasan tertentu (Idriyanto, 2006). Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas.
Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas (Fachrul, 2007). Dengan kata lain makin banyak ditemukannya suatu spesies dalam sejumlah petak contoh yang dibuat berarti makin besar frekuensi spesies tersebut, sebaliknya makin kecil ditemukannya suatu spesies dalam sejumlah petak contoh maka semakin kecil frekuensi spesies tersebut.
Dominasi merupakan nilai yang menunjukan peguasaan suatu jenis terhadap komunitas  (Indriyanto, 2006). Dominansi dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk atau luas basal area. Untuk menentukan dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas yang bersifat heterogen, yakni dengan menggunakan rumus Indeks Nilai Penting (INP).  Penggunaan indeks nilai penting dalam menentukan dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas karena kerapatan/densitas, dominansi dan frekuensi tidak dapat digunakan satu demi satu untuk menunjukkan kedudukan relatif spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Menurut Soegianto (dalam Indriyanto, 2006) bahwa “Indeks Nilai Penting (INP) atau Inpontant Value Index merupakan indeks kepentingan yang digunakan untuk menyatakan tingkat dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan”.
Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR) dan Dominansi Relatif (DR) setiap spesies. Menurut Indriyanto (2006) bahwa “ Suatu daerah yang hanya didominasi oleh jenis-jenis tertentu, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah”. Daerah yang hanya didominansi oleh spesies-spesies tertentu, memiliki pengaruh terhadap tingkat keanekaragaman spesies.
Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan kelimpahan relatif dari setiap jenis.
Parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan vegetasi tumbuhan, baik dari segi vegetasi maupun tingkat kesamaannya dengan vegetasi lain yakni dengan menghitung indeks keanekaragaman spesies (Soegianto dalam Indriyanto, 2006). Untuk mengetahui keanekaragaman spesies yakni dengan menggunakan rumus Shannon_Wienner (H).
Berdasarkan uraian tersebut, maka parameter yang digunakan untuk analisis struktur vegetasi mangrove di Desa Hutamonu adalah kerapatan/densitas, frekuensi, dominansi, indeks nilai penting dan indeks diversitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar