Mangrove
merupakan kombinasi antara kata Mangue (bahasa
Portugis) yang berarti tumbuhan dan Grove
(bahasa Ingris) yang berarti belukar (Arief, 2003), selanjutnya menurut
Mastaller (dalam Noor, 2006) bahwa “Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu
kuno yaitu mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avecennia”.
Berdasarkan SK
Dirjen Kehutanan No.60/Kpts/Dj./1/1978 (dalam Arief, 2003) bahwa “Mangrove
dikatakan sebagai hutan yang terdapat disepanjang pantai dan muara sungai yang
masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada saat pasang
dan bebas genangan pada saat surut”. Selanjutnya menurut Kitamura (2003) menyatakan bahwa “Mangrove merupakan tumbuhan tropis dan komunitasnya di
daerah pasang surut”. Daearah pasang surut merupakan daerah yang mendapat
pengaruh pasang surut dan terletak disepanjang garis pantai, termasuk tepi
laut, muara sungai dan teri sungai.
Berdasarkan
uraian tersebut, hutan
mangrove dapat dikatakan sebagai vegetasi pantai
tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh beberapa
spesies mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, lumpur dan berpasir. Namun demikian tidak semua
pantai ditumbuhi mangrove, karena untuk pertumbuhannya memiliki persyaratan,
antara lain adalah kondisi pantainya terlindung dan relatif tenang, landai dan
mendapat sedimen dari muara sungai.
Wilayah pesisir adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut dimana bagian daratnya masih dipengaruhi oleh
sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan
air lautnya masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi aliran air tawar dan semua kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan, pencemaran dan sebagainya.
Hutan mangrove
sering kali disebut hutan bakau. Bakau sebenarnya hanya salah satu spesies
tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu spesies Rhizophora sp yang merupakan spesies yang mendominasi hutan
mangrove. Meskipun demikian penggunaan istilah hutan bakau untuk menggambarkan
hutan mangrove kurang tepat karena dalam kawasan hutan mangrove terdapat
beberapa spesies yang berasosiasi di dalamnya.
Terdapat beberapa spesies mangrove
yang menyusun vegetasi mangrove termasuk dalam genus Rhizophora, Sonneratia, Xylocarpus, Avicennia dan dari suku palma
seperti Nypa fructicans (Arief, 2003). Berikut ini
beberapa ciri morfologi dari setiap spesies tumbuhan mangrove dengan melihat
karakteristik morfologi akar, daun, bunga dan buah yaitu:
1.
Rhizophora
mucronata Lamk
Bakau/Bakau Besar (Black Mangrove). Merupakan salah satu spesies mangrove yang banyak
digunakan masyarakat untuk mengambil kayunya sebagai bahan keperluan rumah
tangga. Untuk daerah Gorontalo lebih mengenal spesies tumbuhan ini dengan nama
Wuwaata Hutihu.
Bakau merupakan spesies mangrove yang
umum dijumpai karena penyebaranya yang luas. Spesies ini dapat tumbuh mencapai
25 meter dan berakar tunjang. Bentuk daunnya lebar dengan panjang mencapai
15-20 cm, berwarna hijau kekuningan, terdapat bercak hitam kecil yang menyebar
pada permukaan bawah daun.
Bunga berwarna putih dengan rangkaian
bunga 4-8 kelopak bunga yang terletak diketiak daun dan berukuran kecil.
Buahnya berbentuk memanjang dengan ukuran mencapai 50-70 cm dan meruncing pada
bagian ujungnya. Kulit batang berwarna coklat sampai abu-abu gelap dengan
permukaan yang kasar. Akar berbentuk tongkat yang keluar dari batang dan
memiliki lentisel untuk pernapasan (Noor, 2006).
2.
Rhizophora
apiculata Blume
Bakau (Tall Stilted Mangrove), daerah Gorontalo mengenal spesies tanaman
ini dengan istilah Wuwaata Boyuhu. Spesies ini dapat tumbuh hingga mencapai
ketinggian 15 m pada habitat yang baik dengan sistim perakaran berupa akar
tunjang.
Daun sebelah atas berwarna hijau sampai
kuning kehijauan, bagian bawahnya hijau kekuningan dan memiliki bintik-bintik
hitam kecil yang menyebar diseluruh permukaan bawah daun. Panjang daun antara
9-18 cm dan berbentuk elips. Bunganya selalu kembar dengan panjang kelopak
antara 12-14 mm, lebarnya antara 9-10 mm, berwarna orens kekuningan. Panjang
buahnya berkisar antara 20-25 cm berdiameter 1,3-1,7 cm, buah berwarna hijau
sampai kecoklatan dan kulit buah kasar (Kitamura, 2003).
3.
Sonneratia alba J.E.Smith./S. Caseolaris (L.) Eng
Pedada/Bogem (Mangrove Apple). Spesies tanaman ini dalam bahasa daerah Gorontalo
dikenal dengan istilah Tamentao. Tumbuhan mangrove spesies ini yang paling
banyak dijumpai adalah Sonneratia alba.
Spesies ini biasanya tumbuh bersama dengan Sonneratia
caseolaris, sehingga sulit untuk membedakan kedua spesies ini. Salah satu
cara yang sering dilakukan adalah dengan melihat bunganya. Spesies Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 16
meter. Sonneratia caseolaris memiliki
akar napas dengan kulit kayu halus dan Sonneratia
alba berakar banir dan akar papan dengan kulit kayu halus dan berwarna
coklat.
Susunan daun tunggal bersilang dengan
bentuk daun bulat telur sungsang untuk spesies Sonneratia alba dan panjang 10-15 cm sedangkan spesies Sonneratia caseolaris bentuk daunnya jorong
dan pajang 4-8 cm.
Bungan spesies Sonneratia
alba berwarna putih sedangkan Sonneratia
caseolaris berwarna merah. Buahnya agak besar dengan lebar 4 cm dan
berwarna hijau dengan bentuk seperti bintang dan keras. Kulit batang halus, berwarna krem sampai coklat dan nampak agak
retak-retak dengan berbentuk akar napas, berbentuk kerucut (Kitamura, 2003).
4.
Avicennia
marina (Forssk) Vierh
Api-api (Grey mangrove), dalam bahasa Gorontalo dikenal dengan nama
yapi-yapi putih. Spesies mangrove ini umumnya hidup pada sustrat berpasir atau
berlumpur tipis. Bertoleransi baik pada salinitas tinggi (salinitas laut),
tinggi pohon dapat mencapai 12 meter dengan bentuk akar berupa akar napas.
Daun bersusun tunggal dan bersilang,
bentuk elips dengan ujung daun runcing hingga membulat. Daun pada sisi sebelah
atas berwarna hijau sedangkan sisi sebelah bawah berwarna abu-abu keperakan
atau putih. Panjang daun berkisar antara 5-11 cm.
Rangkai bunga 8-11 yang terletak
diketiak daun pada pucuk. Bunganya biasanya berwarna kuning hingga orens dengan
diameter antara 0,4-0,5 cm. Bentuk buah membulat dengan permukaan halus.
Panjang buah 1,5-2,5 cm dan berwarna hijau hingga kuning. Kulit batang halus,
berwarna keabu-abuan hingga hijau, (Kitamura, 2003).
5.
Bruguiera
gymnorrhiza (L) Lamk.
Tancang (Large-Leafed Orange Mangrove) dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal
dengan nama Songge. Pada kondisi yang baik spesies mangrove ini dapat tumbuh
hingga mencapai ketinggian 20-31 meter dengan bentuk akar berupa akar lutut dan
banir kecil berasal dari bentukan seperti akar tunjang.
Daun memiliki panjang antara 8-15 cm,
dan lebarnya antara 5-8 cm, daun biasanya berbentuk elips, mengumpul pada ujung
tangkai batang, denga warna daun bagian atas hijau kekuningan dengan ujung daun
runcing.
Bunga pada umumnya berwarna merah dan
menempel pada buahnya ketika jatuh. Buahnya berwarna hijau dan berbentuk
memanjang ramping, dengan panjang berkisar antara 20-31 cm. Kulit kayu berwarna
abu-abu tua sampai coklat dengan permukaan kasar, (Noor, 2006).
6.
Crips decandra (Griff) Ding
Hou
Tinggi (Yellow Mangrove), dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal dengan nama
Molingkapoto. Spesies mangrove ini apabila berada pada habitat yang cocok/baik
dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 3-15 meter dengan bentuk akar berupa
akar banir yang berasal dari akar tunjang.
Bentuk daun bulat telur sungsang dengan
panjang 3-6 cm. Daun berwarna hijau mengkilap dengan ujung daun membundar dan
letak berlawanan. Bunga berwarna putih hingga coklat berdiametet 0,8-1,2 cm,
dengan sepasang benang sari yang terlindung oleh daun bunga. Buah biasanya
berwarna hijau hingga hijau kecoklatan dengan bentuk memanjang berdiameter
0,8-0,12 cm dan panjang buah mencapai 15 cm. Kulit kayu berwarna coklat dengan
permukaan halus, (Noor, 2006).
7.
Xylocarpus
granatum Koen
Nyirih/siri (Cedar mangrove), dalam bahasa gorontalo tumbuhan ini dikenal dengan
nama Antai. Spesies ini dapat tumbuh mencapai lebih dari 8-20 meter dengan
bentuk akar berupa akar papan. Daunnya berwarna hijau gelap, bentuk daun elips
sampai bulat sungsang (Noor, 2006).
Susunan daun berpasangan, letak
berlawanan dengan ujung membulat. Bunga mempunyai ukuran yang kecil dan
berwarna putih susu hingga putih kehijauan. Buah berbentuk bulat dengan
diameter berkisar antara 15-20 cm, berwarna coklat kekuningan. Kulit batang
agak licin dan berwarna merah kecoklatan dengan permukaan halus (Kitamura,
2003).
Sebagai ekosistem pantai, hutan
mangrove merupakan suatu kawasan yang rumit karena terkait dengan ekosistem
darat dan ekosistem pantai di luarnya
sehingga hutan mangrove dapat dikatakan sebagai interface ecosistem, yang menghubungkan daratan ke arah pedalaman
serta dalam pesisir muara (Nybakken dalam Arief, 2003).
Banyak spesies
hewan dan jasad renik yang berasosiasi dengan hutan mangrove baik yang terdapat
pada lantai hutan maupun yang menempel pada tanaman. Keberadaan spesies hewan
dan jasad renik pada ekosistem mangrove yang akan menimbulkan terjadinya proses
pertukaran dan asimilasi energi namun hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Hutan mangrove
merupakan sumber bahan organik yang
dibutuhkan bagi hewan atau biota yang hidup di ekosistem mangrove. Kawasan
mangrove secara nyata menjadi penyedia bahan makanan dan energi bagi kehidupan
di pantai tropis, serupa dengan peranan fitoplankton dan berbagai spesies alga
di laut (Fortes dalam Arief, 2003).
Hutan mangrove
dapat berfungsi secara fisika, kimia, biologi dan ekonomi serta dapat berfungsi
sebagai kawasan wisata dan tempat penelitian, pendidikan dan konservasi (Noor,
2006). Fungsi ekonomi dari hutan mangrove adalah kayunya dapat dijadikan
sebagai bahan bangunan, bahan bakar, penambakan ikan dan udang. Kulit dijadikan
sebagai bahan penyamak, obat-obatan dan sebagai bahan makanan.
Fungsi biologi hutan mangrove sebagai
habitat dari berbagai macam kepiting, udang,
ikan, selain itu sebagai tempat bersarangnya burung-burung serta sebagai
pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang
hidup pada perairan sekitarnya (Man dalam Noor, 2006). Fungsi fisik hutan mangrove
yaitu sebagai pelindung pantai dan wilayah pesisir dari hempasan gelombang,
angin dan badai, sedangkan fungsi hutan mangrove dalam bidang industri, yaitu
sebagai penghasil arang berkualitas tinggi disamping sebagai penghasil kayu
bakar dan bahan penyamak kulit (Pramudji, 2003).
2.2 Struktur
Vegetasi Mangrove
Vegetasi
merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa spesies yang
hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama
tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun
vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu
sistem yang hidup serta dinamis (Marsono dalam Irwanto, 2007).
Vegetasi,
tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai
keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda
dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor lingkungannya.
Vegetasi hutan merupakan suatu sistem yang selalu berkembang sesuai dengan
keadaan habitatnya.
Vegetasi mangrove secara spesifik memperlihatkan adanya
pola zonasi. Hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir, atau
gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh
pasang surut air laut (Champman, Bunt dan Williams dalam Noor 2006).
Hutan mangrove terdiri atas berbagai spesies vegetasi.
Beberapa spesies mangrove yang dikenal antara lain Tanang Waduk (Rhizophora apicalata BL.) atau bakau
putih atau bakau gede, Tanjang Lanang (Rhizophora mucronata LMK).
Istilah tanjang sebutan khusus untuk Brugiera yang digolongkan dalam famili yang sama dengan Rhizophoraceae, namun dalam lingkungan
masyarakat pesisir terjadi salah pengertian karena bercampur dengan istilah
daerah atau bahasa daerah. Famili Rhizophoraceae
terdiri atas berbagai spesies, yaitu Bruguiera
gymnorrhiza (L.), Bruguiera
parviflora (L.), Bruguiera sexangula
(Lour), Bruguiera hainesii, Bruguiera
exsaristata Ding Hou, Ceriops
decandra (Griff) Ding Hou dan Ceriop tagal (Perr.) CB. Robin, (Arief, 2003).
Beberapa spesies yang masih satu famili, khususnya
spesies Rhizophora spp., berbeda dalam hal pertumbuhan akar. Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata tumbuh tegak,
sedangkan Rhizophora stylosa perakaran
memanjang, rebah dan sedikit menjangkar. Buah Rhizophora apiculata agak pendek dan lurus, yang hampir sama dengan
spesies Rhizophora stylosa hanya buah
Rhizophora stylosa kurus dan kecil.
Spesies vegetasi lain adalah dari
famili Sonneratiaceae dan dari famili
Verbenaceae, yakni Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Sonneratia
ovata, Avicenia alba, Avicenia marina, dan Avicenia officinali L.
Vegetasi hutan
mangrove tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut air laut yang banyak
mengandung lumpur dan pasir. Vegetasi ini mampu hidup dalam genangan air laut
dan tanah yang berawa dan mengandung sedikit oksigen. Oleh karena itu vegetasi
mangrove dapat menyesuaikan diri dengan genangan air laut dan lumpur dengan
cara sebagai berikut :
a.
Untuk mencegah kelebihan kadar garam
maka vegetasi mangrove dapat membentuk pori-pori khusus pada daun, batang dan
akarnya, sehingga dapat mengeluarkan partikel garam pada saat surut.
b.
Dengan membentuk akar napas vegetasi
mangrove dapat bernapas dalam lumpur.
c.
Akar-akar yang menegakan dan menopang
tumbuhan pada habitat lumpur.
d.
Mempunyai cara berkecambah yang khas
yaitu kecambah terbentuk sewaktu buah masak masih tergantung didahan atau
pohon, kemudian jatuh dan tertancap di lumpur secara tegakan lurus pada waktu
surut dan dapat terbawa oleh arus laut keberbagai lokasi yang cocok untuk
berkecambah pada waktu air pasang.
Kemampuan adaptasi mangrove terhadap lingkungan
menunjukan adanya perbedaan vegetasi. Noor (2006) membagi vegetasi mangrove
dalam empat zona yakni:
a.
Mangrove terbuka
Mangve ini berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Pada zona ini
didominasi oleh Sonnertatia alba,
Avecennia marina dan Rhizophora
yang merupakan spesies yang mendominansi daerah lumpur bercampur pasir.
b.
Mangrove tengah
Mangrove dibagian ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Dizona
ini didominasi oleh spesies Rhizophora. Namun Samingan menemukan spesies-spesies yang
lain Di Karang Agung adalah B.erioptela,
B.gymnorrhiza, excoeceria aggalocha, R. Mucronata, Xylocarpus granatum, dan X.
mollucensis.
c.
Mangrove payau
Mangrove ini berada disepanjang
aliran sungai yang berair payau dan hampir tawar. Di zona ini didominasi oleh
spesies Nypa atau Sonneratia.
d.
Mangrove daratan
Mangrove ini berada dizona perairan payau atau hampir tawar dibelakang mangrove
hijau yang sebenarnya. Spesies-spesies yang mendominasi
zona ini adalah Ficus microcapus, Intsia
bijuga, N. fritucans. Lumnitzera racemosa, Pandanus sp., dan Xylocarpus molucensis.
Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang
membentuk tegakan di dalam suatu ruang (Danserau dalam Lover, 2009). Struktur
vegetasi merupakan dasar yang harus diketahui guna mencapai pengolahan hutan
yang lestari. Menurut Kershaw (dalam Onrizal, 2006) bahwa “Struktur vegetasi merupakan dasar
utama kajian ekologi”.
Struktur
vegetasi dinyatakan dalam tiga komponen, yaitu
(a) Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan
lapisan tumbuhan bawah, herba, semak, dan pohon penyusun vegetasi dalam suatu
komunitas, (b) Sebaran horisotal spesies-spesies penyusun yang menggambarkan
letak dari suatu individu dan (c) Kelimpahan
setiap jenis dalam suatu komunitas (Kershaw dalam Onriza, 2006).
Menurut Ewusie (dalam Utami, 2010) bahwa “Vegetasi suatu
komunitas dapat diukur secara kualitatif maupun secara kuantitatif”.
Selanjutnya menurut Gopal dan Bhardwaj (dalam Indriyanto, 2006) bahwa “Struktur
vegetasi tumbuhan memiliki sifat kualitatif
dan kuantitatif”. Ciri kualitatif
yang terpenting pada komunitas antara lain adalah susunan flora dan
fauna serta pelapisan berbagai unsur dalam komunitas. Ciri kuantitatifnya
meliputi beberapa parameter yang dapat diukur seperti densitas, dominansi dan
Frekuensi.
Menurut Indriyanto (2006) bahwa
“Parameter kuantitatif yang digunakan untuk analisis vegetasi anatara lain;
densitas, frekuensi, luas penutupan,indeks nilai penting, perbandingan nilai
penting, indeks dominansi, indeks keanekaragaman, indeks kesamaan, dan
homogenitas suatu komunitas”.
Kerapatan/densitas adalah jumlah individu suatu spesies
tumbuhan dalam suatu luasan tertentu (Idriyanto, 2006). Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau
banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin
banyak individu jenis tersebut per satuan luas.
Frekuensi suatu jenis menunjukan
penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata
mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai
nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas (Fachrul, 2007). Dengan kata lain
makin banyak ditemukannya suatu spesies dalam sejumlah petak contoh yang dibuat
berarti makin besar frekuensi spesies tersebut, sebaliknya makin kecil
ditemukannya suatu spesies dalam sejumlah petak contoh maka semakin kecil
frekuensi spesies tersebut.
Dominasi merupakan nilai yang menunjukan peguasaan suatu jenis terhadap
komunitas (Indriyanto, 2006). Dominansi
dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk atau luas basal area.
Untuk menentukan dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas yang bersifat
heterogen, yakni dengan menggunakan rumus Indeks Nilai Penting (INP). Penggunaan indeks nilai penting dalam
menentukan dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas karena
kerapatan/densitas, dominansi dan frekuensi tidak dapat digunakan satu demi
satu untuk menunjukkan kedudukan relatif spesies dalam suatu komunitas
tumbuhan. Menurut Soegianto (dalam Indriyanto, 2006) bahwa “Indeks Nilai
Penting (INP) atau Inpontant Value Index
merupakan indeks kepentingan yang digunakan untuk menyatakan tingkat dominansi
spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan”.
Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Frekuensi
Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR) dan Dominansi Relatif (DR) setiap spesies.
Menurut Indriyanto (2006) bahwa “ Suatu daerah yang hanya didominasi oleh jenis-jenis
tertentu, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang
rendah”. Daerah yang hanya didominansi oleh spesies-spesies tertentu, memiliki
pengaruh terhadap tingkat keanekaragaman spesies.
Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi
jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan
kelimpahan relatif dari setiap jenis.
Parameter kuantitatif yang
dapat digunakan untuk mendeskripsikan vegetasi tumbuhan, baik dari segi
vegetasi maupun tingkat kesamaannya dengan vegetasi lain yakni dengan
menghitung indeks keanekaragaman spesies (Soegianto dalam Indriyanto, 2006).
Untuk mengetahui keanekaragaman spesies yakni dengan menggunakan rumus
Shannon_Wienner (H‘).
Berdasarkan uraian tersebut, maka parameter yang digunakan untuk analisis
struktur vegetasi mangrove di Desa Hutamonu adalah kerapatan/densitas, frekuensi, dominansi, indeks
nilai penting dan indeks diversitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar