Potensi sumberdaya kelautan
dan perikanan Indonesia sangat besar, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km,
dan luas perairan laut mencapai 5,8 juta km2 yang terdiri dari
perairan teritorial, perairan laut 12 mil dan perairan ZEE. Indonesia juga
memiliki 17.504 buah pulau, luas hamparan budidaya yang lebih dari 15,59 juta
hektar, serta luas perairan umum 5,4 juta hektar sebagai modal dasar pembangunan di Indonesia
pada masa yang akan datang. Secara realita potensi sumberdaya yang besar
tersebut belum dapat dimanfaatkan seutuhnya. Dalam rangka mengakselerasi
pemanfaatan sumberdaya tersebut diperlukan langkah nyata, terencana dan terarah
dengan pentahapan yang jelas yang dikemas dalam fokus pembangunan kelautan dan
perikanan yang berdaya saing untuk kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan potensi yang ada
luasan hamparan budidaya lebih dari 15,59 juta hektar serta luas perairan 5,4
juta hektar. Pada tahun 2014 produksi perikanan budidaya mencapai 14,52 juta ton (termasuk rumput laut). Pada
tahun 2016 diperkirakan peningkatan
produksi mencapai 16,5 juta ton, atau terjadi peningkatan sebesar kurang
lebih 3%. Produksi perikanan yang
dicapai ini mampu mendukung ketahanan pangan nasional, terutama
dalam penyediaan protein hewani untuk peningkatan gizi masyarakat.
Berdasarkan data Tahun 2014
produksi perikanan tangkap Indonesia mencapai 6,20 juta ton dari total produksi
20,72 juta ton atau sekitar 29,9% dari total produksi perikanan Indonesia.
Potensi sumber daya yang demikian besar dinilai tidak sebanding dengan jumlah
tangkapan yang dihasilkan. Hal ini antara lain disebabkan oleh jumlah
armada/kapal penangkap ikan, produktivitas alat tangkap, serta kapasitas SDM kelautan
dan perikanan yang relatif rendah tidak terkecuali pemahaman stakeholder
terhadap regulasi terkait dengan penangkapan ikan seperti IUU Fishing, batas
WPP, perizinan, transhipment, hingga penggunaan jenis alat tangkap yang ramah
lingkungan.
Jumlah kapal penangkapan ikan
berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tahun 2014 adalah
sebanyak 639.887 unit yang didominasi oleh nelayan skala kecil. Dari jumlah
tersebut hanya sebanyak 319.944 unit kapal yang laik laut, laik tangkap dan
simpan. Sedangkan sisanya sebanyak 319.943 unit belum laik tangkap, laik laut,
dan laik simpan yang juga didominasi oleh nelayan skala kecil. Jumlah armada
tersebut dinilai belum cukup optimal bila dibandingkan dengan jumlah potensi
perikanan tangkap yang ada.
Kegiatan usaha penangkapan
ikan juga merupakan kegiatan yang memiliki tingkat resiko yang sangat tinggi,
khususnya terhadap keselamatan pelakunya itu sendiri dalam hal ini nelayan
sehingga diperlukan upaya perlindungan terhadap mereka. Salah satu bentuknya
dapat dilakukan dengan mengoptimalkan perlindungan bagi nelayan dalam bentuk
asuransi/jaminan sosial. Sejauh ini
upaya pemerintah dalam bentuk fasilitasi asuransi/jaminan sosial bagi nelayan belum maksimal dilakukan. Pada
tahun 2016 akan diterbitkan paket asuransi/jaminan sosial bagi 1.000.000
nelayan. Untuk itu diperlukan identifikasi dan pembinaan terkait
asuransi/jaminan sosial bagi nelayan sebagai calon peserta dengan melibatkan
unsur-unsur terkait.
Integrasi sistem produksi hulu dan hilir sangat
diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah. Proses pengolahan
hasil perikanan yang berdaya saing dan bernilai tambah akan dapat memenuhi
preferensi konsumen (permintaan pasar), yakni produk perikanan yang bermutu dan
aman dikonsumsi. Capaian kinerja untuk program ini relatif baik dan sesuai
target yang ditetapkan. Hal ini
ditunjukkan dengan peningkatan volume produk olahan hasil perikanan dalam
periode 2010-2014, yakni dari 4,2 juta ton pada tahun 2010 menjadi 5,37 juta
ton pada tahun 2014 atau meningkat rata-rata sebesar 6,35% per tahun. Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya
kapasitas dan utilitas Unit Pengolahan Ikan (UPI), terbangunnya UPI baru, serta
berkembangnya diversifikasi/ragam produk olahan bernilai tambah, baik di UPI
skala besar maupun skala mikro, kecil dan menengah.
Perkembangan teknologi terkait mutu dan keamanan pangan, telah berdampak
pada meningkatnya persyaratan ekspor hasil kelautan dan perikanan di negara
tujuan. Peningkatan supply produk ekspor harus memenuhi persyaratan-persyaratan mutu
dan jaminan keamanan hasil perikanan mulai dari hulu sampai hilir, seperti:
GhdP, GAP, Organic,
Product Certificate, GMP, BRC, SQF 2000, HACCP/ISO 9001/ISO 14001 (Monitoring residue/ contaminants, Ecolabel
(MSC), ISO 22000 (FSMS), traceability
(a buyers’ requirement,) EU Catch Certification dan Supply Chain Inspection, dan lain-lain.
Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai
negara kepulauan pada posisi silang diantara benua dan samudera ini, Indonesia
sangat strategis dan kaya akan sumberdaya alam hayati, non hayati, dan energi.
Potensi kelautan dan
perikanan Indonesia yang sangat besar semakin terancam dengan maraknya praktik Illegal, Unreported, Unregulated (IUU)
Fishing baik oleh Kapal Ikan Asing maupun Kapal Ikan Indonesia dalam
beberapa dekade ini. Kondisi ini
menyebabkan menyebabkan Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di
dunia, menderita kerugian sekurang-kurangnya Rp 300 trilyun per tahun
berdasarkan jumlah ikan yang dicuri, kehilangan lapangan kerja dan kehilangan
potensi investasi serta hanya menjadi pengekspor produk perikanan hanya
peringkat ketiga di ASEAN.
Oleh karena itu agenda
pemberantasan IUU Fishing yang telah
merusak dan mengancam masa depan kelautan dan perikanan Indonesia menjadi
prioritas nasional yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Substansi ini pun telah masuk ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, di mana Kementerian
Kelautan dan Perikanan menempatkannya menjadi salah satu Sasaran
Strategis. Menteri Kelautan dan
Perikanan juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan strategis dalam rangka
menyukseskan hal tersebut, diantaranya: moratorium perizinan kapal ikan ex-asing
(Permen KP Nomor 56 Tahun 2014); pelarangan transshipment (Permen KP Nomor 57
Tahun 2014); pembentukan Stagas Pemberantasan IUU Fishing (Permen KP Nomor 76
Tahun 2014); pelarangan penggunaan trawl (Permen KP Nomor 01 Tahun 2015);
pengaturan penangkapan kepiting, lobster, dan rajungan (Permen KP Nomor 02
Tahun 2015); dan kebijakan strategis lainnya yang mendukung pencapaian hal
tersebut.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP)
sebagai penghasil berbagai riset dan inovasi yang adaptif, berupaya untuk
mendorong peningkatan efisiensi dan daya saing teknologi kelautan dan
perikanan. Dari tahun 2013 sampai tahun 2015 Balitbang KP telah menghasilkan
teknologi kelautan dan perikanan sebanyak 89 paket, dimana yang sudah direkomendasikan
sebagai materi penyuluhan sebanyak 56 paket (tahun 2013: 30 teknologi; tahun
2014: 14 teknologi; tahun 2015: 12 teknologi). Ditargetkan pada tahun 2016 akan
dihasilkan sebanyak 76 paket teknologi terekomendasi.
Pengembangan sumber daya manusia kelautan dan
perikanan dilakukan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan.
Selama tahun 2010-2016,
setiap tahunnya jumlah peserta didik yang terserap didunia usaha dan dunia
industri, jumlah SDM kelautan dan perikanan yang meningkat kompetensinya, dan
jumlah kelompok pelaku utama/usaha perikanan yang diberikan penyuluhan
berfluktuatif. Secara kumulatif pengembangan SDM kelautan dan perikanan telah
mampu menyediakan sebanyak 135.653 SDM kelautan dan perikanan yang kompeten.
Capaian tersebut merupakan kontribusi hasil capaian empat jenis kegiatan, yaitu
kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan dukungan kesekretariatan.
Sampai dengan akhir tahun 2016 kegiatan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat
kelautan dan perikanan yang telah dilaksanakan sebagai berikut:
a. Inventarisasi jumlah kelompok pelaku utama sebagai
sasaran penyuluhan sebanyak 56.614 kelompok;
b. Jumlah penyuluh perikanan sebanyak 14.849 orang penyuluh perikanan
(PNS, PPB, Swadaya dan
Swasta);
c. Peningkatan kompetensi dan kapasitas Penyuluh Perikanan
(PNS, Swadaya, PPB) dalam hal teknis perikanan sebanyak 2.100 orang dan teknis
kepenyuluhan sebanyak 1.778 orang;
d. Kegiatan pendampingan program prioritas KKP oleh
penyuluh perikanan PNS sebesar 35%;
e. Inventarisasi penyuluh Perikanan dalam berbagai jenjang
jabatan fungsional. Terdapat 319 orang yang telah menduduki jabatan fungsional
Ahli Madya;
f. Pembentukan organisasi profesi penyuluh perikanan
sesuai dengan amanat UU No. 16 Tahun 2006 telah dilaksanakan pada tahun 2008.
Organisasi profesi ini berperan dalam pembinaan dan pengembangan jenjang karir
penyuluh perikanan. Sampai dengan tahun 2016 organisasi profesi ini dalam kondisi penataan untuk mendukung jenjang
karir penyuluh perikanan;
g. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah, dan PP No. 50 Tahun 2015 Tentang Pemberdayaan Nelayan Kecil dan
Pembudidaya Ikan Kecil, Permen KP No. 22 Tahun 2015 Tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan BLM di Bidang Kelautan dan Perikanan diamanatkan bahwa kelembagaan
pelaku utama dalam bentuk kelompok calon penerima harus berbadan hukum. Sampai dengan tahun 2015 telah dibentuk 108
kelompok berbadan hukum, dan pada tahun 2016 diinisiasi pembentukan 600 kelompok berbadan hukum;
h. Target pada tahun 2016 jumlah pelaku utama/pelaku
usaha yang sudah mengakses keuangan ke lembaga permodalan sebanyak 2.000
orang;
Secara umum penyuluhan
perikanan memiliki peran strategis dalam pembangunan kelautan dan perikanan
yang berkelanjutan, sebagai sistem pendidikan non formal berperan dalam
transformasi perilaku pelaku utama dan pelaku usaha dalam pengembangan usaha
kelautan dan perikanan yang lebih baik. Penetrasi adopsi dan difusi inovasi
teknologi akan ditransfer oleh penyuluh perikanan kepada pelaku utama dan
pelaku usaha melalui komunikasi secara dua arah sehingga tercapai perubahan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat mendorong peningkatan taraf
hidup masyarakat kearah yang lebih baik.
Selain itu diharapkan dapat mendorong terciptanya produk kelautan dan
perikanan yang berdaya saing baik di dalam negeri maupun manca Negara.
Dalam menggerakkan sumberdaya
manusia yang handal dan profesional sebagai modal dasar pembangunan
Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, penyuluhan perikanan sebagai suatu
pendidikan non formal memegang peran strategis bagi berlangsungnya transformasi
perilaku manusia yang terlibat dalam aktifitas kelautan dan perikanan menuju
kearah yang lebih baik. Sasaran utama kegiatan penyuluhan perikanan adalah para
pelaku utama yang terdiri dari para nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil
ikan, petambak garam, pemasar dan masyarakat lain yang berusaha dibidang
kelautan dan perikanan dengan jumlah lebih dari 6,5 juta orang yang 90%
diantaranya berusaha skala mikro.
Banyaknya jumlah sasaran
utama kegiatan penyuluhan perikanan belum diimbangi dengan keberadaan penyuluh
perikanan yang cukup dan memadai. Sampai dengan bulan Desember 2016 tercatat
pada 34 provinsi di Indonesia hanya 3.175 orang Penyuluh Perikanan Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Apabila diasumsikan setiap RTP perikanan terdiri dari 4
orang, maka keseluruhan jumlah pelaku utama perikanan sebagai sasaran utama
penyuluhan adalah sebanyak 26.782.780 orang. Sehingga ratio antara jumlah penyuluh dan sasarannya adalah 3.175 :
26.782.780, atau 1 : 8.436, dengan kata lain setiap orang penyuluh perikanan
PNS di Indonesia harus berupaya membina sebanyak 8.436 orang pelaku utama
perikanan. Hal ini diperberat lagi oleh sebaran penyuluh perikanan yang tidak
merata di sejumlah daerah dan luasnya wilayah binaan. Kekurangan jumlah
penyuluh perikanan dilakukan melalui rekruitmen Penyuluh Perikanan Bantu (PPB) 2.500
orang, penyuluh perikanan swadaya 9.133 orang, dan penyuluh perikanan swasta 41
orang, sehingga sampai dengan bulan Desember 2016 jumlah penyuluh perikanan
sudah mencapai 14.849 orang (sumber:
http://pusluh.kkp.go.id /103.7.52.28/simluhdayakp/bs3-admin.php/03/12/2016).
Kebutuhan jumlah Penyuluh
Perikanan juga dapat diperoleh melalui perhitungan jumlah kawasan potensi
perikanan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Pasal 49 ayat (4)
berbunyi “Penyediaan penyuluh sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) orang penyuluh dalam 1 (satu)
kawasan potensi kelautan dan perikanan”. Sehingga kebutuhan ketenagaan penyuluh
perikanan secara nasional adalah:
= Jumlah
kawasan potensi perikanan X 3 orang
penyuluh
= 6.793
kawasan X 3 orang penyuluh
= 20.379 orang Penyuluh Perikanan
Catatan:
§ Dengan
asumsi bahwa setiap kecamatan yang ada di Indonesia memiliki potensi
pengembangan sektor kelautan dan perikanan.
§ Sampai
dengan akhir tahun 2016, baru ada 3.175 orang Penyuluh Perikanan PNS sebagai
ketenagaan yang tetap dalam melaksanakan fungsi penyuluhan perikanan.
§ Sehingga
ada kekurangan jumlah Penyuluh Perikanan sebesar 20.379 – 3.175 = 17.204 orang
Sumber:
Razi
F., dkk. 2017. Peran Penting dan Transformasi Penyuluhan Perikanan.
Jakarta, Pusat Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan
Perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar