Rabu, 16 Agustus 2017

POTENSI SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN DAN KETERSEDIAAN PENYULUH PERIKANAN

Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia sangat besar, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dan luas perairan laut mencapai 5,8 juta km2 yang terdiri dari perairan teritorial, perairan laut 12 mil dan perairan ZEE. Indonesia juga memiliki 17.504 buah pulau, luas hamparan budidaya yang lebih dari 15,59 juta hektar, serta luas perairan umum 5,4 juta hektar  sebagai modal dasar pembangunan di Indonesia pada masa yang akan datang. Secara realita potensi sumberdaya yang besar tersebut belum dapat dimanfaatkan seutuhnya. Dalam rangka mengakselerasi pemanfaatan sumberdaya tersebut diperlukan langkah nyata, terencana dan terarah dengan pentahapan yang jelas yang dikemas dalam fokus pembangunan kelautan dan perikanan yang berdaya saing untuk kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan potensi yang ada luasan hamparan budidaya lebih dari 15,59 juta hektar serta luas perairan 5,4 juta hektar. Pada tahun 2014 produksi perikanan budidaya mencapai  14,52 juta ton (termasuk rumput laut). Pada tahun 2016 diperkirakan peningkatan  produksi mencapai 16,5 juta ton, atau terjadi peningkatan sebesar kurang lebih 3%.  Produksi perikanan yang dicapai ini  mampu  mendukung ketahanan pangan nasional, terutama dalam penyediaan protein hewani untuk peningkatan gizi masyarakat.
Berdasarkan data Tahun 2014 produksi perikanan tangkap Indonesia mencapai 6,20 juta ton dari total produksi 20,72 juta ton atau sekitar 29,9% dari total produksi perikanan Indonesia. Potensi sumber daya yang demikian besar dinilai tidak sebanding dengan jumlah tangkapan yang dihasilkan. Hal ini antara lain disebabkan oleh jumlah armada/kapal penangkap ikan, produktivitas alat tangkap, serta kapasitas SDM kelautan dan perikanan yang relatif rendah tidak terkecuali pemahaman stakeholder terhadap regulasi terkait dengan penangkapan ikan seperti IUU Fishing, batas WPP, perizinan, transhipment, hingga penggunaan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan.
Jumlah kapal penangkapan ikan berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Tahun 2014 adalah sebanyak 639.887 unit yang didominasi oleh nelayan skala kecil. Dari jumlah tersebut hanya sebanyak 319.944 unit kapal yang laik laut, laik tangkap dan simpan. Sedangkan sisanya sebanyak 319.943 unit belum laik tangkap, laik laut, dan laik simpan yang juga didominasi oleh nelayan skala kecil. Jumlah armada tersebut dinilai belum cukup optimal bila dibandingkan dengan jumlah potensi perikanan tangkap yang ada.
Kegiatan usaha penangkapan ikan juga merupakan kegiatan yang memiliki tingkat resiko yang sangat tinggi, khususnya terhadap keselamatan pelakunya itu sendiri dalam hal ini nelayan sehingga diperlukan upaya perlindungan terhadap mereka. Salah satu bentuknya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan perlindungan bagi nelayan dalam bentuk asuransi/jaminan sosial.  Sejauh ini upaya pemerintah dalam bentuk fasilitasi asuransi/jaminan sosial  bagi nelayan belum maksimal dilakukan. Pada tahun 2016 akan diterbitkan paket asuransi/jaminan sosial bagi 1.000.000 nelayan. Untuk itu diperlukan identifikasi dan pembinaan terkait asuransi/jaminan sosial bagi nelayan sebagai calon peserta dengan melibatkan unsur-unsur terkait.
Integrasi sistem produksi hulu dan hilir sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah. Proses pengolahan hasil perikanan yang berdaya saing dan bernilai tambah akan dapat memenuhi preferensi konsumen (permintaan pasar), yakni produk perikanan yang bermutu dan aman dikonsumsi. Capaian kinerja untuk program ini relatif baik dan sesuai target yang ditetapkan.  Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan volume produk olahan hasil perikanan dalam periode 2010-2014, yakni dari 4,2 juta ton pada tahun 2010 menjadi 5,37 juta ton pada tahun 2014 atau meningkat rata-rata sebesar 6,35% per tahun.  Hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya kapasitas dan utilitas Unit Pengolahan Ikan (UPI), terbangunnya UPI baru, serta berkembangnya diversifikasi/ragam produk olahan bernilai tambah, baik di UPI skala besar maupun skala mikro, kecil dan menengah.
Perkembangan teknologi terkait mutu dan keamanan pangan, telah berdampak pada meningkatnya persyaratan ekspor hasil kelautan dan perikanan di negara tujuan.  Peningkatan supply produk ekspor harus memenuhi persyaratan-persyaratan mutu dan jaminan keamanan hasil perikanan mulai dari hulu sampai hilir, seperti: GhdP,  GAP,  Organic, Product Certificate, GMP,  BRC, SQF 2000, HACCP/ISO 9001/ISO 14001 (Monitoring residue/ contaminants, Ecolabel (MSC), ISO 22000 (FSMS), traceability (a buyers’ requirement,) EU Catch Certification dan Supply Chain Inspection, dan lain-lain.
Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia serta antara  Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai negara kepulauan pada posisi silang diantara benua dan samudera ini, Indonesia sangat strategis dan kaya akan sumberdaya alam hayati, non hayati, dan energi.
Potensi kelautan dan perikanan Indonesia yang sangat besar semakin terancam dengan maraknya praktik Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing baik oleh Kapal Ikan Asing maupun Kapal Ikan Indonesia dalam beberapa dekade ini.  Kondisi ini menyebabkan menyebabkan Indonesia, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, menderita kerugian sekurang-kurangnya Rp 300 trilyun per tahun berdasarkan jumlah ikan yang dicuri, kehilangan lapangan kerja dan kehilangan potensi investasi serta hanya menjadi pengekspor produk perikanan hanya peringkat ketiga di ASEAN.
Oleh karena itu agenda pemberantasan IUU Fishing yang telah merusak dan mengancam masa depan kelautan dan perikanan Indonesia menjadi prioritas nasional yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.  Substansi ini pun telah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, di mana Kementerian Kelautan dan Perikanan menempatkannya menjadi salah satu Sasaran Strategis.  Menteri Kelautan dan Perikanan juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan strategis dalam rangka menyukseskan hal tersebut, diantaranya: moratorium perizinan kapal ikan ex-asing (Permen KP Nomor 56 Tahun 2014); pelarangan transshipment (Permen KP Nomor 57 Tahun 2014); pembentukan Stagas Pemberantasan IUU Fishing (Permen KP Nomor 76 Tahun 2014); pelarangan penggunaan trawl (Permen KP Nomor 01 Tahun 2015); pengaturan penangkapan kepiting, lobster, dan rajungan (Permen KP Nomor 02 Tahun 2015); dan kebijakan strategis lainnya yang mendukung pencapaian hal tersebut.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) sebagai penghasil berbagai riset dan inovasi yang adaptif, berupaya untuk mendorong peningkatan efisiensi dan daya saing teknologi kelautan dan perikanan. Dari tahun 2013 sampai tahun 2015 Balitbang KP telah menghasilkan teknologi kelautan dan perikanan sebanyak 89 paket, dimana yang sudah direkomendasikan sebagai materi penyuluhan sebanyak 56 paket (tahun 2013: 30 teknologi; tahun 2014: 14 teknologi; tahun 2015: 12 teknologi). Ditargetkan pada tahun 2016 akan dihasilkan sebanyak 76 paket teknologi terekomendasi.
Pengembangan sumber daya manusia kelautan dan perikanan dilakukan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan. Selama tahun 2010-2016, setiap tahunnya jumlah peserta didik yang terserap didunia usaha dan dunia industri, jumlah SDM kelautan dan perikanan yang meningkat kompetensinya, dan jumlah kelompok pelaku utama/usaha perikanan yang diberikan penyuluhan berfluktuatif. Secara kumulatif pengembangan SDM kelautan dan perikanan telah mampu menyediakan sebanyak 135.653 SDM kelautan dan perikanan yang kompeten. Capaian tersebut merupakan kontribusi hasil capaian empat jenis kegiatan, yaitu kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan dukungan kesekretariatan.
Sampai dengan akhir tahun 2016 kegiatan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan yang telah dilaksanakan sebagai berikut:
a.  Inventarisasi jumlah kelompok pelaku utama sebagai sasaran penyuluhan sebanyak 56.614 kelompok;
b.  Jumlah penyuluh perikanan sebanyak 14.849 orang penyuluh perikanan (PNS, PPB, Swadaya dan Swasta);
c.  Peningkatan kompetensi dan kapasitas Penyuluh Perikanan (PNS, Swadaya, PPB) dalam hal teknis perikanan sebanyak 2.100 orang dan teknis kepenyuluhan sebanyak 1.778 orang;
d.  Kegiatan pendampingan program prioritas KKP oleh penyuluh perikanan PNS sebesar 35%;
e.  Inventarisasi penyuluh Perikanan dalam berbagai jenjang jabatan fungsional. Terdapat 319 orang yang telah menduduki jabatan fungsional Ahli Madya;
f.   Pembentukan organisasi profesi penyuluh perikanan sesuai dengan amanat UU No. 16 Tahun 2006 telah dilaksanakan pada tahun 2008. Organisasi profesi ini berperan dalam pembinaan dan pengembangan jenjang karir penyuluh perikanan. Sampai dengan tahun 2016 organisasi profesi ini dalam kondisi penataan untuk mendukung jenjang karir penyuluh perikanan;
g.  Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, dan PP No. 50 Tahun 2015 Tentang Pemberdayaan Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan Kecil, Permen KP No. 22 Tahun 2015 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan BLM di Bidang Kelautan dan Perikanan diamanatkan bahwa kelembagaan pelaku utama dalam bentuk kelompok calon penerima harus berbadan hukum.  Sampai dengan tahun 2015 telah dibentuk 108 kelompok berbadan hukum, dan pada tahun 2016 diinisiasi pembentukan 600 kelompok berbadan hukum;
h. Target pada tahun 2016 jumlah pelaku utama/pelaku usaha yang sudah mengakses keuangan ke lembaga permodalan sebanyak 2.000 orang; 
Secara umum penyuluhan perikanan memiliki peran strategis dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, sebagai sistem pendidikan non formal berperan dalam transformasi perilaku pelaku utama dan pelaku usaha dalam pengembangan usaha kelautan dan perikanan yang lebih baik. Penetrasi adopsi dan difusi inovasi teknologi akan ditransfer oleh penyuluh perikanan kepada pelaku utama dan pelaku usaha melalui komunikasi secara dua arah sehingga tercapai perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat kearah yang lebih baik.  Selain itu diharapkan dapat mendorong terciptanya produk kelautan dan perikanan yang berdaya saing baik di dalam negeri maupun manca Negara.
Dalam menggerakkan sumberdaya manusia yang handal dan profesional sebagai modal dasar pembangunan Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, penyuluhan perikanan sebagai suatu pendidikan non formal memegang peran strategis bagi berlangsungnya transformasi perilaku manusia yang terlibat dalam aktifitas kelautan dan perikanan menuju kearah yang lebih baik. Sasaran utama kegiatan penyuluhan perikanan adalah para pelaku utama yang terdiri dari para nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil ikan, petambak garam, pemasar dan masyarakat lain yang berusaha dibidang kelautan dan perikanan dengan jumlah lebih dari 6,5 juta orang yang 90% diantaranya berusaha skala mikro.
Banyaknya jumlah sasaran utama kegiatan penyuluhan perikanan belum diimbangi dengan keberadaan penyuluh perikanan yang cukup dan memadai. Sampai dengan bulan Desember 2016 tercatat pada 34 provinsi di Indonesia hanya 3.175 orang Penyuluh Perikanan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apabila diasumsikan setiap RTP perikanan terdiri dari 4 orang, maka keseluruhan jumlah pelaku utama perikanan sebagai sasaran utama penyuluhan adalah sebanyak 26.782.780 orang. Sehingga ratio antara  jumlah penyuluh dan sasarannya adalah 3.175 : 26.782.780, atau 1 : 8.436, dengan kata lain setiap orang penyuluh perikanan PNS di Indonesia harus berupaya membina sebanyak 8.436 orang pelaku utama perikanan. Hal ini diperberat lagi oleh sebaran penyuluh perikanan yang tidak merata di sejumlah daerah dan luasnya wilayah binaan. Kekurangan jumlah penyuluh perikanan dilakukan melalui rekruitmen Penyuluh Perikanan Bantu (PPB) 2.500 orang, penyuluh perikanan swadaya 9.133 orang, dan penyuluh perikanan swasta 41 orang, sehingga sampai dengan bulan Desember 2016 jumlah penyuluh perikanan sudah mencapai 14.849 orang  (sumber: http://pusluh.kkp.go.id /103.7.52.28/simluhdayakp/bs3-admin.php/03/12/2016).
Kebutuhan jumlah Penyuluh Perikanan juga dapat diperoleh melalui perhitungan jumlah kawasan potensi perikanan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Pasal 49 ayat (4) berbunyi “Penyediaan penyuluh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) orang penyuluh dalam 1 (satu) kawasan potensi kelautan dan perikanan”. Sehingga kebutuhan ketenagaan penyuluh perikanan secara nasional adalah:
= Jumlah kawasan potensi perikanan  X 3 orang penyuluh
= 6.793 kawasan  X 3 orang penyuluh
= 20.379 orang Penyuluh Perikanan
Catatan:
§  Dengan asumsi bahwa setiap kecamatan yang ada di Indonesia memiliki potensi pengembangan sektor kelautan dan perikanan.
§  Sampai dengan akhir tahun 2016, baru ada 3.175 orang Penyuluh Perikanan PNS sebagai ketenagaan yang tetap dalam melaksanakan fungsi penyuluhan perikanan.
§  Sehingga ada kekurangan jumlah Penyuluh Perikanan sebesar 20.379 – 3.175 = 17.204 orang


Sumber:
Razi F., dkk. 2017. Peran Penting dan Transformasi Penyuluhan Perikanan. Jakarta, Pusat Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar